Sebutkan tiga kebijakan Ali bin abi thalib selama menjadi Khalifah

Para khalifah pengganti Rasulullah SAW menorehkan capaian gemilang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Setelah Rasulullah Muhammad ﷺ  wafat pelaksanaan hukum syariat dilanjutkan sahabat terdekatnya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. 

Mereka yang diberikan amanah menjaga syariat yang telah diajarkan Rasulullah  ﷺ, ketika menjadi khalifah. 

"Apa yang sudah terlaksana pada masa Nabi, dilanjutkan dan dikukuhkan khalifahnya," tulis KH Jeje Zaenudin dalam bukunya, "Politik Hukum Islam, Konsep, Teori dan Praktik di Indonesia" 

Dalam praktiknya, hukum syariat tidak langsung dipakai memutuskan suatu persoalan terbaru. Mereka membentukan sebuah majelis musyawarah untuk menyelesaikan persoalan terbaru itu. 

"Sementara kasus-kasus baru yang membutuhkan keputusan hukum ditangani para khalifah melalui musyawarah, atau kebijakan pribadi khalifah sebagai pemegang otoritas politik," katanya. 

Dengan demikian kata KH Jejej Zaenudin, tradisi bermusyawarah dan berijtihad dalam memutuskan perkara atas kasus-kasus hukum yang baru dengan merujuk kepada dalil-dalil yang tersirat dalam Alquran dan hadits mulai muncul.

Era Abu Bakar 

Kasus yang muncul di masa Khalifah Abu Bakar dan paling fenomenal adalah tentang kedudukan orang-orang yang murtad, pengikut para Nabi palsu dan kelompok penentang zakat. Fenomena murtad dan nabi palsu masih ada sampai sekarang, terakhir yang mengaku-ngaku sebagai nabi di antaranya Lia Eden, Ahmad Musadeq, Sense Komara, Sri Hartati, Eyang Ended. 

Selain mereka, ada Gus Jari alias Raden Aryo mengaku sebagai Nabi Isa. Untuk mempertahankan keyakinannya, dia siap berdebat terbuka dengan Mejelis Ulama Indonesia (MUI). 

Bagimana cara khalifah Abu Bakar mengatasi persoalan ini? KH Jeje menjawab Musyawarah, sebelum melakukan tindakan keras terhadap mereka yang melanggar-syariat itu.

"Jika mereka menolak untuk kembali ke dalam pangkuan Islam dan menaati pemerintahan yang telah disepakati penduduk Madinah, maka Khalifah mengintruksikan untuk memerangi mereka sampai mereka bertaubat," katanya

Era Umar bin Khattab  

Masalah pada masa kekhalifah Umar yang terjadi sampai sekarang ini adalah sengketa tahan. Bahkan menjadi perbicangan di kalangan masyarakat dan pejabat di daerah dan pusat adanya mafia tanah. Namun Umar segera menyelesaikan masalah ini, sehingga tidak terjadi sengketa tanah di antara masyarakat yang membuat mafia tanah bermunculan.

"Ketika dia harus mengambil kebijakan tentang pembagian tanah-tanah produktif sebagai harta rampasan perang dari negeri-negeri yang baru ditaklukan," kata KH Jeje. 

Sebelumnya, berdasarkan praktik Nabi dan Khalifah Abu Bakar, tanah rampasan perang dari negeri-negeri yang dibebasakan oleh prajurit Islam. Maka tanah itu dibagikan langsung kepada para prajurit yang bergabung dalam peperangan.  

Tetapi khalifah Umar bin Khattab memandang praktik semacam itu tidak mungkin lagi diterapkan pada kasus penaklukan negeri Irak yang amat luas. 

Maka dia mengambil keputusan untuk menahan tanah-tanah negeri taklukan itu dan menyerahkan kepada para penduduknya untuk tetap mengelolanya dengan perjanjian mereka menyerahkan pajaknya kepada negara. 

"Kemudian dari hasil pajak itulah para prajurit diberi tunjangan dan gaji oleh kas negara atas tugas-tugas mereka," katanya. 

Meskipun pada awalnya kebijakan politik hukum Khalifah Umar bin Khattab dalam masalah tanah-tanah rampasan perang di atas mendapat penolakan dan penentangan keras dari sebagian para sahabat Nabi  ﷺ. 

Tetapi melalui beberapa kali rapat dan musyawarah Khalifah dengan para senior ahlu syura dari kalangan muhajirin dan anshar, maka kebijakan politik Khalifah Umar bin Khattab itu dapat dilaksanakan. 

Sebutkan tiga kebijakan Ali bin abi thalib selama menjadi Khalifah

Ali bin Abu Thalib lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Rajab di Kota Mekkah sekitar tahun 600 M. Ia lahir dari pasangan Abu Thalib bin Abdull Muthalib dan Fatimah binti Asad. Ketika lahir ibunya memberi nama haidar yang artinya singah. Namun sang ayah lebih suka menamainya Ali artinya tinggi dan luhur. Abu Thalib adalah kakak Abdullah ayah Nabi Muhammad Saw. Jadi Ali dan Muhammad Saw adalah saudara sepupu. Selama masa kepemimpinannya, khalifah Ali sibuk mengurusi mereka yang tidak mau membaiat dirinya tersebut. Sama seperti pendahulunya yaitu Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, Usman, khalifah Ali juga hidup sederhana dan zuhud. Ia tidak senang dengan kemewahan hidup. Ia bahkan menentang mereka yang hidup bermewah mewahan.

Adapun Kebijakan dan Strategi Khalifah Ali bin Abi Thalib


a. Penggantian pejabat lama dengan yang baru. Khalifah Ali bin Abu Thalib memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi dikarenakan keteledoran mereka.


b. Penarikan Kembali Tanah Hadiah.

Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasl pendapatannya kepada negara., dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar bin Khatab.

c. Mengadapi Para Pemberontak.

Setelah kebijakan tersebut diterapkan, Ali bin Abu Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak.

Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun terjadi. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang Unta), karena Aisyah dalam pertempuran ini menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijasanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus yaitu Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin.

Pertempuran tersebut dikenal dengan nama perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tetapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga yaitu al Khawarij, artinya orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut) Ali dan al Khawarij atau orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Keadaan Iini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin melemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah satu anggota kelompok Khawarij yakni Ibnu Muljam.

Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh putranya yang bernama Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjajian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan.

Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan ini dikenal dalam sejarah sebagai tahun Amul Jamaah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.


Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang kebijakan dan strategi Khalifah Ali bin Abi Thalib semasa menjadi khalifah. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Sebutkan tiga kebijakan Ali bin abi thalib selama menjadi Khalifah
Ali bin Abi Thalib
علي بن أبي طالب

Ali radhiallahu anhu

Khalifah Kekhalifahan Rasyidin Ke 4
sudut pandang SunniBerkuasa20 Juni 656 – 29 Januari 661
(4 tahun, 224 hari)PendahuluUtsman bin 'AffanPenerusHasan bin AliImam
sudut pandang Syi'ahBerkuasa632–661PenerusHasan bin Ali

Lahir15 September 601 (13 Rajab 21 SH)
Ka'bah, Makkah, Jazirah Arab[1]Wafat29 Januari 661 (21 Ramadan  40 H)
(usia 59)[2][3]
Kufah, MesopotamiaPemakaman


  • Istana Pemerintah, Kufah (menurut Sunni).[4][5][6]
  • Masjid Imam Ali, Najaf (menurut Syiah)

SukuBani Hasyim (Quraisy)
Nama lengkap
'Alī ibn Abī Ṭālib bahasa Arab: علي ابن أبي طالب
Nama dan tanggal periode
Khulafaur Rasyidin: 656–661
AyahAbu ThalibIbuFatimah binti AsadPasangan

  • Fathimah binti Muhammad
  • Umamah binti Abi al-Ash bin ar-Rabi'
  • Fathimah binti Hizam
  • Laila binti Mas'ud
  • Asma' binti Umais
  • Khaulah binti Ja'far
  • Ash-Shahba' binti Rabi'ah
  • Ummu Sa'id binti Urwah

Anak

  • Hasan
  • Husain
  • Zainab
  • Ummu Kultsum
  • Muhsin
  • Muhammad
  • Al-'Abbas
  • 'Abdullah
  • Abu Bakar
  • Utsman
  • Umar
  • Ubaidillah
  • Muhammad al-Ashghar

AgamaIslam

Bagian dari artikel tentang
Imam Syiah
Dua Belas Imam

Ali bin Abi Thalib
Hasan al-Mujtaba
Husain asy-Syahid
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja'far ash-Shadiq
Musa al-Kadzim
Ali ar-Ridha
Muhammad al-Jawad
Ali al-Hadi
Hasan al-Askari
Muhammad al-Mahdi

  • lihat
  • bicara
  • sunting

‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب) (lahir sekitar 13 Rajab 23 SH/599 Masehi – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 Masehi) adalah khalifah keempat yang berkuasa dan Imam Syiah pertama. Dia termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Nabi. Secara silsilah, Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad. Pernikahan Ali dengan Fatimah az-Zahra juga menjadikannya sebagai menantu Nabi Muhammad.

Sebagai salah satu pemeluk Islam awal, Ali telah terlibat dalam berbagai peran besar sejak masa kenabian, meski usianya terbilang muda bila dibandingkan sahabat utama Nabi yang lain. Ali mengikuti semua perang, kecuali Perang Tabuk, pengusung panji, juga berperan sebagai sekretaris dan pembawa pesan Nabi. Ali juga ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pada Perang Khaibar.

Sepeninggal Nabi Muhammad, Ali diangkat sebagai khalifah atau pemimpin umat Islam setelah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dalam sudut pandang Sunni, Ali bersama tiga pendahulunya digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin.[7] Di sisi lain, kelompok Syiah memandang bahwa Ali yang harusnya mewarisi kepemimpinan umat Islam begitu mangkatnya Nabi Muhammad atas tafsiran mereka dalam peristiwa Ghadir Khum, membuat kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya dipandang tidak sah. Masa kekuasaan Ali merupakan salah satu periode tersulit dalam sejarah Islam karena saat itulah terjadi perang saudara pertama dalam tubuh umat Muslim yang berawal dari terbunuhnya Utsman bin 'Affan, khalifah ketiga. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai status Ali dan hak kepemimpinannya atas umat Islam, Sunni dan Syiah sepakat mengenai pribadinya yang saleh dan adil.

Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib

Ahlussunnah (Sunni)

Ahlussunnah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang sahabat Nabi yang terpandang. Hubungan kekerabatan Ali dan Rasulullah sangat dekat sehingga ia merupakan seorang ahlul bait dari Nabi ﷺ. Ahlussunnah juga mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk).

Sunni menambahkan nama Ali di belakang dengan Radhiyallahu Anhu atau semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada sahabat Nabi yang lain.

Sufi

Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah atau semoga Allah memuliakan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasarkan riwayat bahwa dia tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.[butuh rujukan] Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa dia tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran, bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang dia, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dahulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari dia bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan dia sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.

Riwayat Hidup

Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Kelahiran

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad ﷺ. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.

Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad,[butuh rujukan] Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi ﷺ karena dia tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi ﷺ bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini, Ali berusia sekitar 10 tahun.[butuh rujukan]

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi ﷺ karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zahir (eksterior) atau syariah dan batin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Dia tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan Ali di Madinah

Pernikahan

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.[8]

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepaat dia menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi ﷺ bersabda:

"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan lainnya

Hampir semua peperangan dia ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.

Setelah Nabi wafat

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi ﷺ wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.

Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'), malam hari Rasulullah ﷺ bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal dengan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a. Dalam khutbahnya itu antara lain dia berkata: "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya".

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi, Ahlul Bait, dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali membai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat.

Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Sebagai khalifah

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah 'Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa dia, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, Istri Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah telanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad ﷺ ketika dia masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.

Pembunuhan di Kufah

Pada tanggal 19 Ramadan 40 Hijriyah, atau 27 Januari 661 Masehi, saat sholat di Masjid Agung Kufah, Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Dia terluka oleh pedang yang diracuni oleh Abdurrahman bin Muljam saat ia sedang bersujud ketika sholat subuh.[9] Ali memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij tersebut, Ali malah berkata bahwa jika dia selamat, Abdurrahman bin Muljam akan diampuni sedangkan jika dia meninggal, Abdurrahman bin Muljam hanya diberi satu pukulan yang sama (terlepas apakah dia akan meninggal karena pukulan itu atau tidak).[10] Ali meninggal dua hari kemudian pada tanggal 29 Januari 661 (21 Ramadan 40 Hijriyah).[9][11] Hasan bin Ali memenuhi Qisas dan memberikan hukuman yang sama kepada Abdurrahman bin Muljam atas kematian Ali.[12]

Keluarga

Orangtua dan moyang

Ayah — 'Imran (sekitar 539 – sekitar 619). Lebih dikenal dengan nama Abu Thalib. Pemimpin Bani Hasyim. Salah satu pelindung utama Nabi Muhammad di Makkah. Terdapat perbedaan pendapat, utamanya antara kalangan Sunni dan Syi'ah, mengenai status keislamannya. Menurut Sunni, Abu Thalib tidak masuk Islam sampai akhir hayatnya, sementara Syi'ah memandang bahwa Abu Thalib adalah seorang Muslim.

  • Kakek — Syaibah bin Hasyim. Lebih dikenal dengan 'Abdul Muttalib.
  • Nenek — Fatimah binti Amr dari Bani Makhzum

IbuFatimah binti Asad.

  • Kakek — Asad bin Hasyim
  • Nenek — Fatimah binti Qais

Pasangan dan keturunan

'Ali menikahi delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra.[8][13]

  • Fatimah (615–632). Putri bungsu Nabi Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid.
    • Hasan (624–670). Menjadi khalifah selama enam atau tujuh bulan pada tahun 661.
    • Husain (625–680). Menikah dengan Syahrbanu, putri Yazdegerd III, Kaisar Sasaniyah terakhir. Terbunuh dalam Pertempuran Karbala.
    • Zainab (626–681). Menikah dengan sepupunya, 'Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib.
    • Zainab As-Sughra (Zainab Kecil), juga dikenal dengan Ummu Kultsum. Menikah dengan Umar bin Khattab. Mahar untuk pernikahannya sebesar 40.000 dirham[14] dan mereka hidup sebagai suami istri pada tahun 638.[15] Tercatat Ummu Kultsum pernah memberikan hadiah parfum kepada Permaisuri Martina, istri Kaisar Romawi Timur Heraklius. Sebagai balasan, Martina menghadiahi kalung kepada Ummu Kulstum. Namun 'Umar yang percaya bahwa istrinya tak seharusnya ikut campur dalam urusan kenegaraan akhirnya menyerahkan kalung tersebut ke dalam perbendaharaan negara.[16] Dalam sudut pandang Syi'ah, pernikahan antara Ummu Kulstum dan 'Umar adalah kisah rekaan.[17]
    • Muhsin. Terlahir mati.
  • Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah. Saat masyarakat Yamamah menolak membayar zakat sepeninggal Nabi Muhammad, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka. Khaulah dan beberapa wanita lain ditawan sebagai budak dan dibawa ke Madinah. Saat sukunya mengetahui nasib Asma, mereka mendatangi 'Ali bin Abi Thalib untuk membebaskannya dari perbudakan dan melindungi martabat keluarganya. 'Ali kemudian membeli Asma dan membebaskannya, kemudian menikahinya.
    • Muhammad bin al-Hanafiyah (637–700)
  • Umamah binti Abi al-Ash bin ar-Rabi'. Ibunya adalah Zainab, putri tertua Nabi Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Abu al-Ash bin ar-Rabi' dari Bani Abdu Syams.
    • Muhammad al-Ausath
  • Fatimah binti Hizam. Juga dikenal dengan Ummul-Banin. Berasal dari Bani Kilab.
    • Al-'Abbas
    • Utsman
    • 'Abdullah
    • Ja'far
  • Laila binti Mas'ud
    • Ubaidillah
    • Abu Bakar
  • Asma' binti Umais. Secara keseluruhan, Asma menikah sebanyak tiga kali dan 'Ali adalah suami terakhirnya. Suami pertama Asma adalah saudara 'Ali sendiri, Ja'far bin Abi Thalib. Suami keduanya adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
    • Yahya
    • Aun
  • Ash-Shahba' binti Rabi'ah
    • 'Umar
    • Ruqayyah. Dikatakan mengungsi ke anak benua India dan mendakwahkan Islam di sana setelah Pertempuran Karbala.
  • Ummu Sa'id binti Urwah
    • Ummul Hasan
    • Ramlah Kubra
  • Mahabba binti Imru'ul Qais
    • seorang putri, meninggal ketika masih kecil
  • Ummu walad
    • Muhammad al-Ashghar

Banyak keturunan Ali yang tewas terbunuh dalam Pertempuran Karbala. Keturunannya yang masih ada saat ini merupakan para keturunan dari Hasan dan Husain (anak Fatimah), Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Khaulah), Abbas (anak Ummul Banin), dan Umar (anak Ash-Shahba').[8]

Keturunan Ali melalui putranya Hassan dikenal dengan Syarif, dan dari jalur Hussein dikenal dengan Sayyid. Sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah. Keturunan Ali secara kesuluruhan dari para istrinya dikenal sebutan dengan Alawiyin atau Alawiyah.

Lihat pula

  • Fatimah az-Zahra
  • Rabithah Alawiyah
  • Ahlul Bait
  • Sayyid

Referensi

  1. ^ Rahim, Husein A.; Sheriff, Ali Mohamedjaffer (1993). Guidance From Qur'an (dalam bahasa Inggris). Khoja Shia Ithna-asheri Supreme Council. Diakses tanggal 11 April 2017. 
  2. ^ Shad, Abdur Rahman. Ali Al-Murtaza. Kazi Publications; 1978 1st Edition. Mohiyuddin, Dr. Ata. Ali The Superman. Sh. Muhammad Ashraf Publishers; 1980 1st Edition. Lalljee, Yousuf N. Ali The Magnificent. Ansariyan Publications; January 1981 1st Edition.
  3. ^ Sallaabee, Ali Muhammad. Ali ibn Abi Talib (volume 2). hlm. 621. Diakses tanggal 15 December 2015. 
  4. ^ Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, (27 / 446)
  5. ^ Wafayat al-A'yan, Ibnu Khallikan, (4 / 55)
  6. ^ Tarikh Baghdad, Al-Khathib al-Baghdadi, (1 / 136)
  7. ^ Biographies of the Prophet's companions and their successors, Ṭabarī, translated by Ella Landau-Tasseron, pp.37-40, Vol:XXXIX
  8. ^ a b c Sayyid Sulaiman Nadwi (2015). Ali bin Abi Thalib. Puspa Swara. hlm. 62. ISBN 978-979-1479-87-5. 
  9. ^ a b Tabatabaei 1979, hlm. 192
  10. ^ Kelsay 1993, hlm. 92
  11. ^ Kesalahan pengutipan: Tag tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Iranica
  12. ^ Kesalahan pengutipan: Tag tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Madelung 1997 p=309
  13. ^ The Life of Hadrat Ali
  14. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Smith, G. R. (1994). Volume 14: The Conquest of Iran, hlm. 101. Albany: State University of New York Press.
  15. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Juynboll, G. H. A. (1989). Volume 13: The Conquest of Iraq, Southwestern Persia, and Egypt, hlm. 109-110. Albany: State University of New York Press.
  16. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Humphreys, R. S. (1990). Volume 15: The Crisis of the Early Caliphate, hlm. 28. Albany: State University of New York Press
  17. ^ Umar's Marriage to Umm Kulthum in Shiite Narrations. (n.d) Retrieved from https://www.al-islam.org/critical-assessment-umm-kulthums-marriage-umar-sayyid-ali-al-husayni-al-milani/section-4-umars.

Pranala luar

  • (Inggris) Ali bin Abi Talib oleh I. K. Poonawala dan E. Kohlberg dalam Encyclopedia Iranica
  • (Inggris) Ali, artikel pada Enyclopaedia Britannica Online
  • (Inggris) Biography from USC's MSA website Diarsipkan 2008-12-16 di Wayback Machine.
  • (Inggris) The Life of the Commander of the Faithful Ali b. Abu Talib by Shaykh Mufid in Kitab al-Irshad

Ali bin Abi Thalib

Bani Hasyim

Cabang kadet Quraisy

Lahir: 15 September 601 Wafat: 29 Januari 661
Jabatan Islam Sunni
Didahului oleh:
'Utsman bin 'Affan
Khalifah
20 Juni 656 – 29 Januari 661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali
Jabatan Islam Syi'ah
Jabatan baru Imam
632–661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ali_bin_Abi_Thalib&oldid=22032557"