Agus Salim [kanan]. [Youtube]
medcom.id, Jakarta: Seorang tua mendampingi HOS Cokroaminoto menaiki mimbar. Ketika melewati kiri kanan hadirin, terdengar pelan desas-desus dicampur sedikit tawa. Usai itu, terceletuklah ejekan “Embek, embek!” serupa suara kambing. Tentu saja, sosok sepuh yang memiliki jenggot khas itu tersinggung. Dialah Haji Agus Salim, dikenal sebagai pendebat yang hanya dalam sekali jawab saja; seorang pengejek atau pun pengritik bisa terjungkal.
“Saudara-saudara dan kambing yang terhormat, saya harap kambing-kambing dikeluarkan dari ruangan ini,” celetuk sosok serba bisa itu, sebagaimana dikisahkan Ahmad Syafii Maarif dalam buku Haji Agus Salim [1884-1954]: Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme.
Memasuki 1921, Sarekat Islam [SI] memang mulai menunjukan tanda-tanda terbelah. Pasca organisasi Islam paling berpengaruh masa itu disusupi golongan sosialisme revolusioner dari Indische Sociaal-Democratische Vereeniging [ISDV], Haji Agus Salim menjadi tokoh sentral dari barisan SI Putih. Secara otomatis, orang-orang yang tidak menyukai keberadaannya dan tergabung dalam SI Merah sering mengejek pria bernama Mashudul Haq itu.
Anggota tertua BPUPKI dan PPKI
Agus Salim dikenal memiliki otak jenius. Bukan sekadar sebagai seorang ulama yang pemikir, ia juga seorang wartawan, ahli sejarah, ahli bahasa, praktisi pendidikan, dan filusuf. Hal itu ditambah lagi dengan kematangan usianya. Oleh Soekarno, Agus Salim dijuluki The Grand Old Man, orang tua yang besar.
Disebut orang tua, pola ini diambil ketika Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI] terbentuk dan mulai bersidang pada Mei-Juni 1945. Dari 62 anggota, Agus Salim tercatat memiliki umur paling tua. Selain Agus Salim, rata-rata berumur 30 sampai 40 tahun. Sebut saja, Soekarno masa itu berumur 39 tahun, dan Hatta 43 tahun. “Sedangkan Haji Agus Salim sudah 61 tahun,” tulis Sularto dalam buku yang sama. Meskipun sudah tua, semangat Agus Salim tak pernah kalah. Latar belakangnya yang berpengalaman dalam soal-soal diplomasi internasional menjadikannya andal dalam urusan-urusan berdebat dan bersidang.Dalam BPUPKI, Agus Salim kerap terlibat perdebatan terbuka Soekarno. Gagasan nasionalisme sekular yang diusung Soekarno dinilai tokoh sepuh ini tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia. Ia khawatir, persoalan itu bisa mengarah ke chauvinsme dan ultra nasionalsme.
Dalam prosesnya, Agus Salim ingin meletakkan nasionalisme pada posisinya yang dia anggap tepat. Nasionalisme, kata dia, bukan sekadar jalan untuk mengembangkan rasa cinta kepada Tanah Air, namun juga penting untuk diorientasikan sebagai pendorong perjuangan kemerdekaan untuk menjadi negara yang lebih besar dan maju. Ia mengatakan, inilah nasionalisme Islam.“Hatta mengakui kekagumannya atas argumentasi-argumentasi Agus Salim,” tulis Zulfikri Sulaeman dalam Demokrasi Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta.
Sang pemburu kedaulatan
Setelah BPUPKI menunaikan tugasnya, ia dibubarkan. Indonesia menerobos babak baru dengan cara yang mandiri. Tanpa bantuan Jepang sebagaimana pembentukan BPUPKI dan PPKI, Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.Sebagai negara merdeka. Indonesia dihadapkan pada konsekuensi berupa perlunya dukungan alias pengakuan dari beberapa negara baik secara de jure dan de facto. Peran diplomatik Agus Salim pun dimainkan kembali. Ia menjadi pembawa amanah penting untuk melobi negara-negara luar agar memberikan pengakuan atas kehadiran negara baru bernama Indonesia. Peluang pertama yang ditunjukkan Mesir dan negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab pun langsung disambutnya.
“Sebagai jawaban [respon] atas keputusan dan tindakan Liga Arab, Indonesia mengirimkan delegasi ke negara-negara Arab yang dipimpin oleh Haji Agus Salim,” tulis Riza Sihbudi dalam Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek.
Misi diplomatik Agus Salim dimulai pada 4 April 1947. Indonesia tak salah pilih. Ulama asal Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat ini berhasil memainkan seni diplomasi dan kemahiran berbahasa Arabnya dengan baik. Hanya dengan sekali jalan, sebagian besar anggota Arab menyumbang pernyataan dukungan atas kemerdekaan Indonesia.“Indonesia mendapat pengakuan de jure dan de facto berturut-turut dari Mesir pada 10 Juni 1947, Suriah 2 Juli 1947, Irak 16 Juli 1947 Afganistan 23 September 1947, dan Arab Saudi 21 November 1947,” tulis Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah.
Editor : Mohammad Adam
H. Agus Salim [lahir dengan nama Masyhudul Haq [berarti "pembela kebenaran"]; 8 Oktober 1884 – 4 November 1954] adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.[1] Pekerjaan yang ditekuni oleh Agus Salim adalah sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa [bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Prancis], 2 bahasa asing di Timur Tengah [bahasa Arab dan bahasa Turki] serta bahasa Jepang.[2] Agus Salim Masyhudul Haq
3 Juli 1947 – 20 Desember 1949PresidenSoekarnoPerdana MenteriSutan SyahrirPendahuluSutan SyahrirPenggantiMohammad RoemWakil Menteri Luar Negeri Indonesia 1Masa jabatan
12 Maret 1946 – 3 Juli 1947PresidenSoekarnoMenteriSutan SyahrirPendahuluTidak ada, jabatan baruPenggantiTamsil
Informasi pribadiLahir
[1884-10-08]8 Oktober 1884
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.[3]
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School [ELS], sekolah khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool [HBS] di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Wakil Redaktur. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Sura tkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem [AIPO]. Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
- Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
- Dari Hal Ilmu Quran
- Muhammad voor en na de Hijrah
- Gods Laatste Boodschap
- Jejak Langkah Haji Agus Salim [Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi koleganya, Oktober 1954]
- Menjinakkan Perempuan Garang [dari The Taming of the Shrew karya Shakespeare]
- Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba [dari The Jungle Book karya Rudyard Kipling]
- Sejarah Dunia [karya E. Molt]
Pada tahun 1915, H. Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi pemimpin kedua setelah Oemar Said Tjokroaminoto.
Peran H. Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia antara lain:
- anggota Volksraad [1921-1924]
- anggota Panitia Sembilan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan yang mempersiapkan UUD 1945
- Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
- pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
- Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
- Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Presiden Sukarno dan Agus Salim dalam tahanan Belanda, 1949.
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" [The Grand Old Man]. Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia pada kabinet Presidensiall dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Kota Padang.
- Tokoh Indonesia
- ^ Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia Diarsipkan 2012-05-09 di WebCite, Departemen Sosial RI Online, Januari 2010. Diakses 26 Agustus 2012.
- ^ Syukur, Yanuardi [2017]. Menulis di Jalan Tuhan. Sleman: Deepublish. hlm. 73. ISBN 978-602-401-711-8. Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan [bantuan]
- ^ //repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/60783/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y[pranala nonaktif permanen]
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Agus Salim. |
- [Indonesia] "Haji Agus Salim [1884-1954]: tentang perang, jihad, dan pluralisme" - Googlebooks
- [Inggris] New York Times: Best Story; The Book That Killed Colonialism
- //repositori.kemdikbud.go.id/8326/1/HAJI%20AGUS%20SALIM.pdf
Didahului oleh: Sutan Sjahrir |
Menteri Luar Negeri Indonesia 1947–1949 |
Diteruskan oleh: Mohammad Hatta |
Didahului oleh: Jabatan baru |
Menteri Muda Luar Negeri Indonesia 1946–1947 |
Diteruskan oleh: Tamsil |
Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Agus_Salim&oldid=19556245"
Page 2
4 November adalah hari ke-308 [hari ke-309 dalam tahun kabisat] dalam kalender Gregorian.
3 November – 4 November – 5 November
>
M
S
S
R
K
J
S
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
2022
Wikimedia Commons memiliki media mengenai 4 November.
Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=4_November&oldid=21100106"