Apa undang undang yang membahas tentang apbn

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Gambaran pertama kali dimunculkan dalam Pidato Presiden RI di depan sidang MPR/DPR sebelum perayaan hari Kemerdekaan, sekitar tanggal 14 Agustus.

Pidato Presiden Joko Widodo dalam dalam rangka Penyampaian RUU APBN TA 2021 dan Nota Keuangan Beserta Dokumen Pendukungnya pada Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR-RI tahun Sidang 2020 – 2021 pada tanggal 14 Agustus 2020 di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat [MPR] / Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] / Dewan Perwakilan Daerah [DPD]. Merupakan cikal bakal UU APBN tahun 2021 yang juga dalam masa sidang tersebut Presiden menyampaikan pertanggungjawaban APBN tahun sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Oktober 2020. UU 9 tahun 2020 tentang APBN 2021 diundangkan Menkumham Yasonna H. Laoly pada 26 Oktober 2020 di Jakarta.

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 239. Penjelasan Atas UU 9 tahun 2020 tentang APBN 2021 ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6570. Agar setiap orang mengetahuinya.

Pertimbangan dalam UU 9 tahun 2020 tentang APBN 2021 adalah:

  1. bahwa Anggaran Fendapatan dan Belanja Negara merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

  2. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 termuat dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 yang disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat [1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021;

Dasar hukum UU 9 tahun 2020 tentang APBN 2021 adalah:

  1. Pasal 5 ayat [1], Pasal 20, Pasal 23 ayat [1] dan ayat [2], Pasal 31 ayat [4], dan Pasal 33 ayat [1], ayat [2], ayat [3], dan ayat [4] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286];

  3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421];

  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568] sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187];

  5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 [COVID-19] dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516];

APBN Tahun Anggaran 2021 disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2021, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021 sebagaimana telah dibahas dan disepakati bersama, baik dalam Pembicaraan Pendahuluan maupun Pembicaraan Tingkat I Pembahasan APBN Tahun Anggaran 2021 antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. APBN Tahun Anggaran 2021 juga mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial, dan perkembangan internasional dan domestik terkini, kinerja APBN tahun 2019, serta berbagai langkah antisipatif yang telah ditempuh di tahun 2020, maupun rencana kebijakan yang akan dilaksanakan di tahun 2021.

APBN Tahun Anggaran 2021 berada pada posisi yang strategis di antara harapan untuk percepatan pemulihan ekonomi pascapandemi dan menjadi pondasi untuk mewujudkan visi jangka panjang menuju Indonesia emas di tahun 2045. Oleh karena itu, APBN Tahun Anggaran 2021 akan menjadi instrumen Pemerintah untuk melakukan upaya pemulihan [recovery] sekaligus melanjutkan reformasi sektoral dan fiskal agar dapat menstimulasi perekonomian serta mendorong daya saing nasional termasuk melalui transformasi struktural.

Dalam menjalankan fungsinya tersebut, APBN Tahun Anggaran 2021 akan diarahkan untuk mendorong terciptanya pengelolaan fiskal yang semakin sehat, tercermin dalam target defisit fiskal konsolidatif yang diturunkan secara bertahap menuju kondisi normal dibawah 3% [tiga persen] pada tahun 2023. Kebijakan fiskal akan ditempuh melalui optimalisasi peran pendapatan negara baik sebagai sumber penerimaan dan juga instrumen stimulus bagi perekonomian, peningkatan belanja yang lebih berkualitas [spending better] yang berfokus pada bidang prioritas dan berorientasi pada hasil, dan melanjutkan pembiayaan yang kreatif, efisien dan berkelanjutan. Di samping itu, kebijakan fiskal diharapkan mampu mendorong perbaikan neraca keuangan Pemerintah.

APBN Tahun Anggaran 2021 masih akan menghadapi ketidakpastian yang tinggi dari lingkungan global yang turut mempengaruhi kondisi perekonomian domestik ke depan. Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 [COVID-19] yang belum pasti berakhirnya menjadi tantangan yang besar dalam menyusun APBN Tahun Anggaran 2021 terutama di sisi asumsi dasar ekonomi makro yang menjadi dasar penyusunan postur APBN Tahun Anggaran 2021. Asumsi dasar ekonomi makro yang menjadi acuan tetap dapat mencerminkan kondisi yang realistis sekaligus mampu menghadirkan optimisme di tahun 2021.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tahun 2021 diperkirakan mencapai 5,0% [lima koma nol persen]. Asumsi pertumbuhan ekonomi ini mempertimbangkan potensi dan risiko yang berasal dari sisi eksternal antara lain faktor obat/vaksin yang dapat efektif di tahun 2021, pemulihan ekonomi global pascapandemi Corona Virus Disease 2019 [COVID-19] di seluruh dunia, risiko ketegangan geopolitik, fluktuasi harga komoditas, serta risiko sektor keuangan yang dapat berpengaruh terhadap likuiditas global dan tingkat investasi. Dari sisi domestik, pertumbuhan ekonomi diharapkan akan ditopang oleh peningkatan konsumsi masyarakat sejalan dengan pengendalian penyebaran Corona Virus Disease 2019 [COVID-19], konsumsi Pemerintah sebagai bentuk kebijakan countercyclical yang dijalankan Pemerintah, peningkatan kinerja investasi sektor swasta dan Pemerintah, serta perbaikan kinerja ekspor-impor. Selain itu, reformasi struktural terus dilakukan melalui peningkatan produksi, untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke depan.

Upaya menjaga stabilitas ekonomi makro akan ditempuh dengan memperkuat berbagai kebijakan di sisi fiskal, moneter, sektor keuangan, dan sektor riil. Dengan stabilitas ekonomi makro yang terjaga, i] rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2021 diperkirakan akan stabil pada Rp14.60O,0O [empat belas ribu enam ratus rupiah] per satu dolar Amerika Serikat; ii] laju inflasi diperkirakan dapat dikendalikan pada tingkat 3,0% [tiga koma nol persen]; dan iii] rata-rata suku bunga Surat Berharga Negara 10 [sepuluh] tahun diperkirakan mencapai 7,29% [tujuh koma dua sembilan persen]. Untuk mengantisipasi ketidakpastian perekonomian global, Pemerintah bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan akan terus melakukan mitigasi terhadap berbagai potensi risiko yang akan berdampak terhadap stabilitas perekonomian secara menyeluruh.

Sejalan dengan pergerakan harga komoditas dunia, rata-rata harga minyak mentah Indonesia [Indonesia Crude Price-ICP] di pasar internasional dalam tahun 2021 diperkirakan akan berada pada kisaran USD45 [empat puluh lima dolar Amerika Serikat] per barel. Sementara itu, lifting minyak mentah diperkirakan mencapai 705.000 [tujuh ratus lima ribu] barel per hari, sedangkan lifting gas diperkirakan mencapai 1.007.000 [satu juta tujuh ribu] barel setara minyak per hari.

Strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap-tiap tahap memuat rencana dan strategi pembangunan untuk lima tahun yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.

Rencana Kerja Pemerintah [RKP] tahun 2021 merupakan dokumen perencanaan pembangunan tahun kedua dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [RPJMN] 2020-2024. RKP 2021 memiliki nilai strategis mengingat dokumen ini disusun pada tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2020-2024.

Dengan mengacu pada sasaran pembangunan yang hendak dicapai, maka arah kebijakan pembangunan yang ditempuh dalam RKP 2021 utamanya akan fokus pada upaya pembangunan sumber daya manusia dan pemerataan wilayah, yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor. Untuk mendukung arah kebijakan tersebut, strategi pelaksanaan pembangunan dituangkan ke dalam tujuh Prioritas Nasional yaitu: [1] Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan; [2] Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan; [3] Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing; [4] Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan Kebijakan Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan; [5] Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar; [6] Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim; dan [7] Memperkuat Stabilitas Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan [Polhukhankam] dan Transformasi Pelayanan Publik. Ketujuh Prioritas Nasional tersebut selanjutnya diterjemahkan ke dalam Program Prioritas. Penjabaran lebih lanjut dari masing-masing Prioritas Nasional dalam RKP tahun 2021 berikut ini.

Pertama, Prioritas Nasional Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan diarahkan antara lain untuk memperkuat ketahanan ekonomi akibat dampak pandemi COVID-19, antara lain melalui: ketersediaan akses dan kualitas pangan; penguatan penyediaan energi yang terjangkau; penguatan daya saing industri melalui peningkatan akses ke pasar ekspor; pemulihan pariwisata nasional dengan meningkatkan konektivitas, perluasan pemasaran, serta diversifikasi destinasi pariwisata; dan, penguatan dukungan kepastian usaha.

Kedua, Prioritas Nasional Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan diarahkan antara lain untuk mempercepat pemulihan dampak pandemi COVID-19 melalui transformasi sosial ekonomi, mengoptimalkan keunggulan kompetitif wilayah, pengembangan Iptek berbasis keunggulan wilayah, dan meningkatkan pemerataan kualitas hidup antarwilayah dan peningkatan daya dukung dan ketahanan wilayah dari kondisi bencana dan perubahan iklim.

Ketiga, Prioritas Nasional Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing yang dilakukan antara lain melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang adaptif, inovatif, terampil dan berkarakter melalui: pemerataan layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas, pengendalian penduduk, pengentasan kemiskinan, penguatan perlindungan sosial khususnya bagi pekerja dan pencari kerja yang terdampak COVID-19, dan peningkatan produktivitas dan daya saing.

Keempat, Prioritas Nasional Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan Kebijakan Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan diarahkan antara lain untuk mengubah cara pandang, sikap dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan, antara lain melalui: revolusi mental dan pembinaan ideologi Pancasila, pemajuan dan pelestarian kebudayaan, moderasi beragama, dan penguatan budaya literasi, inovasi, dan kreativitas.

Kelima, Prioritas Nasional Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar antara lain diarahkan untuk pemulihan pascapandemi COVID-19 yaitu pemulihan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak dan aman; peningkatan layanan pengelolaan air tanah dan air baku berkelanjutan; peningkatan layanan keselamatan dan keamanan transportasi; peningkatan ketahanan infrastruktur; optimalitasi waduk multiguna dan modernisasi irigasi; peningkatan konektivitas wilayah; peningkatan akses dan pasokan energi dan tenaga listrik; pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi [TIK] dan kontribusi sektor informasi dan komunikasi dalam pertumbuhan ekonomi; serta optimalisasi strategi investasi badan usaha penyiapan, pelaksanaan dan pemeliharaan proyek infrastruktur.

Keenam, Prioritas Nasional Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim diarahkan antara lain untuk: penguatan upaya pencegahan, penanggulangan, pemulihan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup; penguatan sistem dan respon peringatan dini bencana alam dan non alam, [termasuk pencegahan penyebaran pandemi penyakit]; serta peningkatan capaian penurunan emisi dan intensitas emisi gas rumah kaca, dengan fokus penurunan emisi gas rumah kaca pada sektor lahan, industri, dan energi.

Ketujuh, Prioritas Nasional Memperkuat Stabilitas Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan [Polhukhankam] dan Transformasi Pelayanan Publik diarahkan untuk mewujudkan situasi kondusif melalui penegakan hukum dan penciptaan keamanan, antara lain melalui: penguatan perlindungan Warga Negara Indonesia di luar negeri; intensifikasi kerjasama pembangunan internasional; penguatan sinergitas, sinkronisasi, dan pemerataan informasi berkeadilan; pemulihan kinerja pelavanan publik; serta peningkatan Operasi Militer Selain Perang [OMSP] penanggulangan bencana serta kontingensi dalam rangka pemulihan pascapandemi COVID-19.

Agar prioritas sasaran pembangunan nasional dan prioritas nasional lainnya tersebut dapat tercapai, dan sasaran pembangunan nasional Pemerintah perlu mengoptimalkan Penerimaan Perpajakan dan PNBP. Peningkatan Penerimaan Perpajakan dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Selanjutnya, Pemerintah juga melakukan langkah-langkah efisiensi sumber pembiayaan yang diantaranya dengan mengutamakan pembiayaan dalam negeri, untuk kegiatan produktif.

Selanjutnya dari sisi Belanja Negara, diarahkan untuk dijadikan momentum transisi menuju normal secara bertahap, menyelesaikan permasalahan di sektor kesehatan, ekonomi, dan sosial yang dihadapi Indonesia pascapandemi COVID-19, serta penguatan reformasi untuk keluar dari perangkap pendapatan kelas menengah [middle income trap], dengan kebijakan yang antara lain diarahkan pada efisiensi belanja, optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, mendukung prioritas pembangunan untuk percepatan pemulihan ekonomi; melaksanaan redesign sistem perencanaan dan penganggaran melalui pendekatan belanja yang lebih baik [spending better] yang fokus pada pelaksanaan program prioritas, berbasis pada hasil [result based], dan efisiensi kebutuhan dasar, serta antisipatif terhadap berbagai tekanan [automatic stabilizer], dan memperkuat sinergi dan koordinasi antara Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dan instansi lainnya.

Dalam rangka mendorong konektivitas dan pemerataan wilayah, Pemerintah terus mengupayakan penggunaan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha [KPBU] sebagai salah satu sumber pembiayaan kreatif untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur. Pemerintah telah menyediakan berbagai dukungan dan fasilitas untuk mendukung pelaksanaan proyek KPBU seperti Fasilitas Penyiapan Proyek dan Pendampingan Transaksi [Project Deuelopment Facility/PDF], Dukungan Kelayakan Proyek [Viability Gap Fund/VGF], dan juga terdapat penjaminan yang dilaksanakan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. Lebih lanjut, Pemerintah juga telah menyediakan pengaturan mengenai skema pengembalian investasi melalui pembayaran ketersediaan layanan atau Availability Payment [KPBU-AP] untuk menjamin kepastian pengembalian investasi kepada pihak swasta.

Guna mendukung program pemulihan ekonomi nasional sebagai dampak pandemi COVID-19, pembangunan infrastruktur diharapkan dapat menjadi tulang punggung kegiatan perekonomian utamanya dalam penyediaan sektor infrastruktur dasar dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pembangunan infrastruktur pada sektor dasar juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2021 dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 5/DPD RI/I/2020-2021, tangga 22 September 2020.

Pembahasan Undang-Undang ini dilaksanakan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 tanggal 22 Mei 2014.

Berikut adalah isi UU 9 tahun 2020 tentang APBN 2021, bukan format asli:

UNDANG-UNDANG TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2021

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

  2. Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah.

  3. Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas Pendapatan Pajak Dalam Negeri dan Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional.

  4. Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.

  5. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.

  6. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan Pemerintah pusat di luar Penerimaan Perpajakan dan Hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.

  7. Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

  8. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

  9. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial.

  10. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga dan Bendahara Umum Negara.

  1. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil [outcome] tertentu pada Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.

  2. Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga Pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak sesuai kemampuan keuangan negara.

  3. Transfer ke Daerah adalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

  4. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas dana transfer umum dan dana transfer khusus.

  5. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

  6. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

  7. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

  8. Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria tertentu dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas perbaikan dan/atau pencapaian kinerja tertentu di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.

  9. Dana Otonomi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

  10. Dana Tambahan Infrastruktur Dalam Rangka Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang selanjutnya disebut DTI adalah dana tambahan yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

  1. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana yang bersumber dari APBN untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

  2. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

  3. Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

  4. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan.

  5. Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.

  6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.

  7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya.

  8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

  9. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

  10. Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya yang selanjutnya disingkat BPYBDS adalah bantuan Pemerintah berupa BMN yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga atau pada Badan Usaha Milik Negara.

  1. Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembaga/badan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.

  2. Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, dan/atau sosial, dan/atau manfaat lainnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  3. Dana Bergulir adalah dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya.

  4. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya.

  5. Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada kementerian negara/lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dan bank sistemik penerima pinjaman likuiditas khusus dalam hal kementerian negara/lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dan bank sistemik penerima pinjaman likuiditas khusus dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan/atau badan usaha sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian kerja sama.

  6. Pinjaman Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.

  7. Pinjaman Tunai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang.

  8. Pinjaman Kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga, pinjaman yang diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara, dan pinjaman yang diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah.

  9. Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.

  10. Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pendidikan melalui kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.

  11. Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara.

  12. Tahun Anggaran 2021 adalah masa 1 [satu] tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.

APBN terdiri atas anggaran Pendapatan Negara, anggaran Belanja Negara, dan Pembiayaan Anggaran.

Pasal 3

Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2021 direncanakan sebesar Rp1.743.648.547.327.000,00 [satu kuadriliun tujuh ratus empat puluh tiga triliun enam ratus empat puluh delapan miliar lima ratus empat puluh tujuh juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah], yang diperoleh dari sumber:

  1. Penerimaan Perpajakan;

  2. PNBP; dan

  3. Penerimaan Hibah.

Pasal 4

  1. Penerimaan Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a direncanakan sebesar Rp1.444.541.564.794.000,00 [satu kuadriliun empat ratus empat puluh empat triliun lima ratus empat puluh satu miliar lima ratus enam puluh empat juta tujuh ratus sembilan puluh empat ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. Pendapatan Pajak Dalam Negeri; dan

    2. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional.

  2. Pendapatan Pajak Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a direncanakan sebesar Rp1.409.581.016.340.000,00 [satu kuadriliun empat ratus sembilan triliun lima ratus delapan puluh satu miliar enam belas juta tiga ratus empat puluh ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. pendapatan pajak penghasilan;

    2. pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah;

    3. pendapatan pajak bumi dan bangunan;

    4. pendapatan cukai; dan

    5. pendapatan pajak lainnya.

  3. Pendapatan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf a direncanakan sebesar Rp683.774.638.899.000,00 [enam ratus delapan puluh tiga triliun tujuh ratus tujuh puluh empat miliar enam ratus tiga puluh delapan juta delapan ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah] yang didalamnya termasuk pajak penghasilan ditanggung Pemerintah atas:

    1. komoditas panas bumi sebesar Rp2.401.859.480.000,00 [dua triliun empat ratus satu miliar delapan ratus lima puluh sembilan juta empat ratus delapan puluh ribu rupiah] yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;

    2. bunga, imbal hasil, dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran SBN di pasar internasional, tetapi tidak termasuk jasa konsultan hukum lokal, sebesar Rp9.342.594.280.000,00 [sembilan triliun tiga ratus empat puluh dua miliar lima ratus sembilan puluh empat juta dua ratus delapan puluh ribu rupiah] yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;

    3. penghasilan dari penghapusan secara mutlak piutang negara nonpokok yang bersumber dari Pemberian Pinjaman, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah yang diterima oleh Perusahaan Daerah Air Minum sebesar Rp2.813.270.000,00 [dua miliar delapan ratus tiga belas juta dua ratus tujuh puluh ribu rupiah] yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; dan

    4. pembayaran Recurrent Cost SPAN yang dibiayai oleh rupiah murni sebesar Rp25.250.000,00 [dua puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah] yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

  4. Pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf b direncanakan sebesar Rp518.545.224.367.000,00 [lima ratus delapan belas triliun lima ratus empat puluh lima miliar dua ratus dua puluh empat juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu rupiah].

  5. Pendapatan pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf c direncanakan sebesar Rp14.830.603.344.000,00 [empat belas triliun delapan ratus tiga puluh miliar enam ratus tiga juta tiga ratus empat puluh empat ribu rupiah].

  6. Pendapatan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf d direncanakan sebesar Rp180.000.000.000.000,00 [seratus delapan puluh triliun rupiah].

  7. Pendapatan pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf e direncanakan sebesar Rp12.430.549.730.000,00 [dua belas triliun empat ratus tiga puluh miliar lima ratus empat puluh sembilan juta tujuh ratus tiga puluh ribu rupiah].

  8. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b direncanakan sebesar Rp34.960.548.454.000,00 [tiga puluh empat triliun sembilan ratus enam puluh miliar lima ratus empat puluh delapan juta empat ratus lima puluh empat ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. pendapatan bea masuk; dan

    2. pendapatan bea keluar.

  9. Pendapatan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat [8] huruf a direncanakan sebesar Rp33. 172.654.171.000,00 [tiga puluh tiga triliun seratus tujuh puluh dua miliar enam ratus lima puluh empat juta seratus tujuh puluh satu ribu rupiah].

  10. Pendapatan bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat [8] huruf b direncanakan sebesar Rp1.787.894.283.000,00 [satu triliun tujuh ratus delapan puluh tujuh miliar delapan ratus sembilan puluh empat juta dua ratus delapan puluh tiga ribu rupiah].

  11. Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2021 sebagaimana dimaksud pada ayat [2] dan ayat [S] diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 5

  1. PNBP sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b direncanakan sebesar Rp298.204.166.025.000,00 [dua ratus sembilan puluh delapan triliun dua ratus empat miliar seratus enam puluh enam juta dua puluh lima ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. pendapatan Sumber Daya Alam;

    2. pendapatan dari Kekayaan Negara Dipisahkan;

    3. pendapatan PNBP lainnya; dan

    4. pendapatan Badan Layanan Umum.

  2. Pendapatan Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a direncanakan sebesar Rp104. 108.834.374.000,00 [seratus empat triliun seratus delapan miliar delapan ratus tiga puluh empat juta tiga ratus tujuh puluh empat ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. pendapatan Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi; dan

    2. pendapatan Sumber Daya Alam Nonminyak dan Nongas Bumi.

  3. Pendapatan dari Kekayaan Negara Dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b direncanakan sebesar Rp26.130.490.000.000,00 [dua puluh enam triliun seratus tiga puluh miliar empat ratus sembilan puluh juta rupiah].

  4. Untuk mengoptimalkan pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan, penyelesaian piutang pada Badan Usaha Milik Negara dilakukan:

    1. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Perbankan;

    2. memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; dan

    3. Pemerintah melakukan pengawasan penyelesaian piutang pada Badan Usaha Milik Negara tersebut.

  5. Pendapatan PNBP lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf c direncanakan sebesar Rp109.174.696.808.000,00 [seratus sembilan triliun seratus tujuh puluh empat miliar enam ratus sembilan puluh enam juta delapan ratus delapan ribu rupiah].

  6. Pendapatan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf d direncanakan sebesar Rp58.790.144.843.000,00 [lima puluh delapan triliun tujuh ratus sembilan puluh miliar seratus empat puluh empat juta delapan ratus empat puluh tiga ribu rupiah].

  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian PNBP Tahun Anggaran 2021 sebagaimana dimaksud pada ayat [2], ayat [3], ayat [5], dan ayat [6] diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 6

Penerimaan Hibah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c direncanakan sebesar Rp902.816.508.000,00 [sembilan ratus dua miliar delapan ratus enam belas juta lima ratus delapan ribu rupiah].

Pasal 7

Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 direncanakan sebesar Rp2.750.028.018.431.000,00 [dua kuadriliun tujuh ratus lima puluh trilliun dua puluh delapan miliar delapan belas juta empat ratus tiga puluh satu ribu rupiah], yang terdiri atas:

  1. anggaran Belanja Pemerintah Pusat; dan

  2. anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

Pasal 8

  1. Anggaran Belanja Pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a direncanakan sebesar Rp1.954.548.542.970.000,00 [satu kuadriliun sembilan ratus lima puluh empat triliun lima ratus empat puluh delapan miliar lima ratus empat puluh dua juta sembilan ratus tujuh puluh ribu rupiah].

  2. Anggaran Belanja Pemerintah pusat sebagaimana dimaksud pada ayat [1] termasuk program pengelolaan hibah negara yang dialokasikan kepada daerah sebesar Rp6.781.551.187.000,00 [enam triliun tujuh ratus delapan puluh satu miliar lima ratus lima puluh satu juta seratus delapan puluh tujuh ribu rupiah].

  3. Anggaran Belanja Pemerintah pusat sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dikelompokkan atas:

    1. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi;

    2. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi; dan

    3. Belanja Pemerintah Pusat Menurut program.

  4. Pelaksanaan Belanja Pemerintah pusat sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ayat [2], dan ayat [3], berorientasi pada keluaran [output] dan hasil [outcome], untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, Organisasi, dan Program sebagaimana dimaksud pada ayat [3], diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 9

  1. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b direncanakan sebesar Rp795.479.475.461.000,00 [tujuh ratus sembilan puluh lima triliun empat ratus tujuh puluh sembilan miliar empat ratus tujuh puluh lima juta empat ratus enam puluh satu ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. Transfer ke Daerah; dan

    2. Dana Desa.

  2. Transfer ke Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a direncanakan sebesar Rp723.479.475.461.000,00 [tujuh ratus dua puluh tiga triliun empat ratus tujuh puluh sembilan miliar empat ratus tujuh puluh lima juta empat ratus enam puluh satu ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. Dana Perimbangan;

    2. DID; dan

    3. Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

  3. Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b direncanakan sebesar Rp72.000.000.000.000,00 [tujuh puluh dua triliun rupiah].

  4. Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat [3] dialokasikan kepada setiap kabupaten/kota dengan ketentuan:

    1. Alokasi Dasar sebesar 65% [enam puluh lima persen] dibagi secara merata kepada setiap desa berdasarkan klaster jumlah penduduk;

    2. Alokasi Afirmasi sebesar 1% [satu persen] dibagi secara proporsional kepada desa tertinggal dan desa sangat tertinggal yang mempunyai jumlah penduduk miskin tinggi;

    3. Alokasi Kinerja sebesar 3% [tiga persen] dibagi kepada desa dengan kinerja terbaik; dan

    4. Alokasi Formula sebesar 31% [tiga puluh satu persen] dibagi berdasarkan jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis desa.

  5. Berdasarkan alokasi Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat [4], bupati/walikota melakukan penghitungan rincian Dana Desa setiap desa.

  6. Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b disalurkan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Desa melalui Rekening Kas Umum Daerah.

  7. Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b diutamakan penggunaannya antara lain untuk pemulihan ekonomi dan pengembangan sektor prioritas di desa.

  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Dana Desa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 10

Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat [2] huruf a direncanakan sebesar Rp688.676.556.279.000,00 [enam ratus delapan puluh delapan triliun enam ratus tujuh puluh enam miliar lima ratus lima puluh enam juta dua ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah], yang terdiri atas:

  1. dana transfer umum; dan

  2. dana transfer khusus.

Pasal 11

  1. Dana transfer umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a direncanakan sebesar Rp492.253.011.279.000,00 [empat ratus sembilan puluh dua triliun dua ratus lima puluh tiga miliar sebelas juta dua ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah], yang terdiri atas:

  2. DBH sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a direncanakan sebesar Rp101.961.620.991.000,00 [seratus satu triliun sembilan ratus enam puluh satu miliar enam ratus dua puluh juta sembilan ratus sembilan puluh satu ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. DBH Tahun Anggaran berjalan sebesar Rp81.96I.620.991.000,00 [delapan puluh satu triliun sembilan ratus enam putuh satu miliar enam ratus dua puluh juta sembilan ratus sembilan puluh satu ribu rupiah], yang terdiri atas:

      1. DBH Pajak sebesar Rp46.326.192.330.000,00 [empat puluh enam triliun tiga ratus dua puluh enam miliar seratus sembilan puluh dua juta tiga ratus tiga puluh ribu rupiah]; dan

      2. DBH Sumber Daya Alam sebesar Rp35.635.428.661.000,00 [tiga puluh lima triliun enam ratus tiga puluh lima miliar empat ratus dua puluh delapan juta enam ratus enam puluh satu ribu rupiah].

    2. Kurang Bayar DBH sebesar Rp20.000.000.000.000,00 [dua puluh rupiah], terdiri atas:

      1. DBH Pajak sebesar Rp16.442.265.884.000,00 [enam belas triliun empat ratus empat puluh dua miliar dua ratus enam puluh lima juta delapan ratus delapan puluh empat ribu rupiah]; dan

      2. DBH Sumber Daya Alam sebesar Rp3.557.734.116.000,00 [tiga triliun lima ratus lima puluh tujuh miliar tujuh ratus tiga puluh empat juta seratus enam belas ribu rupiah].

  3. DBH Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf a angka 1] terdiri atas:

    1. Pajak Bumi dan Bangunan;

    2. Pajak Penghasilan Pasal 21, pasal 25, dan pasal 29 Wajib Pajak Orang pribadi Dalam Negeri; dan

    3. Cukai Hasil Tembakau.

  4. DBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf a angka 2] terdiri atas:

    1. minyak bumi dan gas bumi;

    2. mineral dan batubara;

    3. kehutanan;

    4. perikanan; dan

    5. panas bumi.

  5. Dalam rangka mengurangi potensi lebih bayar DBH, rincian rencana DBH untuk tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf a disesuaikan dengan memperhatikan proyeksi DBH berdasarkan realisasi DBH setiap daerah paling kurang 3 [tiga] tahun terakhir.

  6. Kurang Bayar dan Lebih Bayar DBH Tahun Anggaran 2020 ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan pada Tahun Anggaran 2020 dari laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

  7. Dalam rangka mempercepat penyelesaian Kurang Bayar DBH sampai dengan Tahun Anggaran 2020, Menteri Keuangan dapat menetapkan alokasi sementara Kurang Bayar DBH sampai dengan Tahun Anggaran 2020 dan/atau dapat menggunakan alokasi DBH tahun anggaran berjalan.

  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara percepatan penyelesaian Kurang Bayar DBH sebagaimana dimaksud pada ayat [7] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

  9. DBH Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat [4] huruf c, khusus Dana Reboisasi yang sebelumnya disalurkan ke kabupaten/kota penghasil, mulai Tahun Anggaran 2017 disalurkan ke provinsi penghasil dan digunakan untuk membiayai kegiatan yang meliputi:

    1. rehabilitasi di luar kawasan;

    2. pembangunan dan pengelolaan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan/jasa lingkungan dalam kawasan;

    3. operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan;

    4. pemberdayaan masyarakat dan perhutanan sosial; dan/atau

    5. pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

  10. Penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat [3] huruf c, DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat [4] huruf a dan DBH Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat [4] huruf c, diatur sebagai berikut:

    1. Penerimaan DBH Cukai Hasil Tembakau, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dialokasikan untuk mendanai program sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai cukai, dengan prioritas pada bidang kesehatan untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional terutama peningkatan kuantitas dan kualitas layanan kesehatan dan pemulihan perekonomian di daerah.

    2. Penerimaan DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota digunakan sesuai kebutuhan dan prioritas daerah, kecuali tambahan DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    3. DBH Kehutanan dari Dana Reboisasi yang merupakan bagian kabupaten/kota, baik yang disalurkan pada tahun 2016 maupun tahun-tahun sebelumnya yang masih terdapat di kas daerah dapat digunakan oleh organisasi perangkat daerah yang ditunjuk oleh bupati/wali kota untuk:

      1. pembangunan dan pengelolaan taman hutan raya;

      2. pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan;

      3. penanaman daerah aliran sungai kritis, penanaman pada kawasan perlindungan setempat, dan pembuatan bangunan konservasi tanah dan air; dan/atau

      4. pembangunan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.

  11. Dalam hal realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan melebihi pagu penerimaan yang dianggarkan dalam tahun 2021, pemerintah menyalurkan DBH berdasarkan realisasi penerimaan tersebut sesuai dengan kondisi keuangan negara.

  12. DAU sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b, dialokasikan sebesar 31,59% [tiga puluh satu koma lima sembilan persen] dari Pendapatan Dalam Negeri neto atau direncanakan sebesar Rp390.291.390.288.000,00 [tiga ratus sembilan puluh triliun dua ratus sembilan puluh satu miliar tiga ratus sembilan puluh juta dua ratus delapan puluh delapan ribu rupiah].

  13. Pagu DAU Nasional dalam APBN dapat disesuaikan mengikuti perubahan Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan oleh Pemerintah.

  14. DAU sebagaimana dimaksud pada ayat [12] dialokasikan berdasarkan formula alokasi dasar dan celah fiskal.

  15. Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat [14] dihitung berdasarkan jumlah gaji Aparatur Sipil Negara Daerah.

  16. Pendapatan Dalam Negeri neto sebagaimana dimaksud pada ayat [13] dihitung berdasarkan penjumlahan antara Penerimaan Perpajakan dan PNBP, dikurangi dengan pendapatan negara yang di-earmark dan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa selain DAU.

  17. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 14,1% [empat belas koma satu persen] dan 85,9% [delapan puluh lima koma sembilan persen].

  18. Dalam rangka memperbaiki pemerataan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah, dilakukan penyesuaian secara proporsional alokasi DAU per daerah untuk provinsi dan kabupaten/kota dengan memperhatikan alokasi tahun sebelumnya sehingga alokasi antar daerah lebih merata.

  19. DAU sebagaimana dimaksud pada ayat [12] telah memperhitungkan formasi calon pegawai negeri sipil daerah, pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja, gaji ke-13 [ketiga belas] dan tunjangan hari raya.

  20. Alokasi dana transfer umum sebagaimana dimaksud pada ayat [1] digunakan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah.

  21. Dana transfer umum diarahkan penggunaannya paling sedikit 25% [dua puluh lima persen] untuk mendukung program pemulihan ekonomi daerah yang terkait dengan percepatan penyediaan sarana dan prasarana layanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah termasuk pembangunan sumber daya manusia dukungan pendidikan.

  22. Pedoman teknis atas penggunaan DBH Kehutanan dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat [9] dan penggunaan sisa DBH Kehutanan dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat [1O] huruf c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.

  23. Ketentuan lebih lanjut mengenai DBH Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat [10] huruf a diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

  24. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan dana transfer umum paling sedikit 25% [dua puluh lima persen] sebagaimana dimaksud pada ayat [21] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 12

  1. Dana transfer khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b direncanakan sebesar Rp196.423.545.000.000,00 [seratus sembilan puluh enam triliun empat ratus dua puluh tiga miliar lima ratus empat puluh lima juta rupiah], yang terdiri atas:

    1. DAK fisik; dan

    2. DAK nonfisik.

  2. Pengalokasian DAK fisik sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a ditetapkan berdasarkan usulan Pemerintah Daerah dan/atau aspirasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam memperjuangkan program pembangunan daerah dengan memperhatikan prioritas nasional, kemampuan keuangan negara, dan tata kelola keuangan negara yang baik.

  3. DAK fisik sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a direncanakan sebesar Rp65.248.200.000.000,00 [enam puluh lima triliun dua ratus empat puluh delapan miliar dua ratus juta rupiah], mencakup DAK Fisik Reguler dan DAK Fisik Penugasan, yang terdiri atas:

    1. bidang pendidikan sebesar Rp18.334.600.000.000,00 [delapan belas triliun tiga ratus tiga puluh empat miliar enam ratus juta rupiah];

    2. bidang kesehatan dan keluarga berencana sebesar Rp20.781.200.000.000,00 [dua puluh triliun tujuh ratus delapan puluh satu miliar dua ratus juta rupiah];

    3. bidang perumahan dan permukiman sebesar Rp 1.000.000.000.000,00 [satu triliun rupiah];

    4. bidang industri kecil dan menengah sebesar Rp750.00O.000.000,00 [tujuh ratus lima puluh miliar rupiah];

    5. bidang pertanian sebesar Rp1.400.000.000.000,00 [satu triliun empat ratus miliar rupiah];

    6. bidang kelautan dan perikanan sebesar Rp 1.000.000.000.000,00 [satu triliun rupiah];

    7. bidang pariwisata sebesar Rp629.847.000.000,00 [enam ratus dua puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh tujuh juta rupiah];

    8. bidang jalan sebesar Rp10.791.539.000.000,00 [sepuluh triliun tujuh ratus sembilan puluh satu miliar lima ratus tiga puluh sembilan juta rupiah];

    9. bidang air minum sebesar Rp3.000.000.000.000,00 [tiga triliun rupiah];

    10. bidang sanitasi sebesar Rp2.000.000.000.000,00 [dua triliun rupiah];

    11. bidang irigasi sebesar Rp3.000.000.000.000,00 [tiga triliun rupiah];

    12. bidang lingkungan hidup sebesar Rp700.000.000.000,00 [tujuh ratus miliar rupiah];

    13. bidang transportasi perdesaan sebesar Rp1.250.000.000.000,00 [satu triliun dua ratus lima puluh miliar rupiah]; dan

    14. bidang transportasi laut sebesar Rp611.014.000.000,00 [enam ratus sebelas miliar empat belas juta rupiah].

  4. DAK Fisik penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat [3] terdiri atas:

    1. Tematik penurunan kematian ibu dan stunting;

    2. Tematik penanggulangan kemiskinan melalui perluasan akses perumahan, air minum, dan sanitasi;

    3. Tematik ketahanan pangan; dan

    4. Tematik penyediaan infrastruktur ekonomi berkelanjutan.

  5. Dalam rangka menjaga capaian output DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat [3] Pemerintah Daerah menyampaikan rencana kegiatan untuk mendapat persetujuan Pemerintah.

  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK fisik sebagaimana dimaksud pada ayat [3] diatur dengan Peraturan Presiden.

  7. Daerah penerima DAK Fisik tidak diwajibkan menyediakan dana pendamping.

  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran DAK fisik sebagaimana dimaksud pada ayat [3] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

  9. DAK nonfisik sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b direncanakan sebesar Rp131.175.345.000.000,00 [seratus tiga puluh satu triliun seratus tujuh puluh lima miliar tiga ratus empat puluh lima juta rupiah], yang terdiri atas:

    1. dana bantuan operasional sekolah sebesar Rp53.459.118.000.000,00 [lima puluh tiga triliun empat ratus lima puluh sembilan miliar seratus delapan belas juta rupiah];

    2. dana bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan anak usia dini sebesar Rp4.014.724.000.000,00 [empat triliun empat belas miliar tujuh ratus dua puluh empat juta rupiah];

    3. dana tunjangan profesi guru pegawai negeri sipil daerah sebesar Rp55.360.363.813.000,00 [lima puluh lima triliun tiga ratus enam puluh miliar tiga ratus enam puluh tiga juta delapan ratus tiga belas ribu rupiah];

    4. dana tambahan penghasilan guru pegawai negeri sipil daerah sebesar Rp454.204.000.000,00 [empat ratus lima puluh empat miliar dua ratus empat juta rupiah];

    5. dana bantuan operasional kesehatan dan bantuan operasional keluarga berencna sebesar Rp12.700.500.000.000,00 [dua belas triliun tujuh ratus miliar lima ratus juta rupiah];

    6. dana peningkatan kapasitas koperasi, usaha kecil dan menengah, sebesar Rp192.000.000.000,00 [seratus sembilan puluh dua miliar rupiah];

    7. dana tunjangan khusus guru pegawai negeri sipil daerah di daerah khusus sebesar Rp1.985.007.000.000,00 [satu triliun sembilan ratus delapan puluh lima miliar tujuh juta rupiah];

    8. dana pelayanan administrasi kependudukan sebesar Rp973. 182.250.000,00 [sembilan ratus tujuh puluh tiga miliar seratus delapan puluh dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah];

    9. dana bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan kesetaraan sebesar Rp1.195.308.000.000,00 [satu triliun seratus sembilan puluh lima miliar tiga ratus delapan juta rupiah];

    10. dana bantuan operasional penyelenggaraan museum dan taman budaya sebesar Rp136.032.000.000,00 [seratus tiga puluh enam miliar tiga puluh dua juta rupiah];

    11. dana pelayanan kepariwisataan sebesar Rp142.150.000.000,00 [seratus empat puluh dua miliar seratus lima puluh juta rupiah];

    12. dana bantuan biaya layanan pengolahan sampah sebesar Rp53.095.000.000,00 [lima puluh tiga miliar sembilan puluh lima juta rupiah];

    13. dana pelayanan perlindungan perempuan dan anak sebesar Rp101.747.000.000,00 [seratus satu miliar tujuh ratus empat puluh tujuh juta rupiah];

    14. dana fasilitasi penanaman modal sebesar Rp203.913.937.000,00 [dua ratus tiga miliar sembilan ratus tiga belas juta sembilan ratus tiga puluh tujuh ribu rupiah]; dan

    15. dana ketahanan pangan dan pertanian sebesar Rp204.000.000.000,00 [dua ratus empat miliar rupiah].

  10. Dana bantuan operasional sekolah sebagaimana dimaksud ayat [9] huruf a terdiri atas:

    1. bantuan operasional sekolah reguler sebesar Rp52.605.018.000.000,00 [lima puluh dua triliun enam ratus lima miliar delapan belas juta rupiah];

    2. bantuan operasional sekolah afirmasi sebesar Rp320.100.000.000,00 [tiga ratus dua puluh miliar seratus juta rupiah];

    3. bantuan operasional sekolah kinerja sebesar Rp534.000.000.000,00 [lima ratus tiga puluh empat miliar rupiah].

  11. Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK nonfisik sebagaimana dimaksud pada ayat [9] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 13

  1. DID sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat [2] huruf b direncanakan sebesar Rp13.500.000.000.000,00 [tiga belas triliun lima ratus miliar rupiah].

  2. DID dialokasikan berdasarkan kriteria utama dan kategori kinerja.

  3. DID sebagaimana dimaksud pada ayat [2] diprioritaskan untuk digitalisasi pendidikan dan kesehatan, pemberdayaan UMKM, dan industri kecil serta pemberdayaan ekonomi masyarakat.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai DID sebagaimana dimaksud pada ayat [2] dan ayat [3] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 14

  1. Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat [2] huruf c direncanakan sebesar Rp21.302.919.182.000,00 [dua puluh satu triliun tiga ratus dua miliar sembilan ratus sembilan belas juta seratus delapan puluh dua ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. Dana Otonomi Khusus; dan

    2. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

  2. Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a direncanakan sebesar Rp19.982.919.182.000,00 [sembilan belas triliun sembilan ratus delapan puluh dua miliar sembilan ratus sembilan belas juta seratus delapan puluh dua ribu rupiah], yang terdiri atas:

    1. Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp7.805.827.805.000,00 [tujuh triliun delapan ratus lima miliar delapan ratus dua puluh tujuh juta delapan ratus lima ribu rupiah] yang dibagi masing-masing untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan rincian sebagai berikut:

      1. Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua sebesar Rp5.464.079.464.000,00 [lima triliun empat ratus enam puluh empat miliar tujuh puluh sembilan juta empat ratus enam puluh empat ribu rupiah]; dan

      2. Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat sebesar Rp2.341.748.341.000,00 [dua triliun tiga ratus empat puluh satu miliar tujuh ratus empat puluh delapan juta tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah].

    2. Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh sebesar Rp7.805.827.805.000,00 [tujuh triliun delapan ratus lima miliar delapan ratus dua puluh tujuh juta delapan ratus lima ribu rupiah]; dan

    3. Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp4.371.263.572.000,00 [empat triliun tiga ratus tujuh puluh satu miliar dua ratus enam puluh tiga juta lima ratus tujuh puluh dua ribu rupiah], dengan rincian sebagai berikut:

      1. Dana Tambahan Infrastruktur bagi Provinsi Papua sebesar Rp2.622.758.143.000,00 [dua triliun enam ratus dua puluh dua miliar tujuh ratus lima puluh delapan juta seratus empat puluh tiga ribu rupiah]; dan

      2. Dana Tambahan Infrastruktur bagi Provinsi Papua Barat sebesar Rp1.748.505.429.000,00 [satu triliun tujuh ratus empat puluh delapan miliar lima ratus lima juta empat ratus dua puluh sembilan ribu rupiah].

  3. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b direncanakan sebesar Rp1.320.000.000.000,00 [satu triliun tiga ratus dua puluh miliar rupiah].

  4. Penyaluran Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilakukan dengan memperhitungkan kinerja penyerapan realisasi anggaran tahun 2020.

  5. Dengan berakhirnya pemberian Dana Otonomi Khusus pada tahun anggaran 2021, pemanfaatan dan pengelolaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat [1] berlaku selama satu tahun anggaran dengan batas waktu sampai dengan 31 Desember 2021.

Pasal 15

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur dalam Peraturan Presiden.

  2. Ketentuan mengenai penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa diatur sebagai berikut:

    1. dapat dilakukan dalam bentuk tunai dan nontunai;

    2. bagi daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah tidak wajar, dilakukan konversi penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk nontunai;

    3. dilakukan berdasarkan kinerja pelaksanaan; dan

    4. dapat dilakukan penundaan dan/atau pemotongan dalam hal daerah tidak memenuhi paling sedikit anggaran untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia dan pendanaan program pemulihan ekonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat [21], anggaran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan atau menunggak membayar iuran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan.

  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat [2] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 16

  1. Program Pengelolaan Subsidi dalam Tahun Anggaran 2021 direncanakan sebesar Rp175.350.382. 161.000,00 [seratus tujuh puluh lima triliun tiga ratus lima puluh miliar tiga ratus delapan puluh dua juta seratus enam puluh satu ribu rupiah].

  2. Anggaran untuk Program Pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Anggaran untuk Program pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro, perubahan parameter, dan/atau pembayaran kekurangan subsidi tahun-tahun sebelumnya.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian program Pengelolaan Subsidi dalam Tahun Anggaran 2021 sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 17

  1. Dalam hal realisasi PNBP Migas yang dibagihasilkan melampaui target penerimaan dalam APBN yang diikuti dengan kebijakan peningkatan subsidi Bahan Bakar Minyak [BBM] dan Liquified Petroleum Gas [LPG], Pemerintah dapat memperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi BBM dan LPG terhadap kenaikan PNBP Migas yang dibagihasilkan.

  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi BBM dan LPG terhadap kenaikan PNBP Migas yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 18

Dalam rangka efisiensi dan efektivitas anggaran kementerian negara/lembaga, Pemerintah melaksanakan kebijakan pemberian penghargaan dan/atau pengenaan sanksi atas kinerja anggaran kementerian negara/lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19

  1. Perubahan anggaran Belanja Pemerintah Pusat berupa:

    1. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP termasuk penggunaan saldo kas BLU;

    2. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari pinjaman termasuk pinjaman baru;

    3. pergeseran anggaran antarprogram dalam 1 [satu] Bagian Anggaran untuk penanggulangan bencana;

    4. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari hibah termasuk hibah yang diterushibahkan.

    5. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari klaim asuransi BMN;

    6. perubahan anggaran belanja dalam rangka penanggulangan bencana;

    7. pergeseran Bagian Anggaran 999.08 [Bendahara Umum Negara Pengelola Belanja Lainnya] ke Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga atau antarsubbagian anggaran dalam Bagian Anggaran 999 [BA BUN];

    8. pergeseran anggaran belanja yang dibiayai dari PNBP antarsatuan kerja dalam 1 [satu] program yang sama atau antarprogram dalam satu Bagian Anggaran;

    9. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari SBSN untuk pembiayaan kegiatan/proyek kementerian negara/lembaga;

    10. pergeseran anggaran antarprogram dalam 1 [satu] Bagian Anggaran yang bersumber dari rupiah murni untuk memenuhi kebutuhan belanja operasional;

    11. pergeseran anggaran antarprogram dalam 1 [satu] Bagian Anggaran untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang tidak diperkenankan [ineligible expenditure] atas kegiatan yang dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri;

    12. pergeseran anggaran antarprogram dalam rangka penyelesaian restrukturisasi kementerian negara/lembaga; dan

    13. pergeseran anggaran antarprogram dalam unit eselon I yang sama,

    ditetapkan oleh Pemerintah.

  2. Pemerintah dapat melakukan pinjaman baru sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b untuk penanggulangan bencana.

  3. Perubahan lebih lanjut Pembiayaan Anggaran berupa perubahan pagu Pemberian Pinjaman akibat dari lanjutan, percepatan penarikan Pemberian Pinjaman, dan pengesahan atas Pemberian Pinjaman yang telah closing date, ditetapkan oleh Pemerintah.

  4. Perubahan anggaran Belanja Pemerintah Pusat berupa perubahan pagu untuk pengesahan belanja dan penerimaan pembiayaan dan/atau pendapatan hibah yang bersumber dari pinjaman/hibah termasuk pinjaman/hibah yang diterushibahkan yang telah closing date, ditetapkan oleh Pemerintah.

  5. Perubahan anggaran Belanja Pemerintah Pusat berupa penambahan pagu karena luncuran Rupiah Murni Pendamping dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun 2020 yang tidak terserap untuk pembayaran uang muka kontrak kegiatan yang dibiayai pinjaman luar negeri, ditetapkan Pemerintah.

  6. Pencairan Rupiah Murni Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat [5] dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2021.

  7. Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ayat [2], ayat [3], ayat [4], dan ayat [5], dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2021 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

Pasal 20

  1. Pemerintah dapat memberikan hibah kepada pemerintah/lembaga asing dan menetapkan pemerintah/lembaga asing penerima untuk pencapaian kepentingan nasional Indonesia.

  2. Pencapaian kepentingan nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilaksanakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan barang/jasa dan/atau penyedia barang/jasa dalam negeri Indonesia.

  3. Anggaran pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dapat bersumber dari dana hasil kelolaan Lembaga Dana Kerjasama Pembangunan Internasional.

  4. Perubahan anggaran pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat [3] ditetapkan oleh pemerintah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai revisi anggaran.

  5. Pemerintah dapat memberikan hibah kepada pemerintah Daerah dalam rangka penanggulangan bencana yang pelaksanaannya dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2021 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat [5] diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 21

  1. Anggaran Pendidikan direncanakan sebesar Rp550.005.603.689.000,00 [lima ratus lima puluh triiliun lima miliar enam ratus tiga juta enam ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah].

  2. Anggaran Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] sebesar 20,0% [dua puluh koma nol persen] dari total anggaran Belanja Negara sebesar Rp2.750.026.018.431.000,00 [dua kuadriliun tujuh ratus lima puluh trilliun dua puluh delapan miliar delapan belas juta empat ratus tiga puluh satu ribu rupiah].

  3. Anggaran Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] termasuk dana abadi investasi pemerintah di bidang pendidikan sebesar Rp29.000.0O0.000.000,00 [dua puluh sembilan triliun rupiah] untuk:

    1. pengembangan pendidikan nasional;

    2. penelitian;

    3. kebudayaan; dan

    4. perguruan tinggi.

  4. Hasil kelolaan dari dana abadi sebagaimana dimaksud pada ayat [3] digunakan oleh kementerian negara/lembaga terkait sesuai peruntukannya.

  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian Anggaran Pendidikan dan penggunaan hasil kelolaan dana abadi diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 22

  1. Jumlah anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2021, sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, lebih kecil dari pada jumlah anggaran Belanja Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sehingga dalam Tahun Anggaran 2021 terdapat defisit anggaran sebesar Rp1.006.379.471.104.000,00 [satu kuadriliun enam triliun tiga ratus tujuh putuh sembilan miliar empat ratus tujuh puluh satu juta seratus empat ribu rupiah] yang akan dibiayai dari Pembiayaan Anggaran.

  2. Pembiayaan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat [1] sebesar Rp1.006.379.471.104.000,00 [satu kuadriliun enam triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar empat ratus tujuh puluh satu juta seratus empat ribu rupiah], terdiri atas:

    1. pembiayaan utang sebesar Rp1.177.350.88o.761.000,00 [satu kuadriliun seratus tujuh puluh tujuh triliun tiga ratus lima puluh miliar delapan ratus delapan puluh juta tujuh ratus enam puluh satu ribu rupiah];

    2. pembiayaan investasi sebesar negatif Rp184.459.515.221.000,00 [seratus delapan puluh empat triliun empat ratus lima puluh sembilan miliar lima ratus lima belas juta dua ratus dua puluh satu ribu rupiah];

    3. pemberian pinjaman sebesar Rp448.056.564.000,00 [empat ratus empat puluh delapan miliar lima puluh enam juta lima ratus enam puluh empat ribu rupiah];

    4. kewajiban penjaminan sebesar negatif Rp2.715.736.000.000,00 [dua triliun tujuh ratus lima belas miliar tujuh ratus tiga puluh enam juta rupiah]; dan

    5. pembiayaan lainnya sebesar Rp15.755.785.000.000,00 [lima belas triliun tujuh ratus lima puluh lima miliar tujuh ratus delapan puluh lima juta rupiah].

  3. Ketentuan mengenai alokasi Pembiayaan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat [1], tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian alokasi Pembiayaan Anggaran yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 23

  1. Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 [COVID-19] dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, Pemerintah dapat menerbitkan SBN dengan tujuan tertentu, termasuk menerbitkan SBN yang dapat dibeli oleh Bank Indonesia di pasar perdana.

  2. Penerbitan SBN oleh Pemerintah, termasuk pembeliannya oleh Bank Indonesia di pasar perdana sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasar SBN, pengaruh terhadap inflasi, jenis SBN yang dapat diperdagangkan, dan kesinambungan keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia.

  3. Dalam hal terdapat sisa dana penerbitan SBN dengan tujuan tertentu termasuk penerbitan SBN yang dibeli oleh Bank Indonesia di pasar perdana sebagaimana dimaksud pada ayat [1] yang tidak terserap pada Tahun Anggaran 2020, Pemerintah dapat menggunakan sisa dana dimaksud untuk membiayai pelaksanaan lanjutan kegiatan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 [COVID-19] dan/atau pemulihan ekonomi nasional tersebut pada Tahun Anggaran 2021.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sisa dana penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat [3] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 24

  1. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit melampaui target yang ditetapkan dalam APBN, Pemerintah dapat menggunakan dana SAL, penarikan pinjaman Tunai, penerbitan SBN, dan/atau pemanfaatan saldo kas BLU sebagai tambahan pembiayaan.

  2. Kewajiban yang timbul dari penggunaan dana SAL, penarikan Pinjaman Tunai, penerbitan SBN, dan/atau pemanfaatan saldo kas BLU sebagai tambahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dibebankan pada anggaran negara.

  3. Penggunaan dana SAL, Pinjaman Tunai, penerbitan SBN, dan/atau pemanfaatan saldo kas BLU sebagai tambahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai perkiraan defisit melampaui target serta penggunaan dana SAL, pinjaman Tunai, penerbitan SBN, dan/atau pemanfaatan saldo kas BLU sebagai tambahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 25

  1. Pemerintah dapat menggunakan program kementerian negara/lembaga yang bersumber dari Rupiah Murni dan/atau PNBP dalam alokasi anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan/atau BMN untuk digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN.

  2. Rincian program kementerian negara/lembaga yang bersumber dari Rupiah Murni dan/atau PNBP yang digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah pengesahan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2021 dan penetapan Peraturan Presiden mengenai Rincian APBN Tahun Anggaran 2021.

  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan program kementerian negara/lembaga dan/atau BMN sebagai dasar penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 26

  1. Pemerintah dapat menggunakan sisa dana penerbitan SBSN untuk pembiayaan kegiatan/proyek kementerian negaraf lembaga yang tidak terserap pada Tahun Anggaran 2020 untuk membiayai pelaksanaan lanjutan kegiatan/proyek tersebut pada Tahun Anggaran 2021 termasuk dalam rangka penyelesaian kegiatan/proyek yang diberikan penambahan waktu sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 [COVID-19].

  2. Penggunaan sisa dana penerbitan SBSN untuk pembiayaan kegiatan/proyek negara/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2021 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sisa dana penerbitan SBSN untuk pembiayaan kegiatan/proyek kementerian negara/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 27

  1. Dalam hal terjadi krisis pasar SBN domestik, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat diberikan kewenangan menggunakan SAL untuk melakukan stabilisasi pasar SBN domestik setelah memperhitungkan kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan dan awal tahun anggaran berikutnya.

  2. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat [1] merupakan keputusan yang tertuang di dalam kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah, yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 1x24 [satu kali dua puluh empat] jam setelah usulan disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

  3. Jumlah penggunaan SAL dalam rangka stabilisasi pasar SBN sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2021 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan SAL dalam rangka stabilisasi pasar SBN domestik sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 28

  1. Dalam hal perkiraan realisasi penerimaan negara tidak sesuai dengan target dan/atau adanya perkiraan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan/atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun Anggaran 2021, Pemerintah dapat melakukan:

    1. penggunaan dana SAL;

    2. penarikan pinjaman tunai;

    3. penambahan penerbitan SBN;

    4. pemanfaatan saldo kas BLU; dan/atau

    5. penyesuaian Belanja Negara.

  2. Penambahan penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf c dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

  3. Pemerintah dapat melakukan pembelian kembali SBN untuk pengelolaan kas dengan tetap memperhatikan jumlah kebutuhan penerbitan SBN neto untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang ditetapkan.

  4. Dalam hal terdapat instrumen pembiayaan dari utang yang lebih rnenguntungkan dan/atau ketidaktersediaan salah satu instrumen pembiayaan dari utang, pemerintah dapat melakukan perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang dalam rangka menjaga ketahanan ekonomi dan fiskal.

  5. Dalam hal diperlukan realokasi anggaran bunga utang sebagai dampak perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang sebagaimana dimaksud pada ayat [4], Pemerintah dapat melakukan realokasi dari pembayaran bunga utang luar negeri ke pembayaran bunga utang dalam negeri atau sebaliknya.

  6. Untuk menurunkan biaya penerbitan SBN dan/atau memastikan ketersediaan pembiayaan melalui utang, Pemerintah dapat menerima jaminan penerbitan utang dari lembaga yang dapat menjalankan fungsi penjaminan, danfatau menerima fasilitas dalam bentuk dukungan pembiayaan.

  7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] sampai dengan ayat [6] dilaporkan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2021 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

Pasal 29

  1. Dalam rangka memenuhi pembiayaan APBN Tahun Anggaran 2021, Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN pada triwulan keempat tahun 2020.

  2. Penerbitan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilaporkan Pemerintah dalam APBN perubahan Tahun Anggaran 2021 dan/atau Laporan Keuangan pemerintah Pusat Tahun 2021.

Pasal 30

  1. Dalam rangka pembayaran gaji dan DAU bulan Januari 2021 yang dananya harus disediakan pada akhir Tahun Anggaran 2020, Pemerintah dapat melakukan pinjaman SAL dan/atau menggunakan dana dari hasil penerbitan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat [1] pada akhir tahun 2020.

  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan pinjaman SAL sebagaimana dimaksud pada ayat [1] sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengelolaan SAL.

Pasal 31

  1. Investasi pada organisasi/lembaga keuangan internasional/badan usaha internasional yang akan dilakukan dan/atau telah tercatat pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagai investasi permanen, ditetapkan untuk dijadikan investasi pada organisasi/lembaga keuangan internasional/badan usaha internasional tersebut.

  2. Pemerintah dapat melakukan pembayaran investasi pada organisasi/lembaga keuangan internasional/badan usaha internasional melebihi pagu yang ditetapkan dalam Tahun Anggaran 2021 yang diakibatkan oleh selisih kurs, yang selanjutnya dilaporkan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2021 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

  3. Pelaksanaan investasi pada organisasi/lembaga keuangan internasional/badan usaha internasional sebagaimana dimaksud pada ayat [1] ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 32

  1. Saldo kas pada Badan Layanan Umum dapat menjadi tambahan investasi pada Bagian Anggaran BUN Investasi Pemerintah.

  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 32

  1. Pemerintah mengalokasikan pembiayaan investasi kepada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara dengan tujuan pembentukan dana jangka panjang dan/atau dana cadangan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan proyek strategis nasional dan pengeiolaan aset Pemerintah lainnya.

  2. Tanah untuk kepentingan proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dapat ditetapkan status penggunaannya pada kementerian negara/lembaga dengan menggunakan mekanisme pengesahan belanja modal.

  3. Dalam hal anggaran pengesahan Belanja modal yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga sebagaimana diatur pada ayat [2] belum tersedia maka dapat dilakukan penyesuaian belanja Negara.

  4. Pelaksanaan pengesahan Belanja modal sebagaimana diatur pada ayat [2] dan ayat [3] dilakukan bersamaan dengan mekanisme penerimaan pembiayaan pada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara dan dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun berkenaan.

Pasal 34

  1. Dalam rangka efektivitas pelaksanaan program dana bergulir Fasilitas Likuiditas pembiayaan perumahan, alokasi dana bergulir Fasilitas Likuiditas pembiayaan Perumahan yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan perumahan, dialihkan pengelolaannya kepada Badan pengelola Tabungan Perumahan Rakyat sebagai tabungan Pemerintah.

  2. Ketentuan mengenai pengalihan dana bergulir Fasilitas Likuiditas Pembiayaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dengan peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 35

  1. BMN yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan menjadi tambahan modal Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara, ditetapkan menjadi PMN pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara tersebut.

  2. Ketentuan mengenai tata cara penetapan PMN untuk BMN yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan menjadi tambahan modal Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang di dalamnya terdapat saham milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN.

  3. BMN dengan perolehan sampai dengan 31 Desember 2018 yang telah:

    1. dipergunakan dan/atau dioperasikan oleh Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara; dan

    2. tercatat pada laporan posisi Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara sebagai BPYBDS atau akun yang sejenis,

    ditetapkan untuk dijadikan PMN pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara tersebut, dengan menggunakan nilai realisasi anggaran yang telah direviu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

  4. Pemerintah melakukan penambahan PMN yang berasal dari dana tunai dan piutang Negara pada Badan Usaha Milik Negara/Lembaga/Badan Hukum Lainnya tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

  5. Dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Badan Usaha Milik Negara, Pemerintah melakukan penambahan PMN kepada PT Istaka Karya [Persero] dan PT Hutama Karya [Persero] yang berasal dari BMN melalui mekanisme pemindahtanganan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  6. Penambahan PMN sebagaimana dimaksud pada ayat [1], ayat [3], ayat [4], dan ayat [5] ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36

  1. Pemerintah dalam mengurus kekayaan negara yang dipisahkan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara atau badan lainnya, akan meningkatkan dan mengoptimalkan manfaat ekonomi, sosial, memperkuat rantai produksi dalam negeri, meningkatkan daya saing, serta memperkuat penguasaan pasar dalam negeri.

  2. Pemerintah dalam menangani kekayaan negara yang dipisahkan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, atau badan lainnya, agar menjaga aset yang bersumber dari cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta aset bumi, air, dan kekayaan di dalamnya, tetap dikuasai oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 37

  1. Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengelola anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah untuk:

    1. penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional;

    2. dukungan penjaminan pada program Pemulihan Ekonomi Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan; dan/atau

    3. penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah kepada Badan Usaha Milik Negara.

  2. Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a terdiri atas:

    1. pemberian jaminan Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara;

    2. pemberian jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka percepatan penyediaan air minum;

    3. pelaksanaan penjaminan infrastruktur dalam proyek kerja sama Pemerintah dengan badan usaha;

    4. pemberian dan pelaksanaan jaminan Pemerintah atas pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional kepada Badan Usaha Milik Negara;

    5. pemberian jaminan Pemerintah untuk percepatan proyek pembangunan jalan tol;

    6. pemberian jaminan Pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan kereta api ringan/light rail transit terintegrasi di wilayah perkotaan;

    7. pemberian jaminan Pemerintah Pusat untuk percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional; dan/atau

    8. pemberian jaminan Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.

  3. Dukungan penjaminan pada program Pemulihan Ekonomi Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b terdiri atas:

    1. penjaminan Pemerintah yang dilakukan secara langsung oleh Pemerintah dalam rangka pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional;

    2. penjaminan Pemerintah melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk dalam rangka pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional; dan/atau

    3. penjaminan Pemerintah atas pinjaman likuiditas khusus dari Bank Indonesia kepada bank sistemik untuk penanganan permasalahan lembaga jasa keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan.

  4. Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a dan huruf b diakumulasikan ke dalam rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah dan Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf c diakumulasikan ke dalam rekening Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah yang dibuka di Bank Indonesia.

  5. Dana yang telah diakumulasikan dalam rekening sebagaimana dimaksud pada ayat [4] digunakan untuk pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat [1] pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya.

  6. Dana dalam rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat [4] digunakan untuk pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah antar program pemberian penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] dan ayat [3].

  7. Dalam hal terjadi tagihan pembayaran kewajiban penjaminan dan/atau penggantian biaya yang timbul dari pelaksanaan kewajiban penjaminan untuk dukungan penjaminan program Pemulihan Ekonomi Nasional yang bersumber dari Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat [6], Pemerintah melakukan pembayaran melalui Bagian Anggaran 999.99 [Bendahara Umum Negara Pengelola Belanja Transaksi Khusus].

  8. Pembayaran melalui Bagian Anggaran 999.99 [Bendahara Umum Negara Pengelola Belanja Transaksi Khusus] sebagaimana dimaksud pada ayat [7], merupakan pengeluaran belanja transaksi khusus yang belum dialokasikan dan/atau melebihi alokasi yang telah ditetapkan dalam APBN dan/atau APBN Perubahan pada tahun anggaran berjalan.

  9. Dana dalam rekening Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat [4] digunakan untuk pembayaran atas penugasan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf c.

  10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan anggaran Kewajiban Penjaminan dan penggunaan Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah atau Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat [2], ayat [3], ayat [4], ayat [5], ayat [6], ayat [7], ayat [8], dan ayat [9] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 38

  1. Pembayaran bunga utang dan pengeluaran cicilan pokok utang dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan, yang selanjutnya dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2021 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

  2. Pemerintah dapat melakukan transaksi Lindung Nilai dalam rangka mengendalikan risiko fluktuasi beban pembayaran kewajiban utang, dan/atau melindungi posisi nilai utang, dari risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya volatilitas faktor-faktor pasar keuangan.

  3. Pemenuhan kewajiban yang timbul dari transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat [2] dibebankan pada anggaran pembayaran bunga utang dan/atau pengeluaran cicilan pokok utang.

  4. Kewajiban yang timbul sebagaimana dimaksud pada ayat [3] bukan merupakan kerugian keuangan negara.

  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat [2] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 39

  1. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menyelesaikan piutang instansi Pemerintah yang diurus/dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, khususnya piutang terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dan piutang berupa Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana, serta piutang instansi Pemerintah dengan jumlah sampai dengan Rp1.000.000.000,00 [satu miliar rupiah], meliputi dan tidak terbatas pada restrukturisasi dan pemberian keringanan utang pokok sampai dengan 100% [seratus persen].

  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian piutang instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat [1] diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 41

  1. Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2021 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dan/atau kebijakan keuangan negara dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 [COVID-19] dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat [3] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara. dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 [COVID-19] dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2021, apabila terjadi:

    1. perkembangan indikator ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan sebagai acuan dalam APBN Tahun Anggaran 2021;

    2. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;

    3. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram; dan/atau

    4. keadaan yang menyebabkan SAL tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan.

  2. Perkembangan indikator ekonomi makro sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf a dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b berupa:

    1. penurunan pertumbuhan ekonomi paling sedikit 3% [tiga persen] di bawah asumsi yang telah ditetapkan;

    2. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya paling sedikit 30% [tiga puluh persen] dari asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau

    3. penurunan penerimaan perpajakan paling sedikit 30% [tiga puluh persen] dari pagu yang telah ditetapkan.

  3. SAL sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf d merupakan SAL yang ada di rekening Bank Indonesia yang penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dilaporkan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

  4. Dalam hal dilakukan penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2021 sebagaimana dimaksud pada ayat [1], Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2021 untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum Tahun Anggaran 2021 berakhir.

Pasal 42

  1. Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah antisipasi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

  2. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat [1] merupakan keputusan yang tertuang di dalam kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah, yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 2x24 [dua kali dua puluh empat] jam setelah usulan disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

  3. Dalam hal persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat [1] karena suatu dan lain hal belum dapat ditetapkan, Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah antisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat [1] sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Pemerintah melaporkan langkah-langkah kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2021.

Pasal 43

  1. Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Vints Disease 2019 [COVID-19] dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang, Pemerintah dapat memberikan:

    1. pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan; dan/atau

    2. penjaminan atas pinjaman likuditas khusus dari Bank Indonesia kepada bank sistemik.

  2. Sumber dana untuk pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan jaminan Pemerintah atas pinjaman likuiditas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat [1] sebagai berikut:

    1. penggunaan SAL untuk menutup kekurangan pembiayaan APBN, dengan terlebih dahulu memperhitungkan ketersediaan SAL untuk kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan dan awal tahun anggaran berikutnya; dan/atau

    2. penambahan utang.

  3. Selain sumber dana sebagaimana dimaksud pada ayat [2], pemberian jaminan Pemerintah atas pinjaman likuiditas khusus dapat bersumber dari cadangan penjaminan.

  4. Dalam hal terjadi pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan jaminan Pemerintah atas pinjaman likuiditas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat [1], Pemerintah melaporkan dalam APBN Perubahan tahun berjalan dan/atau dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2021.

  5. Sumber dana untuk pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan jaminan Pemerintah atas pinjaman likuiditas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat [2] dan sumber dana untuk jaminan Pemerintah atas pinjaman likuiditas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat [3], dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan tahun berjalan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2021.

Pasal 44

Postur APBN Tahun Anggaran 2021 yang memuat rincian besaran Pendapatan Negara, Belanja Negara, surplus/defisit anggaran, dan Pembiayaan Anggaran tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 45

  1. Peraturan Presiden mengenai Rincian APBN Tahun Anggaran 2021 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat tanggal 30 November 2020.

  2. Rincian APBN, sebagaimana yang dimaksud pada ayat [1], sekurang-kurangnya berisikan rincian program, kegiatan, keluaran [output], serta rincian jenis belanja dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah [KPJM].

Pasal 46

  1. Dalam rangka penanggulangan bencana, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dapat membentuk dana penanggulangan bencana.

  2. Sumber dana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dapat bersumber dari:

    1. rupiah murni;

    2. pinjaman dan hibah luar negeri;

    3. APBD;

    4. hasil klaim asuransi BMN; dan/atau

    5. penerimaan lain yang sah.

  3. Dana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dikelola secara khusus.

  4. Dalam hal anggaran belanja dalam rangka penanggulangan bencana tidak terserap pada tahun anggaran 2021, sisa dana tersebut dapat diakumulasikan ke dalam dana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat [3].

  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dana penanggulangan bencana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 47

Pemerintah dalam melaksanakan APBN Tahun Anggaran 2021 mengupayakan pemenuhan sasaran pembangunan yang berkualitas, yaitu dalam bentuk:

  1. penurunan kemiskinan menjadi 9,2% - 9,7% [sembilan koma dua persen sampai dengan sembilan koma tujuh persen];

  2. tingkat pengangguran terbuka menjadi 7,7% - 9,1% [tujuh koma tujuh persen sampai dengan sembilan koma satu persen];

  3. penurunan Gini Ratio menjadi 0,377 - 0,379 [nol koma tiga tujuh tujuh sampai dengan nol koma tiga tujuh sembilan];

  4. peningkatan Indeks Pembangunan Manusia menjadi 72,78 - 72,95 [tujuh puluh dua koma tujuh delapan sampai dengan tujuh puluh dua koma sembilan lima]; dan

  5. peningkatan Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Nelayan menjadi 102-104 [seratus dua sampai dengan seratus empat].

Pasal 48

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 mulai berlaku pada tanggal Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 49

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Demikianlah isi Undang-Undang Nomor 9 tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Oktober 2020. UU 9 tahun 2020 tentang APBN 2021 sudah diundangkan Menkumham Yasonna H. Laoly pada 26 Oktober 2020 di Jakarta.

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề