Sikap bertoleransi yang baik diantara orang yang berbeda keyakinan yaitu

Oleh

Musyarrafah Sulaiman Kurdi*

“Toleransi” antar penganut agama dan “tenggang rasa” merupakan nilai luhur budaya Indonesia yang diajarkan dari generasi ke generasi. Ini tidak mengherankan karena adanya faktor kemajemukan yang menjadi khazanah tersendiri di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan ISEAS mencatat bahwa setidaknya terdapat 1331 suku yang ada di Indonesia, dan ini menjadi catatan bahwa setiap suku dipastikan juga memiliki ritual beribadah tersendiri, baik dalam kerangka agama maupun dalam bentuk kepercayaan. Karena itu beriman dan memeluk agama telah lama menjadi falsafah berkehidupan masyarakat Indonesia. Orang yang tidak memiliki nilai toleransi dipastikan karena memiliki pandangan sempit, negatif yang rigid dan membanggakan ketidaktahuannya tersebut. “Musuh kita bukanlah orang Yahudi atau Kristen, musuh kita adalah ketidaktahuan kita sendiri.” – Ali Ibn Abu-Thalib.  Telah menjadi rahasia umum bahwa menghargai orang yang yang memiliki keyakinan yang berbeda merupakan darah daging orang Indonesia .

Hanya ada 6 agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia, yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Namun, sejak November 2017 izin untuk mencantumkan kepercayaan yang dianut dalam e-KTP telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 dan ditindaklanjuti dengan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil. Setidaknya ada sekitar 187 kepercayaan di Indonesia, di antaranya Kejawen, Kaharingan, Marapu, Parmalim, Sunda Wiwitan, Buhun, dan Aluk Todolo. Oleh karenanya tidak heran jika toleransi dijadikan tali pengikat persatuan Indonesia. Toleransi diperlukan di semua bidang kehidupan, karena perannya yang penting untuk membangun perdamaian dan cinta dalam berbagai kelompok heterogen, dari unit terkecil masyarakat –seperti sebuah keluarga– hingga unit terbesar –sebuah negara.

Kata toleransi sendiri berasal dari etimologi Bahasa Prancis kuno yang ditarik dari bahasa Latin “tolerantia”, yang berasal dari kata “tolerare”, yang artinya sikap atau sifat menghargai pendirian, baik berupa pandangan, pendapat, kebiasaan, maupun kepercayaan, orang lain yang bertentangan atau berbeda dengan miliknya. Toleransi beragama menunjukkan sikap seseorang yang mengenali dan menghormati kepercayaan orang lain. Menghormati kepercayaan dan pandangan praktik keagamaan yang dilakukan oleh orang lain yang berbeda dari apa yang dilakukannya. Orang yang memiliki sikap toleran memiliki ciri terbebas dari bias, prasangka terhadap orang lain (prejudice), fundamentalisme dan fanatisme rigit. Bahkan, bibit nilai toleransi terhadap penganut agama lain ini tertuang dalam Q.S Al-Baqarah ayat 256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”

Ayat ini merupakan simbol bahwa ajaran Islam sangat menghargai berbagai kepercayaan lainnya. Sebagiaman yang telah diriwayatkan oleh Abu daud, An-Nasai dan Ibnu Hibban bersumber dari Ibnu Abbas diketahui bahwa ayat ini pada muasalnya turun berkenaan dengan kisah Seorang perempuan yang sulit mempunyai anak dan ia berjanji kepada dirinya bahwa jika putranya lahir ia akan menjadikannya Yahudi. Ketika suku Bani Nadhir diusir dan di antara mereka terdapat anak dari kaum Anshar, maka merkea mengatakan bahwa mereka tidak akan mendakwahi anak-anaknya. Ayat ini diturunkan Allah untuk menegur mereka bahwa tiak ada paksaan dalam ajaran Islam. Riwayat Ibnu jarir yang ebsumber dari Sa’id dan bersumber dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa ayat AL-Baqarah 256 ini berkenaan dengan al-Hushaen yang berasal dari golongan Anshar, dari suku Bani Salim bin ‘Auf memiliki dua orang anak yang beragama Nasrani, sedangkan ia beragama Islam. Ia bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, bolehkah aku memaksa kedua anak ini, karena mereka tetap ingin bergaam Nasrani dan tidak taat kepadaku?” pertanyaan inidijawab melalui turunnya ayat tersebut yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam ajaran Islam. Artinya bibit toleransi beragama sudah tumbuh dalam kalangan Muslim. Bahkan dalam sebuah hadist diceriatakan bahwa rasulullah dan para sahabat sangat sering berinteraksi dengan berbagai kalangan umat yang kepercayaannya beragam. Dari sini dapat ditarik bahwa sikap toleransi merupakan suatu nilai luhur yang dapat diimpelementasikan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia.  Sikap toleransi beragama yang tinggi dalam diri individu tidak muncul secara tiba-tiba, ia lahir karena didikan dan bimbingan keluarga yang melihat segala sesuatu secara komprehensif.

Keluarga sebagai pondasi pendidikan bertugas menanamkan bibit nilai toleransi kepada anak sejak dini, sehingga ketika tumbuh dewasa, ia kelak menjadi pribadi yang memiliki keimanan yang kuat, pikiran terbuka, sikap positif, sikap saling menghargai dan memiliki kemampuan untuk memahami orang yang berbeda keyakinan ataupun pemahaman keagamaan yang berbeda dengan apa yang dimilikinya. Orang yang memiliki nilai toleransi yang tinggi tidak akan mudah terpancing untuk menghakimi orang lain atas nama agama. Ia tidak menganut paham aliran yang ekstrim kanan, atau ekstrim kiri, bahkan tidak berfkir sempit rigit maupun negatif. Oleh karenanya penting bagi keluarga untuk menumbuhkembangkan nilai ini dalam lingkungannya.

Keluarga berperan besar dalam membentuk nilai moral anak-anak.  Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jurgen Nautz, Paul Ginsborg, dan Ton Nijhuis dalam karyanya The Golden Chain: Family, Civil Society and the State bahwa keluarga berpotensi menjadi sumber energi penting untuk aktivitas social masyarakat dan keluarga merupakan lembaga utama yang mensosialisasikan dan menyebarkan nilai dan norma yang sangat penting bagi masyarakat sipil. Karenanya tugas penting keluarga adalah menanamkan bibit toleransi kepada anak-anaknya. Setidaknya terdapat empat cara sederhana yang dapat dilakukan orangtua untuk menanamkan nilai toleransi dalam keluarga, yang akan berdampak besar dalam kehidupan toleransi di masyarakat.  Pertama, menjadi tauladan; anak-anak cenderung memiliki keingintahuan yang cukup besar ketika melihat berbagai hal yang dapat diamatinya yang berada di sekitarnya. Contohnya ketika anak ikut ke arisan, pasar tradisional atau bahkan ketika berada di taman bemain, secara tiba-tiba anak akan kaget dan terpicu untuk mengajukan pertanyaan yang tidak diduga ketika mereka melihat ada anak-anak lain yang memiliki badang jangkung, cara berpakaian berbeda, berkulit lebih gelap atau pun ada anak yang memiliki rambut keriting.  Memberikan contoh dalam keseharian bahwa kita bisa bersahabat dan ramah dengan orang lain tanpa melihat perbedaan penampilan yang ada merupakan cara ampuh menanamkan nilai toleransi. Orangtua menyapa, bersilaturahmi, dan membantu orang lain -dengan didampingi anak-anak- dapat menjadi pengalaman berharga bagi mereka. Anak-anak imitator ulung, kegiatan sederhana seperti ini akan direkamnya hingga dia tumbuh dewasa, berinteraksi dengan sopan tanpa melihat perbedaan. Anak-anak akan menghargai orang lain berdasarkan pengalamannya ketika mengamati orangtuanya berdiskusi, berinteraksi dan menghargai oranglain. Orangtua yang memberikan contoh toleransi dalam kesehariannya menjadi pesan kuat bagi anak-anak; anak-anak akan tumbuh belajar menghargai kemajemukan. Ketauladanan ini merupakan  pemantik “kesadaran” untuk kemampuan hidup bersama secara legitimatif dalam keberagaman pemikiran, visi kehidupan, dan tingkah laku yang dalam sisi tertentu terkadang incompatible antara satu dengan yang lain.

Kedua, berhati-hati dalam berbicara, baik secara langsung maupun di media sosial. Anak-anak merupakan pendengar aktif, sehingga sangat mudah menerima informasi. Sayangnya mereka belum memiliki kemampuan yang kuat untuk menyaring informasi yang didengarnya. Orangtua lebih baik tidak menjadikan topik perbedaan dan streotype sebagai bahan untuk lelocon, seperti menyebutkan cirikhas pribadi individu berdasarkan suku, daerah, meledek logat bahasa, warna kulit, postur tubuh, ataupun praktik keagamaan. Bahkan meskipun hanya sekedar memberi komentar untuk diri sendiri, seperti hidungku terlalu pesek atau mataku terlalu sipit. Streotype muncul dari kegiatan dan percakapan dengan topik seperti ini. Anak-anak tidak perlu ditulari dengan nilai-nilai yang dapat membatasi dirinya dengan oranglain karena adanya pernyataan yang merendahkan perbedaan. Meskipun hanya sekedar lelucon yang mungkin terdengar sangat menyenangkan karena mengundang gelak tawa dan terlihat tidak membahayakam kemajemukan, namun pada dasarnya sikap ini mengurangi rasa hormat dan merusak nilai toleransi itu sendiri. Kehati-hatian dalam memilih diksi dan tutur kata merupakan bagian adab atau tata pergaulan dalam konsep agama Islam. jika sudah terbiasa, maka bibit toleransi yang muncul adalah dalam kerangka sikap mengakui keberadaan perspektif lain, hak agama lain, suku lain, terlibat aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan dalam rangka mencapai kerukunan dan “unity in diversity” ataupun “Bhineka tunggal ika”.

Ketiga, membangun kepercayaan diri anak. Anak akan lebih mudah menghargai perbedaan dan mampu melihat nilai yang ada pada diri setiap orang secara hakikat.  Dia menyadari bahwa setiap orang memiliki keunikan masing-masing. Anak yang memiliki kepercayaan diri akan dengan cepat beradaptasi di lingkungan yang beragam. Keterbukaan dan rasa hormat pada orang lain secara otomatis akan dapat dikembangkannya. Oleh karenanya, jangan biarkan kalimat-kalimat kurang positif digunakan untuk dilontarkan pada masa perkembangan anak dan menilai karya anak. Ekspresi penyakit rendah diri (inferior complex) membuat anak kurang mampu membaca paradigma kehidupan secara inward dan outward looking dan hanya melihat dunia hanya hitam dan putih. Oleh karena itu, ketika anak memiliki kepercayan diri, pribadinya akan mampu secara perlahan membangun interaksi kesalingan terhadap orang lain, yakni saling memahami (mutual understanding), saling menghargai (mutual respect) dan saling percaya (mutual trust). Kesalingan ini dibangun dari konsep diri yang positif, jauh dari sikap pesimis, apatis dan apriori.

Keempat, mengajak anak-anak secara praksis untuk menikmati pengalaman berbeda di populasi baru. Orangtua dapat mengajak anak mendiskusikan tradisi budaya orang lain untuk menghargai adanya kemajemukan. Kegiatan ini dapat membantu memperluas pandangan dunia anak, adaptif dan membantu mereka memahami orang-orang yang berbeda. Bahkan menjelajahi hari libur di tempat-tempat baru ataupun melaksanakan beragam aktivitas yang mampu menambahkan pengalaman untuk anak dapat menumbuhkan bibit toleransi. Kegiatan sederhana seperti mengikuti perkemahan, merayakan tradisi keluarga, bahkan sekedar mengantarkan anak ke penitipan anak di mana mereka dapat bergaul dalam berbagai kelompok anak-anak, merupakan langkah sederhana memperkenalkan toleransi. Di sekolah dasar, di kelompok bermain ataupun di TK biasanya memberikan fasilitas untuk belajar  dan bermain untuk anak yang memudahkan mereka untuk saling berinteraksi. Di sekolah mereka belajar menerima nilai diri anak-anak lainnya, dan  sedang tumbuh kembang ataupun anak yang memiliki kebutuhan khusus.  Solidaritas yang tinggi merupakan manifestasi dari kemampuan membaca banyak pengalaman dan sudut pandang.

“Saya selalu percaya–dan ini lebih merupakan sesuatu yang mistis–bahwa hari esok akan lebih baik dari hari sekarang.” ― Pramoedya Ananta Toer. Dengan penanaman bibit toleransi dimulai dari dalam rumah, dapat dipastikan akan terbangun masyarakat yang mencintai keharmonisan dalam kemajemukan. Nilai toleransi akan tetap subur di Indonesia, bibit yang terus ditanam akan selalu berbuah sepanjang masa.

*Penulis adalah dosen di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Univerisitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin. Menekuni kajian Pendidikan Karakter, Intergenerational Value Transmission in Family and Cultural Context, Filsafat dan Teori Pendidikan, Spiritualitas dan Agama, PGMI, dan Metodologi Penelitian Pendidikan Dasar. Dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected].