Tradisi kapak perimbas yang dibuat oleh manusia prasejarah pada zaman

Tradisi Kapak genggam atau Kapak Perimbas di Indonesia - Tradisi kapak genggam atau kapak perimbas di Kepulauan Nusantara memiliki persebaran yang luas dan secara khusus berkembang di tempat-tempat yang banyak bahan batuan yang sesuai untuk pembuatan perkakas-perkakas batu. Di bawah ini akan dijelaskan tentang tradisi kapak perimbas di Indonesia.


Tempat Ditemukannya Kapak Perimbas di Indonesia

Penelitian terhadap tradisi Paleolitikum di Indonesia dimulai pada tahun 1935 oleh von Koenigswald yang menemukan alat-alat batu di daerah Punung, Pacitan di dasar kali Baksoko. Alat-alat tersebut bercorak kasar dan sederhana teknik pembuatannya. Oleh von Koenigswald alat-alat batu ini digolongkan sebagai alat paleolitikum yang bercorak Chellean. Sedangkan menurut Movius, alat-alat ini dikategorikan sebagai kapak perimbas. Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung ini kemudian terkenal dengan nama Kebudayaan Pacitan dan dipandang sebagai tingkat perkembangan budaya batu yang terawal di Kepulauan Nusantara.


Pada waktu yang hampir bersamaan, telah pula dilakukan penemuan-penemuan di Jampang Kulon [Sukabumi] oleh D. Erdbrink serta di Gombong, Parigi dan Tambangsawah [Bengkulu] oleh J. H. Houbolt. Alat-alat batu ini pun menunjukkan ciri-ciri tradisi kapak perimbas.

Perhatian terhadap kapak-kapak batu paleolitik di Kepulauan Nusantara mulai meluas setelah Perang Dunia II, dan penemuan-penemuan baru terjadi di Sumatra Selatan [Lahat], Lampung [Kalianda], Kalimantan Selatan [Awangbangkal], Sulawesi Selatan [Cabbenge], Bali [Sembiran, Trunyan], Sumbawa [Batutring], Flores [Wangka, Maumere, Ruteng], dan Timor [Atambua, Kefanmanu, Noelbaki]. Daerah Punung terkaya akan kapak perimbas dan hingga sekarang merupakan tepat penemuan terpenting di Kepulauan Nusantara.

Mengenai penemuan-penemuan di Pulau Jawa dapat diketahui dari situs Kali Baksoko, Punung, Pacitan. Di mana alat-alat tersebut bertepatan dengan penemuan fosil-fosil dari tulang-tulang hewan yang tergolong ke dalam Fauna Trinil. Selain situs Kali Baksoko, alat-alat ini juga ditemukan di Kali Gede dan Kali Sunglon dimana terdapat empat undak sungai yang mengandung alat-alat Pacitanan. 

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Movius, jenis-jenis kapak batu ini pada umumnya berbentuk besar, masif, dan kasar buatannya. Kulit batunya masih melekat pada permukaan alat-alat, khususnya pada bagian-bagian untuk tempat berpegang dan tajaman berliku-liku atau bergerigi. Kerak batu terutama berwarna kecoklatan. Warna kelabu tua khusus tampak pada jens batuan tufa kersikan, sedangkan patina pada jenis gamping kersikan memperlihatkan warna cokelat dalam berbagai tingkatan dan warna keputih-putihan.

Fosil kayu, yang digunakan sebagai bahan alat-alat batu, memperlihatkan patina yang berwarna cokelat. Alat-alat yang masif ini dipersiapkan dari kerakal dan pecahan-pecahan atau serpih-serpih besar yang diperoleh melalui teknik pembenturan. Sebagian besar alat-alat tersebut dipersiapkan dari serpih-serpih besar, yang menunjukkan sifat khas Kebudayaan Pacitan. Alat serpih yang meliputi ukuran besar dan kecil, ditemukan dalam jumlah banyak. 

Pada umumnya alat-alat ini memperlihatkan ciri-ciri Clacton, tetapi ada pula sebagian kecil alat serpih, yang memiliki sifat yang mendekati ciri-ciri Levallois, yaitu suatu teknik penyiapan alat serpih di Eropa yang menghasilkan faset-faset pada dataran pukulnya. Sebagian besar alat serpih, demikian pula alat bilah dipangkas dengan rapi sebelum dilepaskan dari batu intinya. Ini terbukti dari bekas-bekas pemangkasan yang teliti pada permukaan atas alat-alat tersebut.

Selain ketiga situs penemuan alat-alat tersebut, pada tahun 1953 juga ditemukan di desa Tabuhan yang dikategorikan sebagai bagian alat-alat kebudayaan Pacitan. Penelitian yang secara intensif dilakukan di daerah Punung sejak 1972  dan 1973 menghasilkan bahwa jenis alat kapak perimbas atau kapak genggam adalah alat yang paling banyak ditemukan di Pacitan yang merupakan unsur pokok budaya Paleolitik di Asia Tenggara dan Asia Timur. 

Pada umumnya, kapak genggam ini adalah alat yang dipahat secara kasar memanjang, yaitu suatu teknik yang umum pada budaya kapak perimbas, tetapi ada juga beberapa buah yang diserpih dengan teliti dan dibentuk teratur [lonjong, bundar]. Kelompok-kelompok lain di lingkungan kapak perimbas Asia Tenggara dan Asia Timur yang menghasilkan kapak-kapak genggam sederhana ialah Budaya Soan dan Budaya Tampan.

Kebudayaan Pacitan pada hakikatnya meliputi dua macam tradisi alat-alat batu, yaitu tradisi batu inti, yang menghasilkan alat-alat dari pemangkasan segumpal batu atau kerakal dan tradisi serpih, yang menyiapkan alat-alat dari serpih-serpih atau pecahan-pecahan batu. 

Kebudayaan Pacitan diduga bersifat statis di dalam perkembangannya dan tidak mengalami kemajuan. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok lokal budaya kapak perimbas lain di daerah Asia Tenggara dan Asia Timur, kebudayaan Pacitan termasuk paling maju yang terbukti dari adanya kapak-kapak genggam yang bentuknya sudah maju, dan jenis-jenis kapak perimbas yang khas.

Pencipta kebudayaan Pacitan ini cenderung ditujukan kepada hominidae jenis Pithecantrophus. Hal ini dapat disesuaikan dengan pendapat tentang usia kebudayaan Pacitan yang diduga berasal dari akhir Plestosen Tengah atau permulaan Plestosen Akhir.

Penemuan kapak perimbas di daerah selain Pacitan, selanjutnya adalah di daerah Gombong yang dimulai oleh Houbolt pada tahun 1939, namun dilanjutkan kembali pada tahun 1959 oleh Dinas Kepurbakalaan Indonesia. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Houbolt, temuan yang berasal dari Kedungbrubus ini memiliki persamaan dengan alat-alat yang ditemukan di Pacitan.

Namun jika lebih mencermati bentuk kapak genggamnya, alat ini merupakan jenis kapak genggam awal. Selain penemuan di Kedungbrubus, penemuan yang memiliki alat dengan jenis tipe yang sama adalah di daerah Ngadirejo, Sambungmacan. Di dalam lapisan kerakal yang mengandung fosil tulang-tulang hewan dan atap tengkorak dari Pithecantrophus soloensis, ditemukan sebuah kapak perimbas dan semacam alat serut dari jenis batuan andesit basaltik. Alat-alat tersebut terletak pada suatu tingkat di atas temuan atap tengkorak Pithecantrophus soloensis.

Penemuan di Sumatra berdasarkan situs Sungai Mungup, Tambang sawah [Bengkulu] yang digolongkan oleh Movius sebagai jenis kapak genggam awal. Sedangkan di Bungamas [Sumatra Selatan], bahan bebatuan yang ditemukan terdiri atas batuan karang kersikan, batuan gamping kersikan, kalsedon dan fosil kayu. 

Semua alat tertutup patina dan dengan kondisi yang tampak aus. Teknik pemangkasan yang dilakukan pada kerakal-kerakal atau pecahan-pecahan batu bercorak kasar dan monogasial. Jenis-jenis alat yang ditemukan di daerah ini, diklasifikasikan sebagai berikut:


1. Serut

2. Kapak penetak
3. Pahat genggam
4. Kapak genggam
5. Serpihan besar


Pada tahun 1954, Th. Verstappen menemukan sebuah alat dari masa Paleolitik di Kalianda. Tempat penemuan terletak di daerah Kedaton, dekat Tanjung Karang. Selain itu temuan pada tahun 2002 mengenai alat Paleolitik ditemukan di daerah Situs Muara Rambang dan Sungai Ogan di mana di situs ini ditemukan alat serpih dan bilah, gurdi, serut, dan batu inti.

Penemuan di Kalimantan diawali oleh Toer Soetardjo pada tahun 1958 dengan menemukan alat paleolitik di Awangbangkal, Karangintan. Alat-alat ini dibuat dari kuarsa dan disiapkan secara monofasial dengan bentuk yang menyerupai kapak perimbas. Sedangkan penemuan di Sulawesi berawal pada tahun 1970 di daerah Cabbenge yang dipimpin oleh van Heekeren dan Soejono. 

Di daerah ini banyak ditemukan sisa-sisa fosil binatang dan alat paleolitik, serta bahan batuan kalsedon dan jaspis yang ditemukan di dalam lapisan kerakal dan pasir. Alat-alat yang terutama dibuat dari kerakal-kerakal kalsedon dan batuan gamping kersikan sebagian besar ditemukan di Marale. Hasil dari ekskavasi pada tahun 1978 di temukan di Paroto, Soppeng dengan tipe alat paleolitik jenis kapak perimbas, kapak penetak, kapak genggam, batu inti, dan berikut alat serpih.


Di Bali alat-alat Paleolitik ditemukan pertama kali oleh Soejono pada tahun 1961 di daerah Sembiran dimana banyak ditemukan alat-alat Paleolitik yang berusia sejak zaman Plestosen. Pada tahun-tahun berikutnya, penelitian dilakukan di daerah Kintamani dan Danau Batur. 

Perbedaan alat-alat yang ditemukan di Sembiran sebagian besar berasal dari batu-batu vulkanik besar yang diperkirakan memiliki kesamaan dengan metode pembuatan kapak perimbas dari Kebudayaan Pacitan.  Berikut ini adalah alat-alat yang ditemukan di Sembiran:


1. Kapak perimbas

2. Pahat genggam
3. Serut puncak
4. Batu inti
5. Batu materiil
6. Alat serpih


Kumpulan alat-alat dari Kintamani dan Trunyan meliputi jenis kapak perimbas, pahat genggam, serut puncak, dan kapak genggam. Sedangkan alat serpih tidak ditemukan di Bali.

Di Nusa Tenggara Barat tradisi kapak perimbas ditemukan di Sumbawa. Pada tahun 1978 ditemukan alat-alat Paleolitik di Sungai Pompong. Sungai ini mengalir di sebelah selatan Kampung Batutring. Alat-alat dibuat dari bahan batuan endapan dan meliputi tipe-tipe kapak genggam, kapak perimbas dan alat serpih. Di Lombok ditemukan dua situs Paleolitik, yaitu di Plambik dan Batu Kliang. Di situs ini ditemukan alat serpih, kapak perimbas, kapak genggam, batu inti, tatal batu, dan kapak genggam awal.

Di Nusa Tenggara Timur temuan alat-alat batu terdapat di hampir seluruh pulau, tetapi yang paling intensif terutama adalah di Flores, Timor, Sabu, dan Rote. Temuan alat batu terutama dari masa berburu dan meramu. Alat-alat masif terutama ditemukan di daerah-daerah Wangka [Namut Marokoak], Soa, Mengeruda, Olabula, dan Maumere.

Dibandingkan dengan alat-alat batu dari Kebudayaan Pacitan, terdapat beberapa persamaan dalam bentuk dan teknik pembuatannya, di antaranya terdapat bentuk-bentuk yang dapat digolongkan sebagai kapak perimbas, kapak penetak, pahat genggam, dan kapak genggam awal; tipe kapak genggam bifasial sementara ini hanya ditemukan satu saja. 

Bahan batuan yang dipergunakan untuk membuat alat-alat ialah andesit, basal, kuarsit, horn-blenda, dan porfir. Suatu tipe alat yang khas di Flores adalah jenis serut yang dibuat dari serpih besar dan memperlihatkan kerucut pukul pada sudut kiri atau sudut kanan atas, yaitu di bagian pegangan alatnya.

Situs selanjutnya di Nusa Tenggara Timur adalah, situs Liang Bua, Teras, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dari hasil ekskavasi di situs ini ditemukan alat batu, pecahan gerabah dan bahan batuan. 

Namun berdasarkan hasil ekskavasi tahun 1978-1995, situs Liang Bua dapat dikelompokkan menjadi empat lapisan budaya; paleolitik, epapaleolitik, neolitik, dan perundagian dengan perincian sebagai berikut;

1. Lapisan pertama berasal dari masa perundagian:

a. Rangka manusia


b. Kapak perunggu
c. Manik-manik dari bahan batu, kaca dan cangkang kerang
d. Gerabah berupa periuk, kendi, pecahan gerabah, dan buli-buli
e. Sisa fauna berupa fragmen tulang Bovidae, rusa, babi, landak, reptil, monyet, unggas, kalong, tikus, dan moluska.
f. Arang

2. Lapisan kedua berasal dari masa neolitik:

a. Pecahan gerabah


b. Batu pukul, batu pelandas, serpih-bilah, batu inti, beliung persegi, tatal batu, dan batu kali
c. Tulang hewan dan cangkang moluska
d. Arang.


3. Lapisan ketiga berasal dari masa epapaleolitik – mesolitik:
a. Pecahan gerabah

b. Alat serpih-bilah, serut, dan alat tulang
c. Tulang hewan dan cangkang moluska
d. Arang

4. Lapisan keempat berasal dari masa paleolitik:

a. Kapak perimbas, kapak penetak, pahat genggam, gurdi, tatal batu, serpih-bilah, batu kali.


b. Tulang hewan dan cangkang moluska
c. Fosil kayu
d. Arang


Pengumpulan alat-alat Paleolitik di Timor dilakukan oleh Verschuren dan dilanjutkan oleh D. A. Hooijer, Teguh Asmar dan Komar pada tahun 1970 di daerah Atambua dan Kefamenanu dengan penemuan jenis kapak perimbas dan alat serpih besar. 

Pada tahun 1978 ekskavasi yang dilakukan oleh tim Soejono dan Sartono menghasilkan data tambahan di dasar sungai di Noelbaki yang terletak 17 km di sebelah timur Kupang. Alat-alat yang ditemukan berupa kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam, kapak genggam awal, dan alat serpih. 

Teknik pemangkasan alat-alat batu secara monofasial yang berkembang pada masa Plestosen sebagai tradisi yang didukung oleh Pithecantrophus, dilanjutkan pada tingkat Pasca-Plestosen. Bentuk alat yang umum pada tingkat perkembangan lanjutan ini ialah tipe kapak genggam Sumatra yang disiapkan dari kerakal-kerakal sungai.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề