Kotoran yang menghalangi sahnya suatu ibadah yang mensyaratkan harus dalam keadaan suci adalah

Sukabumi 19 Desember 2016, Hari senin seperti biasa di kanpusda mengadakan pengajian rutin bersama semua pegawi kanpusda, pada kesempatan kali ini yang menjadi penceramah adalah Bpk. H. Onen. Peng akan ajian kali ini merupakan pengajian minggu terakhir di tahun 2016 karena beberapa hari lagi kita akan memnuju ke tahun baru yaitu 2017.

Pada pengajian kali ini Bpk. H. Onen memberiakn ceramah tentang “BERSUCI atau THAHARAH”. Thaharah menurut syari’at Islam ialah suatu kegiatan bersuci dari hadas maupun najis sehingga seorang diperbolehkan untuk mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci seperti shalat. Kegiatan bersuci dari najis meliputi bersuci pakaian dan tempat, Sedangkan bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan cara berwudhu, mandi dan tayammum serta mandi. Berikut merupakan beberapa alat yang bisa digunakan untuk bersuci diantaranya air, debu yang suci, dan benda yang dapat menyerap kotoran [ batu, tisu, kayu dan semacamnya].

Dalam melaksanakan ibadah shalat tentunya apa yang kita gunakan harus lah bersih atau suci mulai dari suci badan, suci tempat dan suci pakaian, selain itu juga sebagai umat muslim kita wajib menutupi aurat kita apalagi disaat kita mau melaksanakan shalat khususnya untuk perempuan. Bahan muken yang digunakan haruslah bahan yang tebal dan tidak gampang untuk diterawang. Tujuan menutupi aurat adalah untuk menutupi kejelekan dan juga aib kita dari mahluk lain. Selain aurat yang juga merupakan aib ada beberapa aib lain yang harus kita tutupi yaitu aib keluarga misalnya aib suami atau istri juga sangat wajib kita tutupi dari orang lain.

sedikit penjelasan yang sudah disampaikan pada pengajian ini yang merupakan pengajian terakhir di tahun 2016, semoga apa yang telah disampaikan bermanfaat untuk semua pegawai kanpusda dan juga semoga apa yang telah disampaikan bisa kita amalkan untuk kehidupan sehari-hari aminnnnn…..

Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. Mohon bantu kami mengembangkan artikel ini dengan cara menambahkan rujukan ke sumber tepercaya. Pernyataan tak bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Bersuci dalam Islam" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR
[Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini]

Bersuci dalam Islam [bahasa Arab: الطهارة, translit. al-ṭahārah‎] merupakan bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan diri yang mencakup secara lahir atau batin.[1] Kedudukan bersuci dalam hukum Islam termasuk ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di antara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. Firman Allah:[2]

Berwudu adalah satu kegiatan bersuci dari hadas dan najis.

"... dan Allah menurunkan air atas kamu sekalian dari langit agar kalian menyucikan diri dengannya... [QS Al-Anfaal [8]:11]"
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. [QS. Al-Baqarah [2]:222]

Bersuci hukumnya wajib bagi seorang Muslim yang akan melaksanakan shalat, untuk itu perlu bagi seorang Muslim untuk memahami perkara-perkara perihal bersuci dari hadas dan najis.[3]

Secara bahasa thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun yang tak berwujud. Kemudian secara istilah, thaharah artinya menghilangkan hadas, najis, dan kotoran [dari tubuh, yang menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya] menggunakan air atau tanah yang bersih.[4] Sedangkan menurut hukum Syara', thaharah artinya suci dari hadas dan najis.[5]

Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:

  • Alat bersuci, seperti air dan pengganti air seperti tanah dan sebagainya.
  • Kaifiat [cara] bersuci
  • Jenis najis yang perlu disucikan
  • Benda yang wajib disucikan
  • Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci

Thaharah terbagi menjadi dua, secara batin dan lahir, keduanya termasuk di antara cabang keimanan. Thaharah bathiniyah: ialah menyucikan diri dari kotoran kesyirikan dan kemaksiatan dari diri dengan cara menegakkan tauhid dan beramal saleh. Thaharah lahiriyah: ialah menyucikan diri menghilangkan hadats dan najis.[6]

 

Seorang anak bersuci dengan tanah [tayamum].

Thaharah dengan air seperti wudhu dan mandi besar [junub], dan ini adalah bentuk bersuci secara asal. Thaharah dengan tanah [debu] yakni tayamum[7] sebagai pengganti air ketika tidak ada air ataupun sedang berhalangan menggunakan air.[8]

Tujuan paling mendasar dari bersuci adalah sebagai syarat sah untuk salat. Ini telah disepakati bersama melalui ijmak.[9]

Najis merupakan kotoran yang wajib dijauhi dan wajib dibersihkan bila terkena badan seorang Muslim.[10] Hukum asal dari suatu benda adalah bersih dan boleh dimanfaatkan, hingga kemudian [apabila] didapatkan adanya dalil yang menyatakan kenajisannya [maka dia dihukumi najis].

Najis dibedakan menjadi 3, yaitu:

  • Najis mukhaffafah [najis ringan]

Najis ini dapat dihilangkan hanya dengan memercikan air [mengusap dengan air pada benda yang terkena najis. contoh najis mukhaffafah yaitu air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun kecuali air susu ibu.

  • Najis mutawassitah [najis sedang]

Cara menghilangkan najis ini adalah dengan cara mencucinya sampai hilang warna, bau, rasa, zat, dan sebagainya hilang. contoh najis mutawassitah adalah bangkai, darah, nanah, air kencing manusia, kotoran manusia, dan lain-lain.

  • Najis mugallazah [najis berat]

Contoh najis mugallazah adalah jilatan anjing dan babi. jika terkena ini, maka cara menghilangkannya adalah dengan membasuh dengan air mengalir sebanyak 7 kali yang di sela-selanya diusap dengan debu [air tanah].

Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali menyepakati bahwa najis hanya dapat dihilangkan menggunakan air. Sedangkan Mazhab Hanafi menyatakan bahwa cairan lain dapat menghilangkan najis selama dalam keadaan suci.[9]

Air yang dapat digunakan untuk bersuci haruslah air yang bersih, suci lagi menyucikan.[11] Air tersebut bisa berasal dari langit [hujan] maupun berasal dari Bumi [air tanah dan air laut] yang masih murni dan belum pernah digunakan [bukan bekas pakai]. Jika ditelaah dari jenis-jenisnya, air yang bersih, suci, lagi menyucikan ada 7 jenis, yaitu: air hujan, air laut, air salju, air embun, air sumur, air telaga, dan air sungai.[12]

Sementara itu selain jenis-jenis air, menurut hukum Islam air itu sendiri dibagi menjadi empat golongan, yaitu:[13]

  • Air Muthlaq. Air ini dapat pula disebut sebagai air murni, karena hukumnya suci dan menyucikan, dan tidak makruh untuk digunakan bersuci.[14]
  • Air Musyammas. Air ini adalah air yang dipanaskan dengan sinar matahari di tempat [wadah] yang tidak terbuat dari emas.[15] Hukum air ini adalah suci lagi menyucikan, namun hukumnya makruh untuk digunakan bersuci.[14][16] Ada pula ulama yang memakruhkan air yang memang sengaja dipanaskan dengan api.[17]
  • Air Musta'mal. Air ini adalah air bekas menyucikan hadas dan najis. Walaupun air ini tidak berubah rasanya, warnanya, serta baunya, bahkan sebenarnya air ini masih bersih dan suci. Akan tetapi air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci.[14][18]
  • Air Mustanajjis. Air ini adalah air yang sudah terkena atau tercampur dengan najis, sedangkan volumenya kurang dari dua qullah [sekitar 216 liter]. Hukum bersuci menggunakan air ini adalah tidak boleh sama sekali, karena tidak suci dan tidak menyucikan. Namun apabila volumennya lebih dari dua qullah dan tidak mengubah sifat airnya [bau, rasa, dan warna], maka air itu boleh digunakan untuk bersuci.[14]
  • Air yang bercampur dengan barang yang suci. Air ini adalah air muthlaq pada awalnya, kemudian air ini tercampur [kemasukkan sesuatu] dengan barang yang sebenarnya tidak najis, misalkan sabun tau bahan makanan. Air seperti ini hukumnya tetap suci, amun jika sifat air sudah berubah sifat, rasa, bau, dan warnanya, maka air tersebut menjadi tidak bisa digunakan untuk bersuci.[19]

Dari semua jenis-jenis air diatas, ada satu jenis air lagi yang suci tetapi haram digunakan untuk bersuci. Air yang dimaksud di sini ialah air yang didapat dengan cara ghahsab atau mencuri [mengambil atau memakai tanpa izin].[14]

Para ulama menyepakati bahwa bersuci dengan air hukumnya wajib ketika air tersedi dan dapat digunakan tanpa adanya keperluan lain yang lebih penting. Misalnya, air hanya cukup untuk keperluan minum.[9]

Air laut

Para fukaha awal yang hidup di kota Kufah dan Basra bahwa air laut merukan jenis air yang suci dan menyucikan. Sifatnya sama seperti air suci lainnya dan tidak tergantung kepada rasanya. Air laut yang berasa tawar dan berasa asin memiliki kedudukan yang sama. Namun, beberapa ulama menetapkan larangan berwudu dengan air laut. Kelompok ahli fikij tertentu juga hanya mengizinkan berwudu dengan air laut pada keadaan darurat saja. Beberapa ahli fikih lain menetapkan bahwa tayamum lebih utama jika hanya ada air laut yang dapat digunakan untuk berwudu.[9]

Air panas

Hukum memakai air panas akibat paparan sinar matahari adalah makruh menurut Imam Syafi'i. Namun, para pengikut setelahnya memberikan pendapat bahwa hukumnya tidak makruh. Hal yang sama diutarakan oleh Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali. Para ulama juga meneyepakati bahwa air yang dimasak tidak makruh. Namun, Mujahid memakruhkan air yang dimasak. Sedangkan Mazhab Hambali menyatakan air yang dimasak hukumnya makruh ketika dipanaskan dengan api.[9]

Air bekas bersuci

Hukum dari air bekas bersuci adalah suci tetapi tidak menyucikan. Pendapat ini disetujui oleh sebagai besar ulama dalam Mazhab Hanafi. Sedangkan sebagian lainnya menetapkan air bekas bersuci sebagai najis. Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali menyepakati bahwa air bekas bersuci adalah suci tetapi tidak menyucikan. Sedangkan menurut Mazhab Maliki, air bekas bersuci dapat menyucikan.[20]

Air yang berubah warna

Menurut Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali, air yang berubah warna karena bercampur dengan cairan suci lainnya tidak dapat digunakan untuk bersuci jika perubahan warnanya sangat jelas. Sedangkan Mazhab Hanafi menyepakati bahwa air tersebut boleh digunakan untuk bersuci. Alasan yang dikemukakan oleh Mazhab Hanafi adalah sifat air yang suci tidak hilang akibat bercampur dengan cairan suci lainnya karena unsur-unsur air tetap tidak hilang. Para ulama juga menyepakati bahwa air yang berubah warna akibat disimpan dalam jangka waktu yang lama tanpa digunakan hukumnya adalah suci. Namun, dalam periwayatan Ibnu Sirin, air dengan kondisi demikian tidak boleh digunakan untuk bersuci.[21]

Tayamum dengan tanah atau debu wajib hukumnya ketika air tidak ada sama sekali.[9]

  • Mazhab

  1. ^ Muiz 2013, hlm. 5. : "Suci dari hadas ialah dilakukan dengan cara mandi, berwudhu, dan bertayamum. Sedangkan suci dari najis ialah dengan cara menghilangkan najis yang ada di badan, tempat, maupun pakaian.".
  2. ^ Muiz 2013, hlm. 5-6.

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề