Yang merupakan tari tunggal berasal dari jawa tengah adalah


TARI GAMBYONG

Tari Gambyong merupakan tarian tradisional khas Jawa Tengah yang telah ada sejak dulu. Konon, Tari Gambyong tercipta dari nama Gambyong, seorang penari yang hidup pada zaman Kesunanan Surakarta berada di bawah pemerintahan Sinuhun Paku Buwono keenam sekitar tahun 1800-an. Di Surakarta, Gambyong dikenal sebagai sosok wanita yang cantik jelita.

Begitu cantiknya paras Gambyong, nama sang penari itu terkenal hingga ke lingkungan Kesunanan Surakarta. Atas permintaan Sinuhun Paku Buwono keenam, Gambyong ketika itu pernah mengadakan pertunjukan di lingkungan Kesunanan Surakarta. Sejak saat itulah, tarian yang dimainkan oleh Gambyong itu dikenal dengan nama Tari Gambyong. Awalnya, Tari Gambyong hanya dimainkan di lingkungan Kesunanan Surakarta sebagai pertunjukan hiburan bagi Sinuhun Paku Buwono keenam dan tari penyambutan ketika ada tamu kehormatan berkunjung ke Kesunanan Surakarta.

Namun seiring dengan perkembangan jaman, tarian ini juga dimainkan sebagai hiburan pertunjukan bagi masyarakat luas. Biasanya, tari Gambyong dimainkan ketika warga Jawa Tengah menyelenggarakan pesta pernikahan adat. Sebagai promosi budaya Jawa Tengah, Gambyong juga seringkali dimainkan di beberapa daerah selain Surakarta, seperti di Jakarta dan lain-lain. 

Seperangkat gamelan Jawa yang terdiri dari gong, gambang, kendang, serta kenong menjadi musik pengiring pertunjukan Tari Gambyong. Dari sekian banyak alat musik, yang dianggap sebagai otot tarian Gambyong yakni Kendang. Karena selama pertunjukan berlangsung, Kendang itu yang menuntun penari Gambyong untuk menari mengikuti lantunan tembang atau lagu berbahasa Jawa.

Gerakan para penari wanita yang lemah gemulai menjadi ciri khas dari Tari Gambyong yang konon, gemulai gerak dari tarian itu menunjukkan sikap dan watak para wanita Jawa Tengah yang identik dengan lemah gemulai. Kesan tersendiri juga dapat anda temukan ketika penari Gambyong menampilkan perpaduan gerak tangan dan kaki sambil memainkan sehelai kain selendang yang dikalungkan di leher.

Gambaran kelembutan sikap dan watak wanita Jawa Tengah tidak hanya terlihat dari gerak tariannya, melainkan juga dari tata rias penarinya. Selama pertunjukan berlangsung, penari Gambyong mengenakan pakaian khas penari wanita Jawa Tengah yakni kain kemben dengan bagian bahu terbuka sebagai atasan dan kain panjang bermotif batik sebagai bawahan. Dalam pertunjukan Gambyong, penampilan penari Gambyong juga dinilai memiliki peran penting. Konon, semakin cantik paras penarinya, keistimewaan dari pertunjukan Gambyong dapat diperoleh.


TARI SERIMPI

Kebudayaan tari yang sudah banyak dipentaskan ini memiliki gerak gemulai yang menggambarkan kesopanan, kehalusan budi, serta kelemah lembutan yang ditunjukkan dari gerakan yang pelan serta anggun dengan diiringi suara musik gamelan.[4][5] Tari serimpi Jawa ini dinilai mempunyai kemiripan dengan tari Pakarena dari Makasar, yakni dilihat dari segi kelembutan gerak para penari.[6]

Sejak dari zaman kuno, tari Serimpi sudah memiliki kedudukan yang istimewa di keraton-keraton Jawa dan tidak dapat disamakan dengan tari pentas yang lain karena sifatnya yang sakral.[7] Dulu tari ini hanya boleh dipentaskan oleh orang-orang yang dipilih keraton. Serimpi memiliki tingkat kesakralan yang sama dengan pusaka atau benda-benda yang melambang kekuasaan raja yang berasal dari zaman Jawa Hindu, meskipun sifatnya tidak sesakral tari Bedhaya.

Dalam pagelaran, tari serimpi tidak selalu memerlukan sesajen seperti pada tari Bedhaya, melainkan hanya di waktu-waktu tertentu saja.[8] Adapun iringan musik untuk tari Serimpi adalah mengutamakan paduan suara gabungan, yakni saat menyanyikan lagu tembang-tembang Jawa.[8]

Serimpi sendiri telah banyak mengalami perkembangan dari masa ke masa, di antaranya durasi waktu pementasan.[10] Kini salah satu kebudayaan yang berasal dari Jawa Tengah ini dikembangkan menjadi beberapa varian baru dengan durasi pertunjukan yang semakin singkat.[10] Sebagai contoh Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit dan juga Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit yang awal penyajiannya berdurasi kurang lebih 60 menit.[11]


TARI BONDAN

Tari Bondan adalah tari yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. Tarian ini melambangkan seorang ibu yang menjaga anak-anaknya dengan hati-hati.


Tari Bondan terbagi atas 3, yaitu :
1. Bondan Cindogo
2. Bondan Mardisiwi
3. Bondan Pegunungan/Tani

Tari Bondan merupakan bagian dari tari klasik yang merupakan tari gembira. Tarian ini mengungkapkan rasa kasih sayang seorang ibu kepada putranya yang baru lahir. Pada tarian Bondan Cindogo terselip kisah sedih dimana satu-satunya anak yang ditimang-timang tersebut akhirnya meninggal dunia, sedangkan pada Bondan Mardisiwi tidak. Perlengkapan tari Bondan Mardisiwi sering tanpa menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo. 

Kostum yang dipakai oleh penari Bondan Cindogo dan Mardisiwi adalah kain yang diwiron, jamang, dan baju kotang, dengan menggendong boneka dan memanggul payung di pundak. Pada jaman dulu dilengkapi dengan kendi, sedangkan sekarang kebanyakan tidak. Untuk Bondan Pegunungan penarinya memakai pakaian lazimnya seorang gadis desa yang dilengkapi dengan topi caping, menggendong tenggok dan membawa alat pertanian.

Musik yang dipakai untuk mengiringi tarian ini adalah gending.

Di tahun 1960an, Tari Bondan adalah tari unggulan atau tari wajib bagi perempuan-perempuan cantik untuk menunjukkan siapa jati dirinya. Hampir semua penari Tari Bondan adalah kembang kampung. Tari Bondan ini juga paling sulit ditarikan karena sambil menggendong boneka, si penari harus siap-siap naik di atas kendi yang berputar sambil memutar-mutarkan payung kertasnya. Penari Tari Bondan biasanya menampilkan Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi memakai kain Wiron, memakai Jamang, baju kutang, memakai sanggul, menggendong boneka, memanggul payung, dan membawa kendhi. Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang Ginonjing. Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing.


Ciri tarian :yaitu mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping dan membawa alat pertanian. Bentuk tariannya pertama melukiskan kehidupan petani kemudian pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis pegunungan dilepas satu demi satu dengan membelakangi penonton. Selanjutnya menari seperti gerak tari Bondan Cindogo atau Mardisiwi. Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing-gendhing lengkap. 
Ciri pakaiannya :
- mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping
dan membawa alat pertanian.
- Di bagian dalam sudah mengenakan pakaian seperti Bondan biasa, hanya tidak memakai jamang tetapi memakai sanggul/gelungan. Kecuali jika memakai jamang maka klat bahu, sumping, sampur, dll sebelum dipakai dimasukkan tenggok.


TARI GOLEK MANIS

Golek, sebagai kata kerja berarti mencari, tapi sebagai kata benda golek bisa berarti boneka [kayu]. Kalau kita ingat wayang golek, itu adalah wayang dari boneka kayu. Penutup pertunjukan wayang kulit pun biasanya disajikan tarian boneka kayu, itu juga biasa disebut golek. Golek di akhir cerita wayang, merupakan simbol agar penonton wayang nggoleki tuntunan dari tontonan yang baru saja dilihat.

Di sini, golek sebagai kata kerja menyatu dengan golek sebagai kata benda, lewat golekyang berarti boneka, kita diajak nggoleki [mencari] makna tontonan.

Ternyata bukan hanya pertunjukan wayang kulit yang diakhiri dengan adegan golek. Ada opera tari Jawa yang melakukan hal yang sama, tetapi goleknya golek hidup. Maksudnya, ada tarian yang menyerupai fungsi golek di akhir lakon wayang kulit, tetapi bukan golek dari kayu, tapi justru manusia. Ya, seorang gadis menari di akhir pertunjukan opera tari Jawa yang bernama Langen Mandra Wanara. Sama fungsinya, mengajak orang mencari intisari cerita dan tuntunannya. Tentang opera tari Jawa ini, akan dibuat tulisan tersendiri.

Dua hal di atas, dimungkinkan merupakan awal dari lahirnya berbagai macam tari Golek. Sebuah tarian yang biasa dibawakan remaja putri. Selama ini, tari Golek hanya selalu dikatakan sebagai tarian yang menggambarkan remaja putri yang sedang berhias diri, atau bersolek. Memang di dalam tari Golek, ada bagian yang menggambarkan seorang perempuan yang sedang berhias diri, seperti:

tasikan : memakai bedak,

atrap cundhuk : memasang cundhuk, hiasan yang dipasang di sanggul

atrap jamang : memasang jamang, semacam mahkota.

atrap slepe : memasang sabuk,

dolanan supe : memain-mainkan cincin,

ngilo : berkaca.

miwir rikma : merapikan rambut, semacam menyisir, dan lain-lain

yang terlihat [di panggung] memang orang yang sedang bersolek, sehingga oang menyatakan bahwa tari Golek menggambarkan gadis remaja yang sedang berdandan. Tetapi, penulis percaya, tari Golek tidak sedangkal itu maknanya.  Golek dimungkinkan berarti mencari. Mencari tuntunan dan jati diri. Ketika berada di akhir pertunjukan Langen Mandra Wanara fungsinya mengingatkan orang untuk mencari tuntunan dari sajian certa, ketika berdiri sendiri sebagai tarian tunggal [solo] lepas, berfungsi sebagai tari tontonan atau pertunjukan. Yang dimaksud tari tunggal lepas adalah tari yang biasanya dibawakan secara perorangan, dan tidak menggambarkan tokoh. Tari Golek sebagai tarian lepas, menurut hemat penulis, menggambarkan pencarian seorang perempuan terhadap: ilmu, pengalaman, bekal hidup [sekaligus bekal mati], potensi, dan jati diri.

Tari golek ada banyak jenis. Nama aslinya kadang tenggelam dengan nama gendhing [lagu ] pengiringnya. Yang jelas apa pun namanya, tari golek ada bagian kenesnya dan anggunnya.

Sebagian di antara tari golek:

Golek Clunthang, Golek Cangklek, Golek Asmarandana, Golek Kenyo Tinembe, Golek Surung Dayung [Kudhup Sari], Golek Lambang Sari, Golek Ayun-ayun, Golek Pamularsih dan lain-lain.



TARI GOLEK MENAK

Tari Golek Menak merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Penciptaan tari Golek Menak berawal dari ide sultan setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941. Disebut juga Beksa Golek Menak, atau Beksan Menak. Mengandung arti menarikan wayang Golek Menak.

Karena sangat mencintai budaya Wayang Orang maka Sri Sultan merencanakan ingin membuat suatu pagelaran yaitu menampilkan tarian wayang orang. Untuk melaksanakan ide itu Sultan pada tahun 1941 memanggil para pakar tari yang dipimpin oleh K.R.T. Purbaningrat, dibantu oleh K.R.T. Brongtodiningrat, Pangeran Suryobrongto, K.R.T. Madukusumo, K.R.T. Wiradipraja, K.R.T.Mertodipuro, RW Hendramardawa, RB Kuswaraga dan RW Larassumbaga.

Proses penciptaan dan latihan untuk melaksanakan ide itu memakan waktu cukup lama. Pagelaran perdana dilaksanakan di Kraton pada tahun 1943 untuk memperingati hari ulang tahun sultan. Bentuknya masih belum sempurna, karena tata busana masih dalam bentuk gladi resik. Hasil pertama dari ciptaan sultan tersebut mampu menampilkan tipe tiga karakter yaitu :

1.     tipe karakter puteri untuk Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaeli,

2.     tipe karakter putra halus untuk Raden Maktal,

3.     tipe karakter gagah untuk Prabu Dirgamaruta

Tiga tipe karakter tersebut ditampilkan dalam bentuk dua beksan, yaitu perang antara Dewi Sudarawerti melawan Dewi Sirtupelaeli, serta perang antara Prabu Dirgamaruta melawan Raden Maktal.

Melalui pertemuan-pertemuan, dialog dan sarasehan antara sultan dengan para seniman dan seniwati, maka sultan Hamengku Buwana IX membentuk suatu tim penyempurna tari Golek Menak gaya Yogyakarta. Tim tersebut terdiri dari enam lembaga, yaitu : Siswo Among Beksa, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia [SMKI], Mardawa Budaya, Paguyuban Surya Kencana dan Institut Seni Indonesia [ISI].

Keenam lembaga ini setelah menyatakan kesanggupannya untuk menyempurnakan tari Golek Menak [1 Juni 1988], kemudian menyelenggarakan lokakarya dimasing-masing lembaga, dengan menampilkan hasil garapannya. Giliran pertama jatuh pada siswa Among Beksa pada tanggal 2 Juli 1988.

Lokakarya yang diselenggarakan oleh siwa Among Beksa pimpinan RM Dinusatama diawali dengan pagelaran fragmen lakon kelaswara, dengan menampilkan 12 tipe karakter, yaitu :

1.     Alus impur [tokoh Maktal, Ruslan dan Jayakusuma],

2.     Alus impur [tokoh Jayengrana],

3.     Alur kalang kinantang [Perganji],

4.     Gagah kalang kinantang [Kewusnendar, Tamtanus, Kelangjajali, Nursewan dan Gajah Biher],

5.     Gagah kambeng [Lamdahur],

6.     Gagah bapang [tokoh Umarmaya],

7.     Gagah bapang [Umarmadi dan Bestak],

8.     Raseksa [Jamum],

9.     Puteri [Adaninggar seorang Puteri Cina],

10. Puteri impur [Sudarawerti dan Sirtupelaeli],

11. Puteri kinantang [Ambarsirat, Tasik Wulan Manik lungit, dan kelas wara],

12. Raseksi [mardawa dan Mardawi].



Page 2

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề