Mengapa pemerintah perlu memberikan perlindungan Hukum untuk produk ekonomi kreatif

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 39

PELINDUNGAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

PADA PRODUK EKONOMI KREATIF

PROTECTION OF THE INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS

ON CREATIVE ECONOMIC PRODUCTS

Sulasi Rongiyati

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI

Komplek MPR/DPR/DPD Gedung Nusantara 1 Lantai 2,

Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta

Email:

Naskah diterima: 28 Maret 2018

Naskah direvisi: 18 Mei 2018

Naskah diterbitkan: 30 Juni 2018

Abstract

As a result of creativity, the creative economy product [ekraf] is an intellectual property that needs to

be recognized as an intellectual work that has economic value and receive a legal protection. This study

analyzing the regulations set by the Government in providing protection against intellectual property rights

[IPRs] to ekraf’s products and the application of such regulations in Surakarta City, Central Java and

Denpasar City, Bali. Through the normative and empirical juridical research methods, the secondary

and the primary data are processed and analyzed qualitatively. The result of the research stated that

IPRs protection policy toward creative economy product has been done by the government through IPRs

legislations and the regional policy related to IPRs protection for creative economy product referring to

the national policy. Preventive protection is provided through the law in the form of economic benefits for

the perpetrators who register IPRs of creative economy product. However, the level of public awareness

and understanding the importance of IPRs, the communal nature of the creative economy perpetrators

in Indonesia, and the nature of IPRs which must be registered in order to obtain the legal protection,

cause IPRs protection for creative economy perpetrators is not optimal. At the level of implementation,

the awareness and understanding of the perpetrators of the property rights become the key to the success

of IPRs protection by the government. Inadequate of the regional partiality has an impact on the lack

of optimalization of the economic benefits received by creative economy perpetrators. Therefore, the

government should actively socializing the IPRs and facilitate the registration of IPRs for the perpetrators

of the creative economy. Institutional and regulatory support at the local level is also important in order to

develop and protect the creative economy product.

Key words: creative economy; intellectual property rights; legal protection

Abstrak

Sebagai suatu karya kreativitas, produk ekonomi kreatif [ekraf] merupakan kekayaan intelektual

yang perlu mendapat penghargaan sebagai suatu karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan

memperoleh pelindungan hukum. Penelitian ini menganalisis mengenai regulasi yang dibentuk

Pemerintah dalam memberikan pelindungan terhadap hak kekayaan intelektual [HKI] terhadap

produk ekraf dan penerapan regulasi tersebut di Kota Surakarta, Jawa Tengah dan Kota Denpasar,

Bali. Melalui metode penelitian yuridis normatif dan empiris, data sekunder dan primer diolah dan

dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyebutkan, kebijakan pelindungan HKI terhadap

produk ekraf telah dilakukan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan bidang

HKI dan kebijakan daerah terkait pelindungan HKI untuk produk ekraf mengacu pada kebijakan

tingkat nasional. Pelindungan preventif diberikan melalui UU berupa manfaat ekonomi bagi

pelaku ekraf yang mendaftarkan HKInya. Namun, tingkat kesadaran masyarakat dan pemahaman

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201840

pentingnya HKI, sifat komunal pelaku

ekraf di Indonesia, dan sifat HKI yang harus

didaftarkan untuk mendapat pelindungan

hukum, menyebabkan pelindungan HKI

untuk pelaku ekraf belum optimal. Pada

tataran implementasi, kesadaran dan

pemahaman pelaku ekraf atas kekayaan

intelektualnya menjadi kunci keberhasilan

pelindungan HKI yang dilakukan oleh

pemerintah. Minimnya keberpihakan

daerah berdampak pada belum optimalnya

manfaat ekonomi yang diterima pelaku

ekraf. Oleh karenanya pemerintah

perlu menggiatkan sosialisasi HKI dan

memfasilitasi pendaftaran HKI untuk

pelaku ekraf. Dukungan kelembagaan dan

regulasi pada tingkat daerah juga penting

dilakukan untuk mengembangkan dan

melindungi produk ekraf.

Kata kunci: ekraf; hak kekayaan

intelektual; pelindungan

hukum

I. PENDAHULUAN

Ekonomi Kreatif [ekraf] merupakan

rangkaian kegiatan perekonomian yang berasal

dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan dan

bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan

serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan

dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta

individu.1 Berbeda dengan karakteristik industri

pada umumnya, ekraf termasuk dalam kategori

kelompok industri yang terdiri dari berbagai

jenis industri yang masing-masing memiliki

keterkaitan dalam proses perwujudan suatu ide

atau gagasan menjadi suatu kekayaan intelektual

[intellectual property] yang mempunyai nilai

ekonomi tinggi bagi kesejahteraan dan lapangan

pekerjaan masyarakat serta dapat meningkatkan

pertumbuhan ekonomi suatu negara.2 Dengan

demikian ekraf merupakan suatu sistem produksi,

pertukaran dan penggunaan atas produk kreatif.3

1 Departemen Perdagangan Republik Indonesia,

Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025, Jakarta:

Depdag RI, 2008, hal.2.

2 Ibid.

3 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Naskah

Akademik RUU Ekonomi Kreatif 2016, hal.21.

Produk ekraf merupakan suatu kekayaan

intelektual yang dihasilkan dan dimiliki oleh

seorang pencipta dibidang seni, sastra dan ilmu

pengetahuan atau seorang penemu dibidang

teknologi [inventor]. Oleh karenanya sangat

wajar jika suatu produk ekraf merupakan

suatu kekayaan yang perlu diberi penghargaan

sebagai suatu karya yang memiliki nilai ekonomi

sekaligus perlu mendapatkan pelindungan

atas hak kekayaan intelektualnya. Fakta

bahwa potensi pasar karya kreatif di dalam

dan luar negeri sangat besar dan memiliki

kecenderungan terus berkembang, semakin

memperkuat alasan pentingnya pelindungan

hak kekayaan intelektual [HKI] atas produk

ekraf, dengan tujuan agar pencetus ide kreatif

dan inovasi tersebut mendapatkan manfaat

ekonomi atas karya intelektualnya.

Pasar karya kreatif dalam negeri berkembang

karena peningkatan daya beli masyarakat

dan jumlah kelas menengah yang semakin

bertambah, pola konsumsi karya kreatif yang

berubah karena konsumen menjadi co-creator

dari karya kreatif, serta pertumbuhan jumlah

penduduk.4 Data Badan Pusat Statistik [BPS]

yang dikutip Mari Pangestu menunjukkan

konsumsi rumah tangga untuk produk kreatif

pada 2014 mencapai Rp977,2 triliun atau

17,2 persen dari konsumen rumah tangga

nasional dengan peringkat pertama ditempati

sektor kuliner, diikuti mode, kerajinan, serta

penerbitan dan percetakan.5

Ekraf pada dasarnya adalah wujud dari upaya

mencari pembangunan berkelanjutan melalui

kreativitas, dimana pembangunan berkelanjutan

adalah suatu iklim perekonomian yang berdaya

saing dan memiliki cadangan sumber daya yang

terbarukan. Ekraf juga membuka peluang bagi

masyarakat untuk mengembangkan usahanya

4 Ibid.

5 Mary Pangestu, “Globalisasi, Kekuatan Ekonomi

Baru dan Pembangunan Berkelanjutan: Implikasi

Terhadap Indonesia, dalam Regulasi Salah Satu Kunci

Perkembangan Ekonomi Kreatif”, Pidato Pengukuhan

Mary Pangestu sebagai Guru Besar Tidak Tetap

Universitas Indonesia, //www.hukumonline.com/

berita/baca/lt55c7efefc3c72/ regulasi--salah-satu-kunci-

perkembangan-ekonomi-kreatif, diakses tanggal 16 Mei

2017.

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 41

dengan memanfaatkan cadangan sumber daya

yang bukan hanya terbarukan, bahkan tak

terbatas, yaitu ide, talenta dan kreativitas.6

Sedangkan industri kreatif merupakan industri

yang berfokus pada kreasi dan eksploitasi

karya kepemilikan intelektual seperti seni,

film, permainan atau desain fashion, dan

termasuk layanan kreatif antar perusahaan

seperti iklan.7 Berkaitan dengan itu banyak

negara berlomba membangun kompetensi

ekraf dengan cara dan kemampuan yang

dimiliki negara-negara tersebut. Beberapa

arah dari pengembangan industri kreatif ini

antara lain, seperti pengembangan yang lebih

menitikberatkan pada industri berbasis: [1]

lapangan usaha kreatif dan budaya [creative

cultural industry]; [2] lapangan usaha kreatif

[creative industry], atau [3] hak kekayaan

intelektual seperti hak cipta [copyright].8

Di Indonesia, peran industri kreatif dalam

ekonomi Indonesia cukup signifikan. Data

statistik ekraf 2016 menunjukkan, dalam

kurun waktu 2010-2015, besaran PDB ekraf

naik dari Rp525,96 triliun menjadi Rp852,24

triliun [meningkat rata-rata 10,14% per tahun].

Sedangkan tiga negara tujuan ekspor komoditi

ekraf terbesar pada tahun 2015 adalah Amerika

Serikat 31,72%, Jepang 6,74%, dan Taiwan

4,99%. Untuk sektor tenaga kerja ekraf 2010-

2015 mengalami pertumbuhan sebesar 2,15%

dengan jumlah tenaga kerja ekraf pada tahun

2015 sebanyak 15,9 juta orang.9

Beberapa isu strategis yang perlu

mendapat perhatian agar industri kreatif dapat

berkembang, antara lain berkaitan dengan

6 Maskarto Lucky Nara Rosmadi, “Industri Kreatif dalam

Menghadapi Pasar Bebas ASEAN Tahun 2015”, Jurnal

Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014, hal.97-

106.

7 Togar Simatupang, “Ekonomi Kreatif: Menuju Era

Kompetisi dan Persaingan Usaha Ekonomi Gelombang

IV”, Institut Teknologi Bandung, //www.slideshare.

net/togar/cetak-biru-industri-kreatif-jabar, diakses tanggal

18 Maret 2018.

8 Kementerian Perdagangan RI, Pengembangan Ekonomi

Kreatif Indonesia, Buku I, Jakarta: Studi Industri Kreatif

Indonesia, 2008, hal.1.

9 Badan Pusat Statistik, “Launching Publikasi Ekonomi

Kreatif 2016”, //www.bps.go.id/KegiatanLain/view/

id/171, diakses tanggal 9 Mei 2017.

ekraf yang di dalamnya juga mencakup masalah

regulasi. Regulasi yang relevan dalam konteks

ini antara lain pengaturan HKI seperti hak

merek yang diatur dalam UU No. 20 Tahun

2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[UU Merek dan IG] dan UU No. 28 Tahun

2014 tentang Hak Cipta [UU Hak Cipta].

Merek sebagai salah satu karya

intelektual manusia yang erat hubungannya

dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan

memegang peranan yang sangat penting bagi

perekonomian dan perdagangan suatu bangsa.

Salah satu perkembangan di bidang merek

adalah munculnya pelindungan terhadap

tipe merek baru atau yang disebut sebagai

merek nontradisional. Dalam UU Merek dan

IG, lingkup merek yang dilindungi meliputi

pula merek suara, merek tiga dimensi, merek

hologram, yang termasuk dalam kategori merek

nontradisional tersebut. UU Merek dan IG juga

mengatur indikasi geografis. Potensi produk

indikasi geografis Indonesia sangat besar, karena

memiliki keunikan tersendiri akibat pengaruh

faktor alam, cuaca dan altitude. Indikasi

geografis berupa produk-produk bermutu tinggi

dan memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh

produk serupa di tempat yang lain tersebut dapat

dijumpai pada Ubi Cilembu, Kopi Kintamani,

Kopi Gayo, Kopi Flores Bajawa, Kopi Toraja,

Pala Banda, Vanili Alor, Beras Adan Krayan,

Lada Putih Muntok, dan Garam Amed. Oleh

karenanya pelindungan HKI melalui sertifikasi

Indikasi Geografis, produk-produk yang telah

terdaftar tidak hanya terlindungi secara hukum,

tetapi juga membuka pintu persaingan produk

di pasar dunia internasional.

UU Hak Cipta pada satu sisi memberikan

pemenuhan hak ekonomi bagi para pencipta

dan pemilik hak terkait dan di lain pihak tetap

memelihara dan membuka akses publik terhadap

semua konten yang ada dalam multimedia

teknologi informasi dan komunikasi. Undang-

Undang ini juga memberikan sanksi lebih berat

bagi para pembajak, karena pembajakan tidak

hanya merugikan kepentingan ekonomi para

pencipta dan kreator, tetapi telah melemahkan

dan bahkan menghilangkan motivasi dan

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201842

kreativitas pencipta. Beberapa pengaturan

penting UU Hak Cipta antara lain pelindungan

Hak Cipta di bidang tertentu diberlakukan

selama hidup pencipta ditambah 70 [tujuh

puluh] tahun setelah pencipta meninggal dunia

serta pelindungan terhadap pengalihan hak

ekonomi dalam bentuk jual putus [sold flat] dan

kembali kepada pencipta setelah 25 tahun.

Meskipun sudah diatur dalam peraturan

perundang-undangan, namun regulasi tersebut

menjadi tanpa makna jika produk-produk ekraf

tidak didaftarkan hak kekayaan intelektualnya.

Hal ini menunjukan bahwa pelindungan

HKI oleh undang-undang berfokus pada

pendaftaran. Pada kenyataannya, kesadaran

akan HKI di Indonesia masih rendah. Hal ini

dapat dilihat dari masih rendahnya HKI ekraf

yang didaftarkan dan maraknya pembajakan

dan plagiat karya kreatif di Indonesia yang sangat

merugikan pelaku ekraf. Data statistik dan

hasil survei ekraf hasil kerjasama Badan Ekraf

dan Badan Pusat Statistik yang diluncurkan

pada Maret 201710 menunjukan rendahnya

pendaftaran HKI bidang ekraf, yaitu 11,05%.

Dengan demikian 88,95% produk ekraf belum

mendapatkan pelindungan HKI. Data tersebut

merupakan data indikator makro ekraf tahun

2010-2015 dan hasil survei khusus ekraf

[SKEK] 2016.

Seperti diketahui, HKI merupakan

hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif

suatu kemampuan daya pikir manusia yang

diekspresikan kepada khalayak umum dalam

berbagai bentuknya yang memiliki manfaat

serta berguna dalam menunjang kehidupan

manusia, juga mempunyai nilai ekonomi.

HKI sebagai suatu hak milik yang timbul

dari karya, karsa, cipta manusia, atau disebut

sebagai HKI yang timbul karena kemampuan

intelektualitas manusia. Hasil kreasi tersebut

dalam masyarakat diakui bahwa yang

menciptakan boleh menguasai untuk tujuan

yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik

10 Badan Ekonomi Kreatif dan Badan Pusat Statistik, “Data

Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif”, Jakarta:

Badan Ekonomi Kreatif, 2017, hal. 16, www.bekraf.

go.id/.../pdf.../170475-data-statistik-dan-hasil-survei-

ekonomi-kreatif.pdf, diakses tanggal 26 Oktober 2017.

berdasarkan postulat hak milik dalam arti

seluas-luasnya yang juga meliputi milik yang

tidak berwujud.11

Salah satu bentuk pengaturan hukum hak

kekayaan intelektual adalah Trade Related

Aspects of Intellectual Property Right [TRIPs]

yang dibahas dalam putaran Uruguay. TRIPs

merupakan kesepakatan internasional yang

paling lengkap berkenaan dengan pelindungan

HKI. TRIPs Agreement juga mengadopsi

konvensi-konvensi di bidang HKI yaitu

Paris Convention dan Berne Convention [dua

konvensi utama di bidang copyright dan

industrial property].12 Sejarah terbentuknya

TRIPs menunjukkan bahwa HKI mempunyai

peranan penting dalam perdagangan khususnya

untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Secara normatif, tujuan TRIPs Agreement

terdapat dalam artikel 7 yaitu untuk memberi

pelindungan HKI dan prosedur penegakan

hukum dengan menerapkan tindakan-

tindakan yang menciptakan perdagangan yang

sehat, untuk memacu invensi baru di bidang

teknologi dan memperlancar alih teknologi

serta penyebaran teknologi dengan tetap

memperhatikan kepentingan produsen dan

pengguna pengetahuan yang dilakukan untuk

menunjang kesejahteraan sosial dan ekonomi,

serta keseimbangan antara hak dan kewajiban.13

Berdasarkan latar belakang tersebut,

penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian

mengenai apakah regulasi yang dibentuk

Pemerintah telah memberikan pelindungan

terhadap hak kekayaan intelektual pada produk

ekraf? dan bagaimana penerapan regulasi

tersebut di Kota Surakarta, Jawa Tengah dan

Kota Denpasar, Bali?

11 Zumrottus Sa’adah, “Jati Diri Bangsa Dan Potensi

Sumber Daya Konstruktif Sebagai Aset Ekonomi Kreatif

Di Indonesia”, Jurnal Economia, Vol. 11, No. 2, Oktober

2015, hal.150-160.

12 Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional, Jakarta:

Universitas Indonesia, 2009, hal.5.

13 Patiung Lingling, “Implikasi Pelindungan Hukum Hak

Kekayaan Intelektual Terhadap Perolehan Manfaat

Ekonomi”, Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas

Atmajaya Yogyakarta, hal.12, e-journal.uajy.

ac.id65761jurnal-20mih01992.pdf, diakses tanggal 2 Mei

2017.

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 43

Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui

dan menganalisis kebijakan Pemerintah Pusat

dan pemerintah daerah dalam memberikan

pelindungan HKI terhadap produk ekraf dan

bagaimana penerapan kebijakan tersebut di Kota

Surakarta, Jawa Tengah dan dan Kota Denpasar,

Bali. Sedangkan kegunaan penelitian ini secara

teoritis dimaksudkan untuk memperkaya

pandangan hukum tentang bentuk pelindungan

atas HKI atas produk ekraf dan secara praktis

diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan

masukan terhadap tiga fungsi DPR RI baik di

bidang legislasi, pengawasan, maupun anggaran

terkait pembangunan ekraf, baik yang disusun

oleh DPR RI atau DPRD melalui komisi terkait

maupun Pemerintah secara keseluruhan.

Beberapa penelitian terkait dengan

pelindungan HKI pada produk ekraf yang

pernah dilakukan antara lain sebagai berikut.

1. Penelitian dengan judul “Kemanfaatan

Hak Kekayaan Intelektual bagi Usaha

Mikro dan Kecil Bidang Ekraf Indonesia:

Sekelumit Pandangan” yang dilakukan

oleh Ranggalawe Suryasaladin dan

dipublikasikan dalam jurnal. Tulisan ini

membahas mengenai beberapa temuan riset

mengenai HKI terkait dengan wacana ekraf,

industri kreatif, dan industri budaya yang

memfokuskan pada upaya pemanfaatan

sistem HKI untuk mendorong semangat

inovasi dan berkreasi para pelaku usaha

mikro dan kecil bidang di beberapa daerah

Indonesia yang memiliki peninggalan

budaya dan cagar budaya.14

2. Penelitian dengan judul “Ekraf dan Merek”

yang dilakukan oleh Daniel Hendrawan,

meneliti bagaimana hubungan antara ekraf

dengan hak merek dengan mengacu pada

UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

dengan simpulan bahwa merek adalah hal

penting yang perlu diperhatikan pada saat

pelaksanaan ekraf.15 Dengan demikian

14 Ranggalawe Suryasaladin, “Kemanfaatan Hak Kekayaan

Intelektual Bagi Usaha Mikro Dan Kecil Bidang Ekonomi

Kreatif Indonesia: Sekelumit Pandangan”, Jurnal Hak

Kekayaan Intelektual, Vol. 1, No.2, Agustus 2012.

15 Daniel Hendrawan, “Ekonomi Kreatif dan Merek”, Zenit,

Vol.4, No. 1, April 2015, hal. 17-24.

penelitian ini hanya membahas ekraf dalam

kaitannya dengan merek yang diatur dalam

UU merek lama yaitu UU No. 15 Tahun

2001 tentang Merek yang sekarang telah

digantikan dengan UU Merek dan IG.

3. Budi Agus Riswandi, menulis kajian

tentang “Problematika Ekraf dari Perspektif

Kelembagaan Hak Kekayaan Intelektual”.16

Penelitian tersebut mengangkat masalah

kelembagaan HKI yang berperan dalam

pelindungan HKI atas produk-produk

ekraf dengan fokus kajian pada ketentuan

UU bidang HKI dan UU No. 18 Tahun

2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan dan Penerapan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi. Kajian ini

merekomendasikan perguruan tinggi dan

lembaga penelitian memiliki lembaga HKI

yang disebut dengan Sentra HKI.

Pada prinsipnya penelitian-penelitian

tersebut berbeda dengan penelitian tentang

Pelindungan Hak Kekayaan Intelektual pada

Produk Ekraf, karena memiliki perbedaan

permasalahan yang diteliti. Ketiga penelitian

tersebut mengangkat permasalahan yang

berbeda, yaitu mengenai upaya pemanfaatan

sistem HKI untuk mendorong semangat inovasi

dan berkreasi para pelaku usaha mikro dan

kecil bidang kerajinan maupun sektor ekraf,

hubungan ekraf dengan merek berdasarkan UU

No. 15 Tahun 2001, dan pembentukan dan

peran kelembagaan HKI. Perbedaan mendasar

lainnya adalah ketiga penelitian tersebut

mengacu pada beberapa peraturan perundang-

undangan bidang HKI yang sudah digantikan

dengan UU yang baru, seperti UU Merek dan

IG. Sedangkan penelitian tentang Pelindungan

Hak Kekayaan Intelektual pada Produk

Ekonomi Kreatif, memfokuskan pada kebijakan

pemerintah baik pusat maupun daerah terkait

pemberian pelindungan bagi produk ekraf serta

implementasinya di daerah yang diteliti. Dengan

demikian penelitian ini dapat dihindarkan dari

16 Budi Agus Riswandi, “Problematika Ekraf dari Perspektif

Kelembagaan Hak Kekayaan Intelektual”, pusathki.uii.

ac.id/module/uploads./HKI-dan-Ekonomi-Kreatif.pdf,

diakses tanggal 26 April 2017.

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201844

duplikasi penelitian-penelitian yang pernah

dilakukan sebelumnya.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian yuridis normatif dan empiris dengan

sifat penelitian deskriptif. Penelitian yuridis

normatif merupakan penelitian yang dilakukan

dengan meneliti data sekunder berupa kaidah

atau aturan hukum sebagai suatu bangunan

sistem yang terkait dengan suatu peristiwa

hukum. Selanjutnya untuk memperkuat

kajian penelitian, maka akan dilihat juga

pengembangan ekraf melalui pelindungan HKI

pada tataran empirisnya yang difokuskan juga

implementasi pelindungan HKI pada produk

ekraf khususnya di daerah yang diteliti.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu

dengan menggambarkan atau memaparkan

secara tepat masalah yang diteliti dengan

mendasarkan pada kaidah, norma, asas-asas dan

sinkronisasi peraturan perundang-undangan,

baik secara vertikal maupun horizontal.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan perundang-undangan

[statute approach] dengan menggunakan

perangkat hukum positif sebagai dasar awal

melakukan analisis.17 Dalam kaitan ini analisis

yang dilakukan mengacu pada peraturan

perundang-undangan di bidang HKI dan

ekraf untuk kemudian dianalisis sesuai dengan

tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan

data sekunder dan data primer yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian. Sumber data

primer dihasilkan dengan cara melakukan

observasi langsung di lapangan dan wawancara

mendalam dengan menggunakan pedoman

wawancara semi terstruktur. Wawancara

dilakukan terhadap instansi-instansi terkait

seperti: Badan Ekraf, Dinas Perdagangan/

Perindustrian, pelaku ekraf, akademisi, sentra

HKI, serta praktisi HKI.

Data sekunder penelitian diperoleh dari

bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer berupa

17 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum

Normatif, Malang: Bayumedia, 2008, hal. 302.

peraturan perundang-undangan di bidang

HKI dan ekraf. Bahan hukum sekunder

berupa buku, majalah ilmiah, kliping, jurnal,

makalah, situs internet, dan sumber lainnya.

Semua data tersebut dideskripsikan dan

dipergunakan untuk membantu menganalisa

data yang ditemukan di lapangan. Selanjutnya

data yang diperoleh disusun secara sistematis

sesuai dengan permasalahan penelitian untuk

kemudian dianalisis secara kualitatif dengan

mendepkripsikan dan menafsirkan norma-

norma terkait pelindungan HKI pada produk

ekraf. Data juga dideskripsikan menggunakan

kerangka teori yang ada guna mendapatkan

bentuk pengaturan pelindungan hukum hak

kekayaan intelektual pada produk ekraf sesuai

yang diharapkan dan implementatif di masa

yang akan datang.

Penelitian lapangan ini dilakukan tahun

2017 di dua daerah yaitu Kota Surakarta, Provinsi

Jawa Tengah dan Kota Denpasar, Provinsi Bali.

Kedua daerah tersebut merupakan daerah yang

sudah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kota

kreatif di Indonesia. Kota Surakarta merupakan

percontohan kota kreatif di Indonesia yang

memiliki kreatifitas tinggi, khususnya dalam

aktifitas seni budaya dan kuliner. Surakarta juga

menjadi tuan rumah kegiatan Konferensi Kota

Kreatif Indonesia atau ”Indonesia Creative Cities

Conference [ICCC] pertama [2015] sekaligus

menjadi Sekretariat Kota Kreatif Indonesia.18

Sedangkan Kota Denpasar dijadikan daerah tujuan

penelitian dengan pertimbangan Bali dengan ibu

kotanya Denpasar merupakan salah satu tujuan

utama wisata dunia yang masyarakatnya memiliki

kreatif tinggi dan karya-karya kreatifnya diarahkan

kepada industri kreatif.

III. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM

PELINDUNGAN HKI BAGI PRODUK

EKRAF

Konsep ekraf merupakan sebuah

konsep ekonomi di era ekonomi baru yang

18 Antaranews, 22 Oktober 2015, “Solo Dijadikan

Percontohan Kota Kreatif Indonesia”, // www.

antaranews.com/ berita/ 525074/Solo-dijadikan-

percontohan-kota-kreatif-indonesia, diakses tanggal 7

April 2017.

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 45

mengintensifkan informasi dan kreativitas

dengan mengandalkan sumber daya buatan

berupa ide dan stock of knowledge dari sumber daya

manusia sebagai faktor produksi utama dalam

kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian

dunia mengalami transformasi dengan cepat

seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari

yang tadinya berbasis sumber daya alam menjadi

berbasis sumber daya manusia, dari era genetik

dan ekstraktif ke era manufaktur dan jasa

informasi serta perkembangan terakhir masuk

ke era ekraf.19 Ekraf membutuhkan sumber daya

manusia yang kreatif, yang mampu melahirkan

berbagai ide dan menerjemahkannya dalam

bentuk barang dan jasa yang bernilai ekonomi,

proses produksinya memang mengikuti kaidah

ekonomi industri, tetapi proses ide awalnya

adalah kreativitas.

Pemahaman tersebut melahirkan definisi

industri kreatif di Indonesia seperti yang

tertulis dalam Pengembangan Ekraf Nasional

2009-2015 yaitu: “Industri yang berasal

dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan

serta bakat individu untuk menciptakan

kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui

penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan

daya cipta individu tersebut.“ Selanjutnya

dalam buku tersebut disimpulkan bahwa ekraf

dalam hubungannya dengan industri kreatif

adalah kegiatan ekonomi yang mencakup

industri dengan kreativitas sumber daya

manusia sebagai aset utama untuk menciptakan

nilai tambah ekonomi.20

Ekraf merupakan penciptaan nilai

tambah [ekonomi, sosial, budaya, lingkungan]

berbasis ide yang lahir dari kreativitas sumber

daya manusia [orang kreatif] dan berbasis

pemanfaatan ilmu pengetahuan, termasuk

warisan budaya dan teknologi. Sedangkan

industri kreatif merupakan industri yang

menghasilkan output dari pemanfaatan

kreativitas, keahlian, dan bakat individu

untuk menciptakan nilai tambah, lapangan

kerja, dan peningkatan kualitas hidup.21

19 Zumrottus Sa’adah, Op. Cit., hal.153-154.

20 Daniel Hendrawan, Op. Cit., hal. 17-24.

21 Ibid.

Output tersebut dikenal dengan produk ekraf.

Dengan demikian produk ekraf merupakan

suatu kekayaan intelektual yang diproduksi

dan dimiliki oleh seorang pencipta dibidang

seni, sastra dan ilmu pengetahuan atau seorang

penemu dibidang teknologi [inventor].22

Oleh karenanya ekraf memiliki arti penting

karena dapat mengerakkan, mendorong, atau

menjadi masukan [input] penciptaan daya

saing bagi sektor-sektor lain. Arti penting

ekraf tidak hanya terbatas pada karya berbasis

seni dan budaya tapi juga karya berbasis ilmu

pengetahuan dan teknologi, engineering, inovasi

dan teknologi informasi.23

Komitmen pemerintah untuk membangun

dan mengembangkan ekraf sebagai bagian

penting pembangunan ekonomi nasional

dibuktikan dengan dibentuknya Badan Ekonomi

Kreatif [Bekraf] melalui Peraturan Presiden

No. 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi

Kreatif, yang ditandatangani oleh Presiden

Joko Widodo. Lembaga non-kementerian ini

bertanggung jawab terhadap perkembangan

ekraf di Indonesia dan bertugas membantu

Presiden dalam merumuskan, menetapkan,

mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan

di bidang ekraf. Peraturan Presiden No. 6

Tahun 2015 tentang Badan Ekraf kemudian

direvisi dengan Peraturan Presiden No. 72

Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan

Ekonomi Kreatif [Peraturan Presiden No. 72

Tahun 2015].

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 72

Tahun 2015, sedikitnya ada 16 subsektor

pengembangan ekraf yang telah ditetapkan

Bekraf, sebagai berikut: arstitektur; desain

interior; desain komunikasi visual; desain

produk; film animasi, dan vidio; fotografi;

kriya; kuliner; musik; fesyen; aplikasi dan game

developer; penerbitan; periklanan; televisi dan

radio; seni pertunjukan; dan seni rupa. Dalam

22 Ibid.

23 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, “Ekonomi

Krestif Kekuatan Baru Indonesia 2025”, bahan paparan

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam

Bedah Cetak Biru Ekonomi Kreatif, Yogyakarta 23

Oktober 2014, hal. 6.

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201846

mengemban tugas tersebut Bekraf mempunyai

enam deputi, yaitu:

1. Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan;

2. Deputi Akses Permodalan;

3. Deputi Infrastruktur;

4. Deputi Pemasaran;

5. Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual

dan Regulasi; dan

6. Deputi Hubungan Antar Lembaga dan

Wilayah.

Untuk mewujudkan visi membangun Indonesia

menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia

dalam ekraf pada 2030, Bekraf merancang

enam misi besar, yaitu:24

1. Menyatukan seluruh aset dan potensi

kreatif Indonesia untuk mencapai ekraf

yang mandiri.

2. Menciptakan iklim yang kondusif bagi

pengembangan industri kreatif.

3. Mendorong inovasi di bidang kreatif yang

memiliki nilai tambah dan daya saing di

dunia internasional.

4. Membuka wawasan dan apresiasi

masyarakat terhadap segala aspek yang

berhubungan dengan ekraf.

5. Membangun kesadaran dan apresiasi

terhadap HKI, termasuk pelindungan

hukum terhadap hak cipta.

6. Merancang dan melaksanakan strategi yang

spesifik untuk menempatkan Indonesia

dalam peta ekraf dunia.

Salah satu misi yang berkaitan dengan

HKI, yaitu membangun kesadaran dan

apresiasi terhadap HKI, termasuk pelindungan

hukum terhadap hak cipta, menjadi fokus

pengembangan ekraf di Indonesia. Hal ini

didasari pemikiran bahwa HKI merupakan

aset utama yang dimiliki pelaku ekraf, tetapi

keberadaan pentingnya pelindungan HKI

belum sepenuhnya disadari oleh pelaku ekraf.

Dampaknya adalah kurangnya kesadaran

pelaku ekraf terhadap pelanggaran HKI

yang menimpa produknya sehingga pelaku

24 Meta Noven, 30 Mei 2016, “Tonggak Baru Ekonomi

Kreatif Indonesia”, //www.bekraf.go.id/berita/

page/1/33-tonggak-baru-ekonomi-kreatif-indonesia,

diakses tanggal 23 Oktober 2017.

ekraf dapat kehilangan manfaat ekonomi

yang seharusnya diperoleh pelaku ekraf atas

kekayaan intelektual yang dimilikinya.

Berkaitan dengan hal tersebut Bekraf

memandang perlu segera disusun program-

program kerja yang membuat pelaku ekraf

memahami pentingnya pelindungan HKI dan

memberi kemudahan bagi pelaku ekraf untuk

mendaftarkan kekayaan itelektuanya. Langkah

lain adalah dengan membuat program kerja

untuk memfasilitasi penanganan pelanggaran

HKI bersama para pemangku kepentingan

lainnya.25

Kebijakan penerapan HKI di Indonesia

secara umum masih menyisakan berbagai

permasalahan krusial. Hal ini disebabkan

karakter dari HKI itu sendiri bertolak belakang

dengan kepribadian atau budaya orang Indonesia.

HKI yang bersumber dari hukum barat memiliki

ciri khas melindungi hak individu pemilik HKI

dari penggunaan tanpa izin oleh pihak lain

secara komersial. Sedangkan umumnya orang

Indonesia masih memegang budaya Timur

yang memegang teguh nilai-nilai komunal atau

kebersamaan. Sebagian masyarakat Indonesia

masih memegang filosofi “ilmu yang dibagi akan

lebih bermanfaat untuk orang lain dan menjadi

kebanggaan tersendiri jika ilmu pengetahuan

yang dimilikinya banyak yang meniru”.

Kondisi ini menjadi salah satu penyebab masih

rendahnya kesadaran masyarakat terhadap arti

penting HKI bagi pelindungan ide atau karya-

karyanya. Kendala lainnya yang menyebabkan

pemilik HKI tidak antusias untuk mendaftarkan

produk ekraf sebagai ide atau karyanya adalah

biaya pendaftaran HKI yang relatif mahal untuk

golongan usaha mikro kecil dan menengah

[UMKM].

Pelindungan terhadap HKI pada dasarnya

merupakan perwujudan dari nilai penting dari

HKI itu sendiri. Dengan demikian pelindungan

HKI memiliki tujuan tertentu, yaitu untuk

25 Biro Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Utama

Badan Ekonomi Kreatif, Rencana Strategis Badan

Ekonomi Kreatif, 2015-2019, Jakarta: Bekraf, 2017, hal.

30, file:///C:/Users/user/Downloads/171014-rencana-

strategis-badan-ekonomi-kreatif-2015-2019.pdf, diakses

tanggal 23 Oktober 2017.

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 47

melindungi seseorang sebagai pemilik sah HKI

dari perbuatan/tindakan orang lain yang dapat

merugikan pemegang HKI. Berkaitan dengan hal

ini, Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan

Harmonisasi Regulasi, memiliki tugas merumuskan,

menetapkan, megkoordinasikan, dan sinkronisasi

kebijakan-kebijakan dan program fasilitasi HKI

serta sinkronisasi regulasi di bidang ekraf.

Program unggulan yang dilakukan Deputi

Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan

Harmonisasi Regulasi adalah:26

a. Mengadakan konsultasi HKI secara masal

dan gratis bagi pelaku ekraf;

b. Desain ulang kemasan produk indikasi

geografis;

c. Menyediakan fasilitasi 5000 [lima ribu]

Sertifikat Profesi untuk pelaku ekraf;

d. Menyediakan fasilitasi 1000 [seribu]

pendaftaran HKI untuk pelaku ekraf; dan

e. Mendirikan Satgas Anti Pembajakan untuk

memerangi pelanggaran HKI.

Capaian yang dilakukan oleh Deputi

Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan

Regulasi, pada tahun 2016 telah melakukan

konsultasi HKI secara gratis untuk 753 pelaku

ekraf, pendaftaran HKI secara gratis sebanyak

642 pendaftaran, melakukan desain ulang

kemasan produk-produk yang mengindikasikan

karakter geografis sebanyak 16 produk unggulan

sertifikasi profesi bagi para pelaku ekraf di bidang

batik, fotografi, barista, dan digital sebanyak

1.200 pelaku ekraf. Secara keseluruhan sejak

Bekraf berdiri jumlah pelaku ekraf yang telah

mendapat fasilitasi pendaftaran HKI sebanyak

1.174 orang dari 21 kota dan program Fasilitasi

Sertifikasi Profesi pada 16 kota sebanyak 1.830

orang.27 Dengan demikian capaian program

Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan

Regulasi Bekraf pada 2016 telah melampaui

target awal. Namun disayangkan, lokasi

kegiatan Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan

Intelektual dan Harmonisasi Regulasi tersebut

masih terbatas pada sejumlah kota dan terfokus

26 Ibid, hal. 48.

27 Celsius Creative Lab dan Wignyo Parasian [ed.], Opus:

Ekonomi Kreatif Outlook 2017, Jakarta:Bekraf, 2017, hal.

75.

pada kota-kota besar, khususnya di Jawa dan

Sumatera.

Program yang ditargetkan dan capaian

yang dihasilkan dari kebijakan yang

dikeluarkan Bekraf di bidang HKI melalui

program-programnya, memperlihatkan upaya

pemerintah, dalam hal ini yang dilakukan

Bekraf adalah meningkatkan pengakuan HKI

dan standardisasi ekraf serta meningkatkan

efektifitas regulasi pengembangan ekraf dan

standardisasi usaha dan pelaku ekraf. Penguatan

secara kelembagaan dengan membentuk

Bekraf diharapkan akan lebih menekankan

komitmen pemerintah untuk membangun dan

mengembangan ekraf. Khusus di bidang HKI,

keberadaan Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan

Intelektual dan Regulasi akan lebih mendorong

dan memperkuat pelindungan HKI bagi pelaku

dan produk ekraf. Pelidungan HKI yang sudah

ditetapkan melalui Undang-Undang di bidang

HKI dilengkapi dengan berbagai regulasi

pendukung guna mengimplementasikannya.

Dengan demikian pelindungan hukum sebagai

sarana melindungi subyek-subyek hukum

melalui peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya

dengan suatu sanksi dapat terwujud.

Sebagai contoh Undang-Undang Hak Cipta.

Dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 16

September 2014 yang mengesahkan Rancangan

Undang-Undang Hak Cipta, untuk menggantikan

UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian

Hukum dan HAM, berharap agar industri

kreatif dapat berkontribusi lebih optimal bagi

perekonomian bangsa. Pembentukan UU No. 28

Tahun 2014 Tentang Hak Cipta [UU Hak Cipta]

merupakan upaya negara untuk melindungi hak

ekonomi dan hak moral pencipta dan pemilih hak

terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan

kreativitas nasional. UU Hak Cipta juga menjawab

perkembangan ekonomi berbasis industri kreatif

yang telah menjadi salah satu andalan kekuatan

ekonomi Indonesia. Oleh karenanya UU Hak

Cipta dapat memenuhi unsur pelindungan dan

pengembangan ekraf.28

28 DPR RI, Risalah Pembahasan RUU Tentang Hak Cipta.

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201848

Beberapa poin penting UU Hak Cipta

adalah:

1. Memberi pelindungan dan pengembangan

ekraf:

2. memberikan pelindungan hak cipta dengan

jangka waktu yang lebih panjang, yaitu

pelindungan hak cipta di bidang tertentu

akan diberlakukan selama seumur hidup,

ditambah 70 tahun setelah pencipta

meninggal dunia.

3. Menteri juga diberi kewenangan untuk

menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan,

apabila ciptaan tersebut melanggar norma

agama, norma susila, keteriban umum,

pertahanan dan keamanan negara, serta

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Komitmen pemberian pelindungan

terhadap ekraf juga secara tegas tertuang

dalam Penjelasan Umum UU Hak Cipta yang

mengungkapkan bahwa perkembangan ekraf

yang menjadi salah satu andalan Indonesia

dan berbagai negara dan perkembangan

teknologi informasi dan komunikasi yang

pesat mengharuskan adanya pembaruan UU

Hak Cipta, mengingat hak cipta menjadi basis

terpenting dari ekraf nasional. Dengan UU

Hak Cipta yang memenuhi unsur pelindungan

dan pengembangan ekraf ini maka diharapkan

kontribusi sektor hak cipta dan hak terkait bagi

perekonomian negara dapat lebih optimal.29

Salah satu contoh bentuk pelindungan

hak cipta pada produk ekraf adalah pada karya

film. Menurut Kepala Bekraf, Triawan Munaf,

film merupakan karya seni yang memiliki soft

power untuk mengejawantahkan budaya dan

alat diplomasi luar negeri yang andal. Indonesia

masih mempunyai kendala dalam menciptakan

ekosistem industri film yang ideal. Saat ini laju

pertumbuhan industri film terhambat karena

masih maraknya pembajakan film baik dalam

bentuk fisik maupun digital. Ini merupakan

pelanggaran HKI yang harus dicegah. Lebih

lanjut dikemukakan bahwa HKI merupakan

jantung ekraf dan fondasi dari industri kreatif.

Industri kreatif dibentuk oleh ide dan kreativitas

29 Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak

Cipta.

yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk

karya, baik film, musik, desain, atau produk.

Oleh karena itu pelindungan terhadap HKI

sangat penting, demi menghindari pembajakan

dan pencurian ide dan hak cipta dari sebuah

karya.30

Undang-Undang bidang HKI lainnya

yang memberi pelindungan pada ekraf adalah

UU Merek dan IG. Hak Merek merupakan

bentuk pelindungan HKI yang memberikan

hak eksklusif bagi pemilik merek terdaftar

untuk menggunakan merek tersebut dalam

perdagangan barang dan/atau jasa, sesuai dengan

kelas dan jenis barang/jasa. Merek dapat menjadi

penanda dari suatu produk yang menunjukkan

asal produsennya, dan membedakan dengan

produk-produk lainnya yang sejenis. Konsumen

memilih produk berdasarkan merek tersebut

oleh karena keberhasilan pemasaran produk,

reputasi yang dimiliki oleh produsen [good will],

jaminan kualitas atas produk, atau bahkan atas

dasar pertimbangan bahwa produk tersebut

memenuhi selera konsumen. Sehingga merek

dapat menjadi image atas produk tertentu yang

berkaitan dengan reputasi dari produk dan

konsumen dapat menjadi loyal untuk terus

membeli atau menggunakan produk dengan

merek tersebut.31 Bagi pelaku ekraf yang

sebagian besar merupakan golongan pengusaha

UMKM, merek atas produk kreatifnya menjadi

salah satu upaya untuk mengenalkan produknya

kepada masyarakat. Merek juga dapat menjadi

indentitas suatu produk, oleh karenanya

pendaftaran merek memiliki arti penting bagi

pelaku ekraf dalam mengembangkan usahanya

dan melindungi dari tindakan curang pihak lain

yang dapat merugikan secara ekonomis.

Berkaitan dengan pelindungan hukum,

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa salah

30 Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, 5 Mei 2015,

“Melindungi HKI Menjaga Keberlangsungan Ekonomi

Kreatif”, www.bekraf.go.id/kegiatan/detail/melindungi-

hki-menjaga-keberlangsungan-ekonomi-kreatif, diakses

tanggal 1 November 2017.

31 Agus Sardjono, Brian Amy Prastyo, dan Desrezka Gunti

Larasati, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Merek

untuk Pengusaha UKM Batik di Pekalongan, Surakarta,

dan Yogyakarta”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun

ke-44 No.4, Oktober -Desember 2013, hal. 496-518.

