Berapa lama jabatan lembaga legislatif di indonesia

Lihat Foto

KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO

Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa [29/10/2019].

JAKARTA, KOMPAS.com – Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] digugat ke Mahkamah Konstitusi [MK]. Tidak adanya limitasi yang tegas yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD [MD3], menyebabkan anggota DPR dapat terpilih berulang kali.

Penggugat adalah seorang advokat bernama Ignatius Supriyadi. Di dalam permohonan perkara teregistrasi Nomor 1/PUU-XVIII/2020, ia menggugat empat pasal yang ada di dalam UU tersebut, yaitu Pasal 76 ayat [4], Pasal 252 ayat [5], Pasal 318 ayat [4], dan Pasal 367 ayat [4].

Selain masa jabatan anggota DPR, Ignatius juga menggungat masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Daerah [DPD], serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa masa jabatan anggota DPR ditentukan selama lima tahun dan berakhir ketika anggota dewan baru mengucapkan janji atau sumpah.

Bila melihat ketentuan tersebut, menurut dia, seharusnya anggota lama tidak dapat menjadi anggota baru. Konsekuensi lebih lebih lanjut dari hal tersebut adalah anggota dewan hanya dapat dipilih untuk masa jabatan satu kali.

“Namun, pemahaman tersebut tidak terjadi di dalam praktiknya. Justru ditafsirkan sebagai tidak ada pembatasan berapa kali anggota dewan dapat menduduki masa jabatannya,” kata Ignatius seperti dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Jumat [17/1/2020].

“Itu berarti pula selamanya anggota dewan dapat menempati jabatannya tersebut sepanjang dipilih dalam proses pemilihan umum,” imbuh dia.

Baca juga: MK Diminta Batasi Masa Jabatan Anggota DPR, DPD dan DPRD Maksimal 10 Tahun

Ignatius berpandangan, frasa ‘dan akhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji’, justru memunculkan multi interpretasi. Bahkan tafsir tersebut menjurus kepada pengertian ‘tidak ada pembatasan terhadap masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.’

Ketentuan multitafsir seperti itu justru tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil.

Seharusnya, menurut dia, masa jabatan dewan hanya lima tahun dan otomatis akan berakhir dengan pengucapan sumpah anggota baru, sehingga anggota lama tidak dapat dipilih kembali.

Pembatasan masa jabatan presiden, gubernur, bupati/wali kota, yang masing-masing selama lima tahun untuk dua kali masa jabatan, dan kepala desa selama enam tahun untuk tiga kali masa jabatan, tidak lepas dari sejarah otoritarianisme masa lalu.

Jabatan yang tak terbatas tidak saja melanggar hak orang lain untuk mendapatkan kesempatan “dipilih”, juga selalu melahirkan kesewenang-wenangan. Adagium klasik yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung korup, tetapi kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan [Lord Acton, 1834-1902] belum terbantahkan. Bahkan, pembatasan masa jabatan itulah yang jadi titik sentral amandemen UUD 1945.

Namun, entah apa yang terjadi, semangat pembatasan masa jabatan yang dilakukan dalam amandemen konstitusi danUU setelahnya hanya terfokus pada lembaga eksekutif, sedangkan legislatif hampir tidak tersentuh sama sekali. Justru kini bandul kekuasaan bergeser ke arah lembaga legislatif yang lebih familiar dengan istilah legislative heavy.
Pertama, kewenangan membentuk UU, termasuk APBN. Meskipun dalam praktiknya masih bergantung pada tenaga ahli dan inisiatif pemerintah, tetapi konstitusi sudah menjamin bahwa kewenangan membentuk UU adalah milik legislatif.

Kedua, kewenangan dalam mengangkat pejabat negara, di mana saat ini hampir semua jabatan kenegaraan harus melibatkan legislatif, baik dalam aspek pengujian, memberi pertimbangan, maupun menyetujui.

Ketiga, kewenangan baru yang diberikan oleh revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD [MD3], di mana legislatif diposisikan sebagai lembaga super body yang bahkan berwenang mencampuri urusan eksekutif maupun yudikatif. Belum lagi kekaburan DPR dalam memosisikan lembaga independen negara semisal KPK, KPI, dan lembaga lainnya sebagai bagian dari eksekutif. Padahal lembaga-lembaga itu adalah lembaga independen yang tidak termasuk pada cabang lembaga mana pun, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Saat ini, baik konstitusi maupun UU tak memberikan batasan terhadap masa jabatan anggota legislatif. Tak heran jika banyak anggota legislatif yang terpilih hingga 3-4 kali masa jabatan. Alhasil, dengan kewenangan yang begitu besar—juga dilaksanakan oleh orang yang itu-itu saja—maka tidak ada nama lain kecuali kesewenang-wenangan.

Kita mempercayakan jabatan legislatif pada prosedur demokrasi, dalam artian semua diserahkan kepada rakyat. Jika rakyat masih menginginkan seseorang jadi wakilnya di parlemen maka dia akan memilihnya. Begitu pun sebaliknya, jika rakyat tidak menghendaki maka dia akan memilih yang lain.

Kepercayaan yang berlebihan terhadap prosedur demokrasi dalam praktiknya tidaklah baik. Demokrasi dalam masyarakat yang masih mengagungkan patronase dan nyaman dalam patriarki sering kali memosisikan individu dalam posisi yang tidak sejajar, sehingga pilihan dijatuhkan tidak pada pilihan nuraninya.

Di samping itu, demokrasi juga dihadapkan pada dua ancaman yang tidak jarang kita lihat prakteknya di Indonesia.

Pertama, demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya anti- demokrasi. Kelompok-kelompok sektarian dapat mengambil hati konstituen secara demokratis, tetapi setelah berkuasa mereka membakar jembatan yang mereka bakar sendiri. Ada kecenderungan di Indonesia bahwa kepentingan mayoritas, biasanya atas nama keamanan, harus lebih diutamakan daripada kepentingan minoritas, tidak peduli sepenting apa pun hak minoritas yang dikorbankan itu.

Kedua, demokrasi dibajak oleh orang-orang berpunya. Demokrasi merosot maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Sementara popularitas jarang dibangun dari keringat kerja-kerja politik, melainkan iklan politik belaka. Tak ayal, para pemenang pun adalah mereka yang bermodal atau dimodali para cukong. Kualitas demokrasi pun dipertaruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi belaka.

Oleh karena itu, masa jabatan legislatif pun harus dibatasi. Dalam konteks masyarakat Indonesia hari ini, kita tidak dapat memercayakan sepenuhnya pada prosedur demokrasi.
Selain itu, aturan ini juga berpotensi melanggar hak asasi warga negara lain. Setidaknya hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif karena yang selalu tampil dipermukaan hanya orang yang itu-itu saja.

Pertanyaannya apakah membatasi masa jabatan legislatif melanggar HAM? Tentu saja tidak karena pembatasan tidak didasarkan atas diskriminasi SARA, tapi justeru untuk melindungi warga negara lain dari kesewenang-wenangan serta memenuhi hak mereka untuk dipilih dalam jabatan legislatif. Logika ini pula yang digunakan pada saat membatasi masa jabatan Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota. []

DESPAN HERYANSYAH

MAHASISWA PROGRAM DOKTOR FAKULTAS HUKUM UII YOGYAKARTA, PENELITI PADA PUSAT STUDI HUKUM KONSTITUSI [PSHK] 13 April 2018

Pembatasan masa jabatan presiden, gubernur, bupati/walikota, yang masing-masing selama lima tahun untuk dua kali masa jabatan, dan kepala desa selama enam tahun untuk tiga kali masa jabatan, tidak lepas dari sejarah otoritarianisme masa lalu. Jabatan yang tidak terbatas tidak saja melanggar hak orang lain untuk mendapatkan kesempatan “dipilih” melainkan juga selalu melahirkan kesewenang-wenangan. Power tends to corrupt but absolut power corrupt absolutely, adalah adagium klasik yang belum terbantahkan. Bahkan, pembatasan masa jabatan itulah yang menjadi titik sentral amandemen UUD N RI Tahun 1945.

Namun entah apa yang terjadi, semangat pembatasan masa jabatan yang dilakukan dalam amandemen konstitusi dan undang-undang setelahnya hanya terfokus pada lembaga eksekutif, sedangkan legislatif hampir tidak tersentuh sama sekali. Justru kini, bandul kekuasaan bergeser ke arah lembaga legislatif yang lebih familiar dengan istilah legislative heavy. Pertama, kewenangan untuk membentuk undang-undang, termasuk APBN. Meskipun dalam prakteknya masih bergantung pada tenaga ahli dan inisiatif pemerintah, namun konstitusi sudah menjamin bahwa kewenangan membentuk UU adalah milik legislatif. Kedua, kewenangan dalam mengangkat pejabat negara, hampir semua jabatan kenegaraan saat ini harus melibatkan legislatif baik dalam aspek pengujian, memberi pertimbangan, maupun menyetujui. Ketiga, kewenangan baru yang diberikan oleh revisi UUMD3, di mana legislatif diposisikan sebagai lembaga super body yang bahkan berwenang mencampuri urusan eksekutif maupun yudikatif. Belum lagi, kekaburan DPR dalam memposisikan lembaga independen negara semisal KPK, KPI, Ombudsman, dan lembaga lainnya sebagai bagian dari eksekutif. Padahal lembaga-lembaga itu adalah lembaga independen yang tidak termasuk kepada cabang lembaga manapun baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kekaburan ini berdampak pada kewenangan DPR untuk mengeluarkan hak angket kepada lembaga-lembaga independen tersebut.

Saat ini, baik konstitusi maupun undang-undang tidak memberikan batasan terhadap masa jabatan anggota legislatif, tidak heran jika banyak anggota legislatif yang terpilih hingga tiga atau empat kali masa jabatan pasca reformasi. Sehingga nyaris dengan kewenangan yang begitu besar juga dilaksanakan oleh orang yang itu-itu saja, maka tidak ada nama lain kecuali kesewenang-wenangan. Kita mempercayakan jabatan legislatif pada prosedur demokrasi, dalam artian semua diserahkan kepada rakyat, jika rakyat masih menginginkan seseorang menjadi wakilnya di parlemen maka dia akan memilihnya, dan begitupun sebaliknya jika rakyat tidak menghendaki maka dia akan memilih yang lain.

Kepercayaan yang berlebihan terhadap prosedur demokrasi dalam praktiknya tidaklah baik. Demokrasi dalam masyarakat yang masih mengagungkan partronase dan nyaman dalam patriarki seringkali memposisikan individu dalam posisi yang tidak sejajar, sehingga pilihan dijatuhkan tidak pada pilihan nuraninya. Di samping itu, demokrasi dihadapkan pada dua ancaman yang tidak jarang kita lihat prakteknya di Indonesia. Pertama, demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya anti demokrasi. Kelompok-kelompok sektarian dapat mengambil hati konstituen secara demokratis, tetapi setelah berkuasa mereka membakar jembatan yang mereka bakar sendiri. Ada kecenderungan di Indonesia bahwa kepentingan mayoritas, biasanya atas nama keamanan, harus lebih diutamakan dari kepentingan minoritas, tidak peduli sepenting apapun hak minoritas yang dikorbankan itu. Kedua, demokrasi dibajak oleh orang-orang berpunya. Demokrasi merosot maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Sementara popularitas jarang dibangun dari keringat kerja-kerja politik, melainkan iklan politik belaka. Tak ayal, para pemenang pun adalah mereka yang bermodal atau dimodali oleh para cukong. Kualitas demokrasi pun dipertaruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi belaka.

Oleh karena itu, masa jabatan legislatif pun harus dibatasi. Dalam konteks masyarakat Indonesia hari ini, kita tidak dapat mempercayakan sepenuhnya pada prosedur demokrasi. Selain itu, aturan ini juga berpotensi melanggar hak asasi warga negara lain, setidaknya hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif, karena yang selalu tampil dipermukaan hanya orang yang itu-itu saja. Pertanyaannya adalah apakah membatasi masa jabatan legislatif melanggar HAM? Tentu saja tidak karena pembatasan tidak didasarkan atas diskriminasi SARA, tapi justeru untuk melindungi warga negara lain dari kesewenang-wenangan serta memenuhi hak mereka untuk dipilih dalam jabatan legislatif. Logika ini pula yang digunakan pada saat membatasi masa jabatan Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

Despan Heryansyah [Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA dan

Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi [PSHK]]

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề