Coba jelaskan apa yang di maksud surat al fatihah ayat 5

null

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ


Artinya, “Hanya Kau yang kami sembah, dan hanya Kau yang kami mintakan pertolongan.”


Ibadah atau sembah secara harfiah berarti tunduk dan rendah. Sementara dalam agama, ibadah atau sembah adalah gabungan dari rasa cinta, tunduk, dan takut sekaligus sebagaimana keterangan Ibnu Katsir berikut ini:

العبادة في اللغة من الذلة، يقال: طريق مُعَبّد، وبعير مُعَبّد، أي: مذلل، وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف.


Artinya, “Ibadah pada kata ‘na‘budu’ berarti rendah dan hina. Oleh karena itu, ada frase berbunyi ‘tariq mu‘abbad’ atau jalan yang dipersiapkan untuk dilalui bagi pejalan dan ‘ba‘ir mu‘abbad’ atau unta yang tunduk, maksudnya dijinakkan. Dalam syariat, ibadah merupakan ungkapan atas gabungan kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut sekaligus.” [Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Jizah, Muassasah Qurthubah: tanpa tahun], juz I, halaman 214].


Pendahuluan maf’ul atau objek “iyyaka” daripada predikat verbanya “na‘budu” serta pengulangan menunjukkan urgensi, pembatasan dan pengkhususan makna dengan “hanya”. “Kami menyembah hanya kepada-Mu dan berpasrah hanya kepada-Mu.” Ini merupakan puncak ketaatan beragama.


Ajaran dan praktik agama sepenuhnya merujuk pada penyembahan dan kepasrahan ini. Tidak berlebihan jika ulama salaf mengatakan bahwa rahasia Al-Fatihah atau sirrul fatihah terletak pada “iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in”. Lafal “iyyaka na‘budu” bentuk bara atau pelepasan diri dari kemusyrikan. Sedangkan “wa iyyaka nasta‘in” bentuk serah dan pasrah daya serta kekuatan kepada Allah.” [Ibnu Katsir, tanpa tahun: 214-215].


Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasinut Ta’wil, menerangkan urgensi penggunaan pembatasan dan pengkhususan atau hashr di mana maf’ul didahulukan daripada subjek dan verbanya dalam Surat Al-Fatihah ayat 5. Menurutnya, masyarakat Arab ketika itu memiliki banyak jenis berhala. Sebagian mereka menyembah matahari, bintang, bulan, malaikat, berhala, pohon, batu, bahkan pendeta mereka sebagaimana keterangan Surat Fusshilat ayat 37, Saba ayat 40-41, Al-Maidah ayat 116, Ali Imran ayat 80, An-Najm 19-20, Al-A’raf ayat 138-140, dan At-Taubah ayat 31. [Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 10-12].


Dalam Surat Al-Fatihah ayat 5, digunakan subjek jamak; “iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in” [Hanya Kau yang kami sembah, dan hanya Kau yang kami mintakan pertolongan], bukan tunggal; “iyyaka a‘budu wa iyyaka asta‘in” [Hanya Kau yang kusembah, dan hanya Kau yang kumintakan pertolongan].


Ini merupakan pengakuan atas kekurangan, kedaifan, dan kehinaan manusia untuk menghadap di pintu-Nya. Seolah manusia mengatakan, “Tuhanku, aku hanya hamba yang hina dan rendah. Aku tidak layak bermunajat sendiri kepada-Mu. Oleh karenanya, aku menggabungkan diri ke jalan orang-orang beriman yang mengesakan-Mu. Oleh karena itu, kabulkanlah permohonanku di tengah perkumpulan mereka. Kami semua menyembah dan memohon pertolongan-Mu.” [As-Shabuni, 1999 M/1420 H: jilid I, 27]. Penggunaan lafal jamak juga berarti tabarukan atas orang-orang saleh beriman. [As-Shawi, tanpa tahun: jilid IV, 274].


Menurut As-Shawi dalam Hasyiyatus Shawi alal Jalalain, lafal ibadah didahulukan dibanding permohonan pertolongan. Hal ini memberikan pelajaran bahwa ibadah merupakan wasilah atau jalan adab dalam memohon pemenuhan hajat kepada Allah.


Dalam Surat Al-Fatihah ayat 5, kita kata Imam At-Thabari dalam tafsirnya, Jamiul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, seolah mengatakan, “Ya Allah, kami tunduk dan merendah kepada-Mu sebagai pengakuan kami atas status ketuhanan-Mu, bukan yang lain. Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan atas praktik ibadah, ketaatan kami kepada-Mu, dan segala aktivitas lain di luar itu. Tiada yang lain untuk itu selain-Mu karena orang menjadi kafir atau durhaka kepada-Mu ketika meminta pertolongan kepada berhala atau apa saja yang dipertuhankan. Kami hanya meminta pertolongan-Mu dalam semua urusan kami dengan ikhlas dalam penyembahan,” [At-Thabari, 2000 M/1420 H].


Adapun Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami li Ahkamil Qur’an mengatakan bahwa lafal “Wa iyyaka nasta‘in” atau hanya kepada-Mu kami minta pertolongan merupakan bentuk pembebasan diri dari kesombongan dan keangkuhan akan daya dan kekuatan selain Allah.


Tafsir Jalalain menerangkan bahwa Surat Al-Fatihah ayat 5 merupakan pengakuan kehambaan murni kepada Allah dalam urusan pengesaan dan ibadah amaliah lainnya yaitu shalat, puasa, zakat, haji, serta permohonan pertolongan murni kepada-Nya untuk menjalankan ibadah dan aktivitas lainnya baik dunia maupun akhirat. [As-Shawi, tanpa tahun: jilid IV, 274].

إيَّاكَ نَعْبُد وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين أَيْ نَخُصّك بِالْعِبَادَةِ مِنْ تَوْحِيد وَغَيْره وَنَطْلُب الْمَعُونَة عَلَى الْعِبَاد وَغَيْرهَا .


Artinya, “Lafal ‘iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in’ berarti, ‘kami menyembah-Mu secara khusus baik dalam urusan tauhid dan urusan lain; kami juga meminta pertolongan-Mu dalam urusan ibadah dan urusan lainnya,’” [Jalaluddin, Tafsirul Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun]].


Ragam Pelafalan Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘īn

Imam Ibnu Katsir menyebutkan keragaman bacaan seputar Surat Al-Fatihah ayat 5 dalam tafsirnya, Tafsirul Qur’anil Azhim. Imam tujuh qiraat dan mayoritas ulama membaca lafal “iyya” dengan tasydid; “iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in”. Sedangkan Imam Amr bin Fayid membaca “iya” tanpa tasydid; “iyaka na‘budu wa iyaka nasta‘in.” Tetapi bacaan ini terbilang jarang dan ditolak karena secara harfiah “iya” berarti sinar matahari.


Sebagian ulama membaca “iyya” dengan fathah pada hamzah dan tasydid; “ayyaka na‘budu wa ayyaka nasta‘in.” sementara sebagian ulama lain membaca “iyya” dengan ha sebagai pengganti hamzah; “hayyaka na‘budu wa hayyaka nasta‘in.”


Mayoritas ulama membaca fathah pada nun “nasta‘in,” kecuali Yahya bin Watsab dan Al-A‘masy. Keduanya membaca kasrah pada nun; “iyyaka na‘budu wa iyyaka nista‘in.” [Ibnu Katsir, tanpa tahun: 214]. Wallahu a‘lam.

Penulis: Alhafiz Kurniawan Editor: Abdullah Alawi

Kumpulan Khutbah Idul Fitri Terfavorit

Apa makna iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin?

Allah Ta’ala berfirman,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [1] الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [2] الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [3] مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ [4] إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ [5] اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ [6] صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ [7]

Artinya:

  1. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam,
  3. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
  4. Pemilik hari pembalasan.
  5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
  6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
  7. [yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan [jalan] mereka yang dimurkai, dan bukan [pula jalan] mereka yang sesat. [QS. Al-Fatihah: 1-7]

Kali ini adalah kajian ayat,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah mengatakan,

{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } أَيْ نَخُصُّكَ بِالعِبَادَةِ مِنْ تَوْحِيْدٍ وَغَيْرِهِوَنَطْلُبُ المَعُوْنَةَ عَلَى العِبَادَةِ وَغَيْرِهَا .

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Maksudnya, kami hanya mengkhususkan ibadah kepada Allah dengan bertauhid dan lainnya. Kami memohon pertolongan hanya kepada Allah dalam beribadah dan untuk urusan lainnya.”

Sudah baca pembahasan sebelumnya? Simak Tafsir Surat Al-Fatihah [Ayat 4]: Memahami Maaliki Yaumiddiin

Catatan dari apa yang disampaikan dalam tafsir Jalalain

  1. Ibadah itu hanya untuk Allah semata.
  2. Bertauhid [mengesakan Allah] itulah maksud dari “iyyaka na’budu”, kepada-Mulah kami beribadah.
  3. Meminta tolong kepada Allah itulah maksud dari “wa iyyaka nasta’iin”, dan isti’anah [meminta tolong] di sini hanya dilakukan kepada Allah dalam hal yang hanya bisa diselesaikan oleh-Nya.
  4. Manusia tidak bisa lepas dari pertolongan Allah untuk dimudahkan dalam urusan dan berbagai ibadah.

Mendalami makna “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’iin”

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menerangkan sebagaimana berikut ini:

Ayat tersebut maksudnya “hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah dan memohon pertolongan”. Karena mendahulukan objek [maf’ul] berfungsi untuk membatasi [hashr], yaitu menetapkan hukum yang telah disebut dan meniadakan yang lainnya. Seola-olah kita mengucapkan: Kami [hanya] beribadah kepada-Mu bukan kepada selain-Mu, kami [hanya] memohon pertolongan kepada-Mu bukan kepada selain-Mu.

Mendahulukan penyebutan ibadah sebelum isti’anah [meminta tolong] merupakan bentuk penyebutan umum sebelum khusus dan sebagai bentuk perhatian didahulukannya hak Allah atas hak hamba-Nya.

Makna ibadah mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik perbuatan dan perkataan, yang lahir maupun batin. Sedangkan isti’anah adalah penyandaran diri kepada Allah untuk mendapatkan manfaat dan menolak mudarat dengan didasari keyakinan kepada-Nya dalam mencapai hal tersebut.

Beribadah dan memohon pertolongan kepada-Nya merupakan dua sarana untuk menggapai kebahagiaan yang abadi dan keselamatan dari seluruh kejelekan. Maka, tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan melaksanakan kedua hal tersebut [beribadah dan meminta tolong kepada Allah]. Ibadah disebut ibadah jika pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya mengharap wajah Allah semata. Dua hal ini [mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ikhlas] merupakan syarat diterimanya ibadah.

Penyebutan isti’anah diakhirkan setelah penyebutan ibadah, padahal isti’anah merupakan bagian dari ibadah, adalah untuk menunjukkan bahwa seluruh ibadah itu membutuhkan pertolongan Allah. Jika Allah tidak memberikan pertolongan dalam ibadah, niscaya tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya atau menjauhi larangan-larangan-Nya. [Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 25-26]

Ayat ini mengajarkan untuk kita agar berlepas diri dari syirik dan tidak boleh bergantung pada kekuatan sendiri

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وقدم المفعول وهو { إياك } ، وكرر؛ للاهتمام والحصر، أي: لا نعبد إلا إياك، ولا نتوكل إلا عليك، وهذا هو كمال الطاعة. والدين يرجع كله إلى هذين المعنيين

Maf’ul [objek] yaitu “iyyaka” didahulukan penyebutannya dan berulang untuk menunjukkan perhatian dan pembatasan. Maksudnya adalah tidaklah kami beribadah kecuali kepada-Mu semata, tidaklah kami bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu. Inilah kesempurnaan ketaatan. Agama itu kembali ke kedua makna ini.

وهذا كما قال بعض السلف: الفَاتِحَةُ سِرُّ القُرْآنِ، وَسِرُّهَا هَذِهِ الكَلِمَةُ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } [الفاتحة: 5]

Inilah sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Surah Al-Fatihah itu inti Al-Qur’an. Inti dari surah Al-Fatihah adalah pada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”.

فالأول تبرؤ من الشرك، والثاني تبرؤ من الحول والقوة، والتفويض إلى الله عز وجل. وهذا المعنى في غير آية من القرآن

Kalimat pertama “hanya kepada-Mu-lah kami beribadah” mengandung makna berlepas diri dari syirik. Kalimat kedua “hanya kepada-Mu-lah kami memohon pertolongan” mengandung makna berpelas diri dari usaha dan kekuatan sendiri, lalu berserah diri kepada Allah.

وهذا المعنى في غير آية من القرآن، كما قال تعالى

Makna seperti ini juga ditemukan dalam ayat lainnya seperti pada ayat.

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Maka sembahlah Allah, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” [QS. Hud: 123]

قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا

“Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal.” [QS. Al-Mulk: 29]

رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا

“[Dialah] Rabb masyrik [yang di timur] dan maghrib [di barat], tiada Rabb [yang berhak disembah] melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” [QS. Al-Muzammil: 9]

وكذلك هذه الآية الكريمة: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } .

Demikian pula ayat yang mulia ini “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”. [Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:206]

Kalam Ghaib Beralih ke Mukhathab

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وتحول الكلام من الغيبة إلى المواجهة بكاف الخطاب، وهو مناسبة  ، لأنه لما أثنى على الله فكأنه اقترب وحضر بين يدي الله تعالى؛ فلهذا قال: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }

“Penyebutan kalimat dalam bentuk pujian masih dalam bentuk ghaib [membicarakan orang ketigha], kemudian beralih pada bentuk orang kedua [di ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”], seakan-akan yang membaca itu dekat dan hadir di hadapan Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut dibaca ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’.” [Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:206]

Ibadah itu maqshudah, meminta tolong [isti’anah] itu wasilah

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وإنما قدم: { إياك نعبد } على { وإياك نستعين } لأن العبادة له هي المقصودة، والاستعانة وسيلة إليها، والاهتمام والحزم هو أن يقدم ما هو الأهم فالأهم، والله أعلم.

“Didahulukannya “iyyaka na’budu” [hanya kepada-Mulah kami beribadah] dari “wa iyyaka nasta’iin” [hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan] karena ibadah itu maqshudah [yang jadi tujuan]. Sedangkan isti’anah [meminta tolong] itu adalah wasilah pada tujuan tadi. Yang jadi perhatian dan kemantapan adalah mendahulukan yang lebih penting dahulu dari lainnya. Wallahu a’lam.” [Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:207]

Menghilangkan riya’ dan sifat sombong

Kalimat “iyyaka na’budu” [hanya kepada-Mulah kami beribadah] ini menolak riya’. Sedangkan kalimat “wa iyyaka nasta’iin” [hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan] ini menolak sifat sombong karena kita bisa melakukan ketaatan hanya dengan pertolongan dari Allah. Pernyataan seperti ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab, hlm. 51.

Faedah ayat

  1. Kita diperintahkan memurnikan ibadah hanya kepada Allah.
  2. Kita diperintahkan meminta tolong hanya kepada Allah semata [dalam perkara yang hanya Allah yang dapat menyelesaikannya].

Referensi:

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam.
  3. Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar
  4. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  5. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  6. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Baca pembahasan selanjutnya: Tafsir Surat Al-Fatihah [Ayat 6 dan 7]: Memahami Shirathal Mustaqim [Jalan Lurus]

Disusun di Darush Sholihin, 27 Ramadhan 1441 H [19 Mei 2020]

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề