Apa kepentingan yang mendasari keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam

Dilansir dari Encyclopedia Britannica, perjanjian yang menyebabkan wilayah vietnam pecah menjadi dua, yaitu perjanjian genewa.

Perjanjian yang menyebabkan wilayah Vietnam pecah menjadi dua yaitu Perjanjian apa?

Dilansir dari Encyclopedia Britannica, perjanjian yang menyebabkan wilayah vietnam pecah menjadi dua, yaitu perjanjian genewa.

Apa penyebab Vietnam terpecah menjadi dua?

Pemisahan terjadi karena terdapat perbedaan ideologi negara. Vietnam Utara menganut paham komunis, yang didukung oleh negara Rusia dan Cina, sedangkan Vietnam Selatan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat, terutama Perancis yang menganut paham Liberalisme.

Vietnam mengalami perang saudara yang menyebabkan Vietnam terbagi dua bagian Kapan perpecahan tersebut dapat disatukan?

Setelah berakhirnya perang ini, kedua Vietnam tersebut pun bersatu pada tahun 1976 dan Vietnam menjadi negara komunis.

Bagaimana akhir dari perang Vietnam?

Namun, setelah kekalahan Amerika di Perang Vietnam, pertempuran antara Vietnam Utara dan Selatan masih berlanjut hingga 30 April 1975. Hari itu, pasukan RDV merebut Saigon kemudian menamainya Kota Ho Chi Minh. Setelah Vietnam Selatan menyerah, Perang Vietnam bisa berakhir.

Apa isi dari Perjanjian Jenewa?

Isi perjanjian Genewa adalah sebagai berikut: Mengakui kemerdekaan penuh Kamboja, Laos, dan Vietnam. Pembagian Vietnam menjadi dua, yakni Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, yang dimana Vietnam Utara dipimpin oleh Viet Minh dan Vietnam Selatan dipimpin oleh Negara Vietnam.

2 Apa kepentingan yang mendasari keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam?

Amerika Serikat khawatir terhadap Vietnam Utara yang beraliran komunis, dan bersekutu dengan Uni Soviet dan Komunis Cina. Amerika Serikat ingin menjadikan Vietnam Selatan sebagai basis terdepan anti komunis di Asia Tenggara.

Mengapa Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan jelaskan?

Karena pernah terjadi perang yang melibatkan dua kubu yakni Vietnam Utara [Demokratik Vietnam] yang bersekutu dengan Uni Soviet dan Cina melawan Vietnam Selatan [Republik Vietnam] yang bersekutu dengan Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan, Thailand, Filipina dan Selandia Baru.

Bagaimana Vietnam bisa bersatu?

Terdapat dua faktor pendorong yang menyebabkan bersatunya Vietnam Utara dan Selatan, yakni kekalahan AS dalam Perang Vietnam dan runtuhnya Vietnam Selatan.

Kapan Vietnam Selatan runtuh?

Runtuhnya Vietnam Selatan [1975]

Apa Hubungan Perang Vietnam dengan Perang Dingin?

Sedangkan negara yang menjadi kubu Vietnam Utara dalam Perang Vietnam adalah Uni Soviet, Tiongkok, Korea Utara, Mongolia, dan Kuba, yang berideologi komunis. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa Perang Vietnam adalah bagian dari Perang Dingin, karena wilayahnya menjadi obyek perebutan ideologi oleh AS dan Uni Soviet.

Mengapa Amerika mengalami kekalahan dalam Perang Vietnam?

Salah satu sebabnya adalah karena tentara AS bertindak sewenang-wenang, seperti membunuh penduduk sipil yang tidak berdosa lantaran dituduh bersekongkol dengan Vietnam Utara. Selain itu, kendaraan perang AS banyak yang merusak lahan pertanian sehingga membuat rakyat murka.

You might be interested:  What Is The National Language Of Vietnam?

Bagaimana dampak Perang Vietnam?

dampak-dampak perang Vietnam bagi negara Asia dan dunia adalah sebagai berikut semakin berkembangnya paham komunis, munculnya gerakan penghambat komunisme, terjadinya pertempuran di Kamboja, banyaknya korban jiwa, keberanian warga Vietnam untuk mendapatkan kebebasan, adanya peningkatan jumlah imigran Vietnam di Amerika

Apa yang menyebabkan berakhirnya Perang Dingin?

KOMPAS.com – Berakhirnya Perang Dingin ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada tanggal 25 Desember 1991. Sebelumnya, akhir Perang Dingin mulai tampak pada 1980-an ketika persaingan Amerika Serikat [AS] dengan Soviet mereda, setelah Mikhail Gorbachev menghapus sistem diktator dan menumbuhkan demokrasi.

Salim8063 @Salim8063

December 2019 1 34 Report

Apa kepentingan yang mendasari keterlibatan amerika serikat dalam perang vietnam

Komentar

Kepentingan Ideologi

Amerika berusaha mencegah masuknya ideologi komunis ke Vietnam oleh karena itu mereka membantu Vietnam selatan dalam perang Vietnam.

2 votes Thanks 4

Recommend Questions

AlmaSabrina22720061 May 2021 | 0 Replies

pada zaman dahulu pertunjukan tari colek banyak dilakukan di...a.Rumah Juraganb.Jalan Kampung c.Rumah Belandad.Rumah liburan cerita dalam lenong betawi umumnya mengandung pesan....

mrifyal23 May 2021 | 0 Replies

Dewan konstituante yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu yang pertama tahun 1955 mempunyai tugas

mimimi890 May 2021 | 0 Replies

jelaskan selat yg menghubungkan sumatera dan jawa

jihanhanifa59 May 2021 | 0 Replies

politik etis sering mendapat ejekan sebagai politik sarung tangan sutra. mengapa demikian?jelaskan!

Muhammadmansyur May 2021 | 0 Replies

daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan majapahit meliputi sumatra jawa Kalimantan Sulawesi nusa tenggara maluku dan papua . pernyataan tersebut di paparkan oleh

nadia175356 May 2021 | 0 Replies

penjelasan bagaimana aqidah tanpa filsafat dan filsafat tanpa aqidah

said1622 May 2021 | 0 Replies

jelaskan bagaimana sikap masyarakat indonesia terhadap agama dan bagaimana langkah langkah membumikan islam di kampus

FikriArdjun3009 May 2021 | 0 Replies

Bentuk bentuk perubahan sosial dan budaya dalam konsep perubahan dan keberlanjutan dalam sejarah

fraansiskaa3667 May 2021 | 0 Replies

Nerikut ini yang bukan dampak negative dari penerapan revolusi hijau di indonesia adalah

RazanMI May 2021 | 0 Replies

kenampakan bayangan yang lebih kecil dari ukuran benda sebenarnya

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 265

Demas Nauvarian

Keterlibatan Amerika Serikat

dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

Demas Nauvarian

Universitas Airlangga

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk memverikasi justikasi demokrasi Amerika

Serikat dalam konsistensinya di Perang Vietnam selama dua dekade

[1955-1975]. Hal ini dilakukan dengan metode analisis konten terhadap

dokumen-dokumen kebijakan luar negeri Departemen Pertahanan

Amerika Serikat di Vietnam—the Pentagon Papers—yang merupakan

dokumen primer yang mencatat proses pembuatan kebijakan luar negeri

Amerika Serikat selama Perang Vietnam. Hal ini kemudian dicocokkan

dengan pandangan Teori Perdamaian Demokratis [Democratic Peace

Theory] yang selama ini banyak diargumenkan sebagai dasar pengam-

bilan kebijakan dalam berbagai perang proksi di era Perang Dingin.

Tulisan ini berkesimpulan bahwa terdapat berbagai konsiderasi lain,

baik berupa faktor rasional maupun irrasional, yang digunakan Amerika

Serikat dalam Perang Vietnam.

Kata-kata kunci: Perang Vietnam, Amerika Serikat, Teori Perdamaian

Demokratis, Pentagon Papers, kebijakan perang

This paper aims to prove the justication of US democracy in its

consistency in the Vietnam War for two decades [1955-1975]. This was

done using the content analysis method of the US Department of Defense’s

foreign policy documents in Vietnam - the Pentagon Papers - which were

the primary documents related to the process of making US foreign policy

during the Vietnam War. This was later matched with the view of Demo-

cratic Peace Theory [Democratic Peace Theory] which has been widely

argued as the basis for policy making in the proxy war in the Cold War

era. This paper concludes that there are various other considerations,

both rational and irrational factors, which were used by the United States

in the Vietnam War.

Keywords: Vietnam War, United States, Democratic Peace Theory,

Pentagon Papers, war policy

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

266 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

Keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat dalam berbagai urusan

domestik negara-negara di berbagai belahan dunia pada dekade 1950

hingga 1970an merupakan salah satu pembahasan yang dominan

dalam studi Perang Dingin. Politik luar negeri Amerika Serikat

pasca-Perang Dunia II ditandai dengan adanya ketegangan dengan

Uni Soviet selaku mantan aliansi yang telah dimulai pada beberapa

konferensi perang dan pasca-perang seperti Konferensi Casablanca,

Konferensi Tehran, Konferensi Yalta, dan Konferensi Postdam, yang

memuncak dengan kegagalan terbentuknya kesepahaman atas visi

terhadap wilayah Jerman pasca-perang secara khusus, dan peta

geopolitik dunia baru pada umumnya [Swift 2003]. Ketegangan

ini disalurkan melalui upaya kedua adidaya dalam menanamkan

pengaruhnya diseluruh dunia, memasuki masa yang dikenal sebagai

Perang Dingin.

Berbagai hipotesis kemudian menilai bahwa gesekan langsung

antara kedua kekuatan raksasa tersebut mampu memicu timbulnya

Perang Dunia III yang berskala lebih besar dibanding dua perang

sebelumnya. Hal ini dieskalasi dengan adanya proxy war—metode

perang dengan menggunakan aktor boneka dalam mencapai kepent-

ingan di suatu wilayah— yang kemudian menjadi sebuah metode

yang kemudian tampak sangat prominen pada era ini. Wallerstein

[2001 dalam Tsuitsui 2004] memetakan bahwa terdapat beberapa

fenomena perpecahan yang cukup besar dalam era ini, diantara-

nya adalah Perang Korea, Perpecahan Jerman, Revolusi China, dan

Perang Vietnam. Dari empat fenomena besar di atas, dua di anta-

ra-nya—Korea dan China—masih mengalami perpecahan yang ber-

langsung hingga sekarang. Namun di sisi lain, baik Jerman maupun

Vietnam masih meninggalkan legasi puing-puing Perang Dingin

yang bersifat tunggal. Perbedaannya, Unikasi Jerman menghasil-

kan negara kesatuan federasi Jerman yang berasaskan liberalisme-

demokrasi. Sementara kejatuhan Vietnam Selatan yang didukung

Amerika Serikat terhadap Pemerintah Komunis Vietnam Utara

menghasilkan rezim sayap kiri yang dapat kita lihat hingga saat ini

[Hass 1984 dalam Kim 2009].

Perang Vietnam merupakan sebuah fenomena yang unik ketika di-

lihat dalam perspektif politik pembendungan Amerika Serikat.

Kekalahan bukanlah sesuatu yang sering diterima oleh Amerika

Serikat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya konsistensi dukungan

politik dan militer Amerika Serikat terhadap Vietnam Selatan selama

lima masa kepresidenan—sejak Presiden Truman hingga Presiden

Nixon—meski pada tahun 1960-an, pada era Presiden Kennedy,

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 267

Demas Nauvarian

studi yang dilakukan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Robert

McNamara menunjukkan bahwa Amerika Serikat mengalami keka-

lahan konstan yang tidak memberikan keuntungan bagi Amerika

Serikat sama sekali, atau paling tidak, “bukan keuntungan yang dapat

dirasakan secara langsung ataupun cepat oleh Bangsa Amerika”

[Departemen Pertahanan AS 1971d]. Akan tetapi, fakta ini secara

utuh ditutupi oleh pemerintah AS dari masa ke masa, membuat

adanya gelombang protes besar-besaran pada tahun 1972 pada era

Presiden Nixon. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis konsis-

tensi kebijakan luar negeri AS dalam mempertahankan dukungan

politik dan militer terhadap Vietnam Selatan dalam Perang Vietnam

dari masa ke masa melalui level analisis identitas nasional, khusus-

nya dalam statusnya sebagai global great power dan democracy

promotor dalam sistem internasional Perang Dingin.

Demokrasi Prasyarat Perdamaian:

Pilar Domestik Konstitusional Perdamaian Liberal

Demokrasi merupakan salah satu konsep yang tak terpisahkan

dari pemikiran politik barat, dan merupakan salah satu turunan

dari tradisi berpikir Liberalisme yang mulai berkembang di Eropa

Barat dan Amerika Utara pada abad ke-18. Salah satu pemikiran

yang mendasari tidak hanya aliran Liberalisme, namun juga

ambivalensi perdamaian dan demokrasi, adalah Perpetual Peace

yang ditulis oleh Immanuel Kant pada 1795 [dalam Doyle 2005].

Argumen mendasar yang diajukan Kant adalah mengenai prasyarat-

prasyarat liberal dalam penciptaan perdamaian dunia, yang Kant

kemudian kelompokkan dalam tiga sumber utama, yaitu sumber

konstitusional, internasional, dan kosmopolitan. Doyle [2005] ber-

argumen bahwa ketiga sumber tersebut menjadi tiga pilar penting

dari apa yang kemudian disebut sebagai perdamaian ala liberal. Kant

[1970 dalam Doyle 2005] kemudian berargumen bahwa demokrasi

merupakan elemen utama dari sumber konstitusional perdamaian

liberal. Dalam pandangan Liberalisme, demokrasi merupakan se-

buah cara dalam memenuhi hasrat dan kebutuhan hidup individu

dalam masyarakat melalui proses dalam sistem politik. Hal ini di-

lakukan dengan menciptakan keadilan dalam distribusi sumber

daya dalam memenuhi kebutuhan individu—sesuatu yang menurut

kaum liberalis mampu menekan potensi konik dan perang.

Pugh [2005] kemudian merangkum setidaknya empat faktor dalam

penciptaan perdamaian internasional melalui demokrasi. Faktor

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

268 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

pertama dan kedua sangatlah berkaitan, yaitu faktor pemimpin

dan publik. Sebagai entitas yang rasional, publik akan cenderung

menghindari perang dalam menjaga kesejahteraan dan kepemilikan

sumber dayanya. Hal ini kemudian tersalurkan melalui demokrasi

dan direeksikan oleh pemimpin. Hal ini membawa kita pada faktor

ketiga, yaitu kekayaan nasional, yang berarti sebagai sebuah

entitas rasional, negara juga akan mencerminkan keinginan rakyat-

nya dalam melindungi sumber daya yang dimilikinya. Faktor ke-

empat adalah sistem pemerintahan dan pembuatan kebijakan

mengenai pemisahan dan penyeimbangan kekuasaan, serta men-

cegah adanya tindakan-tindakan individu yang irrasional sebagai-

mana dapat terlihat dalam rezim-rezim otoritarian1. Hal ini adalah

apa yang dipercayai Kant [dalam Rosato 2003] sebagai sebuah

mekanisme dalam bentuk pemerintahan republik. Kant berargumen

bahwa republikanisme merupakan jalan menuju sebuah perdamaian

abadi yang diciptakan dan ditujukan bagi umar manusia. Maka

kemudian, dapat dilihat bahwa hubungan demokrasi dan perdamaian

memang diciptakan dalam konteks liberal.

Demokratisasi atau Intervensi?

Perang Proksi dalam Perang Dingin

Demokrasi yang telah menjadi norma panutan internasional tidak

lepas dari peran promotornya yang merangkap sebagai hegemon

global sejak berakhirnya Perang Dunia II pada 1945. Amerika

Serikat, dalam pandangan Teori Long-Cycle yang dikemukakan

oleh Modelski [1957], telah menggantikan posisi Inggris sebagai

hegemon sistem internasional, dan oleh karena itu, mendapat ke-

untungan dalam menciptakan tatanan dunia sesuai dengan visinya—

visi perdamaian demokratis liberal. Maka kemudian dalam men-

ciptakan tatanan global yang sesuai dengan visi tersebut, dapat di-

amati bahwa kemudian Amerika Serikat melakukan serangkaian

intervensi militer dengan justikasi sebagai “upaya menyebarkan

dan mengaplikasikan demokrasi”—sebuah proses yang kemudian

1. Dalam rezim-rezim otoritarian, kontrol politik seringkali dipegang baik oleh satu

individu [monarki], maupun sekelompok individu [otokrasi]. Hal ini kemudian

memungkinkan adanya faktor-faktor sosio-psikologis serta biologis dalam mencip-

takan perang, sebab pembuatan kebijakan perang tidak mengalami proses rasion-

alisasi. Salah satu contoh adalah Perang Sipil Suriah yang tengah terjadi sejak 2011,

dan berbagai analisis menunjukan dominasi peran Presiden Suriah Bashar Al-

Assad dalam kontinuitas perang sipil ini [Zisser, 2018]. Kant [1970, dalam Doyle,

2005] menyebut perbandingan ini sebagai “Republican caultion and hesitation, in

place of autoratic caprice”.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 269

Demas Nauvarian

dikenal sebagai demokratisasi. Namun kemudian, sebagaimana di-

argumenkan oleh Dockrill dan Hopkins [2006], intervensi yang disa-

markan sebagai perang demokratisasi ini sering kali juga memiliki

status sebagai perang proksi—sebuah metode perang diantara dua

pihak atau lebih yang tidak secara langsung terlibat dalam kontak

militer sik, melainkan menggunakan pihak ketiga dan seterusnya

sebagai perpanjangan tangan.

Dalam hal ini, perang proksi sebagaimana digarisbawahi oleh Swift

[2003], merupakan salah satu tur penting dari era Perang Dingin—

sebuah periode dalam sejarah dunia yang didominasi oleh adanya

tensi politik tinggi diantara dua adidaya yang berkuasa pada era

tersebut, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang proksi merupa-

kan sebuah metode yang, bagi aktor utamanya, bersifat murah dan

rendah resiko. Karl Deutsch [1964 dalam Mumford 2013]

mendenisikan perang proksi sebagai “konik internasional diantara

dua kekuatan asing, diperjuangkan dalam wilayah negara ketiga,

dan menggunakan sumber daya negara tersebut, dalam mencapai

strategi dan tujuan internasional”. Maka kemudian, sebagaimana

diargumenkan Mumford [2013], perang proksi akan selalu men-

jadi manifestasi intervensi satu negara terhadap negara lain. Dalam

hal ini, berbagai perang proksi yang dilakukan oleh Amerika Seri-

kat pada Perang Dingin—salah satunya Perang Vietnam—selalu di-

justikasi sebagai sebuah upaya dalam menanamkan demokrasi ke

negara non-demokratis.

Proses dekolonialisasi pasca Perang Dunia II yang berlangsung

setelah berkembangnya ide-ide mengenai self-determination di

negara-negara barat ternyata bukan menjadi akhir dari intervensi

asing dan konik di Asia Tenggara. Alih-alih, Asia Tenggara menjadi

tempat berlabuh kembalinya berbagai kepentingan negara-negara

barat di wilayah global south, khususnya dalam membawa agenda

imperialisme. Dalam hal ini, Hack dan Wade [2009] menjelaskan

bahwa gelombang liberalisme dan demokrasi yang masuk ke wilayah

Asia Tenggara kemudian mengalami benturan dengan spektrum

politik sayap kiri berupa gerakan-gerakan komunisme yang me-

nyebar baik dari Uni Soviet maupun Tiongkok, serta gerakan-

gerakan nasionalis anti-neokolonialisme yang berkembang di

wilayah ini. Secara umum, kawasan Asia-Pasik sendiri mengalami

adanya pergeseran konstelasi geopolitik.

Kontestasi ideologi sebagai konik utama dalam Perang Dingin

sendiri berkembang pesat di Asia Tenggara. Westad [2005 dalam

Wade 2009] menjelaskan bahwa great power rivalry merupakan

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

270 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

elemen kunci dari politik Perang Dingin yang diaplikasikan melalui

perebutan pengaruh di berbagai wilayah dunia ketiga. Westad [2005

dalam Wade 2009] menyebut hal ini sebagai sebuah kolonialisme

with a slightly dierent means”. Weatherbee [2009] secara umum

mendenisikan Perang Dingin di Asia Tenggara sebagai sebuah

perpanjangan tangan dari politik pembendungan komunisme yang

dilakukan oleh Amerika Serikat. Maka kemudian, tidak dapat di-

hindarkan bahwa trajektori Perang Dingin di Asia Tenggara menarik

perhatian Amerika Serikat ketika komunisme mulai berkembang di

wilayah ini. Dalam hal ini, kepentingan utama Amerika Serikat di

Asia Tenggara dipicu oleh adanya konsep teori Domino—sebuah

interrelasi strategis yang bersifat ideologis yang bertesis bahwa

jatuhnya suatu negara kedalam jurang komunisme akan men-

ciptakan spillover yang merambat ke negara-negara di sekitarnya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Min Shu [2017], teori domino

menyatakan bahwa kekalahan di satu negara terhadap komunisme

sama dengan kekalahan di satu wilayah. Teori domino inilah yang

menjadi dasar politik pembendungan Amerika Serikat tidak hanya

di Asia Tenggara, tetapi juga berbagai wilayah dunia ketiga lainnya

[Hack & Wade 2009].

Hal ini terbukti ketika kultivasi komunisme di Asia Tenggara mulai

muncul, ditandai dengan munculnya berbagai gerakan insur-

jensi komunis dalam upaya menggulingkan rezim demokratis di

beberapa negara seperti Indonesia, Burma, Filipina, dan Malaysia

[Turnbull 2009 & Weatherbee 2009]. Amerika Serikat menekankan

pentingnya ‘keamanan bersama’ dalam statusnya sebagai hegemon

dan polisi dunia dalam Perang Dingin, menjustikasi berbagai

intervensinya di Asia Tenggara sebagai upaya dalam menciptakan

wilayah Asia Tenggara yang ‘bebas, independen, dan demokratis’.

Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Weatherbee [2009], inter-

vensi Amerika Serikat di negara-negara Asia Tenggara tidak datang

tanpa efek samping. Beberapa negara seperti Indonesia dan Burma

kemudian justru melakukan reaksi independen dan penolakan ter-

hadap intervensi Amerika Serikat di Asia Tenggara. Sebagai contoh,

intervensi Amerika Serikat di Asia Tenggara dan Indonesia justru

memicu kedekatan Presiden Soekarno untuk mendekatkan diri ke

Tiongkok dan Korea Utara dengan membentuk poros Jakarta-Pe-

king-Pyongyang [Weatherbee 2009].

Sebagaimana dijelaskan Ang Cheng Guan [2013], Perang Vietnam

merupakan salah satu upaya Amerika Serikat untuk mengulangi

dan memperbaiki pride yang dimilikinya di Asia Tenggara. Turnbull

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 271

Demas Nauvarian

[2008] menambahkan bahwa pola Amerika Serikat dalam melaku-

kan pembendungan terhadap negara-negara komunis merupakan

overreaction atas aksi-aksi pemerintah-pemerintah komunis seperti

Korea Utara dan Vietnam yang digunakannya sebagai justikasi.

Chua [2001] juga menambahkan bahwa gerakan-gerakan komunis

yang muncul di Asia Tenggara umumnya merupakan hasil perpan-

jangan tangan dari rezim Kuomintang Tiongkok, dan bahwa sesung-

guhnya Uni Soviet tidak memerankan peranan yang lebih dominan

dibanding Tiongkok di Asia Tenggara. Kompetisi politik pemben-

dungan ini tidak terjadi hanya sebatas terhadap komunisme, tetapi

bahkan terhadap gerakan-gerakan nasionalis, yang dilakukan

Amerika Serikat dalam menanamkan pengaruhnya di wilayah Asia

Tenggara [Turnbull 2008].

Maka kemudian, dapat dianalisis bahwa sebagaimana dinyatakan

oleh Manseld dan Snyder [1995], tesis-tesis yang dikemukakan

oleh teori perdamaian demokratis menjadi motivasi utama bagi

Amerika Serikat dalam melaksanakan intervensi dan demokratisasi

ke berbagai wilayah dunia dalam rangka membendung efek domino

komunisme. Dalam pandangan teori perdamaian demokratis, di-

perlukan adanya persebaran demokrasi dalam menciptakan per-

damaian liberal. Hal ini, menurut Doyle [2005] berkaitan dengan

pilar internasionalisme dari perdamaian liberal. Namun kemudian,

Manseld dan Snyder [1995] juga menyatakan kelemahan dari

perang demokratisasi. Proses transisi demokrasi seringkali bersifat

koniktual. Hal ini disebabkan karena terdapat ketidaksesuaian di-

antara nilai-nilai demokrasi, khususnya demokrasi liberal, dengan

nilai-nilai status quo yang diterapkan di suatu negara. Von Hippel

[2004] kemudian menyimpulkan bahwa terlepas dari adanya visi

baik Amerika Serikat dalam membangun tatanan global demokratis,

karateristik non-komitmen terhadap prinsip non-intervensi sebagai

salah satu norma global menjadi ciri utama intervensi Amerika

Serikat dalam era Perang Dingin.

Dalam hal ini, Turnbull [2008] mengungkapkan bahwa terdapat dua

fase gelombang demokratisasi. Pertama, yaitu pada akhir Perang

Dunia II yang ditandai dengan adanya dekolonialisasi negara-

negara dunia ketiga. Kedua, yaitu pada akhir Perang Dingin, tepat-

nya dalam kemenangan liberalisme atas sosialisme ditandai dengan

adanya demokratisasi di berbagai wilayah dunia. Namun kemudian,

perlu dicatat bahwa permasalahan-permasalahan demokratisasi

ini muncul apabila proses tersebut berjalan lancar. Semantara itu,

seperti argumen penulis di awal, Perang Vietnam merupakan salah

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

272 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

satu bentuk kegagalan dan manifestasi kritik terhadap teori per-

damaian demokratis. Selain itu, meskipun kemudian teori ini di-

gunakan sebagai landasan dari kebijakan Perang Vietnam Amerika

Serikat [bersama dengan kebijakan pembendungan], faktor identitas

dan idealisme liberal yang diperburuk oleh mispersepsi merupakan

faktor utama dari konsistensi Amerika Serikat dalam Perang

Vietnam.

Memikirkan Kembali Nilai “Demokrasi” dalam

Teori Perdamaian Demokratis

Dalam pandangan kaum realis, sistem internasional yang anarki

dan berfokus pada peningkatan kekuatan nasional menjadikan

adanya intervensi-intervensi militer sebagai sebuah mekanisme

normal untuk mencapai keamanan dalam politik global. Namun,

teori perdamaian demokratis bukanlah turunan dari pandangan

realis, melainkan antitesisnya yakni Liberalisme. Dalam pandangan

induk demokrasi ini, Liberalisme menakankan pada pentingnya

hukum internasional dan organisasi internasional yang ter-

konstruksi dalam sistem negara Westphalia yang anarki. Instru-

men-instrumen liberal di atas digunakan untuk mengatur perilaku

negara-negara dalam bersikap dan menciptakan tatanan dalam

sistem internasional. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa se-

benarnya nilai-nilai inti Liberalisme tidak menyarankan adanya

penggunaan kekerasaan, paksaan, maupun pelanggaran terhadap

instrumen-instrumen tatanan internasional demi mengaplikasikan

demokrasi dalam suatu negara. Namun demikian, hal-hal tersebut

justru dilakukan sebagai upaya promosi demokrasi.

Lebih lanjut, Manseld dan Snyder [1995] menjelaskan bahwa

aksi intervensi dalam rangka demokratisasi justru menimbulkan

adanya instabilitas dalam tingkat regional dan global. Demokratisasi

seharusnya dilakukan dalam kerangka demokratis. Selain itu,

Brock [2006] juga membantah adanya justikasi dari “semangat

kosmopolitanisme Kantian” sebagai pembenaran terhadap

intervensi-intervensi tersebut. Rengger [2006] berargumen bahwa

intervensi-intervensi yang didasarkan pada teori perang demo-

kratis [democratization war theory] ini sesungguhnya tidak me-

miliki justikasi moral terhadap berbagai pihak, dan berlawa-

nan dengan adanya orientasi moral individualistis Liberalisme.

Sejalan dengan argumen tersebut, Rosato [2003] berargumen

bahwa intervensi-intervensi Amerika Serikat dalam negara-

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 273

Demas Nauvarian

negara non-demokratis itu sendiri lebih sering mengabaikan ada-

nya hasil demokratis. Alih-alih, Amerika Serikat justru “memusuhi

demokrasi dengan memasang berbagai rezim otokratis namun anti-

komunis dalam kerangka politik pembendungan. Selain itu, Rosato

[2003] juga berargumen bahwa Amerika Serikat tidak memiliki

indikator yang jelas dalam menentukan dan mempersepsikan

demokrasi di negara-negara lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya

perpecahan dalam internal Amerika Serikat terkait dengan status

demokrasi negara-negara asing.

Tabel 1. Intervensi-Intervensi Antidemokratik

Amerika Serikat pada Perang Dingin

Sumber: Rosato [2003, 590]

Dua Dekade A.S. dalam Perang Vietnam: Demokrasi atau

Mispersepsi?

Perang Vietnam, atau dikenal juga dengan Perang Indochina

kedua, adalah perang yang secara umum terjadi di Semenanjung

Indochina—saat ini wilayah Vietnam, Laos, dan Kamboja—yang

dimulai dengan adanya insurjensi dari kelompok pemberontak

Vietnam Selatan terhadap Vietnam Utara pada 1 November 1955,

dan diakhiri dengan kejatuhan Kota Saigon sebagai kota utama

dalam kepemilikan Vietnam Selatan pada 30 April 1975 [Dockrill

dan Hopkins 2006]. Perang ini, sebagaimana diargumenkan oleh

Mumford [2013], merupakan salah satu dari rangkaian perang

proksi Perang Dingin, dan merupakan puncak dari Perang Dingin

di Asia Tenggara. Perang Vietnam itu sendiri dapat dikatakan se-

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

274 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

bagai Perang Indochina kedua karena merupakan kelanjutan dari

Perang Indochina pertama yang terjadi pada tahun 1950-1954.

Pada perang tersebut, Pemerintah Kolonial Perancis mendukung

pemerintah Vietnam Selatam dalam upayanya untuk melakukan per-

lawanan terhadap pemberontak komunis Viet Minh yang berbasis di

bagian utara Vietnam. Namun, hal ini gagal khususnya dikarenakan

adanya insurgensi internal di pihak Vietnam Selatan dari National

Liberation Front [NLF] Viet Cong yang didanai oleh pemerintahan

Viet Minuh [Departemen Pertahanan AS 1971a]. Pemberontak Viet

Cong melakukan strategi perlawanan insurgensi gerilya terhadap

pemerintah nasionalis Vietnam Selatan yang berlangsung hingga

tahun 1959. Hal ini, sebagaimana dianalisis oleh Departemen

Pertahanan AS [1971a], merupakan hasil dari kegagalan Konferensi

Jenewa pada tahun 1954. Dalam hal ini, Amerika Serikat telah

hadir di Indochina sejak Perang Indochina pertama, sebagai salah

satu kekuatan yang mendukung presensi Perancis di Indochina

dalam memberantas pemberontak Komunis melalui Military

Assistance and Advisory Group [MAAG] Amerika Serikat, namun

di saat yang sama juga mempromosikan kemerdekaan dan

dekolonialisasi bagi Vietnam Selatan [Departemen Pertahanan AS

1971a].

Rasionalitas dan Irrasionalitas AS memasuki Indochina

Sebagaimana dikutip oleh Swift [2003], justikasi yang diberi-

kan oleh Pemerintahan Amerika Serikat, khususnya dalam peme-

rintahan Presiden Harry S. Truman dan Dwight Eisenhower adalah

adanya perjuangan terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi

manusia di Vietnam yang disinyalir mengalami kesengsaraan hebat

akibat pengaruh Tiongkok. Namun, sebagaimana dikutip dalam

The Pentagon Papers, keterlibatan Amerika Serikat pada awalnya

merupakan sebuah bentuk dari komitmennya terhadap aliansi dan

politik pembendungan, dan tidak menyebut adanya upaya perlin-

dungan terhadap demokrasi di Vietnam [Departemen Pertahanan

AS 1971a].

Politik Perang Dingin yang sangat bipolar mengharuskan Amerika

Serikat untuk menjaga komitmen, citra, dan idealitasnya sebagai

pemimpin blok liberal dalam sistem internasional. Departemen

Pertahanan AS [1971a] menyebutkan bahwa intensi awal Amerika

Serikat di Indochina bukanlah untuk mendukung Vietnam Selatan,

melainkan untuk menjaga presensi Amerika Serikat di Asia

Tenggara dan mencegahnya dari vacuum of power. Selain itu, ket-

erlibatan Amerika Serikat di Indochina secara eksplisit juga dise-

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 275

Demas Nauvarian

babkan oleh “adanya misinformasi dan miskalkulasi” [Departemen

Pertahanan AS 1971a]. Amerika Serikat mengakui bahwa terdapat

mispersepsi mengenai seberapa jauh kekuatan dan peluang yang

dimilikinya di Indochina, dan “menyadari dengan penyesalan di

akhir” bahwa terlepas dari hasil dari perang di Indochina, keuntun-

gan yang akan didapat dinilai lebih sedikit dibanding kerugiannya.

Kedua hal diatas merupakan bentuk penjelas rasional perang—mis-

kalkulasi [Fearon 1995] dan penjelas irrasional perang—mispersepsi

[Jervis 1988].

Irrasionalitas Konsistensi AS dalam Vietnam

Terlepas dari rendahnya prospek kemenangan Amerika Serikat pada

dekade 1950an yang disebabkan oleh dua faktor diatas, Amerika

Serikat tercatat tetap konsisten dalam megirimkan pasukan untuk

mendukung pasukan Vietnam Selatan. Konsistensi ini mulai muncul

pada masa Presiden John F. Kennedy yang menjabat pasca

Konferensi Jenewa. Konferensi Jenewa, sebagaimana dilaporkan

oleh Departemen Pertahanan AS [1971b], merupakan sebuah kega-

galan dan kerugian. Terlebih lagi, The Pentagon Papers kemudian

melaporkan adanya “pengarahan informasi publik” dalam mem-

bentuk opini masyarakat dalam mendukung, atau setidaknya tidak

menghalangi presensi Amerika Serikat di Vietnam. Departemen

Pertahanan AS [1971b] melaporkan bahwa setidaknya hingga tahun

1964, terdapat sekitar dua puluh tiga ribu tentara Amerika Serikat

di Vietnam, dan angka ini terus berlanjut mengikuti Insiden Teluk

Tonkin pada tahun tersebut.

Departemen Pertahanan AS [1971b] melaporkan bahwa ketia-

daan prospek kemenangan Amerika Serikat di Vietnam pada era

pemerintahan Presiden Kennedy merupakan salah satu alasan dari

upaya invasi Operasi Bay of Pigs pada awal 1960an. Akan tetapi,

kegagalan Operasi Bay of Pigs justru menimbulkan efek yang lebih

besar bagi Amerika Serikat secara umum, dan kebijakannya ter-

hadap Vietnam secara khusus. Pertama, kegagalan operasi tersebut

merupakan awal dari ketegangan dan stalemate nuklir selama tiga

belas hari yang melibatkan Kuba dan Uni Soviet—sebuah krisis yang

kemudian dikenal sebagai Krisis Misil Kuba [Swift 2003]. Kedua,

kekalahan Amerika Serikat justru semakin memukul kondisi Amerika

Serikat dalam konstelasi politik Perang Dingin. Amerika Serikat

belum mengalami satupun kemenangan mutlak sejak berakhirnya

Perang Dunia II pada titik ini, dan Perang Vietnam merupakan satu-

satunya perang besar yang saat itu tengah dijalani. Hal inilah yang

ditengarai oleh Lockhart [1993] sebagai alasan utama dari komitmen

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

276 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

dan konsistensi keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang

Vietnam. Namun, sebagaimana dikutip oleh Departemen Pertah-

anan AS [1971d], intensikasi kontribusi Amerika Serikat terhadap

Vietnam Selatan mulai terjadi pada era pemerintahan Presiden

Richard Nixon melalui serangkaian pertempuran udara di wilayah

perbatasan kedua negara. Bahkan, terdapat narasi-narasi mengenai

penggunaan senjata nuklir terhadap Vietnam Utara pada era Pres-

iden Nixon [Departemen Pertahanan AS 1971c].

Rasionalitas Keluarnya AS dan Berakhirnya Perang Vietnam:

Efek Demokrasi

Terdapat beberapa fenomena yang mendukung keluar atau berakhir-

nya kontribusi Amerika Serikat di Vietnam. Pertama, yaitu adalah

insiden kebocoran Pentagon Papers yang menguak mengenai ber-

bagai kebohongan pemerintah Amerika Serikat selama berbagai

masa pemerintahan terkait potensi kemenangan Amerika Serikat

di Indochina [Chaliand 1972]. Kedua, yaitu adanya skandal Water-

gate yang menyangkut Presiden Nixon dan berimplikasi pada

pengunduran dirinya, membuat timbulnya distrust terhadap

pemerintah. Melemahnya opini publik terhadap pemerintah

sekaligus kebijakan-kebijakan Indochina Amerika Serikat kemu-

dian memaksa Presiden Gerald Ford untuk keluar dari arena per-

tempuran Perang Vietnam [Chaliand 1972]. Dalam hal ini, penulis

menganalisis bahwa hal ini merupakan salah satu contoh fenomena

yang dikehendaki oleh Immanuel Kant [dalam Doyle 2005].

Sebagai aktor yang rasional, masyarakat akan cenderung untuk

menghindari perang dan menjaga perdamaian, dan demokrasi men-

jadi suatu alat bagi masyarakat dalam mengontrol kebijakan pemer-

intah untuk mengakhiri perang.

Kesimpulan

Teori perdamaian demokratis merupakan salah satu hasil pemikiran

politik barat yang merupakan turunan dari Liberalisme. Liberalisme

berkaca terhadap naluri manusia dalam memenuhi kebutuhannya,

dan kemudian, terhindari dari konik dan peperangan. Namun

dalam mengevaluasi relevansi dan aplikasi dari teori ini, diperlu-

kan adanya kacamata yang objektif dan bukan subjektif. Teori selalu

hadir dalam konteks, dan sebagaimana dinyatakan oleh kaum pos-

positivis, tidaklah bebas nilai. Dalam hal ini, tulisan ini menyimpul-

kan bahwa teori perdamaian demokratis, sebagaimana teori-teori

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 277

Demas Nauvarian

hasil pemikiran barat lainnya, merupakan reeksi dari tradisi ma-

syarakat barat dan hanya memiliki kecocokan tinggi dalam wilayah

tersebut.

Perang Vietnam, sebagaimana dikonklusikan oleh tulisan ini, meru-

pakan sebuah upaya pembohongan masyarakat global dengan

kedok demokratisasi, sementara melalui serangkaian analisis

terhadap laporan kebijakan Amerika Serikat di Indochina Penta-

gon Papers, intensi ini tidak terlihat dalam proses pembuatan kebi-

jakan Perang Vietnam. Alih-alih Amerika Serikat hadir di Indochina

sebagai komitmennya terhadap politik pembendungan dan upaya

menjaga aliansinya. Namun, dalam bingkai yang lebih besar,

Amerika Serikat berusaha untuk mempertahankan idealismenya

sebagai pemimpin blok liberal dalam Perang Dingin yang tidak

sanggup lagi menerima kekalahan yang telah diterimanya di Per-

ang Korea dan Krisis Misil Kuba. Selain itu, kehilangan presensi di

Indochina, menurut Amerika Serikat, berarti kehilangan seluruh

wilayah Asia Tenggara terhadap Tiongkok dan Uni Soviet dalam

cengraman komunisme—sesuatu yang sangat berlawanan dengan

nilai liberalismenya.

Dalam tulisan ini dapat dilihat bahwa demokrasi yang dipandang

sebagai sistem pemerintahan yang baik, pada saat yang sama dapat

menjadi sebuah instrumen yang mampu mengancam demokrasi itu

sendiri, dan menimbulkan aksi-aksi non-demokratis sebagaimana

terjadi di Vietnam. Namun pada akhirnya, demokrasi hadir sebagai

upaya intelektual manusia dalam memenuhi kebutuhannya, dan

menciptakan perdamaian.

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

278 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

Daftar Pustaka

Publikasi Resmi Pemerintah

Departemen Pertahanan AS, 1971a. The Pentagon Papers: the

Defense Department History of United States Decision

Making on Vietnam, volume I. Boston: Beacon Press.

Departemen Pertahanan AS, 1971b. The Pentagon Papers: the

Defense Department History of United States Decision

Making on Vietnam, volume II. Boston: Beacon Press.

Departemen Pertahanan AS, 1971c. The Pentagon Papers: the

Defense Department History of United States Decision

Making on Vietnam, volume III. Boston: Beacon Press.

Departemen Pertahanan AS, 1971d. The Pentagon Papers: the

Defense Department History of United States Decision

Making on Vietnam, volume IV. Boston: Beacon Press.

Buku atau Artikel dalam Buku

Ang Cheng Guan, 2013. “The Cold War in Southeast Asia”, dalam

R. H. Immerman dan Petra Goedde [eds.], The Oxford Hand-

book of the Cold War. Oxford: Oxford University Press.

Brock, Lothar, 2006. “Triangulating War: the Use of Force by

Democracies as a Variant of Democratic Peace”, dalam Anna

Geis et al. [eds.], Democratic Wars: Looking at the Dark Side

of Democratic Peace. New York: Palgrave Macmillan.

Chaliand, Gerard, 1972. “Ideology and Society: The Pentagon papers

and South Vietnam”, dalam Noam Chomsky dan Howard

Zinn [eds.], The Pentagon Papers: Critical Essays, volume V.

Boston: Beacon Press.

Daase, Christopher, 2006. “Democratic Peace-Democratic War:

Three Reasons Why Democracyes are War-Prone”, dalam

Anna Geis et al. [eds.], Democratic Wars: Looking at the Dark

Side of Democratic Peace. New York: Palgrave Macmillan.

Dockrill, Michael L. dan Michael F. Hopkins, 2006. The Cold War,

1945-1991, edisi kedua. New York: Palgrave Macmillan.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 279

Demas Nauvarian

Modelski, George, 1987. Long Cycles in World Politics. London:

Palgrave Macmillan.

Mumford, Andrew, 2013. Proxy Warfare. Cambridge: Polity Press.

Rengger, Nicholas, 2006. “On Democratic War Theory”, dalam Anna

Geis et al. [eds.], Democratic Wars: Looking at the Dark Side

of Democratic Peace. New York: Palgrave Macmillan.

Swift, John, 2003. The Palgrave Concise Historical Atlas of the Cold

War. New York: Palgrave Macmillan.

Turnbull, C. M., 2008. “Regionalism and Nationalism”, dalam

NicholasTarling [ed.], The Cambridge History of Southeast

Asia, volume dua. Cambridge: Cambridge University Press,

hlm. 585-642.

Von Hippel, Karin, 2004. “Introduction: Dangerous Hubris”, dalam

Democracy by Force: US Military Intervention in the Post-

Cold War World. Cambridge: Cambridge University Press.

Weatherbee, D. E., 2009. “The Cold War in Southeast Asia”, dalam

International Relations in Southeast Asia: the Struggle for

Autonomy, edisi kedua. Lanham: Rowman and Littleeld

Publishers, hlm. 63-90.

Artikel Jurnal

Chua, Beng-Huat, 2001. “Notes on the Cold War in Southeast Asia”,

Inter-Asia Cultural Studies, 2 [3]: 481-485.

Duncanson, Dennis J., 1967. “Pacication and Democracy in South

Vietnam”, The World Today, 23 [10]: 410-418.

Doyle, Michael W., 2005. “Three Pillars of the Liberal Peace”,

American Political Science Review, 99 [3]: 463-466.

Fearon, James D., 1995. “Rationalist Explanation to War”, Inter-

national Organization, 49 [3]: 379-414.

Hack, K. dan G. Wade, 2009. “The Origins of the Southeast Asian

Cold War”, Journal of Southeast Asian Studies, 40 [3]: 441-

448.

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

280 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

Jervis, Robert, 1988. “War and Misperception”, The Journal of

Interdisciplinary History, 18 [4]: 675-700.

Lockhart, Greg, 1993. “Vietnam: Democracy and Democratisation”,

Asian Studies Review, 17 [1]: 135-142.

Manseld, Edward D. dan Jack Snyder, 1995. “Democratization and

War”, Foreign Aairs, 74 [3]: 79-97.

Rosato, Sebastian, 2003. “The Flawed Logic of Democratic Peace

Theory”, American Political Science Review, 97 [4]: 585-602.

Tsutsui, Yoichi, 2004. “The Lessons of German Reunication and Its

Implications for the Reunication of Korea”, 27: 146-171.

Wade, G., 2009. “The Beginnings of a ‘Cold War’ in Southeast Asia:

British and Australian Perceptions”, Journal of Southeast

Asian Studies, 40 [3]: 543-565.

Zisser, Eyal, 2018. “Why has Bashar Won the War in Syria”,

Strategic Assessment, 21 [2].

Laporan Penelitian, Tesis, dan Disertasi

Kim, Min Jung, 2009. “Becoming One: a Comparative Study of

National Unication in Vietnam, Yemen, and Germany”, Tesis

Master. Washington D.C.: Faculty of the Graduate School of

Arts and Sciences of Georgetown University.

Min Shu, 2017. “Southeast Asia and the Cold War”, dipresentasikan

dalam International Relations of Southeast Asia, 6 November.

Tokyo: School of International Liberal Studies Waseda

University.

Pugh, Je, 2005. “Democratic Peace Theory: a Review and

Evaluation”, CEMPROC Occasional Paper Series, April.

Cumming: Center for Mediation, Peace, and Resolution of

Conict Inrernational.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019 281

Demas Nauvarian

Film

Spielberg, Steven [sutradara], 2017. The Post [lm]. Los Angeles:

20th Century Fox.

Publikasi Daring

Nystorm, 2019. “The Nystorm Complete World History Map Set”,

The Nystorm World History Series [online]. Tersedia dalam:

//www.socialstudies.com/c/product.

web?nocache@2+s@YlIlvII0i8a12+record@

TF44098+Title@THE+NYSTROM+COMPLETE+WORLD+

HISTORY+MAP+SET [diakses pada 13 Juni 2019].

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam:

Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme

282 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun XII, No.2, Juli - Desember 2019

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề