Berikut yang merupakan korban pemberontakan G30S/PKI yang dilakukan di Kota Yogyakarta kecuali

tirto.id - Pada peristiwa Gerakan 30 September [G30S] 1965 di Jakarta terdapat 7 nama perwira militer TNI-AD yang menjadi korban kejadian ini. Mereka kemudian dianugerahi gelar pahlawan revolusi dan pahlawan nasional RI. Partai Komunis Indonesia [PKI] disebut-sebut sebagai dalang tragedi berdarah ini.

Menurut Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia [1978], G30S alias Gestapu [Gerakan September Tiga Puluh] atau Gestok [Gerakan Satu Oktober], adalah peristiwa yang terjadi lewat malam 30 September sampai awal 1 Oktober 1965 ketika sejumlah perwira militer Indonesia dibunuh dalam suatu usaha kudeta.

Penyebab, latar belakang, serta kebenaran yang valid terkait terjadinya peristiwa G30S cukup rumit lagi kompleks lantaran cukup banyaknya kepentingan yang bermain dalam situasi perpolitikan di tanah air dan pemerintahan yang dipimpin Presiden Sukarno kala itu.

Perlukah Rekonstruksi Sejarah G30S/PKI?

John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto [2008] menganalogikan Gerakan 30 September telah menjadi semacam kubus rubik yang tak terpecahkan, dengan enam warna yang tidak dapat bersesuaian dengan keenam sisinya.

Roosa, sejarawan dari University of British Columbia, Kanada, menambahkan, kendala dalam memecahkan teka-teki ini ialah pemaksaan cara penyelesaian palsu yang teramat kuat segera sesudah peristiwa ini terjadi, termasuk dengan menciptakan “fakta-fakta” semisal kisah penyiksaan di Lubang Buaya, pengakuan para pemimpin PKI, dan lainnya.

Dengan banjir propagandanya, lanjut Roosa, rezim Soeharto telah memasang ranjau di sepanjang jalan kaum sejarawan dengan petunjuk palsu, jalan belokan yang buntu, dan penggalan-penggalan bukti yang direkayasa.

Baca juga:

  • Film Pengkhianatan G30S-PKI: Fakta atau Propaganda Orba?
  • Sepak Terjang Ahmad Yani Menjelang 1 Oktober 1965
  • Upaya Anak-Anak Brigjen Sutoyo Menghapus Dendam

Maka, sebut Samsudin lewat buku Mengapa G30S/PKI Gagal? [2004], harus ada keberanian dari bangsa Indonesia untuk melakukan rekonstruksi sejarah secara objektif dan kritis sehingga dapat diwujudkan sejarah G30S/PKI yang sesungguhnya.

Masih ditulis oleh Samsudin dalam bukunya, menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa untuk membuka dan memberikan peluang bagi terjadinya perkembangan penafsiran terhadap fakta pembunuhan 6 jenderal Angkatan Darat [serta 1 perwira lainnya] dan peristiwa-peristiwa terkait setelah itu.

Seiring dengan hal tersebut, menjadi kebutuhan bersama sebagai bangsa, terutama para sejarawan untuk terus mencari dan menemukan fakta-fakta baru seputar G30S/PKI demi melengkapi data-data yang telah ada.

Melalui penemuan fakta-fakta baru tersebut akan dapat dirumuskan penafsiran-penafsiran yang baru pula mengenai G30S/PKI secara lebih komprehensif.

Terlepas dari kontroversi yang masih terus didiskusikan hingga saat ini, upaya pengambil-alihan kekuasaan dan kematian 7 perwira militer dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan fakta-fakta sejarah yang memang telah terjadi.

Infografik Pahlawan Revolusi dan Tragedi G30S 1965. tirto.id/Fuadi

Daftar Pahlawan Revolusi dalam G30S 1965

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta telah menyebabkan kematian 7 perwira TNI-AD, yang 6 di antaranya merupakan perwira tinggi alias jenderal yang kala itu cukup berpengaruh dalam pemerintahan RI di bawah pimpinan Presiden Sukarno.

Adapun 1 orang perwira lainnya adalah Kapten Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Jenderal A.H. Nasution disebut-sebut menjadi target seperti ke-6 jenderal lainnya. Tak hanya itu, ada korban meninggal dunia lainnya yaitu Ade Irma Suryani, putri Jenderal Nasution.

Baca juga:

  • Brigjen Katamso, Korban Tragedi 1965 di Yogyakarta
  • Mayjen Soeprapto, Akhir Tragis Perjalanan Sang Survivor
  • Ade Irma Terbunuh Karena Jadi Perisai A.H. Nasution

Selain itu, Bripka Karel Sadsuit Tubun yang merupakan pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena turut pula menjadi korban dalam peristiwa berdarah ini.

Berikut ini para pahlawan revolusi dalam peristiwa G30S 1965 di Jakarta:

  1. Letjen TNI Ahmad Yani [Menteri/Panglima AD/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi]
  2. Mayjen TNI Raden Suprapto [Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi]
  3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono [Deputi III Menteri/Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan]
  4. Mayjen TNI Siswondo Parman [Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen]
  5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan [Asisten IV Menteri/Panglima AD Bidang Logistik]
  6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo [Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD]
  7. Lettu CZI Pierre Andreas Tendean [Ajudan Jenderal A.H. Nasution]
  8. Bripka Karel Sadsuit Tubun [Pengawal Kediaman Resmi dr.J. Leimena]

Jenazah para korban penculikan dalam peristiwa G30S di ibu kota ditemukan di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur, tanggal 3 Oktober 1965, kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Baca juga:

  • Ajal M.T. Haryono Dijemput Boengkoes dari Cakrabirawa
  • Sejarah Lahirnya Pierre Tendean Pahlawan Revolusi
  • Kolonel Sugijono, Pahlawan Revolusi dari Yogyakarta

Pembunuhan terhadap perwira militer TNI-AD juga terjadi di Yogyakarta yang menewaskan Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono pada 1 Oktober 1965. Jasad keduanya ditemukan pada 12 Oktober 1965 di wilayah Kentungan dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Yogyakarta.

Pemerintah RI kemudian menetapkan ke-10 tokoh tersebut dengan gelar Pahlawan Revolusi dan memberikan kenaikan pangkat anumerta. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar Pahlawan Revolusi juga diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Baca juga artikel terkait G30S PKI atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
[tirto.id - isw/agu]


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

D. Brigadir jendral katamso

Dalam buku berjudul Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI 1965 di Yogyakarta dan Sekitarnya terbitan Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta [2000] yang ditulis berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan [BAP] terkait para oknum militer yang terlibat, diceritakan bahwa pada malam harinya, sejumlah tentara berkumpul untuk membahas rencana pembunuhan Kolonel Katamso.

Ada yang mengusulkan agar sang komandan langsung ditembak mati saja, namun ada pula yang menginginkan kematian dengan cara yang lebih sadis, seperti menjerat leher Kolonel Katamso dengan kawat, atau memukul kepalanya dengan benda berat. Usai rundingan itu, beberapa tentara mulai menggali kubur di belakang markas. Rencana pembunuhan siap dilaksanakan.

Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan pada perwira di militer yang gugur dalam tragedi G30S atau gerakan 30 September. Ketika itu, ada pemberontakan Partai Komunis Indonesia [PKI] yang bertujuan mengubah ideologi bangsa Indonesia.

Menurut KBBI pahlawan adalah orang yang berani untuk mempertahankan negara, orang yang menonjol dan berkorban untuk membela kebenaran, dan pejuang gagah berani.

Peristiwa G30S memakan korban petinggi Tentara Nasional Indonesia [TNI] Angkatan Darat [AD] dan beberapa korban lain. Berdasarkan Keputusan Presiden tahun 1965, mereka ditetapkan menjadi pahlawan Revolusi.

Ada 7 pahlawan revolusi yang tewas dalam peristiwa tersebut antara lain Jenderal Ahmad Yani, Mayjen TNI Raden Suprapto, Letjen S. Parman, Letjen M.T. Haryono, Mayjen D.I. Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, Brigjen Katamso, Kapten [Anumerta] Pierre Tendean.

Baca Juga

Gambar Pahlawan Revolusi [Website p2k.unhamzah.ac.id]

Berikut biografi singkat pahlawan revolusi yang meninggal dunia karena gerakan G30S.

Jenderal Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922. Awalnya Jenderal Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan PETA [Pembela Tanah Air] di Bogor.

Mengutip dari laman kemdikbud.go.i, Ahmad Yani mengikuti militer sampai ikut dalam pemberantasan PKI Madiun tahun 1948, Agresi Militer Belanda II, dan penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.

Tahun 1958 dia diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatera Barat untuk menumpas pemberontakan PRRI. Sampai tahun 1965, Ahmad Yani tewas ketika pemberontakan G30S pada 1 Oktober 1965.

2. Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto

Lahir di Purwokerto 20 Juni 1920, R. Suprapto mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan Keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Kemudian dia bekerja di kantor Pendidikan Masyarakat.

Mengutip jurnal "Pembangunan Aplikasi Pembelajaran Pengenalan Pahlawan Revolusi Indonesia Berbasis Android" yang ditulis Rudy Hartanto Wijaya, pada awal kemerdekaan dia ikut berjuang merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap.

Kemudian dia masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal R. Suprapto menjadi anggota militer. Tetapi ketika PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto menolaknya.

Akibatnya dia menjadi korban G30S bersama petinggi TNI AD lainnya. Suprapto dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

3. Letjen S.Parman

Dikenal dengan nama Siswondo Parman merupakan petinggi TNI Ada ketika orde lama. Dia lahir di Wonosobo, Jawa Tengah 4 Agustus 1918.

S. Parman pernah mengikuti pendidikan SD, SMP, sampai sekolah tinggi kedokteran. Tetapi ketika itu tentara Jepang menduduki Republik sehingga S. Parman gagal meraih gelar dokter.

S. Parman lalu memulai pendidikan di bidang intelijen. Dia pernah dikirim ke Jepang untuk memperdalam intelijen. Setelah proklamasi kemerdekaan dia mengabdi pada Indonesia.

Pengalamannya di bidang intelijen bermanfaat bagi TNI terutama mengetahui rencana PKI. Namun pada 1 Oktober 1965, dia diculik dan dibunuh bersama para jenderal lainnya.

4. Letjen M.T. Haryono

Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924. Termasuk salah satu dari 7 pahlawan revolusi.

Sebelumnya dia menempuh pendidikan di ELS [setingkat Sekolah Dasar] dan ELS [setingkat Sekolah Dasar]. Kemudian M.T. Haryono, menempuh pendidikan sekolah kedokteran selama pendudukan Jepang tetapi tidak tamat.

M.T. Haryono lalu bergabung menjadi perwira yang fasih berbicara dalam 3 bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Kemampuannya berbahasa ini menjadi penghubung perundingan dan komunikasi.

M.T. Haryono pernah menjadi Sekretaris Delegasi Militer
Indonesia pada Konferensi Meja Bundar, Atase Militer RI untuk Negeri Belanda dan Deputi III Menteri/ Panglima Angkatan Darat [Men/Pangad].

Tahun 1965, M.T. Haryono bersama petinggi lain gugur akibat pemberontakan G30S.

5. Mayor Jenderal D. I. Panjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac panjaitan, lahir di balige Sumatera Utara 19 Juni 1925. Dia meninggal di umur 40 tahun pada 1 Oktober 1965.

D. I. Panjaitan mengikuti pendidikan militer Gyugun ketika masa pendudukan Jepang. Kemudian dia ditempatkan di Pekanbaru, Riau ketika proklamasi kemerdekaan. Kemudian D. I. Panjaitan mengikuti TKR dan memiliki karir di bidang militer.

Sebelum meninggal dunia, dia diangkat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat. D. I. Panjaitan juga mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat.

Baca Juga

Sutoyo Siswomiharjo lahir di di Kebumen, Jawa Tengah, 28 Agustus 1922. Dia adalah seorang perwira tinggi di TNI-AD. Brigjen Sutoyo pernah menjadi atase militer di Inggris pada 1956-1959.

Sutoyo Siswomiharjo menempuh pendidikan di balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta. Setelah itu melanjutkan menjadi pegawai negeri pada Kantor Kabupaten di Purworejo. Ketika proklamasi kemerdekaan, dia masuk menjadi TKR bagian Kepolisian.

Setelah itu Sutoyo Siswomiharjo menjadi anggota Korps Polisi Militer dan diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto. Sutoyo Siswomiharjo kemudian menjadi kepala bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.

Sutoyo ditemukan meninggal di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965, di usia 43 tahun. Ketika itu Sutoyo menentang pembentukan angkatan kelima dan gugur dalam G30S.

7. Kapten [Anumerta] Pierre Tendean

Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean lahir pada 21 Februari 1939. DIa adalah seorang perwira militer di Indonesia, yang meninggal akibat G30S di usia 26 tahun.

Pierre Andreas Tendean adalah pahlawan revolusi yang dipromosikan menjadi kapten Anumerta setelah dirinya meninggal. Sebelumnya, Pierre Tendean sekolah dari SD sampai tamat SMA di Semarang.

Lalu dia melanjutkan pendidikan di akademi teknik angkatan darat atau
ATEKAD di Bandung sampai lulus. Dia mengikuti pendidikan Jurusan Teknik tahun 1962, lalu menjabat komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Militer II/Bukit Barisan di Medan.

Tahun 1965, perwira muda ini kemudian diangkat menjadi ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution. Tetapi ketika bertugas dia tertangkap oleh kelompok G30S dan mengaku sebagai A. H. Nasution dan terbunuh. Sementara itu Jenderal A.H Nasution bisa berhasil melarikan diri.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề