Jelaskan apa dampak korupsi dan apa hukuman yang Pantas dan memiliki efek jera bagi pelaku korupsi

1380802254451762180

Korupsi di Indonesia semakin hari bukan berkurang, namun justru malah semakin bertambah, dilakukan secara massif, terorganisir dan sistematis; terlebih menjelang akan dilaksanakannya Pemilu pada tahun 2014 mendatang. Hal ini dapat dilihat secara kasat mata dari semakin banyak dan seringnya koruptor yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Koruptor [KPK], yang berasal dari berbagai status, tingkatan dan institusi di Indonesia, baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif; sipil maupun militer.

Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah mereka yang melakukan korupsi dan berhasil ditangkap oleh KPK bukan hanya mereka yang mempunyai jabatan rendah atau menengah di institusi mereka, namun justru yang menjadi pucuk pimpinan di tempat tersebut , sebagaimana yang dilakukan oleh antara lain:

- Irjen [Polisi] Djoko Susilo: yang menjabat sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI yang terlibat dalam tindak pidana korupsi pengadaan proyek simulator ujian surat izin mengemudi roda dua dan roda empat.

- Andi Alfian Mallarangeng : menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga dan merupakan kader pilihan Partai Demokrat yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga Hambalang, Jawa Barat.

- Luthfi Hasan Ishaaq: menjabat sebagai anggota DPR Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera [F-PKS] dan sekaligus Presiden PKS yang menjadi terdakwa dalam suap impor daging sapi di Kementerian Pertanian yang mana menterinya berasal dari partai yang dipimpinnya.

- Prof. Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini : menjabat sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi [SKK Migas] menjadi tersangka untuk tindak pidana suap agar PT Kernel Oil Private Limited dapat melakukan ekspansi bisnis ke hulu migas.

- Dr. H.M. Akil Mochtar, SH.,M.H. : menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi [sebelumnya merupakan anggota DPR dari Partai Golkar] yang tertangkap tangan menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Menurut pengamat dan aktivis penggiat Antikorupsi di Indonesia, semakin banyaknya kasus korupsi di Indonesia disebabkan selain oleh lemahnya pengawasan dan penindakan oleh institusi yang berwenang, juga dikarenakan rendahnya hukuman yang dituntut oleh jaksa dan vonis hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim kepada terdakwa koruptor di persidangan, belum lagi dengan ada dan diberikannya kemudahan dan keistimewaan bagi koruptor ketika menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan; semuanya itu tidak menimbulkan efek jera sama sekali.

Berdasarkan hasil pencatatan dan analisa yang dilakukan oleh Indonesia Coruption Watch [ICW] dalam 3[tiga] tahun terakhir terdapat 756 orang terdakwa kasus korupsi yang divonis ringan atau divonis hukuman antara 2-5 tahun penjara, dan hanya 5[lima] orang yang divonis di atas lima tahun.

Akibat dari rendahnya vonis hukuman yang dijatuhkan dan tidak menimbulkan efek jera kepada para koruptor tersebut, perlu dipikirkan dan kemudian diberlakukan untuk memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada koruptor, tidak hanya secara fisik yang harus dijalani oleh mereka dipenjara, namun juga diberikan tambahan berupa sanksi sosial, finansial bahkan politik seperti berikut ini :

- memberikan tuntutan hukuman maksimal dengan menggunakan pasal yang sesuai dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

- memiskinkan koruptor dengan menyita seluruh harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dengan cara pembuktian terbalik sesuai dengan pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

- menghapuskan remisi kepada koruptor, kecuali yang telah menjalankan apa yang diatur dalam Pasal 34A ayat [1] butir a dan b PP No. 9 tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

- mencabut hak politik koruptor, sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat memilih ataupun dipilih untuk menjadi pejabat politik/publik [seperti tuntutan yang diberikan kepada Irjen Djoko Susilo, meski pada vonis tidak dikabulkan oleh hakim], karena selama ini koruptor kerap kali masih bisa mendapatkan posisi politik/publik yang bagus setelah menjalani masa hukuman.

- memberikan tanda khusus dalam KTP maupun kartu identitas koruptor yang berlaku seumur hidup [sebagaimana yang pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru kepada eks tahanan politik G30S/PKI], bahkan Akil Mochtar yang baru saja ditangkap beberapa waktu lalu pernah mengusulkan hukuman potong jari kepada koruptor.

- memberikan sanksi finansial/ekonomi, sehingga mereka tidak dapat menjadi nasabah bank ataupun mengajukan kredit kepada bank. - memberikan sanksi sosial dengan mewajibkan koruptor membersihkan jalan protokol [utama] dan/atau fasilitas umum di kota mereka ditahan dengan menggunakan seragam tahanan KPK, sehingga masyarakat dapat melihat dan mengejek/menghina para koruptor tersebut.

- membangun tempat tahanan koruptor di area rekreasi umum [semacam kebun binatang, tapi penghuninya adalah para koruptor] yang dapat ditonton oleh masyarakat.

- menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor dengan kriteria tertentu [pimpinan penegak hukum, pimpinan pajak dan bea cukai, atau dampak dari korupsi yang dilakukannya sangat merugikan negara, memberikan dampak negatif yang sangat massif dan meresahkan masyarakat umum], bukan hanya "dalam keadaan tertentu" seperti yang tercantum pada Pasal 2 ayat [2] UU Nomor 31 tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semoga dengan memberikan hukuman yang berat kepada koruptor, maka korupsi di negara ini dapat berkurang secara drastis dan signifikan, sehingga Indonesia dapat menjadi Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan menjadi harapan kita semua.

Liputan6.com, Jakarta - Permintaan untuk menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi di masa pandemi Covid-19 kembali menggema. Wacana ini dilontarkan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia [Wamenkumham] Edward Omar Sharif Hiariej.

Diketahui ada dua menteri yang diduga melakukan korupsi di masa pandemi Covid-19. Pertama adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Selanjutnya ada Menteri Sosial Juliari Batubara.

"Bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana pemberatannya sampai pada pidana mati," kata Edward dalam sebuah diskusi yang dikutip Rabu [17/2/2021].

Dia menjelaskan alasan kedua menteri yang korupsi di tengah pandemi Covid-19 bisa dijerat. Pertama mereka melakukan kejahatan itu dalam keadaan darurat Covid-19. Kedua, mereka melakukan kejahatan itu dalam jabatannya sebagai menteri.

"Jadi dua hal yang memberatkan itu sudah lebih dari cukup untuk diancam Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," jelas Edward.

Wacana ini disambut langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK]. Pihaknya tak menutup kemungkinan menjerat dua mantan menteri Kabinet Jokowi-Maruf Amin yang terseret kasus suap dengan Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi [Tipikor].

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, tim penyidik lembaga antirasuah membuka kemungkinan mengembangkan kasus yang menjerat Juliari dan Edhy. Bahkan, menurut Ali, keduanya juga bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang [TPPU] sepanjang ditemukan alat bukti yang mencukupi.

"Pengembangan sangat dimungkinkan seperti penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor, bahkan penerapan ketentuan UU lain seperti TPPU," ujar Ali dalam keterangannya, Rabu [17/2/2021].

Menurut Ali, kemungkinan pidana mati tersebut bisa diterapkan tim penyidik kepada keduanya.

"Kami tentu memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian kedua perkara tersebut, termasuk soal hukuman bagi para pelakunya. Benar, secara normatif dalam UU Tipikor terutama Pasal 2 ayat [2] hukuman mati diatur secara jelas ketentuan tersebut dan dapat diterapkan," kata Ali.

Ali mengatakan, dalam menuntut terdakwa kasus korupsi dengan pidana mati, tim penuntut umum harus bisa membuktikan seluruh unsur yang ada dalam Pasal 2 UU Tipikor tersebut.

"Akan tetapi bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur pasal 2 ayat [1] juga harus terpenuhi," kata Ali.

Ali mengatakan, untuk saat ini pihak lembaga antirasuah masih fokus menangani Juliari dan Edhy Prabowo dengan pasal penerima suap, yakni Pasal 12 UU Tipikor. Pasal tersebut mengancam pelaku dengan pidana penjara seumur hidup.

"Proses penyidikan kedua perkara tersebut sampai saat ini masih terus dilakukan. Kami memastikan perkembangan mengenai penyelesaian kedua perkara tangkap tangan KPK dimaksud selalu kami informasikan kepada masyarakat," kata Ali.

Bunyi Pasal 2 UU Tipikor

Pasal 2 ayat [1] UU 31/1999 menyatakan, 'Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.'

Sementara Pasal 2 ayat [2] menyebutkan, 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat [1] dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.'

Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat [2] menyatakan, 'Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi'.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề