Apa isi plakat panjang dan apa maknanya bagi sumatra barat dan pihak Belanda

oleh: Dian Eka Fitriani

Kopi telah menjadi salah satu komoditas penting di Minangkabau sejak akhir abad kedelapan belas. Pada saat itu produksi emas yang merupakan komoditas utama Minangkabau telah menurun dan memungkinkan komoditas lain mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi [Robert Cribb dan Audrey Kahin, 2012: 306]. Pemerintah Hindia Belanda melakukan monopoli kopi di Sumatera Barat sejak tahun 1847 dan semakin memperkuat upaya monopolinya pada tahun 1864 [Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, 2012: 655]. Namun, setelah tahun 1864 produksi kopi tidak pernah lagi mencapai jumlah tertingginya. Penuruan produksi kopi terus terjadi karena beberapa faktor: rendahnya harga beli pemerintah Hindia Belanda, menurunnya citra penghulu adat sebagai pengawas tanam paksa, serta meningkatnya produksi komoditas lain, seperti beras, tembakau, dan gambir. Penurunan produksi kopi dan berkembangnya kegiatan ekonomi lain membuat Belanda mulai memikirkan cara untuk mempertahankan pendapatannya [Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, 2012: 657]. Cara paling masuk akal yang terpikir oleh mereka adalah mengenakan pajak langsung [belasting] kepada masyarakat Minangkabau.

Sayangnya, memberlakukan belasting di Minangkabau sama dengan melukai perasaan masyarakatnya. Kepercayaan masyakarat Minangkabau terhadap Belanda dapat dilihat dari kepercayaan mereka terhadap Plakat Panjang, sebuah dokumen yang menyatakan posisi Belanda hanya sebagai mitra dagang. Menurut dokumen itu, Belanda tidak akan memberlakukan pajak langsung terhadap masyakarat Minangkabau [Gusti Asnan, 2012: 424]. Di sisi lain, penurunan produksi kopi membuat pendapat Hindia Belanda berkurang. Pemerintah Hindia Belanda menghadapi sebuah dilema dan pajak langsung perseorangan tetap diterapkan pada masyarakat Minangkabau pada tahun 1908. Gelombang protes pun segera bermunculan.

Gerakan penolakan pajak oleh masyarakat Minangkabau ini bukan sebuah peristiwa yang langsung terjadi, melainkan sebuah proses yang panjang dan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Makalah ini menunjukkan proses gelombang protes rakyat Minangkabau pada tahun 1908, yang oleh Taufik Abdullah dan Gusti Asnan disebut sebagai gerakan penolakan yang aktif [Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, 2012: 659]. Lebih jauh lagi, gerakan perlawanan ini mencerminkan suatu transisi dalam masyarakat Minangkabau.

Minangkabau sebelum Penerapan Belasting

Minangkabau, sebuah daerah di pantai barat Sumatra, merupakan salah satu daerah yang berperan aktif dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Daerah ini, menurut M.C. Ricklefs, mempunyai arti yang penting karena menjadi pusat perubahan sosial, agama, dan politik sejak akhir abad kedelapan belas. Agama Islam menjadi unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Setelah islamisasi pada abad keenam belas, masyarakat Minangkabau mulai mengenal sistem pembagian tiga raja: Raja Alam [raja dunia], Raja Adat [raja hukum adat], dan Raja Agama [raja agama Islam] [M.C. Ricklefs , 2010: 310]. Sistem yang disebut Rajo Tigo Selo atau raja tiga tahta ini merupakan simbolisasi masyarakat Minangkabau [Taufik Abdullah, 1966: 4].

Perubahan besar terjadi dalam masyarakat Minangkabau pada awal abad kesembilan belas. Gerakan pembaruan Islam di Mekah pada awal tahun 1803 telah menginspirasi tiga orang ulama Minangkabau yang baru saja kembali dari ibadah haji. Para ulama itu ingin membersihkan praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti berjudi, penggunaan candu, serta minum minuman keras, yang marak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau pada masa itu. Gerakan yang dimotori oleh tiga ulama tersebut kemudian dikenal sebagai Gerakan Padri [M.C. Ricklefs, 2010: 311].

Pada tahun-tahun selanjutnya, gerakan pembaruan ini terus berkembang dan menjadi masif. Kelompok Padri dan kelompok adat terus bertikai hingga terjadi perang yang hampir dimenangkan oleh kelompok Padri. Keterlibatan Belanda menggagalkan kemenangan itu. Pada tahun 1833, sebuah dokumen dikeluarkan oleh pemerintah Belanda sebagai strategi untuk memenangkan perang dan menguasai Minangkabau. Dalam dokumen yang dikenal dengan nama Plakat Panjang itu, Belanda menyatakan bahwa mereka tidak akan mencampuri urusan nagari Minangkabau dan tidak akan memberlakukan belasting terhadap masyarakat Minangkabau [Gusti Asnan, 2012: 424]. Plakat Panjang menimbulkan kesan yang mendalam bagi masyarakat Minangkabau sehingga mereka terus mempercayai isi dokumen tersebut.

Ketika pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan yang tidak menguntungkan akibat menurunnya produksi kopi setelah tahun 1864, rencana untuk menerapkan belasting menjadi sebuah dilema tersendiri. Sampai tahun 1880, pemerintah Hindia Belanda sebenarnya masih menganggap peningkatan produksi kopi menjadi jalan yang terbaik [Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, 2012: 657]. Namun, upaya peningkatan produksi tidak menunjukkan hasil yang memuaskan hingga pemerintah pusat mengusulkan penerapan belasting. Seperti yang sudah disampaikan, masalah yang muncul bukan terletak pada penerapan pajak tetapi pada kepercayaan masyarakat Minangkabau terhadap Plakat Panjang. Meskipun bagi Belanda Plakat Panjang hanya sebuah strategi, dokumen tersebut nampaknya telah menjadi dasar kepercayaan masyarakat Minangkabau terhadap Belanda. Pengkhianatan atas Plakat Panjang akan menimbulkan kebencian yang luas, baik dari kalangan penghulu adat maupun para ulama [Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, 2012: 657-658]. Rapat-rapat yang diadakan untuk menyampaikan maksud pemerintah Hindia Belanda itu pun menyulut berbagai penolakan dari kedua kelompok masyarakat Minangkabau tersebut.

Dalam sebuah pertemuan di Bukittinggi pada Februari 1905 yang dihadiri oleh Gubernur Sumatera Barat, para petinggi pemerintahan, dan penghulu adat, keputusan penerapan belasting pada masyarakat Minangkabau yang berusia 18 tahun ke atas ditetapkan. Sejak saat itu, berbagai sosialisasi penerapan pajak dilakukan. Pada tahun 1906, pemerintah telah siap untuk meresmikan keputusan itu dan semakin mengabaikan pendapat masyarakat Minangkabau. Undang-undang mengenai penerapan belasting di Minangkabau keluar pada 9 Februari 1908 dan sampai di Padang tiga minggu kemudian [Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, 2012: 659].

Penolakan Semakin Bergejolak

Penolakan pertama pada keputusan pemerintah Hindia Belanda itu terjadi pada Maret 1908. Sebelumnya, sebuah pertemuan yang dihadiri oleh banyak saudagar dan haji diadakan di Ampek Koto pada pertengahan Maret 1908. Para peserta pertemuan memutuskan untuk menolak penerapan pajak dan siap atas segala resiko keputusan mereka. Menyusul keputusan tersebut, dua puluh orang penghulu adat yang datang ke pertemuan ditangkap Belanda pada 22 Maret 1908 dan dibawa ke Bukittinggi [Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, 2012: 661]. Peristiwa ini mengawali penolakan-penolakan lain yang terjadi kemudian yang berkembang menjadi pemberontakan dalam skala besar. Menurut Lee Kam Hing, gerakan ini dapat dikategorikan sebagai gerakan yang serius karena untuk memadamkannya, pemerintah Hindia Belanda harus mendatangkan bantuan dari Batavia [Lee Kam Hing, 1996: 530].

Penolakan terhadap pajak segera menyebar ke nagari di seluruh Minangkabau. Demonstrasi yang dilakukan pada awalnya bersifat kooperatif dan tidak menimbulkan kerusuhan. Seiring dengan perjalanan waktu, demonstrasi berubah menjadi protes yang agresif dan intensif. Para demonstran menyerang kepala laras dan kepala penghulu yang dianggap menjadi kaki tangan Belanda. Seorang kepala laras meninggal dalam serangan di Nanggalo, sebuah daerah di dekat Padang.

Penyerangan besar terjadi di benteng Belanda di Batusangkar pada 20 April 1908. Sebanyak dua puluh orang penghulu adat bersama “anak kemenakannya” datang ke benteng setelah diundang oleh asisten residen. Sementara para penghulu bertemu dengan asisten residen, para anak kemenakan menunggu di luar benteng yang dijaga pasukan bersenjata lengkap. Para anak kemenakan itu kemudian melakukan provokasi dengan meneriaki dan melempari para penjaga dengan batu. Kerusuhan hampir terjadi sehingga para penjaga melepaskan tembakan ke arah para anak kemenakan. Delapan belas orang meninggal seketika dan lima lainnya terluka. Semua penghulu kemudian ditahan. Beberapa hari kemudian, sekelompok penghulu yang tidak ikut dalam pertemuan menemui asisten residen untuk meminta maaf dan berjanji akan membayar pajak. Sementara itu, pihak Belanda menambah kekuatan militernya di Minangkabau dengan mendatangkan pasukan dari Batavia.

Peristiwa itu merupakan puncak peran para penghulu adat dalam gerakan penolakan belasting di Minangkabau. Setelahnya, gerakan penolakan lebih bernuansa religi karena keterlibatan para ulama. Penduduk di beberapa daerah bahkan mengumumkan pernyataan yang menyebutkan bahwa membayar pajak kepada Belanda adalah haram. Para pemimpin tarekat syattariyah menjadi penggeraknya. Mereka beranggapan bahwa membayar pajak bertentangan dengan ajaran Islam dan membuat mereka tidak sempat melaksanakan ibadah karena terlalu sibuk bekerja untuk memenuhi pajak. Para ulama syattariyah tersebut kemudian mulai melakukan baiat, pembagian jimat, dan silaturahim dengan ulama-ulama di daerah lain. Gerakan ini dipelopori oleh Haji Abdul Manan, yang tempat tinggalnya dijadikan markas. Dengan segera, gerakan ini diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda dan Haji Abdul Manan kemudian ditangkap.

Pihak Belanda tidak membiarkan perlawanan kembali meluas. Mereka akhirnya mengirimkan pasukan untuk melakukan serangan militer. Tiga patroli Belanda dikirim ke Kamang pada 6 Juni 1908. Pasukan itu dihadang oleh 500 orang bersenjata seadanya dan berpakaian putih. Pertempuran terjadi. Sembilan puluh orang dinyatakan meninggal. Dari pihak Belanda, sembilan orang tentara tewas dan tiga belas orang luka-luka. Setelah Pertempuran Kamang, beberapa perlawanan kecil terjadi dan penangkapan tetap dilakukan. Gerakan penolakan benar-benar berhenti pada Juli 1908 ketika masyarakat Minangkabau mengadakan beberapa upacara adat sebagai koreksi kesalahan mereka. Setelah suasana kembali tenang, masyarakat dapat menjual kopi secara bebas, tidak lagi dimonopoli oleh Belanda, tetapi pajak tetap harus dibayarkan [Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, 2012: 660-662].

Kesimpulan

Gerakan penolakan pajak di Minangkabau, menurut Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, tidak didasari pada motif ekonomi. Tekanan piskologis dan rasa was-was berlebihan mengenai efek penerapan belasting membuat masyarakat Minangkabau bertindak defensif dan menolaknya. Anggapan bahwa penerapan pajak hanya akan menimbulkan kerugian mendorong terjadinya gerakan sosial yang masif.

Lebih jauh, penerapan belasting merupakan salah satu cara legitimasi kekuasaan Belanda di Minangkabau. Penerapan pajak langsung ini menimbulkan ketidaksukaan baik dari kalangan penghulu maupun ulama karena alasan masing-masing. Bagi kelompok penghulu, pembentukan negara kolonial modern di Minangkabau, yang tercermin dari penerapan belasting, merupakan ancaman bagi kedudukan mereka sebagai pemangku adat. Sementara itu, para ulama memandang pengaruh Belanda sebagai penghalang mereka dalam mengajarkan ajaran Islam. Akhirnya, seperti yang diungkapkan Taufik Abdullah, gerakan penolakan pajak merupakan usaha untuk menghentikan perubahan tatanan dunia lama yang sedang terjadi di Minangkabau.

Referensi

Cribb, Robert dan Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu, 2012

Gusti Asnan. “Gerakan Padri”, dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian [ed.], Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid IV. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012

Lee, Kam Hing. “Review of Islamic Peasant and The State: The 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatra”, The Journal of Asian Studies Vol. 55 No. 2 [1996], hlm. 530-532

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2010

Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”, Indonesia No. 2 [1966], hlm. 1-24

Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, “Pemberontakan Antibelasting Sumatera Barat [1908]”, dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian [ed.], Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid IV. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012

Sumber gambar:

KITLV Media //media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/2?q_searchfield=fort+de+kock

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề