Akun teroris yang live di facebook

LADUNI.ID, Untuk melawan konten kekerasan dan ekstrimisme di jejaring media sosial atau medsos di internet, Pimpinan perusahaan global teknologi menyatakan akan mengambil langkah baru.

Pernyataan ini muncul dari eksekutif Google, Twitter, Facebook, dan Microsoft, yang menghadiri pertemuan tingkat tinggi di Paris, Prancis untuk menanggapi “Seruan Christchurch” atau “Christchurch Call”.

Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern menggagas Seruan Christchurch pasca aksi penembakan terhadap jamaah Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Center di Kota Chrischurc, Selandia Baru, yang menewaskan 51 orang pada Februari 2019.

Brenton Tarrant, pelaku serangan teror, menembaki jamaah sambil menyiarkan aksi brutalnya lewat kamera yang terpasang di kepalanya dan terkoneksi online ke laman akun Facebook miliknya.

“Seruan ini merupakan peta jalan untuk aksi,” kata Ardern saat jumpa pers dengan Presiden Emmanuel Macron pada Rabu, 15 Mei 2019.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, bersama PM Selandia Baru, Jacinda Ardern, yang menjadi tuan rumah mengatakan,”Ini menjadi komitmen kita bersama untuk membangun internet yang lebih manusiawi, yang tidak dapat disalah-gunakan oleh teroris untuk tujuannya menyebarkan kebencian.”

Untuk mengatasi ancaman kekerasan lewat siaran langsung online atau livestreaming, Manajemen Google, Microsoft, Facebook, Twitter, dan Amazon lalu merilis sembilan poin untuk secara bersama menjadikan seruan tekad Christchurch ini menjadi tindakan nyata.

Mereka menjanjikan investasi dalam sidik jari digital atau digital fingerprinting untuk melacak dan menghapus konten gambar dan video berbahaya. Mereka juga menjanjikan metode yang mudah bagi para pengguna untuk melaporkan konten bermasalah.

“Ini akan menjadi aksi nyata. Saya pikir aksi nyata dapat berperan penting untuk mencegah sejumlah serangan seperti ini,” kata Brad Smith, Presiden dan kepala legal Microsot.

“Tidak ada seorangpun ingin melihat Internet menjadi pentas untuk mempertontonkan kekejaman serangan teroris seperti itu,” kata dia.

Untuk menutup akses bagi pengguna yang berbagi konten ekstrimis, yang sempat terjadi pasca serangan teror Christchurch, Manajemen Facebook telah berjanji akan memperketat akses ke layanan Facebook Live.

Jakarta - Bos AirAsia Tony Fernandes memutuskan untuk menutup akun Facebook miliknya. Ini merupakan bentuk protes Tony usai tragedi penembakan teroris di New Zealand disiarkan live dan diunggah di Facebook.

Dikutip dari CNN, Senin [18/3/2019], Tony, yang memiliki 670.000 follower di Twitter menyebutkan bahwa Facebook perlu 'bersih-bersih' setelah video tragedi New Zealand diunggah di platform buatan Mark Zuckerberg itu.

"Kebencian yang terjadi di sosial media kadang-kadang menghilangkan kebaikan," ujar Tony. "Facebook harus menghentikan ini," tambahnya.

Pada Jumat kemarin, tersangka teroris penembakan New Zealand itu melancarkan aksi bejadnya sambil live streaming di Facebook. Video berdurasi 17 menit itu kemudian menyebar. Kepolisian New Zealand menegur Facebook soal itu, dan Facebook segera menghapus akun dan video si teroris.

Facebook juga mengatakan bahwa mereka menghapus postingan dukungan dan pujian pada aksi terorisme tersebut.

Tapi itu tidak cukup bagi Tony Fernandes. Meski dia mengalu bahwa dia adalah penggemar sosial media, live streaming itu membuat dia meninggalkan Facebook.

"Ini platform yang baik untuk berkomunikasi. Sangat berguna tapi New Zealand terlalu berlebihan buat saya," tutur Tony.

Dalam cuitannya di Twitter, Tony juga mengkritik Facebook untuk tidak hanya berpikir soal keuntungan.

"Facebook harus menghentikan ini. Saya korban dari cerita bitcoin palsu dan cerita lainnya. Video live stream pembunuhan dan kebencian selama 17 menit!! Ini harus dibersihkan dan jangan hanya berpikir soal finansial," tutur Tony.

Pada Sabtu lalu, Facebook menyebutkan bahwa mereka sudah menghapus 1,5 juta video penyerangan itu. [zlf/ang]

Jakarta -

Akun-akun Facebook yang terhubung dengan kelompok yang menyebut diri mereka Negara Islam [ISIS] masih ada yang belum terdeteksi oleh media sosial tersebut, menurut sebuah laporan. Beberapa akun adalah akun berbahasa Indonesia dan ditujukan bagi komunitas Indonesia.

Salah satu akun Facebook berbahasa Indonesia yang direkam di dapur, misalnya, menampilkan seorang pria mengenakan balaklava yang menjelaskan cara membuat peledak menggunakan barang-barang rumah tangga.

Pengikut dan teman akun-akun utama Facebook itu mencakup pendukung ISIS dari sejumlah negara, termasuk Indonesia.

  • Polisi temukan 'dokumen ISIS' dari pelaku penyerangan Polsek Daha Selatan di Kalimantan Selatan
  • Eks ISIS asal Indonesia dan program deradikalisasi: 'Pemerintah belum siap dalam format dan pelaksanaan'
  • Sebuah jurang yang 'sangat indah' di Suriah dijadikan ISIS sebagai tempat 'pembuangan mayat'

Taktik salah satu jaringan untuk mengelabui deteksi tersebut adalah dengan menggabungkan materialnya dengan konten-konten dari situs berita asli, seperti rekaman siaran berita dari TV dan musik tema milik BBC News.

Jaringan itu juga membajak akun-akun Facebook, dan mengunggah video tutorial yang mengajarkan kepada jihadis-jihadis lainnya bagaimana cara membajak akun.

Facebook mengatakan "tidak memiliki toleransi terhadap propaganda teroris."

Institut Dialog Strategis [ISD], yan melakoni kajian ini, melacak 288 akun-akun Facebook yang terhubung dengan sebuah jaringan ISIS tertentu selama tiga bulan.

Kelompok di balik akun-akun tersebut mampu mengeksploitasi celah yang ada, baik dalam sistem moderasi otomatis atau manual Facebook, untuk mengumpulkan puluhan ribu penonton untuk materi mereka.

Facebook mengatakan semua akun tersebut kini telah dihapus.

Jaringan pendukung ISIS juga ternyata telah merencanakan, menyiapkan, dan meluncurkan 'serangan' atas halaman-halaman Facebook lainnya, termasuk yang dikelola oleh militer dan pemimpin politik AS.

Periset ISD mengatakan mereka melihat secara langsung bagaimana jaringan tersebut mengunggah instuksi bagi pendukungnya untuk membanjiri komentar di situs-situs yang mengandung materi terorisme.

Sebuah serangan menargetkan halaman Facebook milik Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan akun-akun warga Afrika-Amerika palsu.

Serangan lainnya mengunggah foto-foto, dan pesan-pesan, terkait serangan 11 September 2001 di halaman Facebook Departemen Pertahanan dan Akademi Angkatan Udara AS.

'Wilayah Digital'

Pada 7 April, sejumlah akun Twitter mulai mengirim tautan ke sebuah pesta virtual melalui Facebook Watch.

Semua akun tersebut menggunakan frase 'Fuouaris Upload', sebuah referensi untuk seorang pejuang Islam di abad pertengahan.

Periset ISD mengatakan ini adalah bagian dari sebuah upaya terkoordinasi untuk 'menguasai wilayah digital' di Facebook.

Jaringan itu membagikan konten video yang mencatatkan ratusan ribu views, dan dibagikan, melalui tautan, ke platform lainnya seperti Telegram, WhatsApp, situs-situs milik ISIS, dan SoundCloud.

Para periset percaya pusat jaringan tersebut adalah seorang pengguna yang mengelola sekitar sepertiga [atau 90 akun dari total 288] akun-akun Facebook tersebut.

Pengguna ini terkadang sesumbar memiliki 100 akun 'rampasan perang': "Mereka hapus satu akun, dan saya menggantinya dengan 10 lainnya."

Ini bisa dilakukan dengan mengumpulkan nomor-nomor telpon Amerika Utara asli dan mencari akun Facebook yang diasosiasikan dengan nomor tersebut.

Jika ditemukan kecocokan, jaringan itu akan meminta kode reset untuk dikirimkan ke nomor telpon itu, sehingga mereka dapat 'mengusir' pemilik akun sebenarnya dan memakai profil Facebook itu untuk menyebarkan konten.

Logo disamarkan

Menurut ISD, kunci keberlangsungan konten ISIS di Facebook adalah metode yang dipakai oleh pendukung ISIS untuk memodifikasi konten mereka guna mengelabui sistem pengawasan.

Ini seperti:

  • Memisahkan teks dan memakai tanda baca asing untuk mengelabui setiap alat moderasi Facebook yang mencari beberapa kata-kata kunci
  • Menyamarkan branding ISIS, atau memodifikasinya dengan memakai efek-efek video milik Facebook
  • Menambahkan branding outlet berita mainstream di atas konten-konten ISIS

Facebook sendiri telah mencoba mengembangkan beberapa metode agar ia tidak menghapus konten-konten berita milik media mainstream yang berisi cuplikan materi ISIS, dan hal ini dimanfaatkan oleh pendukung ISIS.

Salah satu contohnya adalah sebuah video ISIS yang telah diunggah, namun didahului dengan siaran berita dari kanal France 24 selama 30 detik, sebelum dilanjutkan dengan video ISIS Irak berdurasi 49 menit.

Contoh lainnya, sebuah video berisi remix jingel BBC News dengan lagu pop lainnya, sebuah meme yang sempat populer selama pandemi virus corona. Remix ini dipakai untuk menyamarkan konten ISIS.

Periset mendapati 70% dari akun-akun "Fuouaris Upload" telah dihapus dalam periode studi mereka selama hampir tiga bulan.

Namun jaringan itu beradaptasi dan bertahan dengan relatif mudah dengan berpindah dari satu akun ke akun lainnya.

Meski akun-akun mereka dihapus, anggota jaringan itu terang-terangan mengejek Facebook karena tidak memahami cara mereka beroperasi di platform itu.

Pengikut dan teman akun-akun utama Facebook itu mencakup pendukung ISIS dari sejumlah negara dengan bahasa yang berbeda, seperti bahasa Albania, Turki, Somalia, Ethiopia, dan Indonesia.

Periset mengatakan akun-akun ini tidak dimoderasi seketat akun-akun ISIS dengan bahasa Arab dan Inggris.

Periset menemukan sebuah video di salah satu akun Facebook berbahasa Indonesia yang direkam di dapur, menampilkan seorang pria mengenakan balaklava yang menjelaskan cara membuat peledak menggunakan barang-barang rumah tangga.

Video itu telah dilihat 89 kali dan dibagikan ke 41 akun berbahasa Indonesia dan Arab. Video ini telah disampaikan ke Facebook.

'Cara kerja ISIS'

"Laporan kami adalah tentang perilaku menghindar dari akun-akun pendukung ISIS di Facebook," kata Moustafa Ayad, salah seorang periset.

"Ini adalah investigasi soal cara kerja internal sebuah jaringan pendukung teroris, yang terhubung dengan banyak pengguna lainnya di platform itu.

"Taktik yang kami gambarkan dalam laporan kami telah berubah sekarang. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang jaringan-jaringan tersebut, respons-respons yang bergantung pada penghapusan akun-akun tersebut tidak akan berpengaruh terlalu banyak untuk meredam ekspansi ISIS di seluruh platform utama media sosial."

ISD mengatakan sistem deteksi otomatis dan manual Facebook perlu diperbarui, dan mereka juga perlu menyelidiki secara pro-aktif akun-akun yang terus melanggar aturan, serta koneksi mereka terhadap akun Facebook lainnya.

Menurut ISD, Facebook perlu memeriksa ulang protokol keamanan akun, dan bagaimana penggunanya mengelabui sistem keamanan tersebut.

Merespon riset ini, juru bicara Facebook mengatakan: "Kami telah menghapus lebih dari 250 akun yang disebut dalam riset ISD, sebelum mereka dilaporkan, dan kami juga telah menghapus 30 akun sisanya."

"Kami tidak memiliki toleransi untuk propaganda terorisme di platform kami, dan kami akan menghapus konten dan akun yang melanggar kebijakan kami begitu kami mengidentifikasinya."

[ita/ita]

Bài mới nhất

Chủ Đề