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 49

satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan

dari hukum adalah memberikan pelindungan

[pengayoman] kepada masyarakat, dan

pelindungan hukum terhadap masyarakat

tersebut harus diwujudkan dalam bentuk

kepastian hukum. Pelindungan hukum itu sendiri

merupakan upaya melindungi kepentingan

seseorang dengan cara mengalokasikan suatu

kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam

kepentinganya tersebut.32 Sedangkan menurut

Muchsin, pelindungan hukum merupakan

kegiatan untuk melindungi individu dengan

menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-

kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan

dalam menciptakan adanya ketertiban dalam

pergaulan hidup antara sesama manusia.33

Meskipun konsideran menimbang UU

Merek dan IG secara eksplisit menyebutkan

perlunya pelindungan terhadap UMKM,

tetapi Undang-Undang ini tidak membedakan

pendaftaran untuk UMKM maupun untuk

jenis pelaku usaha lainnya. Setiap pendaftar

hak merek harus memenuhi persyaratan,

prosedur, dan biaya pendaftaran yang sama.

Hal ini sesuai dengan prinsip nondiskriminasi

yang ada pada TRIPs. Seperti diketahui prinsip-

prinsip yang melandasi pengaturan hubungan

perdagangan bagi seluruh negara anggota

WTO dikenal sebagai prinsip Most Favoured

Nations Treatment [MFN], yaitu prinsip yang

menekankan perlakuan yang sama bagi seluruh

negara anggota WTO, serta prinsip National

Treatment [NT] yaitu prinsip perlakuan nasional

yang tidak boleh berbeda dengan negara

anggota lainnya. Prinsip MFN mengatur bahwa

keberpihakan, keuntungan, maupun perlakuan

istimewa yang diberikan kepada suatu negara

peserta TRIPs haruslah diberikan immediately

dan unconditionally kepada warga negara lainnya

yang juga merupakan peserta TRIPs seperti

diatur dalam Article 4 TRIPS. Article 4.1 TRIPs

mensyaratkan semua persetujuan yang dibuat

dan ditandatangani dalam rangka HKI harus

32 Satjipto Raharjo, Permasalahan Hukum di Indonesia,

Bandung: Alumni, 1983, hal. 121.

33 Muchsin, Pelindungan Hukum Bagi Investor di Indonesia,

Surakarta: Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret, 2003, hal. 14.

diperlakukan secara sama, serta tidak boleh

ada penerapan ketentuan yang berbeda dan

diistimewakan kepada suatu negara anggota

tertentu.34

Pelindungan hukum dapat dibedakan dalam

pelindungan hukum preventif dan represif.

Pelindungan hukum preventif diberikan oleh

pemerintah dengan tujuan untuk mencegah

sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini

terdapat dalam peraturan perundang-undangan

dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu

atau batasan-batasan dalam melakukan suatu

kewajiban. Sedangkan pelindungan hukum

represif merupakan pelindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman

tambahan yang diberikan apabila sudah

terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu

pelanggaran. Pelindungan hukum yang represif

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.35

Dalam kaitannya penerapan undang-undang,

pelindungan hukum merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui

peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu

sanksi.

Pelindungan preventif dalam UU Merek

dan IG merupakan pelindungan sebelum

terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum

terhadap merek dan merek terkenal. Dalam hal

ini pelindungan preventif yang diberikan UU

Merek dan IG sangat bergantung pada pemilik

merek. Sebagai konsekuensi penggunaan sistem

konstitutif maka pelindungan hukum terhadap

hak merek baru akan diberikan oleh negara

manakala merek tersebut telah didaftarkan di

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

Kementerian Hukum dan HAM [DJHKI],

sebagaimana disebutkan dalam ketentuan

Pasal 3 UU Merek dan IG. Dengan demikian

untuk dapat memperoleh pelindungan hukum

34 Ni Ketut Supasti Dharmawan dan Wayan Wiryawan , “

Keberadaan dan Implikasi Prinsip MFN dan NT Dalam

Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia”,

Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol.6, No.2, 2014, hal.

259-275, //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhuarticle/

download/9463/6990, diakses 27 juli 2017.

35 Muchsin, Op.Cit., hal. 20.

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201850

dari negara, setiap HKI harus didaftarkan,

karenanya pendaftaran yang memenuhi

persyaratan perundang-undangan merupakan

pengakuan dan pembenaran atas HKI seseorang

yang diwujudkan dengan sertifikat pendaftaran,

sehingga pemilik merek terdaftar memperoleh

pelindungan hukum. Begitu juga halnya

dengan merek yang dimiliki pelaku ekraf.

Berdasarkan sistem konstitutif yang dianut

dalam hukum merek Indonesia, hak merek

hanya bisa diakui dan dilindungi oleh Undang-

Undang jika hak merek tersebut didaftarkan.36

Hal ini mengandung makna merek-merek

produk ekraf yang tidak didaftarkan tidak

diakui dan dilindungi oleh negara melalui UU

Merek dan IG, sehingga kemungkinan untuk

ditiru atau dijiplak oleh pihak lain sangat besar.

Dampak lebih lanjut, produk ekraf yang tidak

mendaftarkan mereknya tidak memperoleh

keuntungan ekonomis dari merek produknya

secara maksimal.

Pelindungan hukum terhadap merek

pada dasarnya ditujukan untuk mencegah

terjadinya unfair competition berupa mencegah

atau melarang orang lain atau pihak lain

untuk melakukan pelanggaran merek berupa

pemanfaatan atau pemboncengan merek

milik orang lain. Pelaku ekraf yang pada

umumnya atau sebagian besar adalah UMKM

memiliki berbagai kendala untuk mendaftarkan

mereknya. Sesuai dengan karakteristik UMKM

yang memiliki berbagai keterbatasan, UMKM

termasuk pelaku usaha yang rawan mengalami

tindakan unfair competition dari pelaku usaha

lain yang memiliki kekuatan lebih, utamanya

kekuatan finansial dan pemahaman tentang

HKI. Kondisi ini menuntut perlunya upaya

pemerintah berupa pelindungan hukum atas

kekayaan intelektual pelaku UMKM.

Dalam konteks pendaftaran merek,

penerapan sistem konstitutif terhadap semua

pelaku usaha secara merata baik terhadap

pihak yang lemah, seperti UMKM maupun

pihak yang kuat, dianggap kurang adil, karena

36 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak

Kekayaan Intelektual, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2007, hal. 159.

menyamaratakan semua persyaratan, prosedur,

serta biaya pendaftaran merek. Persyaratan

dan prosedur yang rumit serta mahalnya biaya

pendaftaran menjadi kendala UMKM untuk

melakukan pendaftaran merek. Karakteristik

UMKM yang lemah dari sisi ekonomi maupun

pengetahuan terhadap merek akan berhadapan

dengan pelaku usaha yang memiliki kekuatan

baik finansial maupun pengetahuan tentang HKI.

Penyamarataan sistem pendaftaran merek

dapat berdampak pada termarginalkannya

UMKM dalam dunia usaha. Pada sisi yang

lain, diketahui merek memiliki fungsi sebagai

tanda pengenal, sarana promosi, dan jaminan

mutu barang yang dapat digunakan untuk

meningkatkan daya saing UMKM. Oleh

karenanya kebijakan pembedaan tarif PNBP

merek dalam PP No. 45 tahun 2016, pada

satu sisi bertentangan dengan prinsip TRIPs,

namun sisi lainnya menunjukan keberpihakan

pemerintah untuk melindungi UMKM,

khususnya dalam rangka mewujudkan

keadilan. Hal ini sejalan dengan teori keadilan

yang dikemukakan John Rawls bahwa apabila

terdapat situasi ketidaksetaraan maka perlakuan

khusus harus diberikan terhadap pihak yang

lemah.37 Berdasarkan perspektif John Rawls,

ketidaksamaan kesempatan yang dimiliki

usaha mikro dan kecil sebagai akibat adanya

perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan

kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai

yang adil38 dengan memberlakukan ketentuan

yang menguntungkan UMKM sebagai pihak

yang perlu dilindungi.

Secara umum peraturan perundang-

undangan bidang HKI sudah memberikan

pelindungan hukum bagi pelaku ekraf. Hal ini

juga dikemukakan oleh jajaran civitas akademika

Fakultas Hukum Universitas Warmadewa

Denpasar, bahwa regulasi HKI yang ada saat

ini sudah memberikan pelindungan hukum,

37 Achmad Fata’al Chuzaibi, “Sistem Konstitutif Dalam

UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek Bagi UMKM”,

Jurnal Syiar Hukum, Vol. XIII, No. 2, JULI 2011, hal. 152-

167, //ejournal.unisba.ac.id/index.php/syiar_hukum/

article/view/657/pdf, diakses tanggal 17 Juli 2017.

38 Pan Muhamad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal

Konstitusi, Vol. 6, No. 1, April 2009, hal. 135-149.

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 51

khususnya bagi produk ekraf yang sudah

didaftarkan melalui DJHKI yang dibuktikan

dengan sertifikat HKI. Akan tetapi jika produk

ekraf tersebut tidak didaftarkan maka negara

tidak mengakui dan tidak melindungi pelaku ekraf

atas kekayaan intelektualnya. Oleh karenanya

bagi pelaku industri ekraf, pendaftaran HKI

sangat penting untuk mendaftarkan hasil karya

pelaku ekraf dengan tujuan untuk menjamin

kepastian hukum tentang hak dan kewajiban

yang harus dilaksanakan selaku pelaku ekraf

berkaitan dengan hasil karya yang sudah

diciptakan. Sedangkan dari sisi aspek ekonomi,

dengan mendaftarkan HKI pelaku ekraf akan

menghasilkan keuntungan ekonomi dari karya

intelektualnya.39

IV. IMPLEMENTASI PELINDUNGAN

HKI DI KOTA SURAKARTA DAN

KOTA DENPASAR

Pelaksanaan pembangunan dan

pengembangan ekraf berkaitan dengan

program di berbagai kementerian atau lembaga

seperti Bekraf, Kementerian Perdagangan,

Kementerian Perindustrian, Kementerien

Koperasi dan UMKM, Kementerian

Perekonomian, Kementerian Pariwisata,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha

dan lembaga/stakeholders lainnya. Hal ini

menuntut koordinasi dan kerjasama antar

stakeholders dalam menentukan program kerja

agar tidak tumpang tindih.

Pelaksanaan pelindungan HKI di daerah

khususnya Kota Surakarta, Jawa Tengah dan Kota

Denpasar, Bali didasarkan atau mengacu pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku di

tingkat pusat. Pada kedua daerah tersebut belum

ada peraturan daerah atau peraturan wali kota

yang khusus mengatur mengenai pelindungan

HKI bagi ekraf. Namun demikian, secara

kelembagaan Kota Denpasar selangkah lebih

maju karena telah membentuk Badan Kreatif

melalui Peraturan Walikota Denpasar No. 35

Tahun 2016 tentang Badan Kreatif Denpasar.

39 Jawaban tertulis FH Universitas Warmadewa Denpasar,

tanggal 11 September 2017.

Badan Kreatif dibentuk oleh Pemerintah

Kota Denpasar untuk menaungi komunitas

kreatif di ibu kota Bali guna menyikronkan

ide pelaku dengan pemerintah. Badan yang

berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab

kepada Walikota ini, memiliki tugas membantu

Walikota Denpasar dalam merumuskan,

mengkoordinasikan, mensinkronkan strategi

dan kebijakan, serta mempromosikan kegiatan-

kegiatan kreatif masyarakat Denpasar.40

Keberadaan Bidang Fasilitas HKI dan

Regulasi dalam struktur Badan Kreatif Denpasar

menunjukan keseriusan Pemerintah Daerah

Kota Denpasar dalam membangun ekraf dan

berupaya memberi pelindungan HKI produk ekraf

yang dihasilkan masyarakat Denpasar.41 Seperti

diketahui Kota Denpasar dicanangkan sebagai

kota kreatif yang berbasis budaya unggulan. Hal

ini berimbas pada munculnya inovasi dan ide

kreatif insan muda Kota Denpasar. Salah satu

industri kreatif yang tumbuh di Kota Denpasar di

bawah kreator muda Putu Gede Ary Wicahyana

telah mampu melahirkan sebuah karya komik

digital yakni Tantraz Komik. Melalui karya

komik serial digital berjudul “Baladeva, The

Cronicle of Calonarang” telah mampu tembus

pasar nasional dan Internasional.42

Sedangkan di Kota Surakarta, masalah

ekraf ditangani oleh beberapa SKPD. Dinas

Ketenagakerjaan dan Perindustrian Kota

Surakarta merupakan salah satu SKPD yang

menangani bidang ekraf disamping beberapa

SKPD lainnya, seperti Dinas Pariwisata.

Berdasarkan jawaban tertulis Dinas Tenaga

Kerja dan Perindustrian Kota Surakarta,43

40 Pasal 2 ayat [10] dan Pasal 4 ayat [2] Peraturan Walikota

Denpasar No. 35 Tahun 2016 tentang Badan Kreatif

Denpasar.

41 Pasal 2 ayat [2] Lampiran Peraturan Walikota Denpasar

No. 35 Tahun 2016 tentang Badan Kreatif Denpasar.

42 I Wayan Supartha, 30 Juni 2016, “Geliat Industri Kreatif

Kawula muda Kota Denpasar”, //www.posbali.id/

geliat-industri-kreatif-kawula-muda-kota-denpasar/,

diakses 7 April 2017

43 Wawancara dengan Sekretaris Kepala Dinas Tenaga

Kerja dan Perindustrian, Tri Lestari S. Teks, M.Si; Daroni,

Kepala Bidang Pengembangan Usaha dan Peningkatan

Produksi; dan Kepala Seksi Sertifikat Pengembangan

Usaha dan Produktivitas, Sri Hening Widiastuti pada

tanggal 13 Juni 2017, di Surakarta.

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201852

bidang ekraf yang memiliki potensi besar dan

berkontribusi signifikan terhadap PAD Kota

Surakarta adalah bidang fesyen dan kuliner,

sedangkan 14 bidang ekraf tidak terlalu

menonjol. Pendapat yang sama dikemukakan

oleh Ketua LPPM Universitas Muhammadiyah

Surakarta [UMS], Kun Harismah bahwa Kota

Surakarta memiliki potensi di bidang usaha

batik, kuliner, dan kerajinan hand made,

khususnya assesoris. Namun, bidang usaha

UMKM yang menjadi prioritas perhatian

pemerintah daerah baru pada bidang fesyen,

khususnya batik. Demikian juga pemerintah

daerah dalam memfasilitasi pendaftaran HKI

lebih difokuskan untuk pengusaha batik.

Dinas Ketenagakerjaan dan Perindustrian

Kota Surakarta melakukan fasilitasi dan

sosialisasi terkait industri kreatif di Kota

Surakarta, khususnya industry kecil dan

menengah [IKM]. Pada tahun 2016 terdapat

6 pelaku ekraf yang mendapat fasilitas dari

Dinas Ketenagakerjaan dan Perindustrian Kota

Surakarta. Untuk tahun 2017 sosialisasi untuk

ekraf akan dilakukan pada triwulan ke 3 dan

ke 4. Fasilitasi HKI dilakukan melalui 2 cara,

yaitu:

a. Fasilitasi sendiri: Pelaku ekraf membiayai

dan mengurus sendiri pengajuan

permohonan pendaftaran HKI dan

Dinas hanya memberikan rekomendasi

yang menyatakan bahwa pemohon yang

bersangkutan benar-benar IKM kota

Surakarta.

b. Fasilitas Dinas: pengurusan sepenuhnya

dilakukan oleh Dinas Ketenagakerjaan

dan Perindustrian Kota Surakarta. Namun,

fasilitas jenis ini sangat terbatas tiap

tahunnya karena keterbatasan anggaran.

Fasilitas yang diberikan berupa konsultasi

dan pendampingan pendaftaran HKI

kepada pelaku ekraf, bekerjasama dengan

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Berkaitan dengan HKI pada ekraf,

pelindungan hukum diberikan bagi pemiliknya

atas hasil kemampuan daya pikir kreatif

yang diekspresikan kepada khalayak umum

dalam berbagai bentuk, yang bermanfaat

dalam menunjang kehidupan manusia karena

memiliki nilai ekonomis.44 Berdasarkan Risk

Theory, sebagaimana dikemukakan Robert

M. Sherwood, sebuah karya intelektual

merupakan suatu hasil karya yang mengandung

risiko yang dapat memungkinkan adanya

pihak lain menggunakan secara tidak sah

suatu kekayaan intelektual tersebut.45 Oleh

karena itu pelindungan hukum terhadap

suatu karya intelektual termasuk produk ekraf

menjadi penting dengan maksud agar tidak

menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi

pemiliknya. Pelindungan hukum tersebut tidak

hanya terbatas dengan penyediaan perangkat

hukum, namun juga seluruh aspek yang terkait

dengan pelindungan hukum menjadi bagian

yang berkaitan satu sama lain. Dalam kaitan ini

implementasi pelindungan HKI pada produk

ekraf pada dua daerah penelitian baru sebagian

yang terlaksana.

Pada sisi regulasi, peraturan perundang-

undangan dan peraturan pelaksana terkait

telah cukup konprehensif memberikan

peraturan pelindungan kepada produk ekraf,

tetapi pelaksanaannya masih sangat terbatas,

khususnya berkaitan dengan fasilitasi dari

pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari data

terkait kendala yang ditemui pemerintah di kota

Surakarta mengenai keterbatasan anggaran

dinas. Anggaran Dinas Ketenagakerjaan dan

Perindustrian Kota Surakarta tahun 2018 untuk

sosialisasi dan fasilitasi hanya Rp50.000.000

[limapuluh juta rupiah] yang rencananya akan

digunakan untuk melakukan kegiatan sosialisasi

dan fasilitasi HKI untuk 5 kecamatan.

Minimnya anggaran berbanding lurus

dengan jumlah produk ekraf IKM yang mendapat

fasilitasi pendaftaran HKI dari pemerintah

daerah. Di Kota Surakarta sejak 2009 baru 15

karya cipta pelaku ekraf di bawah binaan Dinas

Ketenagakerjaan dan Perindustrian didaftarkan

di DJHKI. Kendala lain yang berasal dari internal

pelaku ekraf juga ditemui dan termasuk faktor

44 Patiung Lingling, Op.Cit, hal. 23.

45 Naskah Akademik RUU tentang Ekonomi Kreatif,

Jakarta: Komite III Dewan Perwakilan Daerah , 2015, hal.

12.

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 53

yang mempengaruhi optimalisasi pelindungan

HKI pada produk ekraf, yaitu keterbatasan

pengetahuan pelaku ekraf terhadap HKI dan

minimnya kesadaran pelaku ekraf atas manfaat

pendaftaran HKI untuk melindungi hak pelaku

ekraf dan kelangsungan usahanya.

Beberapa komunitas ekraf berupaya

mengatasi kesenjangan antara kebutuhan

pelindungan atas kekayaan intelektual pelaku

ekraf dengan keterbatasan fasilitasi dari

pemerintah, seperti yang dilakukan oleh Digital

Innovation Lounge [DILo] Surakarta. Organisasi

yang didirikan pada tahun 2014 dari CSR

Telkom ini bertujuan untuk menumbuhkan

sistem digital planer dan meningkatkan industri

kreatif dan kebutuhan industri kreatif terhadap

pengetahuan digital yang semakin tinggi

melalui pelatihan, pembinaan, dan evaluasi

talenta khususnya terhadap industri kreatif

start up. Materi pelatihan tersebut antara lain:

bisnis, programing, aplikasi, mobile, finance,

design, dan legal. Pada materi legal, antara

lain berisi pembelajaran mengenai perjanjian/

kontrak bisnis, perizinan, dan pengenalan

HKI. Selama ini DILo melakukan kerjasama

dengan konsultan HKI yang ada di Surakarta,

pemerintah Kota Surakarta dan Bekraf untuk

memberikan pelatihan terkait HKI.46

Pemerintah Kota Surakarta cukup berperan

dalam memberikan sosialisasi dan fasilitasi HKI

kepada pelaku ekraf, namun baru sebatas pada

kegiatan ekraf yang potensial dan berkontribusi

signifikan kepada kas daerah, yaitu di bidang

fesyen dan kuliner. Sedangkan bidang-

bidang ekraf yang lain kurang mendapatkan

perhatian. Kegiatan ekraf yang berbasis digital

merupakan salah satu bidang ekraf yang belum

cukup dikenal di Kota Surakarta baik oleh

masyarakat secara luas maupun oleh pejabat-

pejabat pemerintah daerah. Beberapa hal yang

menjadi penyebabnya antara lain adalah kultur

masyarakat Surakarta yang masih memegang

erat tradisi berpengaruh pada kreatifitas

di sektor digital dan kebijakan-kebijakan

46 Wawancara dengan Koordinator DILo Surakarta [Gerry

Gebyar] dan Derta Syuman, tanggal 13 Juni 2017 di

Kantor DILo Surakarta.

pemeritah yang relatif terlambat berkaitan

dengan pengaturan produk ekraf digital.

Keberadaan Bekraf sangat membantu pelaku

ekraf dalam mengembangkan kegiatannya

termasuk pengenalan tentang HKI. Namun

masih diperlukan sinergitas dan komunikasi

antara Bekraf dan pemerintah daerah dalam

mengeluarkan kebijakan-kebijakan mengenai

Ekraf sehingga implementasinya tidak saling

bertentangan tetapi justru saling menguatkan.

Salah satu pelaku ekraf pemula selaku

narasumber penelitian,47 mengungkapkan

bahwa bagi pelaku ekraf yang menjadi prioritas

adalah usahanya dapat tumbuh, berkembang,

dan lancar. Sedangkan pendaftaran HKI

menjadi prioritas berikutnya, meskipun pelaku

ekraf mengetahui dan menyadari bahwa HKI itu

penting bagi kegiatan usahanya. Kekhawatiran

karya intelektualnya ditiru atau dijiplak orang

lain juga relatif rendah karena pada umumnya

pelaku ekraf pemula merasa belum memiliki

brand yang besar sehingga yakin karyanya tidak

ditiru orang lain [umumnya masyarakat meniru

atau menjiplak karya yang sudah terkenal dan

besar]. Oleh karena itu sebagian pelaku ekraf

merasa belum perlu mengurus pendaftaran

HKI, selama hal tersebut tidak berpengaruf

negatif terhadap usahanya.

Kendala lain juga diungkapkan oleh

narasumber bahwa dalam hal pengajuan

pendaftaran kepemilikan sertifikat HKI, yaitu:48

1. Persyaratan pendaftaran HKI cukup “ribed”

dan memakan waktu lama, sementara

pelaku ekraf pada umumnya tidak dapat

meninggalkan usahanya;

2. birokrasi yang berbelit, tidak sederhana

menyebabkan kebingungan bagi pelaku

ekraf;

3. memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang

merupakan beban tersendiri bagi pelaku

ekraf.

Keterbatasan pemerintah dalam

memberikan pelindungan HKI melalui

sosialisasi, pelatihan dan pendampingan, dapat

dijembatani dengan melakukan kerjasama

47 Ibid.

48 Ibid.

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201854

dengan perguruan tinggi, sebagaimana

dikemukakan oleh ketua LPPM Universitas

Muhammadiyah Surakarta.49 Lebih lanjut

dikemukakan bahwa beberapa hal yang perlu

mendapat perhatian pemerintah:

1. Masih diperlukan sosialisasi terus menerus

kepada industri kreatif agar sadar HKI.

2. Mengidentifikasi potensi industri yang

prespektif.

3. Sosialisasi dan pelatihan kepada seluruh

mayarakat baik pelaku usaha, pejabat,

dosen dan mahasiswa.

4. Fasilitasi bagi UMKM yang akan melakukan

pendaftaran HKI.

Sosialisasi HKI merupakan hal yang paling

penting dalam pelindungan HKI, karena melalui

pemahaman dan pengetahuan yang diperoleh

dari sosialisasi, masyarakat dapat mengetahui

apa itu HKI dan manfaat serta kegunaannya

bagi pelaku industri kreatif. Sebagai contoh di

Universitas Muhammmadiyah Surakarta, mata

kuliah HKI baru diberikan pada fakultas hukum.

Idealnya pada setiap fakultas dikenalkan dengan

pengetahuan HKI, minimal melalui sosialisasi

sebagai bekal bagi mahasiswa yang akan terjun

ke dunia bisnis.

Hasil wawancara dengan Ketua Forum

Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan

[FPKB Laweyan],50 pada umumnya kesadaran

terhadap HKI dikalangan pengusaha batik

Laweyan sudah ada, dan sebagian pengusaha

sudah melakukan pendaftaran mereknya.

FPKB Laweyan melakukan kerjasama dengan

universitas dan Dikti untuk memperoleh

informasi dan fasilitasi pengurusan HKI.

Namun konsep “bahwa seni dipersembahkan

untuk Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan

manusia [seniman] hanya alat atau perantara”

serta prinsip “berbagi ilmu dan kebaikan tanpa

pamrih akan mendapatkan pahala” menjadi

salah satu alasan para pengusaha Batik Laweyan

49 Wawancara dengan Ketua LPPM Universitas

Muhammadiyah Surakarta, Kun Harismah, di Surakarta

tanggal 14 Juni 2017.

50 Wawancara dilakukan dengan Ketua Forum Forum

Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Alpha Fabela

Priyatmono dan Arief, Devisi IT, tanggal 16 Juni2017.

tidak terlalu khawatir karyanya ditiru oleh

orang lain. Pemikiran senada tentang konsep

komunal juga dikemukakan oleh Ketut Suartha

salah satu pelaku ekraf di bidang seni ukir di

kota Denpasar yang mengemukakan bahwa

pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah

masih minim, khususnya sosialisasi terkait

HKI. Beberapa pelatihan dan sosialisasi pernah

diterima narasumber baik dari Bekraf maupun

pemerintah daerah, tetapi sangat jarang.

Narasumber juga merasa tidak khawatir karya

ciptanya ditiru oleh pihak lain karena menurut

narasumber, seni ukir yang dikuasainya

merupakan karya turun temurun sehingga

motif-motif ukir yang ada juga dianggap sebagai

milik komunal.

Tindakan nyata dari seorang tokoh yang

disegani pada kenyataannya dapat mendorong

pelaku ekraf di sekitarnya untuk sadar HKI,

seperti yang dilakukan Ketua FPKB Laweyan,

Alpha Fabela dengan memberi contoh dan

mendorong pengusaha UKM dibawah FPKB

Laweyan untuk meningkatkan kualitas Batik

Laweyan dengan mengembangkan konsep

Eco, Culture, and Creative” pada Kampong

Batik Laweyan.

Saat ini usaha Batik Mahkota yang dimiliki

Alpha Fabela telah menyandang beberapa

penghargaan dan serifikat seperti: Pembatik

bersertifikat SNI yang merupakan pertama

kali dan satu-satunya di Kota Surakarta. Batik

Mahkota sampai saat ini memiliki 20 motif

batik, 12 di antaranya sudah bersertifikat dan

8 sedang dalam proses pengajuan di DJHKI.

Menurut nara sumber, support dari pemerintah

Kota Surakarta terhadap pengusaha Batik

Laweyan cukup bagus, antara lain melalui

kegiatan sosialisasi dan penyuluhan HKI

oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan

perguruan tinggi. Bahkan Pemerintah Daerah

Kota Surakarta melalui Dinas Perindustrian

dan Perdagangan melakukan upaya “jemput

bola” bagi UKM batik yang akan mendaftarkan

hak cipta maupun merek dagangnya.

Sangat disayangkan, kegiatan terkait HKI

yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan

seperti perguruan tinggi, pemerintah baik

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 55

pusat [Bekraf], dan pemda saat ini terkesan

jalan sendiri-sendiri sekedar mengejar target

penjalankan proyek/ program atau untuk

pemenuhan angka kredit bagi dosen. Oleh

karenanya perlu disenergikan sehingga dapat

tepat sasaran bagi UMKM yang membutuhkan.

UMKM tidak sekedar sosialisasi dan pelatihan

HKI tetapi diperlukan pula pendampingan

pendaftaran HKI dari mulai tahap awal sampai

dengan dikeluarkannya sertifikat HKI. Hal ini

mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu,

dan biaya yang dimiliki UMKM.

Sosialisasi tentang HKI yang belum

maksimal juga menjadi sorotan pelaku usaha

ekraf di Denpasar Bali, I Nyoman Suarta. Usaha

I Nyoman Suarta di bidang seni ukir kayu khas

Bali belum mendapatkan pembinaan yang

optimal. Pembinaan yang dilakukan pemerintah

daerah terkesan temporer, misalnya dengan

menyediakan fasilitas pameran karyanya.

Namun, sosialisasi khusus dan pendampingan

terkait HKI belum pernah diperolehnya.51 Meski

diakui oleh I Nyoman bahwa motif ukir pada

produk kayunya merupakan warisan turun-

temurun dari nenek moyangnya, sehingga tidak

ada rasa khawatir motif ukirnya akan ditiru oleh

pihak lain. Budaya berbagi dalam masyarakat

komunal mendasari pemikiran I Nyoman Suarta.

Hal ini sejalan dengan pendapat akademisi FH

Universitas Marwadewa, bahwa hambatan/

kendala yang dihadapi oleh pelaku Ekraf untuk

melindungi ide dan karyanya antara lain karena

ketidakpahaman dan ketidaktahuaan pelaku

ekraf bahwa Undang-Undang HKI mewajibkan

pelaku ekraf untuk melakukan pendaftaran

sedini mungkin terhadap produk hasil karyanya

untuk mencegah terjadi ketidakjujuran atau

kecurangan pihak lain yang memplagiat hasil

karyanya.

Peran akademisi dalam melakukan upaya

pelindungan hukum terhadap HKI yaitu

mengadakan sosialisasi norma hukum HKI yang

terkini serta memotivasi para pelaku ekraf untuk

menghasilkan karya dan ide yang lebih kreatif,

inovatif dan mempunyai daya saing yang cukup

51 Wawancara dengan I Nyoman Suarta tanggal 6 September

2017 di Denpasar.

tinggi sehingga mampu bersaing di dunia bisnis

nasional dan internasional dalam era globalisasi

dan modernisasi. Beberapa Universitas di daerah

seperti Universitas Muhamadiyah Surakarta

dan Universitas Warmadewa Denpasar juga

turut berperan aktif alam kegiatan sosialisasi

HKI baik berupa memberikan kuliah kepada

mahasiswa yang berhubungan dengan HKI dan

ikut terjun kemasyarakat serta menggandeng

pemerintah daerah mensosialisasikan peraturan

perundang-undangan HKI, seperti pada

kegiatan KKN mahasiswa.

V. PENUTUP

Kebijakan pelindungan HKI terhadap

produk ekraf telah dilakukan oleh pemerintah

dengan membentuk berbagai peraturan

perundang-undangan di bidang HKI berikut

peraturan pelaksanaannya. Pada tingkat daerah,

khususnya Kota Surakarta dan Denpasar

sebagai daerah yang diteliti, semua kebijakan

daerah terkait pelindungan HKI untuk produk

ekraf mengacu pada kebijakan tingkat nasional,

khususnya di bidang regulasi. Pelindungan yang

bersifat preventif diberikan melalui undang-

undang di bidang HKI khususnya berupa

manfaat ekonomi bagi pelaku ekraf yang

mendaftarkan HKInya. Pelindungan hukum

terhadap merek pada dasarnya ditujukan untuk

mencegah terjadinya unfair competition berupa

mencegah atau melarang orang lain atau pihak

lain untuk melakukan pelanggarang merek

berupa pemanfaatan atau pemboncengan

merek milik orang lain. Pelaku ekraf yang pada

sebagian besar adalah UMKM memiliki berbagai

kendala untuk mendaftarkan mereknya.

UMKM termasuk pelaku usaha yang rawan

mengalami tindakan unfair competition dari

pelaku usaha lain yang memiliki kekuatan lebih,

utamanya kekuatan finansial dan pemahaman

tentang HKI. Namun, mengingat belum semua

pelaku ekraf yang memiliki kesadaran dan

pemahaman terhadap pentingnya HKI untuk

melindungi kekayaan intelektualnya, sifat

komunal yang mendasari sebagian besar pelaku

ekraf di Indonesia, dan sifat HKI yang harus

didaftarkan terlebih dahulu untuk mendapat

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201856

pelindungan atas kekayaan intelektualnya,

maka pelindungan HKI untuk pelaku ekraf

belum optimal. Setiap HKI harus didaftarkan,

karenanya pendaftaran yang memenuhi

persyaratan perundang-undangan merupakan

pengakuan dan pembenaran atas HKI seseorang

yang diwujudkan dengan sertifikat pendaftaran,

sehingga pemilik kekayaan intelektual yang

terdaftar memperoleh pelindungan hukum.

Hal ini mengandung makna produk ekraf yang

tidak didaftarkan tidak diakui dan dilindungi

oleh negara melalui Undang-Undang, sehingga

kemungkinan untuk ditiru atau dijiplak oleh

pihak lain sangat besar. Dampak lebih lanjut,

produk ekraf yang tidak mendaftarkan mereknya

tidak memperoleh keuntungan ekonomis dari

merek produknya secara maksimal.

Pada tataran implementasi, pelindungan

HKI atas produk ekraf di daerah, khususnya

Kota Surakarta dan Denpasar, kesadaran

dan pemahaman pelaku ekraf atas kekayaan

intelektualnya menjadi kunci keberhasilan

pelindungan HKI yang dilakukan oleh

pemerintah. Namun, keberpihakan daerah

terhadap pengembangan ekraf dan pemberian

pelindungan HKI untuk pelaku ekraf juga belum

seperti yang diharapkan. Sebagai contoh, di Kota

Surakarta urusan ekraf menjadi kewenangan

beberapa SKPD, sehingga tidak mudah untuk

mengoordinasikan program kerja yang memiliki

sinergitas yang selaras. Kemungkinan tumpang

tindih kebijakan sangat besar. Kota Denpasar

secara kelembagaan lebih maju karena memiliki

Badan kreatif yang khusus memberi masukan

kepada walikota berkaitan dengan kebijakan

pengembangan ekraf di kota Denpasar. Secara

umum program sosialisasi dan pelatihan HKI

sebagai ujung tombak memberi penyadaran

kepada masyarakat terhadap pentingnya HKI

bagi pelaku ekraf juga belum optimal. Sosialisasi

HKI yang dilakukan oleh perguruan tinggi

dan pemerintah baik pusat [Bekraf] maupun

pemerintah daerah terkesan jalan sendiri-

sendiri atau hanya menjalankan kegiatan/

proyek yang menjadi program instansi. Oleh

karenanya sosialisasi dan pelatihan HKI untuk

pelaku ekraf perlu disenergikan sehingga dapat

dilakukan secara tepat sasaran. Pemerintah

juga perlu melakukan pendampingan

pendaftaran HKI dari mulai tahap awal sampai

dengan dikeluarkannya sertifikat HKI. Hal ini

mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu,

dan biaya yang dimiliki pelaku ekraf.

Aset utama dalam pengembangan ekraf

adalah kekayaan intelektual yang dimiliki oleh

pelaku ekraf. Namun tingkat kesadaran dan

pemahaman pelaku ekraf terhadap HKI belum

merata dan relatif minim. Hal ini berdampak

pada pelaku ekraf sering tidak menyadari telah

terjadi pelanggaranan HKI miliknya, sehingga

pelaku ekraf tidak dapat menerima manfaat

ekonomi dari kekayaan intelektualnya secara

optimal. Oleh karenanya pemerintah baik pusat

maupun daerah perlu menggiatkan sosialisasi

pemahaman HKI dan memfasilitasi pendaftaran

HKI untuk pelaku ekraf.

Untuk mengembangkan ekraf secara

merata dan adil ke seluruh penjuru Indonesia,

dibutuhkan dukungan kelembagaan dan

regulasi di tingkat daerah. Sampai saat ini

belum semua pemerintah daerah mendukung

pengembangan ekraf, karena tidak ada

kewajiban menjadikan ekraf sebagai prioritas

program di daerah atau menjadikan ekraf

sebagai nomenklatur penganggaran di daerah.

Namun, sebaran pelaku ekraf terdapat di seluruh

wilayah Republik Indonesia dan membutuhkan

dukungan/partisipasi pemerintah daerah baik

dari sisi kelembagaan maupun penganggaran.

Pada tingkat pusat, pembentukan Undang-

Undang tentang Ekraf yang sudah masuk dalam

Program Legislasi Nasional 2014-2019 menjadi

sangat relevan sebagai bentuk dukungan pada

pembangunan ekraf di Indonesia.

SULASI RONGIYATI: Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual... 57

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Chuzaibi, Achmad Fata’al. “Sistem Konstitutif

Dalam UU No. 15 Tahun 2001 Tentang

Merek Bagi UMKM”. Jurnal Syiar Hukum

VOL. XIII NO. 2 JULI 2011. //

ejournal.unisba.ac.id/index.php/syiar_

hukum/article/view/657/pdf. Diakses

tanggal 17 Juli 2017.

Dharmawan, Ni Ketut Supasti dan Wayan

Wiryawan, “Keberadaan dan Implikasi

Prinsip MFN dan NT Dalam Pengaturan

Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia”.

Jurnal Magister Hukum Udayana. Vol.6

No.2 2014. //ojs.unud.ac.id/index.

php/jmhuarticle/download/9463/6990.

Diakses tanggal 27 juli 2017.

Faiz, Pan Muhamad. “Teori Keadilan John

Rawls”. Jurnal Konstitusi. Vol. 6. No. 1.

April 2009.

Hendrawan, Daniel. “Ekraf dan Merek”. Zenit.

Vol.4. No.1. April 2015.

Lingling, Patiung. “Implikasi Pelindungan

Hukum Hak Kekayaan Intelektual

Terhadap Perolehan Manfaat Ekonomi”.

Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas

Atmajaya Yogyakarta. e-journal.uajy.

ac.id65761jurnal-20mih01992.pdf. Diakses

tanggal 2 Mei 2017.

Rosmadi, Maskarto Lucky Nara. “Industri

Kreatif dalam Menghadapi Pasar Bebas

ASEAN Tahun 2015”. Jurnal Wawasan

Hukum. Vol. 30 No. 1 Februari 2014.

Sardjono, Agus. Brian Amy Prastyo, dan

Desrezka Gunti Larasati. “Pelaksanaan

Perlindungan Hukum Merek untuk

Pengusaha UKM Batik di Pekalongan,

Surakarta, dan Yogyakarta”. Jurnal Hukum

dan Pembangunan. Tahun ke-44. No.4.

Oktober-Desember 2013.

Sa’adah, Zumrottus. “Jati Diri Bangsa Dan

Potensi Sumber Daya Konstruktif Sebagai

Aset Ekraf Di Idonesia”. Jurnal Economia.

Vol.11.No.2. Oktober 2015.

Suryasaladin, Ranggalawe. “Kemanfaatan

Hak Kekayaan Intelektual Bagi Usaha

Mikro dan Kecil Bidang Ekraf Indonesia:

Sekelumit Pandangan”. Jurnal Hak

Kekayaan Intelektual. Vol.1. No.2. Agustus

2012.

Buku

Celsius Creative Lab dan Wignyo Parasian

[ed.]. Opus: Ekonomi Kreatif Outlook 2017.

Jakarta: Bekraf. 2017.

Departemen Perdagangan Republik Indonesia.

Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia

2025. Jakarta: Depdag RI. 2008.

Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum di

Indonesia pada Akhir Abad ke XX. Bandung:

Alumni. 1994.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian

Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. 2008.

Muchsin. Pelindungan dan Kepastian Hukum bagi

Investor di Indonesia. Surakarta: Magister

Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret, 2003.

Muhammad, Abdulkadir. Kajian Hukum

Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2007.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung:

Citra Aditya Bakti. 2012.

________. Permasalahan Hukum di Indonesia.

Bandung: Alumni. 1983.

Sardjono, Agus. Pengetahuan Tradisional.

Jakarta: Universitas Indonesia. 2009.

Pidato/ Makalah

Kementerian Pariwisata dan Ekraf. “Ekonomi

Kreatif Kekuatan Baru Indonesia 2025”.

Bahan paparan Kementerian Pariwisata

dan Ekraf dalam Bedah Cetak Biru Ekraf,

Yogyakarta 23 Oktober 2014.

NEGARA HUKUM: Vol. 9, No. 1, Juni 201858

Pangestu, Mary. “Globalisasi, Kekuatan

Ekonomi Baru dan Pembangunan

Berkelanjutan: Implikasi Terhadap

Indonesia, dalam Regulasi Salah Satu

Kunci Perkembangan Ekraf”, Pidato

Pengukuhan Mary Pangestu sebagai Guru

Besar Tidak Tetap Universitas Indonesia.

//www.hukumonline.com/berita/baca/

lt55c7efefc3c72/regulasi--salah-satu-kunci-

perkembangan-ekonomi-kreatif. Diakses

tanggal 16 Mei 2017.

Perpustakaan dalam Jaringan

Antaranews. 22 Oktober 2015. “Solo Dijadikan

Percontohan Kota Kreatif Indonesia”. //

www.antaranews.com/berita/525074/

Solo-dijadikan-percontohan-kota-kreatif-

indonesia. Diakses pada 7 April 2017.

Badan Ekonomi Kreatif dan Badan Pusat

Statistik. “Data Statistik dan Hasil

Survei Ekonomi Kreatif”. Jakarta: Badan

Ekonomi Kreatif. 2017, file://C:/Users/user/

Downloads/170475-data-statistik-dan-

hasil-survei-ekonomi-kreatif.pdf, Diakses

tanggal 23 Oktober 2017.

Badan Ekonomi Kreatif Indonesia. 5 Mei

2015. “Melindungi HKI Menjaga

Keberlangsungan Ekraf”. www.bekraf.go.id/

kegiatan/detail/melindungi-hki-menjaga-

keberlangsungan-ekonomi-kreatif. Diakses

tanggal 1 November 2017.

Badan Pusat Statistik. “Launching Publikasi

Ekraf 2016”. //www.bps.go.id/

KegiatanLain/view/id/171. Diakses tanggal 9

Mei 2017.

Biro Perencanaan dan Keuangan Sekretariat

Utama Badan Ekraf.”Rencana Strategis

Badan Ekraf. 2015-2019”. Jakarta:

Bekraf. 2017, file:///C:/Users/user/

Downloads/171014-rencana-strategis-

badan-ekonomi-kreatif-2015-2019.pdf.

Diakses tanggal 23 Oktober 2017.

Noven, Meta. 30 Mei 2016. “Tonggak Baru

Ekonomi Kreatif Indonesia”. //www.

bekraf.go.id/berita/page/1/33-tonggak-

baru-ekonomi-kreatif-indonesia. Diakses

tanggal 23 Oktober 2017.

Riswandi, Budi Agus. “Problematika Ekraf dari

Perspektif Kelembagaan Hak Kekayaan

Intelektual”. //pusathki.uii.ac.id/

module/uploads/2016/12/HKI-dan-

Ekonomi-Kreatif.pdf. Diakses tanggal 26

April 2017.

Simatupang, Togar. “Ekonomi Kreatif:

Menuju Era Kompetisi dan Persaingan

Usaha Ekonomi Gelombang IV”. Institut

Teknologi Bandung. //www.slideshare.

net/togar/ cetak-biru-industri-kreatif-jabar.

Diakses tanggal 18 Maret 2018.

Supartha, I Wayan. 30 Juni 2016. “Geliat

Industri Kreatif Kawula muda Kota

Denpasar”. //www.posbali.id/geliat-

industri-kreatif-kawula-muda-kota-

denpasar/. Diakses tanggal 7 April 2017.

Lain-Lain

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

Naskah Akademik RUU tentang Ekonomi

Kreatif. Jakarta: Komite III Dewan

Perwakilan Daerah. 2015.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Risalah Pembahasan Rancangan Undang-

Undang Tentang Hak Cipta.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề