Bagaimana caranya agar manusia yang belum cakap hukum berhak untuk melakukan perbuatan hukum

Setiap manusia adalah subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Namun tidak semua orang cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Menurut ketentuan Pasal 1330 Burgerlijk Wetboek [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata], orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

  1. orang-orang yang belum dewasa
  2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
  3. para istri, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Orang-orang yang belum dewasa [minderjarig] menurut ketentuan Pasal 330 ayat 1 Burgerlijk Wetboek adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pada ayat 2 menentukan bahwa apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

Mengenai orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, menurut Pasal 433 Burgerlijk Wetboek ada 3 alasan untuk pengampuan, yaitu:

  1. Keborosan [verkwisting]
  2. Lemah akal budinya [zwakheid van vermogen], misalnya imbisil atau debisil
  3. Kekurangan daya berpikir: sakit ingatan [krankzinnigheid], dungu [onnozelheid], dan dungu disertai sering mengamuk [razernij]

Bagi para istri, ketentuan tersebut sudah tidak berlaku seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [UU Perkawinan]. Pasal 31 ayat [2] UU Perkawinan menentukan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan pebuatan hukum.

Pertanyaan Anda di atas ada kaitannya dengan syarat sahnya sebuah perjanjian. Untuk itu kita harus melihat dulu mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian karena pada dasarnya pada saat seseorang mendaftarkan hak patennya, maka ia sedang membuat perjanjian dengan pihak lain.

Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [KUHPerdata] diatur bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  3. suatu pokok persoalan tertentu;

  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Dalam Pasal 330 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya.

Anak yang belum dewasa menurut Pasal 1330 KUHPerdata termasuk dalam kategori yang tak cakap membuat perjanjian. Mengenai perjanjian yang dibuat oleh seseorang yang masuk dalam kategori tak cakap, Pasal 1331 KUHPerdata menyatakan bahwa orang-orang yang dalam dinyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal kuasa untuk itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.  

Kaitannya dengan posisi seseorang sebagai inventor, maka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten [UU Paten], yang dapat mengajukan permohonan paten disebut pemohon. Pemohon menurut Pasal 1 angka 5 UU Paten adalah pihak yang mengajukan permohonan paten.

Pemohon dalam pertanyaan Anda ini posisinya adalah sebagai inventor.

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.[1]

Pertanyaan Anda di atas kami asumsikan adalah apabila ada seseorang yang belum dewasa dan ia seorang inventor, apakah ia dapat mendaftarkan hak paten atas invensinya?

Atas pertanyaan ini kita harus merujuk pada definisi inventor. Menurut Pasal 1 angka 3 UU Paten, yang dimaksud dengan inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Sedangkan invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.[2]

Apabila seseorang yang belum dewasa menjadi seorang inventor, maka tentu saja ia dapat mendaftarkan invensinya tersebut. Dalam hal ia belum dewasa dan belum dikatakan cakap secara hukum, maka ia dapat memberikan kuasa kepada seseorang untuk mewakilinya dalam pendaftaran invensinya agar mendapatkan hak patennya.

Sebagai informasi tambahan, simak juga artikel Syarat Agar Suatu Invensi Dapat Dilindungi Paten.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

[1] Pasal 1 angka 1 UU Paten

[2] Pasal 1 angka 2 UU Paten

Oleh : Drs. H. Sudono,  M.H[1]

Pendahuluan

         Dikalangan praktisi hukum khususnya para hakim masih bervariasi dalam menerima batasan usia dewasa terutama seseorang  untuk menjadi saksi di muka persidangan, satu fihak ada yang menerima saksi yang berumur minimal 18 tahun dan ada yang tidak mau menerimanya karena seseorang tersebut belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum, sehingga orang yang menjadi saksi harus sudah berusia 21 tahun. Perbedaan seperti inilah yang menjadi pembahasan penulis dibawah ini.

Penentuan batas usia dewasa seseorang merupakan hal yang penting karena akan menentukan sah tidaknya seseorang bertindak melakukan perbuatan hukum dan kecakapan seseorang melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi, pengaturannya dalam berbagai undang-undang di Indonesia dilakukan secara beragam sehingga perlu untuk di samakan. Tulisan  ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaturan batas usia dewasa itu untuk kepentingan apa, perbedaan pengaturan batas usia dewasa seseorang untuk menjadi syarat kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, yakni ada yang menentukan 18 tahun dan 21 tahun, dan upaya untuk mengatasi keberagaman tersebut dengan penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012.

Ada perbedaan ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 330 Kitab Undang Undang Hukum  Perdata [ selanjutnya disingkkat KUH Perdata] dan Pasal 47 ayat [1] UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan dalam Pasal 330 Kitab UUH Perdata menyatakan: “Seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah [pernah] menikah.” Pasal tersebut mengharuskan bahwa seseorang dinyatakan cakap dalam melakukan perbuatan hukum harus terlebih dahulu berusia 21 tahun atau sudah menikah sebelum berusia 21 tahun.

UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal 47 ayat [1] menyatakan sebagai berikut : “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Menurut Undang-Undang Perkawinan, seseorang dinyatakan cakap untuk menikah adalah ketika mencapai umur 18 tahun atau lebih. Seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun maka masih dibawah kekuasaan orang tuanya. Sebetulnya ternyata kalau diteliti secara mendalam tidak ada masalah tentang usia dewasa dan yang perlu adalah untuk apa batasan dewasa itu.

         Permasalahan

Dalam tulisan ini adalah perbedaan pengaturan batas usia dewasa itu harus dicermati  untuk kepentingan apa ?

Pembahasan

Untuk mengetahui motif dan ada kepentingan apa,  tentu penulis akan memperbandingkan aturan perundangan yang satu dengan lainnya yaitu :

         Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat perjanjian Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat : 1. sepakat yang mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal[2] [ R.Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio: 1985 : 305 ] . Dengan demikian tujuan pasal tersebut tenyata untuk sahnya membuat perjanjian-perjanjian.

      Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak-pihak yang tidak memenuhi persyaratan dari sisi batas usia para pihak atau salah satu pihak yang akan membuat perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, oleh karena itu batas usia seseorang untuk dapat melakukan perjanjian menjadi penting. KUH Perdata telah mengatur batas usia dewasa seseorang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 330 KUH Perdata . Perbuatan hukum berkaitan dengan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian harus memenuhi persyaratan batas usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 KUH Perdata tersebut. Banyak perbuatan hukum yang berkaitan dengan perjanjian, dan seharusnya tunduk kepada asas hukum perjanjian, seperti : 1. Mendirikan perseroan terbatas; 2. Melaksanakan jual beli harta tetap [tanah]; 3. Menjaminkan bidang tanah kepada bank. 4. Melakukan pembukaan rekening tabungan, atau rekening koran; 5. mendepositokan uang di bank; 6. Melakukan perjanjian kredit di bank; 7. Melakukan gadai barang; 8. Melakukan perikatan pernikahan.

         Perbuatan hukum tersebut di atas, mempunyai batas usia orang yang dapat melakukannya harus tunduk pada usia dewasa yang diatur dalam KUH Perdata, dan jika seseorang belum memenuhi batas usia minimum yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dalam melakukan perbuatan hukum tersebut dibantu oleh walinya atau dibantu oleh orang tuanya.

         Dalam praktik ternyata tidak semua perbuatan hukum yang berkaitan dengan perjanjian dilaksanakan tunduk pada batas usia minimum seseorang dapat melakukan perbuatan hukum tersebut, seperti perbuatan hukum perjanjian, antara lain pembukaan rekening tabungan, rekening koran, dan pembuatan deposito, persyaratannya hanya yang bersangkutan sudah memiliki KTP maka orang tersebut dianggap sudah dewasa, sehingga dapat menjadi subjek hukum, sehingga dapat dimaknai bahwa untuk perbuatan hukum tersebut, seseorang dianggap dewasa pada usia 17 [tujuh belas] tahun[3]. Dengan kenyataan ini untuk membuat dan membuka rekening tabungan , rekening koran, membuka deposito pada usia dewasa 17 tahun. oleh karena itu sepanjang menyangkut hukum membuat perjanjian harus terikat dengan asas hukum perjanjian.

         Berbagai yurisprudensi Mahkamah  Agung menyatakan umumnya kriteria dewasa dinyatakan 17 [tujuh belas] tahun, karena pada usia tersebut yang bersangkutan dianggap telah dewasa dan dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan perbuatannya. Pada usia 17 tahun yang bersangkutan sudah memenuhi syarat berhak untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk [KTP] sebagai indentitas diri, dengan memiliki KTP remaja yang bersangkutan dapat bertindak sendiri melakukan perbuatan hukum, antara lain membuka rekening tabungan dan melakukan perbuatan hukum lain di bank. Selain itu, yang bersangkutan dapat memohon pembuatan Surat Izin Mengemudi [SIM] sehingga dapat mengendarai kendaraan bermotor. Selain contoh diatas ada perbedaan juga berkaitan dengan batasan umur yang digunakan dalam membuat suatu perjanjian atau akta dihadapan Notaris. Pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa kedewasaan seseorang adalah ketika berumur 21 tahun atau sudah menikah. Karenanya batasan usia 17 tahun hanya untuk membuat perjanjian-perjanjan melakukan perbuatan hukum membuka rekening dan melakukan perbuatan hukum lain di bank, pembuatan Surat Izin Mengemudi [SIM],  sedangkan untuk melakukan perbuatan hukum yang lainnya terikat dengan batasan usia 21 tahun atau sudah menikah,  sebagaimana aturan pasal 330 KUH Perdata [  R.Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio: 1985 : 98].

         Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syaratsyarat perjanjian. Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat  : 1. sepakat yang mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;  4. suatu sebab yang halal . Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak-pihak yang tidak memenuhi persyaratan dari sisi batas usia para pihak atau salah satu pihak yang akan membuat perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, oleh karena itu batas usia seseorang untuk dapat melakukan perjanjian menjadi penting [R.Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio: 1985 : 305].

  1. UU Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

         Pasal 39 ayat [1] Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa seseorang yang menghadap Notaris untuk membuat akta adalah yang memenuhi syarat paling rendah berumur 18 tahun atau sudah menikah. [2] Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 [dua] orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 [delapan belas] tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 [dua] penghadap lainnya.  Pasal 40 menyatakan : Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 [dua] orang saksi, kecuali peraturan perundangundangan menentukan lain. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat [1] harus memenuhi  syarat sebagai berikut: a. paling sedikit berumur 18 [delapan belas] tahun atau telah menikah; b. cakap melakukan perbuatan hukum; c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

         Jadi ternyata kalau penulis cermati pasal 39 dan 40 UU Jabatan Notaris tersebut  bahwa untuk menghadap  Notaris dengan tujuan yang berhubungan tugas-tugas Notaris disyaratkan orang yang sudah berusia minimal 18 tahun atau telah menikah[4], termasuk saksi-saksi yang dihadapkan ke notaris juga minimal berusia 18 tahun atau sudah menikah.

         Pasal 47 ayat [1] Undang Undang  Perkawinan [selanjutnya disingkat UUP] menyatakan :“anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Menurut UU Perkawinan  seseorang dinyatakan cakap untuk menikah adalah ketika mencapai umur 18 tahun atau lebih. Seseorang yang belum mencapai umur 18 maka masih dibawah kekuasaan orang tuanya.  Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum atau untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya seseorang tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolok ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum. Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang-undang ini disebut “kedewasaan”. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu melakukan semua perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, melakukan perkawinan, dan membuat surat wasiat [5] [Abdulkadir Muhammad, 2010:40].

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Bab II Syarat-syarat Perkawinan, dalam Pasal 6 ayat [2] menyatakan: untuk melangsungkan Perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 [dua puluh satu] tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Lebih lanjut dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai kebolehan untuk melakukan perkawinan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat [1] dan ayat [2], yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 7 [1] Perkawinan diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 [Sembilan belas] tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 [enam belas] tahun. [2] Dalam hal penyimpangan dalam ayat [1] dalam pasal ini, dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan batas usia minimal seseorang dapat melangsungkan perkawinan. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 7 ayat [1] UU Perkawinan bahwa syarat melangsungkan perkawinan untuk pihak pria adalah 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.

         Dalam UU Perkawinan itu sendiri menyatakan secara berbeda-beda mengenai kecakapan berbuat hukum. Sebagai contoh:  Pasal 6 ayat [2] Undang-Undang Perkawinan juga menentukan lain mengenai kecakapan seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Bunyi ketentuan Pasal 6 ayat [2] UU Perkawinan tersebut tidak tegas sehingga tidak memberikan kepastian hukum mengenai ketentuan atas usia seseorang dapat melaksanakan perkawinan, ketentuan tersebut dapat ditafsirkan hal-hal sebagai berikut : 1] Seseorang yang akan melaksanakan perkawinan jika yang bersangkutan telah berusia 21 [dua puluh satu] tahun, dapat melaksanakan perkawinan tanpa harus telebih dahulu memperoleh izin dari kedua orang tua; 2] Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseoang, dengan ketentuan bahwa yang bersangkutan telah berumur, bagi seorang laki-laki telah mencapai umur paling sedikit 19 [Sembilan belas] tahun dan seorang perempuan telah mencapai umur minimal 16 [enam belas] tahun.

         Kalau benar-benar dicermati aturan diatas menurut penulis tidak ada masalah, karena jelas dan  tegas kepentingannya hanya untuk melaksanakan perkawinan bagi mereka yang belum berusia 21 tahun dengan cara mengajukan dispensisasi kawin ke pengadilan agama. Karena batasan usia dewasa bagi laki-laki 19 tahun  dan bagi perempuan 16 tahun menurut UU Perkawinan dikatakan  atau dianggap dewasa, cakap  jika usia laki-laki 19 dan perempuan 16  tahun  atau sudah menikah atau pernah menikah. Negara sudah memberikan kebijakan/solusi melalui dispensasi kawin agar kehendak para pihak yang akan menikah dapat terlaksana dengan terpenuhinya batasan usia menikah, sesuai kaidah fikih dalam bidang siyasah [ poplitik Islam] yang menyatakan : Tasharruful Imami ala ri’ayatin munawwathun bil Mashlahah, yaitu kebijakan pemimpin dalam urusan-urusan publik  harus  berorientasi kepada kemaslahatan [6][ H.A. Djazuli : 2005 : 114 ].

         Karenanya jelas kepentingan dan tujuan yang dimaksud dalam UU Perkawinan bahwa batasan usia itu hanya untuk menikah dan jangan ditafsirkan untuk kepentingan lainnya. kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah[7].seperti batas usia pelaksanaan perkawinan harus ada kepastian hukumnya. Selain itu terkadung nilai yang disimpulkan  dari salah satu maqashid al syari’ah yaitu melalui perkawinan akan lahir dan terpelihara keturunan dan kehormatan [ hifdz al-nasl / irdl [8]] H.A. Djazuli : 2005 ] dan itulah kepentingan negara mengatur batas usia dewasa maupun kepentingan hukum islam melalui perkawinan yang  sah.

         Pasal 1 angka 34 Undang Undang Nomor 07 tahun 2017 [selanjutnya di tulis UU Pemilu ] menyatakan :  Pemilih Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 [tujuh belas] tahun atau lebih, sudah kawin,atau sudah pernah kawin [9].  Demikian juga Untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan daerah, menurut UU ini, pesertanya dalah perseorangan yang telah memenuhi persyaratan, di antaranya: a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 [dua puluh satu] tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik, Indonesia, dan Bhinneka Tunggal lka; g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 [ima] tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; h. sehat jasmani dan rohani dan bebas dari penyalahgunaan narkotika; i. terdaftar sebagai Pemilih; dan j. bersedia bekerja penuh waktu

         Jadi ternyata batasan usia untuk mengikuti pemilu adalah 17 tahun atau lebih, sudah kawin,atau sudah pernah kawin karenanya batas usia tersebut bertujuan hanya untuk kepentingan mengikuti sebagai peserta pemilu tidak untuk lainnya. Sedangkan untuk dicalonkan menjadi anggota DPD minimal berusia 21 tahun, berarti tujuanya hanya untuk menjadi calon anggota DPD. Karena itu jelas sudah permasalahannya. Bahwa setiap diundangkan suatu aturan hukum harus dilihat dulu tujuannya untuk apa dan jangan tergesa-gesa menjastfikasi sebuah yang menyatakan aturan hukum batas usia saling beragam dan  bertentangan pendapat yang demikian adalah tidak tepat.

  1. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

         Dinyatakan dalam Pasal 1 ayat [1]  bahwa  Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 [delapan] tahun tetapi belum mencapai umur 18 [delapan belas] tahun dan belum pernah kawin. Karenanya dari ketentuan Pasal 1 Angka 1 tersebut, hanya menyatakan yang berhak mendapat perlindungan dari Undang-Undang Perlindungan Anak ini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, dengan demikian aturan tentang batas umur dewasa dalam UU tersebut anaklah yang menjadi tujuan perlindungan terhadap anak, akan tetapi kalau sudah berusia diatas 18 tahun diperlakukan sebagai layaknya orang yang dianggap sudah dewasa terutama kalau menyangkut hukum pidananya.

  1. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

         Pada Pasal 1 angka 5 sebagai berikut : Pasal 1 ayat [5] bahwa :  Anak adalah setiap manusia yang berumur dibawah 18 [delapan belas] tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih didalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

  1. UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

        Pasal 1 angka 26 bahwa :  Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 [delapan belas] tahun. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa syarat orang yang dapat dipekerjakan sebagai tenaga kerja adalah yang berumur 18 tahun atau lebih. Sehingga apabila terdapat perusahaan yang menggunakan jasa tenaga kerja berumur kurang dari 18 tahun maka dapat dijatuhi sanksi.

  1. UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan

         Undang-Undang Kewarganegaraan mengatur mengenai syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia. Seseorang harus dinyatakan terlebih dahulu dinyatakan cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Adapun ketentuan Pasal 9 huruf a menyatakan sebagai berikut : Pasal 9 Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. telah berusia 18 [delapan belas] tahun atau sudah kawin; Selain ketentuan pada Pasal 9 yang menyatakan umur 18 tahun sebagai batas usia cakap hukum, pada pasal-pasal Undang-Undang Kewarganegaraan yang lain juga kompak menyatakan umur 18 tahun sebagai batas usia cakap hukum. Karenanya tujuan dan kepentingan batas usia dewasa bagi tenaga kerja telah berusia18 tahun.

         Dalam Pasal 98 ayat [1] Kompilasi Hukum Islam dijelaskan mengenai batas usia dewasa seseorang, yaitu : “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan[10][ Yayasan AlHikmah: 1993:.410-411]. Ketentuan diatas dapat difahami bahwa  dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggungjawab atas dirinya.

  1. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

         Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dijelaskan mengenai batas usia belum dewasa. Hal tersebut dinyatakan pada Pasal 1 angka 5 sebagai berikut: Pasal 1 6. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 [delapan belas] tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. i. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Pada Pasal 1 ayat [4] Undang-Undang anak atau batas usia yang dapat dikaegorikan belum dewasa. Pasal 1 [4] anak adalah seseorang yang belum berumur 18 [delapan belas] tahun.

  1. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah Nomor Dpt.7/539/7-77,

Bahwa seseorang disebut dewasa dalam hal  :

  1. Dewasa politik, minimal adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu;
  2. Dewasa seksuil, minimal adalah batas umur 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan ;
  3. Dewasa hukum, adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih belum ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 [dua puluh satu] tahun, sebagian lagi 18 [delapan belas] tahun, bahkan ada yang 17 [tujuh belas] tahun.

Upaya untuk menyeragamkan tentang batas usia dewasa dalam hal ini Mahkamah Agung telah mengantisipasi dengan  :

  1. Mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut sudah menjelaskan mengenai ketentuan batas kedewasaan seseorang. Dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Perdata tanggal 14-16 Maret 2012, bahwa dewasa adalah cakap bertindak dalam hukum yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin. Selain dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Perdata, kedewasaan seseorang juga dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Pidana Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Pidana bagian Tindak Pidana Khusus, bahwa ukuran kedewasaan seseorang tergantung pada kasusnya [kasuistis].

             Tujuan diadakannya sitstem rapat kamar ini tidak lain agar terciptanya suatu kesatuan hukum, dan lebih sederhana dalam menangani sebuah perkara. Dalam Hasil Rapat Kamar Perdata dinyatakan bahwa batas usia dewasa dan cakap hukum adalah telah mencapai umur 18 tahun atau sudah kawin. Hakim menetapkan demikian karena berpedoman pada sebagian besar peraturan perundang-undangan yang menetapkan batas usia dewasa adalah 18 tahun. Diharapkan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 ini adalah adanya kesamaan hukum dalam menerapkan ketentuan-ketentuan undang-undang, khususnya mengenai pengaturan batas usia dewasa seseorang. Sehingga tidak ada kebingungan dalam menerapkan ketentuan tersebut.

  1. Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 Tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan.

                Dalam ketentuan angka 7, menyatakan bahwa usia dewasa yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling kurang 18 tahun atau sudah kawin. Badan Pertanahan Nasional sebagai penyelenggara pelayanan pertanahan memandang bahwa batasan usia dewasa dalam rangka pelayanan di bidang pertanahan di setiap daerah, Badan Pertanahan Nasional menerapkan 175 secara berbeda ketentuan mengenai batasan usia dewasa. Agar tidak jadi kerancuan dan menjadi kesatuan hukum maka Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Edaran ini. Sehingga setelah ini diharapkan tidak ada penolakan permohonan pendaftaran tanah walaupun pemohon belum berusia 21 tahun, karena telah diatur secara khusus pada Surat Edaran Nomor 4/SE/I/2015.

               Adanya kedua upaya tersebut setidaknya dapat memberikan acuan mengenai batasan usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum. Ketika melakukan hubungan hukum keperdataan maka Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 dapat menjadi dasar hukum untuk menentukan batas usia dewasa seseorang. Untuk melakukan perbuatan hukum di bidang pertanahan, maka dapat memperhatikan Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015, untuk menentukan batas usia dewasa seseorang dalam rangka pelayanan pertanahan.

  1. Kesimpulan
  2. Bahwa batas usia dewasa 21 tahun :

1] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

3] Kompilasi Hukum Islam

  1. Batas usia dewasa 18 tahun :
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak;
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
  5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
  6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan;
  7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
  8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
  9. UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris;
  10. Upaya untuk mengatasi keberagaman pengaturan kedewasaan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, antara lain adalah dengan diterbitkannya 2 Surat Edaran. Pertama, diterbitkannya Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut sudah menjelaskan mengenai ketentuan batas kedewasaan seseorang. Dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Perdata tanggal 14-16 Maret 2012, bahwa dewasa adalah cakap bertindak dalam hukum yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin. Kedua diterbitkannya Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/ SE/I/2015 Tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan. Dalam ketentuan angka 7, menyatakan bahwa usia dewasa yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling kurang 18 tahun atau sudah kawin.
  11. Saran penulis:

- Bahwa Pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai ketentuan baru tentang batas usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, baik itu di bidang keperdataan pada umumnya maupun pada bidang pertanahan, agar masyarakat lebih paham mengenai aturan baru tersebut.

-  Bahwa Notaris maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah [PPAT] ketika menentukan batas usia dewasa seseorang untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan maupun perbuatan hukum di bidang perdata, hendaknya mengacu pada ketentuan baru yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

-   Bahwa masyarakat hendaknya paham peraturan baru tentang batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, agar dikemudian hari tidak terjadi lagi kasus bbagi seseorang yang menjadi saksi di depan pengadilan maupun penolakan permohonan pendaftaran tanah pada Badan Pertanahan Nasional.

         Demikian tulisan singkat tentang batasan usia sebagai pedoman para praktisi hukum terutama hakim dalam menjalankan tugasnya agar mampu menerapkan sesuai tugas kewenangannya dengan cermat dan berkeadilan.

[1] Adalah Hakim Madya Utama Pengadian Agama Blitar Kelas 1 A.

[2] Prof.R.Subekti, sh., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti,  Pradnya Paramita, 1985, Jakarta, hal. 305.

[3]Brawijaya. Zaelani. 2012. “Batas Usia Seseorang Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No.4 – Desember 2012. //id.wikipedia.org. Hal. 611.

[4] UU Nomor  30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

[5] Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

[6] Prof. H.A. Djazuli,ILMU fiqih  Penggalian, Perkembangan dan Peneraan Hukum Islam [edisi reviisi], Cetakan ke 5 , Prenada Media, Jakkarta, 2005.

[7] //pasaronlineforall.blogspot.co.id/2010/11/tasharruful-imam-ala-al-raiyyah-manutun.html dikutip 12/3/2018, 15.45.

[8] H.A. Djazuli, Ibid.hal. 27.

[9] Pasal 1 angka 34 Undang Undang Nomor 07 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

[10] Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan  Agama, Yayasan AlHikmah Jakarta, 1993, hal.410-411.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề