Apa perbedaan antara jalur utara tengah dan selatan dalam penyebaran Islam di Indonesia?

Di Indonesia terkenal dengan  penduduknya yang mayoritas memeluk agama islam, budaya nya, alamnya yang luas dan hasil bumi yang cukup banyak.

Sejarah masuknya islam awalnya di bawa oleh pedagang Gujarat lalu di ikuti oleh pedagang arab dan Persia.  Sambil berdagang mereka menyebarkan agama islam ke tempat mereka berlabuh di seluruh indonesia.

Banyak yang berspekulasi jika islam masuk ke indonesia di abad ke 7 atau 8, karena pada abad tersebut terdapat perkampungan islam di sekitar selat Malaka.

Selain pedagang ada juga dengan cara mendakwah, seperti penyebaran di tanah jawa yang di lakukan oleh para walisongo.  Mereka lah sang pendakwah dan sang ulama yang menyebarkan islam dengan cara pendekatan sosial budaya.

Di jawa islam masuk melalui pesisir utara pulau jawa dengan  di temukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Di Mojokerto juga telah di temukannya ratusan makam islam kuno.  Di perkikan makam ini adalah makam para keluarga istana Majapahit.

Di kalimantan, islam masuk melalui pontianak pada abad 18.  Di hulu sungai Pawan, kalimantan barat di temukan pemakaman islam kuno.  Di kalimantan timur islam masuk melalui kerajaan Kutai, di kalimantan selatan melalui kerajaan banjar, dan dari kalimantan tengah di temukannya masjid gede di kota Waringin yang di bangun pada tahun 1434 M. Di sulawesi islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo.

Demikian sedikit penjelasan tentang sejarah islam masuk ke indonesia.  Kita harus bangga dengan para ulama yang telah menyebarkan agama islam di indonesia tanpa adanya perang.  Dengan peran para ulama yang bijaksana, agama islam dengan mudah di terima di seluruh nusantara.

Merdeka.com - Masuknya Islam di Indonesia dipelopori oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Gujarat, India. Proses perkembangan Islam di Indonesia sendiri tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer, melainkan penyebaran Islam dilakukan secara damai dan melalui berbagai jalur seperti perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.

Kedatangan Islam di Indonesia telah membawa tamaddun [kemajuan] dan kecerdasan. Islam telah banyak mengubah kehidupan-kehidupan sosial budaya dan tradisi kerohanian di masyarakat Indonesia. Dengan pengaruh ajaran Islam, Indonesia menjadi lebih maju dalam bidang perdagangan terutama dalam hubungannya dengan perdagangan internasional dengan Timur Tengah. Khususnya bangsa Arab, Persia, dan India.

Berkat para pedagang muslim inilah kemudian Islam diperkenalkan dengan cara bertahap dan perlahan ajaran Islam bertoleran serta persamaan derajat antara sesama makhluk. Hal ini menarik bagi masyarakat Indonesia mengingat selama ini kebudayaan Hindu-Budha justru lebih menekankan pada perbedaan derajat atau kasta. Sampai pada akhirnya sebagian besar masyarakat di Indonesia memeluk agama Islam.

Namun ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai datangnya Islam ke Indonesia. Berikut ini informasi mengenai proses masuknya Islam ke Indonesia, lengkap dengan perkembangannya telah dirangkum dari lib.ui.ac.id:

2 dari 4 halaman

Teori Gujarat merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang Islamisasi di Indonesia. Dinamakan teori Gujarat karena berpatokan pada pandang bahwa masuknya Islam ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat. Ada dugaan bahwa pencipta dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje.

Teori ini berpaku pada kenyataan mengenai hubungan India dengan Indonesia yang sudah lama terjalin, serta inskripsi tertua mengenai Islam yang terdapat di Sumatera, membuktikan bahwa hubungan antara Sumatera dan India sangat erat.

Dapat disimpulkan bahwa para ahli menyatakan pendapat tersebut menganut kebudayaan Hindu, membuat seakan-akan segala perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya serta agama di Indonesia tidak lepas dari pengaruh India.

3 dari 4 halaman

Teori ini sendiri dicetuskan oleh Hamka di dalam pidatonya saat Dies Natalis di PTAIN ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958. Dalam hal ini Hamka berpendapat bahwa ia menolak pandangan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat.

Hamka menolak pendapat yang mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-13, sebab pada kenyataannya pada tersebut di Indonesia sudah berdiri suatu politik Islam. Jadi sudah barang tentu Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelumnya, yakni sekitar abad ke-7 Masehi atau pada abad pertama Hijriyah.

Jika dihubungkan dengan penjelasan dari studi kepustakaan Arab kuno, disebutkan al-Hind sebagai India atau pulau-pulau Cina. Maka besar kemungkinan pada abad ke-2 SM bangsa Arab telah sampai di Indonesia. Bahkan Arab sebagai bangsa asing pertama kali sampai di Nusantara.

4 dari 4 halaman

Pencetus teori Persia adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke Indonesia dan berkembang, berasal dari Persia yang singgah ke Gujarat yang terjadi sekitar abad ke-13.

Pandangan teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Mekkah. Dalam teori ini lebih memutuskan kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam di Indonesia, dan disinyalir memiliki persamaan dengan Persia. Di antaranya sebagai berikut:

  1. Peringatan Asyura atau 10 Muharram sebagai peringatan Syi'ah atas Syahidnya Husein.
  2. Kesamaan antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran al-Hallaj, meskipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H atau 922 M, akan tetapi ajarannya terus berkembang dalam bentuk puisi
  3. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja atau membaca huruf Arab.
  4. Nisan pada makam Malik Saleh pada tahun 1297 dan makam Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik dipesan dari Gujarat.
  5. Pengakuan umat Islam di Indonesia terhadap Madzhab Syafi'i sebagai madzhab utama di wilayah malabar.

Penyebaran budaya Islam di Indonesia berlangsung secara damai dan evolutif. Islam berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak awal Islam dengan kepulauan nusantara mayoritas berlangsung di pesisir pantai, khususnya melalui aktivitas perdagangan antara penduduk lokal dengan para pedagang Persia, Arab, dan Gujarat [India]. Kontak-kontak ini memungkinkan proses asimilasi, sinkretisasi, dan akulturisasi budaya. Islam kemudian muncul sebagai competing culture Hindu-India.

M.C. Ricklefs dari Australian National University menyebutkan dua proses masuknya Islam ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing [Arab, India, Cina] pemeluk Islam menetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya, lalu mendifusikan Islam.[1]

Teori lain masuknya Islam ke nusantara diajukan Supartono Widyosiswoyo.[2] Menurutnya, penetrasi Islam dibagi ke dalam tiga jalur yaitu: Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Ketiga jalur didasarkan pada pangkal wilayah persebaran Islam yang memasuki Indonesia. Jalur Utara adalah masuknya Islam dari Persia dan Mesopotamia. Dari sana, Islam bergerak ke timur lewat jalur darat Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu menempuh jalur laut menuju Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk barunya yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam didifusikan lewat pengalaman personal [eksperensial] dalam mendekati Tuhan. Aliran inilah yang paling cepat mendorong konversi penduduk Indonesia ke dalam Islam nusantara. Aceh adalah salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini.

Islamic Trade Routes

Sumber Foto:

//islamic-study.org/wp-content/uploads/2017/07/Islamic-civilization-trade-route.jpg

Jalur Tengah adalah masuknya Islam dari bagian barat lembah Sungai Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia [Hadramaut]. Dari sini Islam menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya aliran Wahhabi. Pengaruhnya mengena di wilayah Sumatera Barat. Jalur ini terjadi sebab jika bertolak dari Hadramaut, maka dengan perjalanan laut orang-orang Islam langsung sampai ke pantai barat Sumatera. Konflik kaum adat dengan kaum agama dalam Perang Paderi terjadi setelah pengaruh Islam lewat jalur ini.

Jalur Selatan pangkalnya di wilayah Mesir. Saat itu Kairo merupakan pusat penyiaran agama Islam modern dan Indonesia memperoleh pengaruhnya dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini terutama pendidikan, dakwah, dan penentangan bid’ah.

Petunjuk tegas munculnya Islam pertama di nusantara adalah nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211 M, di pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini menunjukkan adanya kerajaan Islam pertama nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah Sumatera bagian Utara ini, menurut Ibnu Battuta [musafir Maroko] adalah Syafi’i.[3]

Semakin signifikannya pengaruh Islam di nusantara ditandai berdirinya sejumlah kesultanan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate [Maluku] penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460.[4] Di Demak, penguasanya mendirikan kota muslim tahun 1470, sementara kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon menyusul pada tahun 1500-an. Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa Islam, disusul Madura pada 1528, Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605 penguasa Luwuk, Tallo, dan Gowa [Sulawesi Selatan] masuk Islam dan 1611 semenanjung Sulawesi Selatan telah dikuasai penguasa Islam.

Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh antara Islam yang sudah terakulturasi dengan budaya lokal dengan Islam yang baru masuk dari wilayah Timur Tengah. Interaksi tersebut di kemudian hari mulai dirundung konflik penafsiran dan ini terutama semakin mengemuka di saat berkuasanya rezim Ibnu Saud yang menggunakan Wahhabi sebagai paham keislamannya pada awal abad ke-19. Tulisan ini tidak akan menyentuh bagaimana konflik yang berlangsung antara aneka tipologi Islam. Tulisan hanya menghampiri sejumlah pengaruh yang dibawa Islam ke dalam budaya-budaya yang berkembang di Indonesia.

Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India [Gujarat, Benggala]. Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni[5] dan tawaran pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.

Egalitarianisme

Egalitarianisme menempati posisi kunci. Problem utama di budaya sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini oleh sebab mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang Indonesia [terutama dari kasta bawah] yang hendak bebas merespon baik agama baru ini. Dalam hal egalitarianisme ini pun Islam secara tegas menolak perbudakan. Perbudakan yang terjadi di negara-negara Arab adalah budaya, bukan ajaran Islam.

Perdagangan

Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah [Arab dan Persia]. Mereka melakukan kontak dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai dan mendifusikan Islam mereka.

Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara waktu ataupun seterusnya – mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan.[6] Banyak di antara pada saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala tidak sah. 

Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan [sekadar transit atau menetap], membuat mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan pemukiman Islam baru [disebut koloni]. Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun Deli.

Perkawinan

Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam [juga wanitanya] mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja, atau adipati menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-mertua mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke jantung kekuasaan politik lokal [palace circle]. Saat sudah berada di aras pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-kebijakan yang menguatkan penyebaran Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan output kebijakan para sultan atau para adipatinya.

Tasawuf

Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik perhatian kalangan pribumi. Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan cultural shock signifikan, membuat banjir penganut Islam baru. Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga [termasuk juga Syekh Siti Jenar] mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini. Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, çiwa, dan Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi kalangan pribumi.

Pendidikan

Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini pesantren [Islam] berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat [Sunan Ampel] yang mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang didirikan Sunan Giri menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan penduduk Maluku [khususnya wilayah Hitu] datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu. Biasanya, yang diundang menjadi khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah cengkih.

Seni

Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia sebelum kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya kemashuran tinggi. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.

Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab.[7] Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.

Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma [sultan Mataram Islam] ke dalam sistem penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari [syamsiah, mirip gregorian], sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan [qamariah]. 

Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya Islam. Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan Hijriyah [versi Islam]. Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti Sura [Muharram atau Assyura dalam Syiah], Sapar [Safar], Mulud [Rabi’ul Awal], Bakda Mulud [Rabi’ul Akhir], Jumadilawal [Jumadil Awal], Jumadilakir [Jumadil Akhir], Rejeb [Rajab], Ruwah [Sya’ban], Pasa [Ramadhan], Sawal [Syawal], Sela [Dzulqaidah], dan Besar [Dzulhijjah]. Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat [revolusi sosial].

Selain pembagian bulan, bahasa Arab merambah ke dalam kosakata. Sama dengan sejumlah bahasa Sanskerta yang diakui selaku bagian dari bahasa Indonesia, kosakata Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa Indonesia, yang sedikit contohnya sebagai berikut:

Kosakata Indonesia yang dipengaruhi Bahasa Arab

Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana masyarakat nusantara lebih familiar membaca huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa kolonial Belanda, mata uang ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun Arab Jawi. Tulisan Arab pun masih sering diketemukan sebagai keterangan dalam batu nisan.

Salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik secara budaya adalah pesantren. Asal katanya pesantren kemungkinan shastri [dari bahasa Sanskerta] yang berarti orang-orang yang tahu kitab suci agama Hindu. Atau, kata cantrik dari bahasa Jawa yang berarti orang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren telah berkembang sebelum Islam masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses pendidikan pesantren diambilalih Islam.

Pada dasarnya, pesantren adalah sebuah asrama tradisional pendidikan Islam. Siswa tinggal bersama untuk belajar ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang disebut Kyai. Asrama siswa berada di dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili. Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasi adanya lima elemen pokok yaitu: pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik [kitab kuning].[8] Seputar peran signifikan pesantren ini, Harry J. Benda menyebut sejarah Islam ala Indonesia adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia.[9] Melalui pesantren, budaya Islam dikembangkan dan beradaptasi dengan budaya lokal yang berkembang di sekitarnya tanpa mengakibatkan konflik horisontal signifikan.

Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid-masjid awal yang dibangun pasca penetrasi Islam ke nusantara cukup berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Salah satunya tidak terdapatnya kubah di puncak bangunan. Kubah digantikan semacam meru, susunan limas tiga atau lima tingkat, serupa dengan arsitektur Hindu. Masjid Banten memiliki meru lima tingkat, sementara masjid Kudus dan Demak tiga tingkat. Namun, bentuk bangunan dinding yang bujur sangkar sama dengan budaya induknya.[10]

Perbedaan lain, menara masjid awalnya tidak dibangun di Indonesia. Menara dimaksudkan sebagai tempat mengumandakan adzan, seruan penanda shalat. Peran menara digantikan bedug atau tabuh sebagai penanda masuknya waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah adzan dilakukan. Namun, ada pula menara yang dibangun semisal di masjid Kudus dan Demak. Uniknya, bentuk menara di kedua masjid mirip bangunan candi Hindu. Meskipun di masa kini telah dilengkapi menara, bangunan-bangunan masjid jauh di masa sebelumnya masih mempertahankan bentuk lokalnya, terutama meru dan limas bertingkat tiga.

Pusara

Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang pasca meninggal dunia. Setelah pengaruh Islam, makam seorang berpengaruh tidak lagi diwujudkan ke dalam bentuk candi melainkan sekadar cungkup. Lokasi tubuh dikebumikan ini ditandai pula batu nisan. Nisan merupakan bentuk penerapan Islam di Indonesia. Nisan Indonesia bukan sekadar batu, melainkan terdapat ukiran penanda siapa orang yang dikebumikan.

Seni Ukir

Ajaran Islam melarang kreasi makhluk bernyawa ke dalam seni. Larangan dipegang para penyebar Islam dan orang-orang Islam Indonesia. Sebagai pengganti kreativitas, mereka aktif membuat kaligrafi serta ukiran tersamar. Misalnya bentuk dedaunan, bunga, bukit-bukit karang, pemandangan, serta garis-garis geometris. Termasuk ke dalamnya pembuatan kaligrafi huruf Arab. Ukiran misalnya terdapat di Masjid Mantingan dekat Jepara, daerah Indonesia yang terkenal karena seni ukirnya.

Seni Sastra

Seperti India, Islam pun memberi pengaruh terhadap sastra nusantara. Sastra bermuatan Islam terutama berkembang di sekitar Selat Malaka dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan kembangan sastra Hindu-Buddha. Sastrawan Islam melakukan gubahan baru atas Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang diberi muatan Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, atau Arjuna Sasrabahu. Di Melayu berkembang Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk [kitab yang membentangkan persoalan tasawuf]. Suluk gubahan Fansuri misalnya Sya’ir Perahu, Sya’ir Si Burung Pingai, Asrar al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.

Daftar Kutipan

[1] M.C. Ricklefs, Sejarah ..., op.cit. h. 27.

[2] Supartono Widyosiswoyo, Sejarah Kebudayaan Indonesia [Jakarta: Universitas Trisakti, Cet.2, 2006] h.96-100. Penjelasan selanjutnya atas ketiga jalur ini mengacu pada sumber ini.

[3] M.C.Ricklefs, Sejarah ..., op.cit., h. 29.

[4] Jean Gelman Taylor, Indonesia: Peoples and Histories [New Haven: Yale University Press, 2003] p.66.

[5] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Edisi Pemutakhiran [Jakarta: Balai Pustaka, 2008] h.169-75. Paparan kemudian, jika tidak diseling footnote lain, mendasarkan diri pada sumber ini.

[6] Pekojan adalah wilayah yang sebelumnya juga ditempat oleh migran dari India.

[7] Jean Gelman Taylor, Indonesia ... , op.cit. p. 105.

[8] Sejarah Pesantren dalam www.nurmuslimah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=347:sejarah-pesantren&catid=51:tahukah-anda&Itemid=91 download tanggal 3 Mei 2009

[9] Murray Gordon O’Hanlon, Pesantren dan Dunia Pemikiran Santri: Problematika Metodologi Penelitian yang dihadapi Orang Asing [Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006] h.1.

[10] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 [Yogyakarta: Kanisius, Cet.19, 2008] h.75-109.

Lihat Juga

Penyebaran Budaya India Hindu Buddha di Indonesia

Pengaruh Budaya Barat atas Kebudayaan Indonesia

Proses Terbentuknya Masyarakat Indonesia

tags:

penyebaran budaya islam di indonesia jalur utara jalur tengah jalur selatan bidang sastra islam arsitektur islam

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề