Jelaskan pembaharuan apa yang dilakukan oleh K. H. Ahmad Dahlan agar pendidikan di sekolah madrasah Muhammadiyah lebih baik?

KH Ahmad Dahlan diakui sebagai pelopor modernisme pendidikan Islam di Indonesia.

Jumat , 22 Nov 2019, 13:42 WIB

Daan Yahya/Republika

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Siapa yang tidak tahu KH Ahmad Dahlan, tokoh besar Muslim Indonesia yang bersama istrinya, Nyai Ahmad Dahlan, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kiai Dahlan di Kauman Yogyakarta tahun 1285 H atau 1868 M, dan wafat pada 1340 H bertepatan dengan 1923 M.Kiai Dahlan yang memiliki nama kecil “Muhammad Darwis” mendalami ilmu agama di Makkah. Ia merasa terpanggil untuk mengatasi kemunduran dan keterbelakangan umat Islam di Tanah Air. Dalam kiprah perjuangannya sepanjang hayat Kiai Dahlan diakui sebagai pelopor modernisme pendidikan Islam di Indonesia.Sepulang dari Makkah, Kiai Dahlan diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Tetapi ia merasa terpanggil dan bertanggungjawab untuk membangunkan, menggerakkan, dan memajukan umat. Ia pun sadar bahwa cita-cita pembaharuan tidak mungkin dilaksanakan seorang diri.

Karena itu, Kiai Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta. Organisasi modernis Islam tertua dan terbesar itu didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912.

Baca Juga: Tak Tergoda Politik Praktis, Muhammadiyah Tuai Pujian Sedikitnya tiga faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, sebagaimana dikemukakan Prof Dr Hamka yaitu: Pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua bidang kehidupan. Kedua, kemiskinan yang diderita umat Islam. Ketiga, kondisi pendidikan Islam yang tradisional dan terbelakang di masa itu.Sang pencerah Kiai Dahlan menginginkan umat Islam Indonesia mengamalkan dan menggerakkan agama dengan berorganisasi. Sosok yang gigih, penuh teladan dan kaya dengan inspirasi itu dikenang sebagai “reformer Islam di Indonesia” yang namanya harum dari awal sampai akhir.

Dalam buku Muhammadiyah dan Kebangunan Islam di Indonesia, Solichin Salam [1965] mengungkapkan Muhammadiyah mulai melangkah tidak dengan banyak bicara, akan tetapi terlebih dahulu berbuat dan beramal. Gerakan Muhammadiyah didirikan atas kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap hari depan agama, bangsa dan tanah air. Salah satu pernyataan Kiai Dahlan yang patut direnungkan, “Tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggung jawab?”

Muhammadiyah mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam dokumen otentik Anggaran Dasarnya tercantum tujuan awal Muhammadiyah, yaitu: “Menggembirakan dan memajukan pelajaran dan pengajaran Islam serta memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam”.

Karena itu, dalam bidang keagamaan Muhammadiyah berupaya mengembalikan kemurnian ajaran Islam berdasarkan Alquran dan Sunnah Nabi, serta memberantas perbuatan syirik dan bid’ah, menentang kultus individu maupun pemujaan terhadap roh dan benda-benda keramat.

Organisasi Muhammadiyah mencanangkan permulaan puasa dan Hari Raya dengan perhitungan hisab, memelopori pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan sesuai contoh dari Nabi, mengorganisir pengumpulan zakat dan qurban setiap tahun, penerbitan buku dan majalah Suara Muhammadiyah, dan lain-lain. Muhammadiyah mengibarkan panjí-panji dakwah dengan kebijaksanaan dan kebaikan, dan bukan dengan kekerasan dan menjelekkan kelompok lain.

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan Kiai Dahlan dan murid-muridnya dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping melalui relasi dagang yang dimilikinya. Ulama-ulama dari berbagai daerah berdatangan untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah sehingga organisasi ini berkembang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kiai Ahmad Dahlan menjelaskan maksud mendirikan Muhammadiyah ialah hendak menyusun tenaga kaum muslimin untuk melaksanakan perintah agama Islam.

Baca Juga: Ketum Muhammadiyah Ciptakan Lagu Bareng Erros Sheila on 7 Di bidang pendidikan Muhammadiyah memelopori modernisasi pendidikan Islam, memperjuangkan pelajaran agama Islam diajarkan di sekolah-sekolah umum negeri maupun swasta, serta mendirikan lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Dewasa ini, Muhammadiyah punya ribuan sekolah dan ratusan Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia.

Sementara di bidang kemasyarakatan Muhammadiyah memelopori pendirian Rumah Sakit sejak 1923, mengadakan Balai Kesehatan Ibu dan Anak, membangun Panti Asuhan. Lembaga otonom di lingkungan Muhammadiyah terus berkembang hingga kini, seperti Lembaga Amil Zakat, lembaga wakaf, Majelis Pemberdayaan Masyarakat [MPM], dan lain-lain.

Ia lahir dengan nama kecil Muhammad Darwisy pada 1868 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Kampung yang terletak di sebelah barat alun-alun utara Yogyakarta itu, dekat dengan Masjid Besar [Jw. Gede] Kauman, Yogyakarta.

Seandainya pada tahun tersebut Muhammad Darwisy tidak lahir di sana, mungkin Kampung Kauman hanya dikenal sebagai sebuah pemukiman yang dekat dengan Masjid Gede Yogyakarta.

Namun sejarah berkata lain, kampung itu tercatat sebagai tempat kelahiran seorang pahlawan nasional Indonesia, ulama yang kelak akan menjadi pembaharu dalam pengajaran Islam di Nusantara.

Muhammad Darwisy nantinya akan dikenal sebagai Kiai Haji [KH] Ahmad Dahlan, penggagas Persyarikatan Muhammadiyah. Salah satu organisasi masyarakat yang berjasa dalam bidang pendidikan dan pembaharuan pemahaman agama Islam di Indonesia.

Kiai Dahlan dilahirkan dari keluarga yang akrab dengan agama Islam. Ayahnya, KH Abu Bakar merupakan Imam Khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Sementara ibunya, Nyai Abu Bakar adalah putri dari KH Ibrahim, Kepala Penghulu Yogyakarta.

Dari segi keturunan, tidak ada yang menyangkal bahwa ia terlahir dari trah keluarga ulama terkenal. Bila dirunut, Kiai Dahlan merupakan keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang pelopor penyebaran dan pengembangan agama Islam di Tanah Jawa. Ia dikenal sebagai seorang wali besar dan terkemuka di antara Wali Sanga.

Di masa kecil, Kiai Dahlan tumbuh dan dididik di lingkungan pesantren. Dari lingkungannya itulah, ia menimba pengetahuan agama dan belajar Bahasa Arab.

Secara pendidikan, ia tidak pernah menempuh pendidikan formal. Kemampuan baca tulis ia peroleh dari ayahnya dan kerabat-kerabat dekatnya. Walaupun tidak menempuh pendidikan formal, tetapi ia merupakan anak yang selalu haus ilmu. Berbagai ilmu ia pelajari, dari mulai ilmu agama hingga pengetahuan umum.

Gairahnya akan ilmu dimulai dari ayahnya sendiri. Dari ayahnya ia mendapatkan dasar-dasar keagamaan yang kuat. Hal itu membuatnya mampu mengkhatamkan Al-Quran sejak dini. Tambah lagi, selain dari ayahnya, ia juga memperoleh pemahaman agama dari guru-guru yang kompeten.

KH Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah | Google Image/Wikipedia

Beranjak remaja, Kiai Dahlan menuntut ilmu fiqih, nahwu, falaq, dan hadits. Tercatat ia pernah belajar di Pesantren Saleh Darat di Semarang. Di sana ia bertemu dengan KH Hasyim Asy’ari, yang kelak akan menjadi pelopor berdirinya Nahdlatul Ulama [NU]. Bahkan, mereka tidak hanya nyantri di pesantren yang sama, tapi juga menempati kamar yang sama.

Pada 1883, saat itu usianya masih 15 tahun, ia menunaikan ibadah haji. Selesai beribadah haji, ia menetap di Makkah sambil memperdalam ilmu agama dan Bahasa Arab.

Di Makkah, Kiai Dahlan gemar menuntut ilmu dari berbagai sumber. Ia berinteraksi dengan pemikiran para pembaharu dunia Islam seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. "Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy [KH Ahmad Dahlan]," dikutip dari Muhammadiyah.or.id.

Interaksinya dengan berbagai gagasan pembaharuan Islam itu membawa pengaruh besar terhadap pemikirannya dalam menentukan langkah-langkahnya ke depan.

Di usia 20 tahun [1888], ia kembali ke kampung halamannya. Meski sudah kembali ke tempat asalnya, ia tetap menjaga dirinya dari ketertinggalan informasi dengan masih berlangganan majalah Al- Manaar terbitan Mesir. Melalui majalah Al-Manaar, Kiai Dahlan masih tetap memperoleh informasi tentang gagasan reformasi di dunia Islam.

Mengusulkan Perubahan Kiblat Masjid Gede

Sepulangnya dari Makkah, sesuai dengan kebiasaan orang yang baru pulang haji pada waktu itu, mereka mengganti namanya. Kiai Dahlan yang bernama kecil Muhammad Darwisy, mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan.

Tak berselang lama, Kiai Dahlan diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Dengan berbagai bekal ilmu yang ia bawa dari perantauan, Kiai Dahlan menemukan ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam pemahaman dan praktik Islam di kampung halamannya.

Salah satu peristiwa yang paling diingat adalah ketika ia, dengan ilmu falak yang dikuasainya, mencoba membenarkan arah kiblat Masjid Gede Kauman.

Masjid Gede Kauman Yogyakarta, yang pernah diusulkan untuk membetulkan arah kiblatnya oleh Kiai Dahlan | Google Image/Wikipedia

Kala itu, Masjid Gede arah kiblatnya lurus ke barat. Tidak tepat menghadap arah Masjidil Haram di Makkah. Seharusnya digeser sedikit 24 derajat barat Laut seperti yang kita kenal sekarang.

Namun, karena kekeliruan arah kiblat itu sudah terlanjur diikuti cukup lama, Sehingga ide mengubah arah kiblat yang meski cuma sedikit itu, menjadi isu sensitif dan memicu ketegangan.

Usul Kiai Dahlan mendapat tentangan keras dari Kanjeng Penghulu Kamaluddiningrat dari Keraton Yogyakarta. Pemikiran revolusioner Kiai Dahlan saat itu dianggap sesat karena bertentangan dengan ketetapan Penghulu Masjid.

Permasalahan arah kiblat tersebut memakan waktu hampir satu tahun. Kiai Dahlan mencoba menyampaikan masalah ini perlahan-lahan. Itu pun terbatas pada ulama-ulama yang ia kenal dan dianggap sepaham di Kampung Kauman.

Langgar Kidul yang berlokasi di Kampung Kauman, Yogyakarta, dekat dengan rumah KH Ahmad Dahlan | Google Image/Beritagar.id

Puncaknya pada tahun 1899, ketika ia mengubah arah bangunan Langgar Kidul di rumahnya sesuai dengan arah kiblat yang diyakininya. Secara arsitektural, hal itu membuat arah langgarnya tidak sama dengan arah Masjid Gede Kauman.

Mendengar hal tersebut, Penghulu Kamaluddiningrat memerintahkan Kiai Dahlan untuk merobohkannya. Tentu saja perintah itu ditolak Kiai Dahlan. Karena penolakan itu, akhirnya Langgar Kidul dirobohkan secara paksa pada malam hari itu juga.

Pembongkaran langgarnya membuat Kiai Dahlan kecewa dan hendak meninggalkan wilayah Kauman. Akan tetapi, karena dibujuk oleh iparnya, ia tidak jadi meninggalkan Kauman dan membangun kembali langgarnya sesuai arah Masjid Gede. Sedangkan arah kiblat yang ia yakini, ditandai dengan membuat garis petunjuk di dalam langgarnya.

Pada tahun 1902 Kiai Dahlan kembali menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya dan dilanjutkan dengan memperdalam ilmunya ke beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904. Kepergiannya kali ini membawanya bertemu dengan Rasyid Ridha dan Syekh Khatib.

Dalam pertemuan tersebut mereka mendiskusikan tentang perkembangan Islam di Nusantara. Dari hasil diskusi itu, Kiai Dahlan menyimpulkan bahwa dakwah dan pengajaran Islam di Tanah Airnya sudah mengalami ketertinggalan sehingga perlu adanya pembaharuan.

Kiai Dahlan melihat bahwa Islam di Nusantara kala itu, penuh dengan pengaruh takhayul, khurafat, dan bidah. Beberapa hal bahkan tidak sesuai dengan perintah Allah Swt yang tertuang dalam Al-Quran dan Al-Hadist.

Selain berbagai masalah tadi, ada permasalahan lain yang menurutnya juga sangat perlu diluruskan, yaitu sikap taklid buta masyarakat kepada guru atau ulama. Apapun yang dikatakannya dianggap sebagai kebenaran absolut.

Sikap tersebut, menurut Kiai Dahlan, membuat masyarakat kehilangan daya kritis terhadap kebenaran suatu cerita, pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh kiai atau ulama yang pada saat itu sangat dihormati

Tambah lagi, ia juga melihat ada upaya kristenisasi dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda terhadap masyarakat. Upaya kristenisasi itu dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan, balai pengobatan, dan cara sistematis lainnya. Berbagai kondisi itu memprihatinkan dan membuat khawatir Kiai Dahlan. Ia merasa perlu melakukan sesuatu.

Didorong oleh para sahabat dan murid-muridnya untuk melakukan suatu pembaharuan secara struktural. Akhirnya, untuk mengakomodir berbagai gagasannya soal pembaharuan Islam di Nusantara. Pada 18 Nopember 1912, Kiai Dahlan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah.

''Organisasi inilah yang dijadikan Kiai Dahlan sebagai media menerapkan gagasan dan ide pembaruannya,'' dikutip dari buku Tokoh Indonesia Teladan terbitan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia [Kemendagri RI].

Keteladanan KH Ahmad Dahlan | GNFI

Fokus pada Pendidikan dan Kesejahteraan Umat

Sejak awal didirikannya, Muhammadiyah ditetapkan Kiai Dahlah bukan sebagai organisasi politik, tetapi bersifat sosial dan fokus di bidang pendidikan. Ia ingin mengembangkan masyarakat melalui sarana pendidikan.

Dalam Tokoh Indonesia Teladan, Kiai Dahlan terinspirasi mengembangkan kualitas masyarakat dari kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Karena itu, pada praktiknya ia mengembangkan sistem pendidikan berbasis kelas.

Baginya pendidikan memiliki peranan penting dalam menyiapkan kader-kader Islam yang terdidik. Salah satu yang menjadi langkah awal adalah perhatiannya pada pendidikan untuk perempuan. Kala itu, pendidikan untuk perempuan belum dianggap sebagai hal yang penting di masyarakat.

Kiai Dahlan bersama murid-muridnya di Langgar Kidul yang ada di rumahnya | Google Image/Sangpencerah.id

Perempuan hanya dianggap subordinat dari laki-laki. Sedangkan bagi Kiai Dahlan tidak demikian, menurutnya perempuan memegang peranan penting dalam rumah tangga. Di tangan perempuanlah, pendidikan anak-anak muda penerus masa depan bangsa berada. Karena itu mereka perlu mendapat pendidikan selayaknya laki-laki

Untuk mengimplementasikan gagasan soal pentingnya pendidikan bagi perempuan, Kiai Dahlan menjadikan serambi rumahnya sebagai sekolah khusus perempuan. Bersama istrinya, Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, pada tahun 1914, mereka mengadakan pengajian khusus perempuan yang diberi nama Sapa Tresna.

Pengajian Sapa Tresna merupakan cikal bakal berdirinya organisasi Aisiyah [Muhammadiyah khusus perempuan] pada tahun 1917. Aisiyah memelopori kebangkitan perempuan Indonesia agar dapat mengenyam pendidikan dan berfungsi sosial, sejajar dengan laki-laki.

Siti Walidah atau Nyai Dahlan, istri dari KH Ahmad Dahlan yang memelopori Aisiyah | Google Image/Republika.co.id

Langkah selanjutnya yang diambil oleh Kiai Dahlan adalah membangun madrasah Al- Qismul Arqo. ''Pada tahun 1921, madrasah tersebut berubah menjadi Hooger Muhammadiyah School dan akhirnya Kweekschool Islam pada tahun 1923,’’ dikutip dari buku Tokoh Indonesia Teladan.

Kemudian pada tahun 1924, Kiai Dahlan mulai memisahkan kelas antara laki-laki dan perempuan. Hal itu menunjukkan, bahwa ia sangat memberi perhatian pada nilai-nilai Islam, meski beberapa sistem di madrasahnnya terinspirasi dari sekolah pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Gagasan pendidikan Kiai Dahlan semakin menunjukkan perkembangan ketika didirikan sekolah taman kanak-kanak yang ia beri nama Siswa Praya, yang kemudian berubah nama menjadi Busthanul Athfal.

Selain pada bidang pendidikan, Kiai Dahlan juga sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan anak yatim dan masyarakat miskin. Perhatian Kiai Dahlan dalam bidang sosial tercermin dalam pandangannya yang mengatakan bahwa Islam terdiri dari tiga elemen, yakni iman, ilmu dan amal.

Gedung PKU Muhammadiyah di masa lalu | Google Image/Suaramuhammadiyah.id

Ilmu yang kita peroleh pada hakikatnya untuk diamalkan demi kepentingan masyarakat. Hal itulah yang selalu ia tekankan kepada para muridnya. Ia kerap menyitir QS Al-Maun sebagai dasar untuk mengajarkan kepedulian terhadap anak yatim dan masyarakat miskin.

Makna yang terkandung dalam surat Al-Maun adalah perintah kepada umat Islam untuk memelihara anak yatim, memberikan makan orang miskin, membayar zakat dan larangan berbuat riya. Implementasi dari pemaknaan surat tersebut adalah didirikannya Penolong Kesengsaraan Oemoem [PKO] pada tahun 1912.

PKO akhirnya menjadi ladang amal Muhammadiyah dalam bidang sosial. Seiring berjalannya waktu, PKO berubah nama menjadi Pembina Kesejahteraan Umat [PKU]. Kemudian berkembang lagi menjadi rumah sakit umum di banyak daerah di Indonesia, RS PKU Muhammadiyah.

Banyak sekali gagasan Kiai Dahlan dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan umat. Di masa kepemimpinannya, Muhammadiyah berkembang pesat dengan membangun sekolah dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas [madrasah aliyah]. Selain itu, dibangun juga beberapa PKO untuk membantu masyarakat.

Kiai Haji Ahmad Dahlan tutup usia pada 23 Februari 1923 di Yogyakarta. Atas berbagai jasanya dalam membangkitkan kesadaran masyarakat melalui pembaharuan pendidikan Islam. Maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden No. 657 tahun 1961.

Baca juga :

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề