Sebutkan apa saja isi dari Piagam Jakarta

Pidato Sukarno pada sidang BPUPKI. Foto: kemdikbud.go.id

Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menandatangani kesepakatan yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Piagam tersebut memuat arah dan tujuan bernegera serta lima rumusan dasar negara (Pancasila).

Namun ketika hendak disahkan pada 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan antara golongan nasionalis dengan golongan Islam. Hal ini terkait dengan sila pertama rumusan dasar negara yang dinilai tidak cukup mencerminkan masyarakat Indonesia yang beragam.

Berikut adalah isi Piagam Jakarta dan sejarah perubahan sila pertamanya.

Naskah Lengkap Piagam Jakarta

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta

Pancasila. Foto: iStock

Dari naskah lengkap di atas, rumusan Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta memuat poin-poin berikut ini:

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

  3. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

  4. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perubahan dalam Isi Piagam Jakarta

Ketika disahkan, Piagam Jakarta kala itu mendapat sambutan hangat. Naskah inilah yang kemudian juga dijadikan Pembukaan UUD 1945.

Namun setelah proklamasi kemerdekaan dan sebelum dasar negara secara resmi disahkan, terdapat perubahan pada isi Piagam Jakarta. Tujuh kata yakni, "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus.

Tokoh-tokoh dari Timur menyatakan keberatan mereka atas sila pertama yang menyiratkan bahwa rumusan itu tidak berlaku bagi pemeluk agama lain. Mereka mengutarakan pendapat tersebut kepada Muhammad Hatta. Maka untuk menghindari perpecahan, Hatta mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh Islam.

KH. A. Wahid Hasyim adalah seorang tokoh wakil Islam dari Nahdlatul Ulama yang turut mendiskusikan rumusan sila pertama Pancasila. Dikutip dari jurnal Islam Sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Konstituante) oleh Saoki, KH. A. Wahid Hasyim mengusulkan kepada para pimpinan Islam untuk mengubah asas Ketuhanan dengan ditambah kata-kata Yang Maha Esa, yang juga berimplikasi tauhid bagi umat Islam.

Dikutip dari buku Berangkat dari Pesantren tulisan Saifuddin Zuhri, K.H. A. Wahid Hasyim menjelaskan sikapnya dengan argumen berikut:

  • Kondisi saat itu sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi Belanda yang berusaha kembali ke daerah jajahan mereka.

  • Beliau telah menerima dengan pemahaman bahwa kewajiban mengikuti syariat Islam bagi umat Islam akan mendapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan mengamalkan menurut agamanya masing-masing.

KH. A. Wahid Hasyim kala itu menginginkan persatuan umat, baik sesama umat Islam, maupun dengan umat agama lain dalam bingkai negara Indonesia. Akhirnya, sila pertama Pancasila diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ini adalah salah satu peristiwa penting yang dapat dijadikan contoh untuk pendewasaan warga negara Indonesia. Yaitu kesediaan kelompok nasionalis Islam dalam persidangan BPUPKI menerima kelima sila dalam Pancasila sebagai dasar negara dan tidak menuntut tempat khusus bagi umat Islam dalam konstitusi negara, padahal mereka mewakili kelompok dominan. Hal ini sebagaimana menurut catatan dari rohaniawan Franz Magnis Suseno yang dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM dan Masyrakat Madani karya A. Ubaedillah dan Abdul Rozak,