Ladang berpindah adalah sistem yang dapat mengancam kelestarian

Artikel ini pernah terbit di The Jakarta Post, pada 12 November 2019

Pembakaran lahan dalam sistem pertanian ladang berpindah merupakan isu yang kompleks. Praktik ini sebenarnya memperlihatkan hubungan antara pengetahuan ekologis dan nilai sosial budaya masyarakat. Namun, kelompok masyarakat petani yang mempraktikkan ladang berpindah sering kali dicap sebagai salah satu kontributor terbesar karhutla di Indonesia. Bahkan, mereka kerap kali menjadi korban dari kebijakan reaktif terkait karhutla [seperti pelarangan pembakaran].

Sekitar 14 hingga 34 juta masyarakat pedesaan di kawasan Asia Tenggara melakukan praktik ladang berpindah sebagai sumber mata pencarian mereka [utama atau sampingan]. Pembukaan lahan dengan pembakaran telah lama dilakukan dalam praktik ladang berpindah di Indonesia. Umumnya, sistem ladang berpindah digunakan dalam pertanian subsisten [misalnya, penanaman padi] guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat. Dalam sistem ini, area hutan sekunder umumnya diubah menjadi lahan untuk berladang dengan menggunakan teknik tebang bakar untuk membersihkan lahan dari pepohonan atau vegetasi lain. Praktik ini sangat umum digunakan di wilayah Kalimantan, termasuk oleh masyarakat adat Dayak. Bagi mereka, penerapan praktik ladang berpindah didorong oleh aspek ekologis dan nilai sosial budaya.

Aspek ekologis dalam praktik ladang berpindah oleh masyarakat Dayak menunjukkan pandangan mereka akan kondisi hutan dan tanah sekitar. Berdasarkan pengetahuan ekologis yang mereka miliki, mereka merotasi konversi hutan sekunder menjadi lahan sawah dalam jangka waktu tertentu [misalnya, tahunan atau lima tahunan] sehingga vegetasi tanaman dan pepohonan di lahan yang ditinggalkan dapat tumbuh kembali. Dengan adanya jangka waktu ini, sistem ladang berpindah memberi waktu bagi ekosistem untuk pulih kembali secara alami, misalnya setelah penggunaan pupuk kimia.

Dalam pembakaran lahan untuk mengubah hutan menjadi ladang, sisa-sisa pembakaran yang tertinggal digunakan kembali sebagai pupuk organik guna meningkatkan hasil panen. Pembakaran juga dapat mengurangi serangan gulma dan hama selama periode pertumbuhan padi, sehingga kebutuhan pupuk kimia, pestisida dan herbisida dapat dikurangi. Hasilnya, biaya produksi dapat ditekan. Pengetahuan tentang penggunaan api dalam sistem ladang berpindah ini telah diturunkan dari generasi ke generasi, beserta berbagai nilai sosial budaya yang mendorong penerapan praktik tersebut secara berkelanjutan bagi lingkungan hidup dan masyarakat.

Nilai sosial budaya ini juga dapat dilihat dari cara mereka melakukan pembakaran saat membuka lahan. Masyarakat yang memiliki ladang yang berbatasan biasanya bekerja sama membuat sekat bakar dengan cara membersihkan vegetasi yang mudah terbakar di sekeliling ladang. Sekat bakar ini dibuat untuk mengurangi risiko merambatnya api ke lahan lain. Praktik ini dilakukan sesuai hukum adat yang memberi hukuman bila api merambat ke lahan, hutan, atau perkebunan karet. Singkatnya, nilai-nilai ini, termasuk aturan, sanksi dan ritual adat yang ada di dalamnya, menunjukkan adanya kesadaran sosial dan budaya di masyarakat dalam melakukan dan mengelola kegiatan pembakaran.

Belajar dari nilai-nilai yang terkandung dalam penggunaan dan pengelolaan kegiatan pembakaran dari sudut pandang masyarakat Dayak ini, kita perlu memikirkan kembali solusi penanganan karhutla yang ada, khususnya dalam sistem ladang berpindah. Solusi reaktif terbukti tidak efektif dalam menangani kasus-kasus karhutla yang berulang setiap tahun.

Beberapa solusi berbasis ekonomi yang sering diajukan, misalnya pemberian ekskavator kepada masyarakat agar membuka lahan tanpa membakar, penunjukan warga setempat sebagai petugas pemadam kebakaran untuk mencegah pembukaan lahan dengan pembakaran atau pembuatan ekosistem sawah tadah hujan dataran rendah, belum sepenuhnya mempertimbangkan pandangan masyarakat akan praktik ladang berpindah. Solusi berbasis ekonomi mungkin sesuai bagi masyarakat yang membuat keputusan berdasarkan kebutuhan ekonomi.

Akan tetapi, solusi tersebut tidak cocok bagi masyarakat yang berfokus pada nilai-nilai sosial budaya. Pengakuan sah atas kearifan lokal dan hukum adat dalam hal pengelolaan praktik pembakaran yang bersifat berkelanjutan bagi lingkungan hidup dan sosial budaya dapat menjadi solusi tepat bagi bagian masyarakat ini. Pengakuan tersebut kemudian harus diikuti oleh aturan yang jelas, seperti maksimal luas lahan dan tipe ekosistem yang dapat dibakar untuk kebutuhan ladang berpindah.

Beberapa regulasi [termasuk di antaranya, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10/2010 dan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014] mengatur maksimal luas lahan yang boleh dibakar, izin yang harus diperoleh dan pengakuan atas kearifan lokal dalam praktik pembakaran untuk pembukaan lahan. Guna melengkapi regulasi yang ada, penelitian mendalam terkait dampak lingkungan dan pandangan masyarakat lokal terkait penggunaan api juga menjadi hal yang amat penting sebab masyarakat mungkin memiliki pandangan dan kondisi lingkungan hidup yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, kita membutuhkan kebijakan pembakaran yang sudah disesuaikan dengan pandangan masing-masing kelompok, sebab mengubah perilaku yang sudah ada sejak ratusan tahun tidaklah mudah.

Para peneliti dan pemerintah harus bekerja bersama agar dapat merumuskan solusi kebakaran yang lebih baik. Untuk itu, kita perlu memahami betul nilai-nilai sosial, budaya dan ekologis yang saling terkait yang membentuk hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya. Selain itu, kita juga harus membantu masyarakat setempat melaksanakan berbagai program yang dapat diterima dalam budaya mereka agar target penanganan karhutla dapat tercapai.

Pandangan udara bentang alam sekeliling Taman Nasional Halimun Salak di Jawa Barat, Kate Evans/CIFOR

Menanam pohon dan tanaman pertanian dapat menjadi solusi menang-menang bagi petani desa di Jawa Barat, menurut penelitian terbaru – akan meningkatkan pendapatan, keamanan tenurial lahan dan penguranan deforestasi dan degradasi hutan.

Petani di lereng Gunung Salak di Jawa Barat, secara tradisional mempraktikkan perladangan berpindah, menanam padi, jagung dan ketela di tanah subur gunung api.

Perladangan berpindah adalah sistem pertanian saat lahan digunduli, khususnya dibakar untuk pertanian. Sistem rotasi digunakan, area dibudidaya selama beberapa tahun kemudian ditinggalkan kosong untuk regenerasi; sementara kegiatan pertanian yang lain, lahan dapat dibudidaya terus menerus.

Kedua jenis ini berlangsung di area Gunung Salak, dan ladang berpindah berakar dalam budaya masyarakat. Namun, teknik pertanian berkontribusi dalam menjawab masalah lingkungan terkait deforestasi, kata Syed Ajijur Rahman, ilmuwan utama penelitian dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional [CIFOR], Universitas Bangor di Inggris dan Universitas Kopenhagen.

BERITA

Pertanian perladangan berpindah menciptakan ekosistem alami

“Longsor kecil di lereng ladang adalah masalah besar di Indonesia,” katanya. “Hilangnya tutupan hutan dan degradasi sisa hutan dapat meningkatkan erosi tanah di lereng terjal tersebut.”

Namun, perladangan berpindah lantas berarti tidak lestari, cepatnya pertumbuhan populasi di kawasan ini berarti lebih dan lebih banyak orang bertani di area lebih kecil sehingga meningkatkan tekanan pada lahan, kata Rahman.

Dalam penelitian ini, Rahman dan peneliti mitra dari Universitas Bangor dan Universitas Kopenhagen menilai potensi praktik pertanian alternatif – yaitu agroforestri –sangat menjanjikan untuk area Gunung Salak.

Tiga keunggulan

Agroforestri berarti memadupadankan pohon – pohon kayu keras ke dalam bentang alam pertanian. Di Gunung Salak, sistem agroforestry yang terkenal adalah perkebunan jati atau durian, dengan tanaman pangan lain – jagung, ubi jalar, ketela – yang ditanam di bawah pohon.

Penelitian menemukan bahwa dalam masyarakat di kawasan ini, dua sistem agroforestri yang ada lebih menguntungkan daripada perladangan berpindah. Jati, khususnya sangat menarik – petani mempraktikkan agroforestri berbasis jati menghasilkan uang tiga kali lipat daripada peladang berpindah.

Dan manfaatnya tidak hanya ekonomi.

“Ketika kita berbicara pada petani, mereka menyatakan penduduk yang memiliki sistem berbasis jati memiliki nilai keuangan lebih stabil, dan oleh karena itu memiliki status sosial sedikit lebih tinggi dibanding petani lain,” kata Rahman.

Menanam pohon juga memberikan petani hak tenurial lebih kuat. Para petani di Gunung Salak seringkali tidak memiliki sertifikat hak milik lahan, kata Rahman, dan hal itu membuat mereka rentan terhadap penguasaan lahan oleh aktor-aktor yang berkuasa.

“Dalam sistem perladangan berpindah petani dapat meninggalkan lahan kosong selama beberapa bulan hingga beberapa tahun – dan selama masa ini, penduduk lain dapat mengambil lahan mereka. Tetapi jika mereka melakukan agroforestri, pohon menjadi lebih permanen, dan ini memberi mereka hak permanen atas pertanian mereka,” katanya.

Lingkungan hidup – khususnya di sekitar hutan – juga memberikan keuntungan.

Pohon membantu mengamankan tanah dan mencegah longsor. Mengurangi kebutuhan membakar dan meminimalkan kebakaran hutan. Dan suatu elemen kunci degradasi hutan – pengumpulan kayu bakar – juga berkurang ketika petani menggabungkan penanaman pohon dengan pertanian.

“Banyak petani di area ini tidak mempunyai uang untuk membeli tabung gas, jadi mereka bergantung pada kayu bakar untuk memasak,” kata Rahman. “Jadi cara termudah adalah pergi ke hutan dan mengumpulkannya. Seringkali mereka menebang pohon muda dari hutan, menyebabkan degradasi hutan.”

Petani dengan petak agroforesti, di sisi lain, perlu memangkas pohon secara teratur, memberi mereka suplai kayu bakar. “Mungkin tidak sampai 100 persen kebutuhan kayu bakar, tetapi jika mengurangi sampai 50 persen kebutuhan ke hutan, ini ada dampak positifnya,” kata Rahman.

Mengatasi hambatan

Walaupun memberi manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan, pada saat penelitian dilakukan di tahun 2013, jumlah petani agroforestri masih sedikit.

Mengapa? Di beberapa kasus, alasannya kultural. Petani mempraktikkan peladangan berpindah selama beberapa generasi, dan tidak melihat perlunya mencoba hal baru.

Banyak yang tertarik bertransisi, dan para petani ini memerlukan pertolongan.

“Petani yang tertarik perlu dukungan dari pemerintah atau kebijakan kredit lunak dari bank agar mereka memiliki modal awal untuk memulai agroforestri, sebagai modal awal di tahun pertama,” kata Rahman.

Dan petani juga memerlukan dukungan teknis.

“Banyak petani tidak punya pengetahuan – mereka perlu tahu pohon mana yang cocok untuk jenis lahan tertentu, bagaimana memasarkan produk agroforestri, dan bagaimana mengelola pohon di lahan mereka sendiri.”

Jika kita ingin menjaga sistem pertanian dalam skala bentang alam, maka kita perlu mendorong lebih banyak petani mempraktikkan agroforestri. Petani lokal akan memiliki pendapatan lebih serta mendorong penghidupan lebih baik.

Syed Ajijur Rahman

Intervensi yang diperlukan tergolong kecil, kata Rahman – artinya terbuka peluang bagi pemerintah dan LSM untuk membuat perbedaan besar dengan investasi relatif kecil.

“Jika kita ingin menjaga sistem pertanian dalam skala bentang alam, maka kita perlu mendorong petani mempraktikkan agroforestri,” kata Rahman.

“Petani lokal akan memiliki pendapatan lebih dan mendorong penghidupan lebih baik. Akan lebih banyak tutupan pohon dalam bentang alam pertanian, mengurangi erosi. Dan petani tidak perlu lagi berpindah ke hutan untuk menggunduli lebih banyak lahan, mereka akan tinggal di satu tempat.”

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề