Tuliskan 2 isi pokok hadis yang menjelaskan tentang menjaga hubungan baik dengan sesama

Menjalin hubungan baik dengan sesama manusia merupakan salah satu tanda ketakwaan seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Allah bahkan menjanjikan keberkahan hidup bagi hamba-Nya yang selalu menjaga tali silaturahmi dengan sesamanya, khususnya dengan orang tua dan kerabat. Keberkahan hidup yang dilimpahkan Allah tidak hanya dalam hal rezeki, namun juga keberkahan dalam usia dan hubungan baik yang penuh kasih dengan para kerabat dan anggota keluarga. Di samping itu, tentunya masih banyak hikmah dan manfaat silaturahmi yang dapat kita petik. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut.

Silaturahmi Mampu Mendekatkan Diri Kepada Allah Swt.

Menyambung tali silaturahmi merupakan salah satu bentuk kecintaan dan ketakwaan seorang hamba. Hal tersebut dibuktikan dengan sabda Rasulullah: “Allah ‘azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar-Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga hak-Nya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus darinya.” (Hadis Riwayat Ahmad).

Dari hadis tersebut jelas bahwa Allah Swt. memerintahkan setiap hamba-Nya agar selalu menjaga keutuhan antar sesamanya. Allah juga menjanjikan pahala bagi siapa saja yang mampu menjaganya dan Dia juga tidak segan memberikan peringatan bagi mereka yang memutus keutuhan tali silaturahmi.

Silaturahmi sebagai tanda keimanan juga diungkapkan melalui sabda Rasulullah: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi.” (Hadis Riwayat Abu Hurairah)

Silaturahmi Mampu Memperluas Rezeki Seseorang

Silaturahmi mempermudah kita untuk membantu kerabat atau anggota keluarga jika suatu saat ada salah satu dari mereka yang membutuhkan bantuan. Membantu keluarga yang sedang kesulitan dapat kita anggap sebagai sedekah. Allah Swt. pun menjanjikan kemudahan dan pahala bagi siapa saja yang mampu memperpanjang tali silaturahmi dan memudahkan urusan saudaranya. Janji Allah tersebut tertuang dalam sabda r yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Siapa yang suka dilapangkan rezekinya  dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung tali silaturahmi.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Selain itu, setiap muslim yang membantu urusan keluarganya tidak hanya mendapatkan pahala sedekah, namun Allah pun akan melimpahkan pahala silaturahmi kepadanya. Bahkan, bersedekah kepada anggota keluarga lebih diutamakan dibanding bersedekah untuk fakir miskin, sebagaimana diungkapkan dalam sabda Rasulullah: “Sedekah terhadap orang miskin adalah sedekah dan terhadap keluarga sendiri mendapat dua pahala: sedekah dan silaturahmi.” (Hadis Riwayat Tirmidzi)

Silaturahmi Dapat Menjadi Kunci Masuk Surga

Allah Swt. menjanjikan pahala dan keberkahan bagi setiap hamba-Nya yang senantiasa menjaga tali silaturahmi. Janji Allah tersebut salah satunya adalah mendekatkan surga kepada hamba-Nya yang mampu menjaga silaturahmi dengan sesamanya, sebagaimana tertuang dalam hadis berikut:

“Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Balasan bagi siapa saja yang mampu menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba adalah ia didekatkan kepada surga dan dijauhkan dari panasnya api neraka.

Silaturahmi tidak hanya memberikan keberkahan dan kebahagiaan bagi pelakunya. Para kerabat dan keluarga yang dikunjungi pun tidak luput dari rasa bahagia ketika mendapati bahwa keluarganya masih peduli dan memegang teguh rasa persaudaraan. Sudah seharusnya kita sebagai seorang muslim wajib menjalankan perintah Allah untuk selalu menjaga dan memperpanjang tali silaturahmi dengan sesama. Selain dapat merasakan manfaat silaturahmi yang akan menambah amal baik dan pahala, kita juga dapat meringankan beban anggota keluarga dengan bersedekah.

contoh aktivitas manusia sebagai makhluk ekonomi yang bermoral​

contoh aktivitas manusia debagai makhluk sosial​

Mengapa Belanda membantai semua Santri ​

pada peta tertera 1:1.500.000 hal ini menunjukkan...​

sebutkan suku suku yang ada di Indonesia​

dijawab dgn cpt dan benar yaa kak jgn ngasal​

1. Tuliskan sikapmu menghargai usaha ekonomi di lingkungan sekolah berikut.A. guru___________________________________________________________B. penjua … l di kantin________________________________________________C. petugas kebersihan sekolah________________________________________2. perhatikan perilaku anak pada gambar di samping.A. apakah tindakan anak di samping menunjukkan upaya menghargai usaha orang lain? jelaskan alasanmu.B. apa saranmu untuk anak tersebut?C. bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan anak tersebut?3. Setiap kelas memiliki jadwal piket yang harus dilaksanakan oleh seluruh siswa. setiap siswa berusaha melaksanakan piket dengan baik. namun, ada beberapa siswa yang kurang bersih dalam membersihkan kelas.A. bagaimana caramu dalam menghargai hasil usaha teman yang melaksanakan piket kelas?B. menurut pendapatmu, apa yang seharusnya kamu lakukan jika ada teman yang kurang bersih dalam melaksanakan piket kelas?C. apa saran yang dapat kamu berikan kepada teman yang kurang bersih saat membersihkan kelas?TOLONG DI JAWAB DENGAN SEKSAMA YA SOAP NYA BESOK JUGA HARUS DI KUMPUL LAN CANTIIK/GANTENGGTOLONG DI PERHATIKAN JUGA ITU ADA GAMBAR MANUSIA SEDANG PIKET²​

jawab cepat yaaa kakk​

macam-macam kegiatan ekonomi yang ada di masyarakat dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu sebagai produsen, distributor dan konsumen. Contoh pekerjaa … n yang berperan sebagai distributor misalnya A petani padi B pedagang pasar C pedagang di warung D sopir pengangkut sayur ​

ini tolong bantu ya kak plis​

Persatuan dan kesatuan antar-sesama manusia tidak mungkin dapat terwujud kalau tidak ada semangat persaudaraan. Dalam konteks ke-Indonesaan persaudaraan harus dilakukan bukan hanya terhadap non-Muslim, namun juga terhadap sesama Muslim. Untuk itulah sebelum membahas tema pentingnya persaudaraan dengan non- Muslim, maka terlebih dahulu akan dibahas tentang persaudaraan sesama Muslim.

Persaudaraan antar-sesama Muslim

Di antara ayat yang secara tegas menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah bersaudara seperti dalam Surah al- Hujurat/49: 10.

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (al-Hujurat/49:10)

Curahan rahmat kepada suatu komonitas, khususnya komonitas Muslim akan diberikan oleh Allah Swt sepanjang sesama warganya memelihara persaudaraan di antara mereka. Abdullah Yusuf Ali (2006) dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan atau perwujudan per­saudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) merupakan ide sosial yang paling besar dalam Islam. Islam tidak dapat direa­lisasikan sama sekali hingga ide besar ini berhasil diwujudkan.

Ayat-ayat yang terdapat dalam Surah al-Hujurat ini secara umum berisi tentang petunjuk kepada umat islam khususnya, dan masyarakat manusia pada umumnya. Dalam ayat selanjutnya; 11 dan 12 berisi tentang kode etik umat islam, di antaranya adalah bahwa mereka tidak boleh saling melecehkan dan menghina, karena boleh jadi yang dilecehkan itu lebih baik dari yang melecehkan. Sesama orang yang beriman juga tidak boleh saling berprasangka buruk dan meng-ghibah.

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa orang-orang yang berhijrah (al-Muhajirun) serta berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kaum Ansar), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Allah Swt berfirman di dalam Surat Al-Anfal yang artinya :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. (al-Anfal/8: 72).

Kata yang secara langsung relevan dengan bahasan ini adalah auliya’, merupa­kan bentuk jamak dari kata waliyy. Kata ini pada mulanya berarti dekat kemudian dari sini lahir aneka makna seperti membela dan melindungi, membantu, mencintai, dan lain-lain. Oleh sementara mufasir seperti al-Qurtubi berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah dalam hal waris. Dengan berhijrah kaum Muslimin pada masa Nabi Saw saling mewarisi, namun lanjutnya ketentuan hukum ini dibatalkan oleh ayat 75 surah yang sama. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan sebagiannya lebih berhak terhadap sebagian yang lain di dalam kitab Allah”, dan sejak itu waris mewarisi hanya atas dasar kekerabatan dan keimanan.

Pandangan al-Qurtubi ini tidak disepa­kati oleh mufasir lain, yang menyatakan bahwa kata auliya’ dalam ayat tersebut mengandung pengertian seperti dalam arti kebahasaannya, bukan dalam arti saling mewarisi, apalagi jika diartikan saling mewarisi, maka ini mengakibatkan ayat tersebut telah batal hukumnya.

Ayat di atas secara tegas menetapkan salah satu prinsip pokok ajaran Islam, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah Rasul-Nya, telah menjadikan seseorang melepaskan diri dari segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai- nilai tauhid, walaupun bangsa, suku, keluarga dan anak istri. Kesetiaan harus tertuju sepenuhnya kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam Surat At-Taubah:

Katakanlah : “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah- rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (at-Taubah: 24)

Kaum Muhajirin dan Anshar yang ber­saudara itu kemudian disifati oleh Al- Qur’an sebagai orang yang beriman dengan sebenarnya, firman Allah:

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (al-Anfal: 74)

Salah satu alasan mengapa kaum Mus­limin harus meneguhkan tali persaudaraan adalah agar tidak terjadi fitnah dan ke­kacauan dalam masyarakat yang mereka bangun. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:

Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar, (al-Anfal: 73)

Fitnah atau kekacauan dan juga ke­rusakan yang dimaksud dalam ayat tersebut dapat dijelaskan dengan melihat latar belakang historis masyarakat pada saat ayat tersebut diturunkan. Kaum musyrik Mekah pada waktu itu sangat kejam terhadap kaum Muslimin, di sisi lain sebagian yang memeluk Islam masih memiliki keluarga dekat yang menentang ajaran Islam. Ada juga yang kendati berbeda agama tetapi masih terjalin antar-mereka persahabatan yang kental. Itu semua dapat melahirkan bahaya terhadap akidah kaum Muslimin, lebih-lebih mereka yang belum mantap imannya. Pergaulan dapat mempengaruhi mereka, akhlak buruk kaum musyrik dapat juga mengotori jiwa dan perilaku kaum Muslimin, belum lagi jika perasaan kasih sayang dan persahabatan itu mengantar kepada kemusyrikan atau kekufuran, atau mengakibatkan bocornya rahasia kaum Muslimin. Sedangkan bagi yang tidak menjalin persahabatan dengan kaum musyrik dapat melahirkan bahaya lain yaitu ancaman dan penyiksaan akibat keberadaan di tangan musuh dan ini bagi yang tidak kuat mentalnya dapat merupakan sebab kemurtadan. Karena itu, ayat di atas mengecam mereka yang tidak berhijrah apalagi kaum Muslimin yang telah berhijrah sangat mendambakan dukungan saudara-saudara seiman menghadapi aneka tantangan kaum musyrik serta orang-orang Yahudi dan munafik.

Untuk itulah Allah Swt memerintahkan kaum Muslimin untuk meneguhkan persatuan dan menghindari perpecahan, Surah Ali ‘Imran: 103.

Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan j anganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia- Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali ‘Imran: 103)

Pesan utama ayat ini ditujukan kepada kaum Muslimin secara kolektif atau dalam konteks bermasyarakat, hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata jama’ yang mengandung arti semua, dan firman-Nya “wa la tafarraqu”, janganlah bercerai-berai. Sehingga secara umum maksud ayat ini adalah upaya sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin di antara kamu semua tanpa kecuali. Apabila ada yang lupa, ingatkan, kalau ada yang tergelincir, bantu ia bangkit agar semua dapat bergantung kepada tali (agama) Allah. Kalau ada yang lengah atau anggota masyarakat yang menyimpang, maka keseimbangan akan kacau dan disiplin akan rusak, karena seluruh anggota masyarakat harus bersatu padu jangan bercerai cerai.

Oleh karena itulah dibutuhkan sikap saling membantu dan saling menolong khususnya di antara sesama Muslim, dalam konteks ini Al-Qur’an menegaskan dalam Surah al- Ma’idah: 2.

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerja­kan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (al-Ma’idah: 2)

Tolong menolong dalam persaudaraan harus menjadi sifat seorang mukmin dalam hidup bermasyarakat juga diisyaratkan dalam Surah at-Taubah: 71.

Frasa yang secara langsung mengisyarat­kan bahwa sesama orang beriman tolong menolong adalah ba‘dhuhum auliya’u ba‘din, ini berbeda dengan redaksi yang digunakan ayat 67 surat yang sama, ketika mensifati orang munafik yang menggunakan redaksi ba‘dhuhum min ba‘din (sebagian mereka dari sebagian yang lain). Perbedaan ini menurut al-Biqai (2010) sebagaimana dikutip M.Quraish Shihab, untuk mengisyaratkan bahwa kaum mukminin tidak saling menyempurnakan dalam keimanannya, karena setiap orang di antara mereka telah mantap imannya, atas dalil-dalil pasti yang kuat, bukan berdasar taklid.

Pendapat yang sedikit berbeda disampai­kan oleh Sayyid Qutub yang menyatakan bahwa walaupun tabiat sifat munafik sama dan sumber ucapan dan perbuatan itu sama, yaitu ketiadaan iman, kebejatan moral dan lain-lain, tetapi persamaan itu tidak mencapai tingkat yang menjadikan mereka auliya’. Untuk mencapai tingkat auliya dibutuhkan keberanian, tolong menolong serta biaya dan tanggung jawab. Tabiat kemunafikan bertentangan dengan itu semua, walau antar-sesama munafik. Mereka adalah individu-individu bukannya satu kelompok yang solid, walau terlihat mereka mempunyai persamaan dalam sifat, akhlak dan perilaku. Dalam kaitan inilah Rasulullah Saw bersabda:

Dari Abu Musa dari Rasulullah Saw bersabda, ’’Orang mukmin bagi orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan se- bagiannya memperkokoh (menolong) sebagian yang lain. (Riwayat al-Bukhari)

Oleh karena itu, apabila ada di antara sesama mukmin yang berselisih maka anggota masyarakat lainnya harus berusaha untuk mendamaikan mereka. Hal ini secara tegas dijelaskan Al-Qur’an dalam Surah al- Hujurat: 9.

Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara kedua­nya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil ( al-Hujurat: 9)

Ayat ini memerintahkan komunitas mukmin agar menciptakan perdamaian di lingkungan intern masyarakat mereka. Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, orang-orang mukmin diperintahkan agar menghentikan mereka dari peperangan, dengan nasihat atau dengan ancaman dan/atau dengan sanksi hukum. Dengan kata lain, orang-orang mukmin yang lain mendamaikan kedua golongan mukmin yang berperang itu dengan mengajak kepada hukum Allah dan meridai dengan apa yang terdapat di dalamnya, baik yang berkaitan dengan hak-hak maupun kewajiban-kewajiban keduanya secara adil. Tetapi jika salah satu kelompok enggan menerima perdamaian menurut hukum Islam dan melanggar dengan apa yang telah ditetapkan Allah tentang keadilan bagi makhluk-Nya, maka kelompok itu boleh diperangi sehingga tunduk dan patuh kepada hukum Allah, dan kembali kepada perintah Allah yaitu perdamaian. Jika kelompok itu kembali kepada hukum dan perintah Allah, maka orang-orang mukmin harus mendamaikan kedua kelompok itu dengan jujur, adil, dan menghilangkan trauma peperangan agar permusuhan di antara keduanya tidak menimbulkan peperangan lagi di waktu yang lain. Oleh karena itu perlu diberikan catatan khususnya kepada orang-orang mukmin yang bertindak sebagai juru damai harus berlaku adil dan jujur terhadap kedua kelompok yang bertikai tersebut.

Persaudaraan dengan non-Muslim

Persaudaraan yang diperintahkan Al-Qur’an tidak hanya tertuju kepada sesama Muslim, namun juga kepada sesama warga masyarakat termasuk yang non-Muslim. Salah satu alasan yang dijelaskan Al-Qur’an adalah bahwa manusia itu satu sama lain bersaudara karena mereka berasal dari sumber yang satu, Surah al-Hujurat: 13 menegaskan hal ini:

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah mencipta- kan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu ber­bangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti (al-Hujurat:13)

Persamaan seluruh umat manusia ini juga ditegaskan oleh Allah dalam Surah an- Nisa’: 1.

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasang­annya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari kedua­nya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluarga­an. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (an-Nisa’: 1)

Kedua ayat di atas adalah ayat-ayat yang turun setelah Nabi hijrah ke Medinah (Madaniyat), yang salah satu cirinya adalah biasanya didahului dengan panggilan ya ayyuhallazina amanu (ditujukan kepada orang-orang yang beriman), namun demi persaudaraan persatuan dan kesatuan, ayat ini mengajak kepada semua manusia yang beriman dan yang tidak beriman ya ayyuhan-nas (wahai seluruh manusia) untuk saling membantu dan saling menyayangi, karena manusia berasal dari satu keturunan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, serta saling menghormati hak-hak asasi manusia.

Ayat tersebut memerintahkan bertakwa kepada rabbakum tidak menggunakan kata Allah, untuk lebih mendorong semua manusia berbuat baik, karena Tuhan yang memerintahkan ini adalah rab, yakni yang memelihara dan membimbing, serta agar setiap manusia menghindari sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Tuhan yang mereka percayai sebagai pemelihara dan yang selalu menginginkan kedamaian dan kesejahteraan bagi semua makhluk. Di sisi lain, pemilihan kata itu membuktikan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan yang tidak boleh putus. Hubung­an antara manusia dengan-Nya itu, sekali­gus menuntut agar setiap orang senan­tiasa memelihara hubungan antara manusia dengan sesamanya. Dalam kaitan inilah Sayyid Qutub menyatakan bahwa sesungguhnya berbagai fitrah yang seder­hana ini merupakan hakikat yang sangat besar, sangat mendalam, dan sangat berat. Sekiranya manusia mengarahkan pen­dengaran dan hati mereka kepadanya niscaya telah cukup untuk mengadakan berbagai perubahan besar di dalam ke­hidupan mereka dan mentransformasikan mereka dari beraneka ragam kebodohan kepada iman, kepemimpinan dan petunjuk, kepada peradaban yang sejati dan layak bagi manusia.

Nabi Muhammad Saw juga menegaskan hal ini dalam beberapa hadisnya, di antaranya adalah:

Abu Nadrah meriwayatkan dari seseorang yang mendengar khutbah Nabi Saw pada hari Tasyriq, di mana Nabi saw bersabda, ‘Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. Ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang hitam, kecuali karena taqwanya apakah aku telah menyampaikan? Mereka menjawab: “Rasulullah Saw telah menyampaikan. (Riwayat Ahmad)

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt tidak memandang kepada bentuk rupa kamu dan harta benda kamu, akan tetapi Dia hanya memandang kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu. (Riwayat Muslim dan Ibnu Majah)

Dari Khuzaifah berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Semua kamu adalah keturunan Adam dan Adam berasal dari tanah... ”

Beberapa ayat yang menegaskan hal ini antara lain Surah al-A‘raf : 189 dan Surah az-Zumar : 6 menyatakan bahwa seluruh umat manusia dijadikan dari diri yang satu. Sedangkan dalam Surah Fatir : 11, Gafir: 67; al-Mu’minun : 12-14 diterangkan asal-usul kejadian manusia, yaitu dari tanah kemudian dari setetes air mani dan proses-proses selanjutnya.

Ayat-ayat dan juga beberapa hadits di atas menjelaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, manusia tidak ada perbedaan. Mereka semuanya sama, dari asal kejadian yang sama yaitu tanah, dari diri yang satu yakni Adam yang diciptakan dari tanah dan dari padanya diciptakan istrinya.

Oleh karenanya, tidak ada kelebihan seorang individu dari individu yang lain, satu golongan atas golongan yang lain, suatu ras atas ras yang lain, warna kulit atas warna kulit yang lain, seorang tuan atas pembantunya, dan pemerintah atas rakyatnya. Atas dasar asal-usul kejadian manusia seluruhnya adalah sama, maka tidak layak seseorang atau satu golongan membanggakan diri terhadap yang lain atau menghinanya.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa misi utama Al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat adalah untuk menegakkan prinsip persaudaraan dan mengikis habis segala bentuk fanatisme golongan maupun kelompok. Dengan persaudaraan tersebut sesama anggota masyarakat dapat melakukan kerja sama sekalipun di antara warganya terdapat perbedaan prinsip yaitu perbedaan akidah. Perbedaan-perbedaan yang ada bukan dimaksudkan untuk menunjukkan superioritas masing-masing terhadap yang lain, melainkan untuk saling mengenal dan menegakkan prinsip persatuan, persaudaraan, persamaan dan kebebasan. (AH)