Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah definisi dari

Kegiatan transaksi jual beli tanah dan rumah semakin sering dilakukan saat ini. Tahukah Anda bahwa ada komponen pajak dalam kegiatan transaksi tersebut? Salah satu yang sering ditanyakan adalah tentang bagaimana caranya menghitung tarif BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BPHTB sendiri merupakan pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Pungutan ini ditanggung oleh pembeli dan hampir mirip dengan PPh bagi penjual. Sehingga pihak penjual dan pembeli sama-sama memiliki tanggung jawab untuk membayar pajak.

Sebelumnya BPHTB dipungut oleh pemerintah pusat, namun keberadaan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan jika BPHTB dialihkan menjadi salah satu jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.

Keberadaan BPTHB dikenakan kepada pribadi atau badan karena perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh pribadi atau badan.

Tarif BPHTB sendiri mencapai 5% dari harga jual yang dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak [NPOPTKP]. Lalu, bagaimana cara menghitungnya? Simak bahasan lengkapnya di bawah ini!

Perbedaan Bea dan Pajak pada BPHTB

Dalam hal pungutan, BPHTB termasuk bea bukan pajak. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi hal ini:

  1. Pembayaran pajak terjadi lebih dulu daripada saat terutang. Ketika pembeli membeli tanah bersertifikat, mereka diharuskan membayar BPHTB terlebih dahulu sebelum terjadinya transaksi atau sebelum akta dibuat dan ditandatangani.
  2. Frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara insidensial atau berkali-kali dan tidak terikat waktu.

Persyaratan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Jika Anda melakukan jual beli, maka persyaratan BPHTB yang harus dipenuhi adalah:

  1. SSPD BPHTB.
  2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan.
  3. Fotokopi KTP wajib pajak.
  4. Fotokopi STTS/struk ATM bukti pembayaran PBB
  5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah seperti sertifikat, akta jual beli, letter C atau girik.

Jika Anda mendapatkan tanah atau rumah untuk hibah, waris, atau jual beli waris, maka syarat BPHTB yang diperlukan sebagai berikut:

  1. SSPD BPHTB.
  2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan.
  3. Fotokopi KTP wajib pajak.
  4. Fotokopi STTS/struk ATM bukti pembayaran PBB.
  5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah, seperti sertifikat, akta jual beli, letter C, atau girik.
  6. Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah.
  7. Fotokopi KK.

Perhitungan Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Berikut adalah rumus dasar perhitungan tarif BPHTB:

Tarif Pajak 5% x Dasar Pengenaan Pajak [NPOP – NPOPTKP]

Seperti diketahui, besarnya NPOPTKP di masing-masing wilayah berbeda-beda, namun berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 pasal 87 ayat 4 ditetapkan besaran paling rendah sebesar Rp60.000.000 untuk setiap wajib pajak.

Contoh kasus:

Budi membeli tanah seharga Rp200.000.000 di Kabupaten Kampar. Maka, perhitungan tarif BPHTB-nya adalah:

NPOP: Rp200.000.000
NPOPTKP: Rp60.000.000

5% x [Rp200.000.000 – Rp60.000.000]
5% x Rp140.000.000 = Rp7.000.000

Maka, tarif BPHTB yang harus dibayar Budi sebesar Rp7.000.000

Pasal 33 ayat [3] UUD 1945 menyatakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Guna mewujudkan hal tersebut, negara membutuhkan sumber pendanaan yang salah satunya dari pajak

Karena itu, sudah sewajarnya pemilik yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperolehnya ke pemerintah. Penyerahan ini dilakukan melalui pembayaran pajak yang disebut BPHTB. Lalu, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan BPHTB?

Definisi MERUJUK Pasal 1 angka 41 UU 28/2009, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan [BPHTB] adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak ini adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan.

Adapun yang dimaksud dengan hak atas tanah dan.atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya. BPHTB merupakan jenis pajak kabupaten/kota yang baru diterapkan berdasarkan UU No.28/2009.

Sebelumnya, BPHTB termasuk pajak pusat tetapi hasilnya sebagian besar diserahkan kepada daerah. Namun, sejak berlakunya UU 28/2009 kewenangan pemungutan BPHTB dialihkan kepada pemerintah kabupaten/kota.

Dampak positif dari adanya pengalihan tersebut adalah daerah dapat sepenuhnya memperoleh hasil dari penerimaan BPHTB. Hal ini tentu sangat menguntungkan terutama bagi pemerintah daerah kabupaten/kota yang pertumbuhan usaha propertinya tinggi.

Kendati demikian, pengenaan BPHTB tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten/kota. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak daerah.

Objek, Subjek, Tarif BERDASARKAN Pasal 85 ayat [1] UU 28/2009, objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan tersebut diantaranya dapat berasal dari pemindahan hak karena jual beli, penunjukan pembeli dalam lelang, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah.

Selain itu, jenis hak dasar menjadi objek BPHTB meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan. Meski memiliki cakupan objek pajak luas, tidak semua perolehan hak atas tanah dan/atas bangunan dikenai BPHTB.

Secara umum, ada 6 pihak yang atas perolehan hak tanah/bangunannya tidak dikenakan BPHTB. Pertama, perwakilan diplomatik, konsulat berdasar perlakuan timbal balik. Kedua, negara untuk penyelenggaraan pemerintah atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.

Ketiga, badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan Menteri Keuangan. Keempat, orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. Kelima, Karena wakaf atau warisan. Keenam, untuk digunakan kepentingan ibadah

Adapun yang menjadi subjek dan wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Hal ini berarti pungutan ini ditanggung oleh pembeli tanah dan/atau bangunan.

Namun, bukan berarti hanya pembeli yang dibebani pajak. Penjual sebagai pihak yang memperoleh penghasilan juga dikenakan pajak tetapi dalam bentuk pajak penghasilan [PPh]. Dengan demikian pihak penjual dan pembeli sama-sama memiliki tanggung jawab untuk membayar pajak.

Tarif BPHTB ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota paling tinggi 5%. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif BPHTB yang mungkin berbeda dengan daerah lain, asalkan tidak lebih dari 5%.

Besaran pokok pajak BPHTB yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif dengan nilai perolehan objek pajak [NPOP] setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak [NPOPTKP]. NPOPTKP merupakan nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB.

Besarnya NPOPTKP ini ditetapkan dengan peraturan daerah dan dapat berbeda pada tiap daerah. Namun, berdasarkan Pasal 87 ayat [4] UU 28/2009 besaran NPOPTKP ditetapkan paling rendah senilai Rp60 juta untuk setiap wajib pajak.

Akan tetapi, apabila perolehan hak berasal dari waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih memiliki hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke bawah ,termasuk istri, maka NPOPTKP ditetapkan paling rendah senilai Rp300 juta.

Simpulan BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pungutan ini ditanggung pihak yang memperoleh hak atas tanah/bangunan yang berarti pembeli. Namun demikian, penjual sebagai penerima penghasilan juga dikenakan pajak tetapi berupa pajak penghasilan [PPh]. [Bsi]

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

  1. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
  2. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat [1] meliputi:
    1. pemindahan hak karena:
      1. jual beli;
      2. tukar menukar;
      3. hibah;
      4. hibah wasiat;
      5. waris;
      6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
      7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
      8. penunjukan pembeli dalam lelang;
      9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
      10. penggabungan usaha;
      11. peleburan usaha;
      12. pemekaran usaha; atau
      13. jual beli;
    2. hadiah.
      1. kelanjutan pelepasan hak; atau
      2. di luar pelepasan hak.
  3. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat [1] adalah:
    1. Hak milik;
    2. Hak Guna Usaha;
    3. Hak Guna Bangunan;
    4. Hak Pakai;
    5. Hak Milik Atas satuan rumah susun; dan
    6. Hak Pengelolaan.
  4. Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
    1. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
    2. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
    3. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
    4. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
    5. orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
    6. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

  1. Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak;.
  2. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat [1], dalam hal:
    1. jual beli adalah harga transaksi;
    2. tukar menukar adalah nilai pasar;
    3. hibah adalah nilai pasar;
    4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
    5. waris adalah nilai pasar;;
    6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
    7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
    8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
    9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
    10. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
    11. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
    12. peleburan usaha adalah nilai pasar;
    13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
    14. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
    15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
  3. Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat [2] huruf a sampai dengan huruf o tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan;
  4. Dalam hal NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat [3] belum ditetapkan pada saat terutangnya pajak, NJOP Pajak Bumi dan Bangunan dapat didasarkan pada surat keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan;
  5. Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat [4] adalah bersifat sementara;
  6. Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat [3] dapat diperoleh dari kantor pelayanan pajak atau instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan;
  7. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 80.000.00000 [delapan puluh juta rupiah];
  8. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 350.000.000,00 [tiga ratus lima puluh juta rupiah];
  9. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak [NPOPTKP] sebagaimana dimaksud pada ayat [7] dan ayat [8] dapat ditinjau atau dievaluasi kembali setiap tahun dengan Peraturan Gubernur setelah mendapat persetujuan DPRD.

Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5 % [lima persen].

  1. Besarnya pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat [7] atau ayat [8];
  2. Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak [NPOP] sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat [2] tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan NJOP setelah dikurangi NPOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat [7] atau ayat [8].

  1. Saat terutangnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
    1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    2. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    4. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    5. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
    6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tangggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    8. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
    9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannnya surat keputusan pemberian hak;
    10. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
    11. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    12. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat ditandatanganinya akta;
    13. pemekaran usaha adalah sejak tanggal ditandatanganinya akta;
    14. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
    15. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
  2. Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat [1].

Tempat Terutang Pajak berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

  1. Wajib Pajak BPHTB wajib membayar sendiri pajak yang terhutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah [SSPD];
  2. SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat [1] juga merupakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah [SPTPD];
  3. SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat [1] harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya;
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan tatacara pengisian SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat [3] diatur dengan Peraturan Gubernur.

  1. Penetapan SSPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 mengacu pada sistem dan prosedur pemungutan BPHTB;
  2. Sistem dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat [1] mencakup tatacara penyampaian, pembayaran, penelitian, pelaporan, penagihan, dan pengurangan SSPD-BPHTB serta pendaftaran akta dan pengurusan akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan;
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem dan prosedur pemungutan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat [2] diatur dengan Peraturan Gubernur.

  1. Pasal 12;
    1. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak;
    2. Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak;
    3. Kepala Kanwil BPN/Kepala Kantor Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
  2. Pasal 13;
    1. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Gubernur paling lambat setiap tanggal 10 [sepuluh] bulan berikutnya;
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat [1], diatur dengan Peraturan Gubernur.
  3. Pasal 14;
    1. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat [1] dan ayat [2], dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 7.500.000,00 [tujuh juta lima ratus ribu rupiah] untuk setiap pelanggaran;
    2. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat [1], dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 250.000,00 [dua ratus lima puluh ribu rupiah] untuk setiap laporan;
    3. Kepala Kantor bidang Pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat [3], dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

  1. Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Pajak yang masih terutang berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 dan sepanjang belum atau tidak diatur dalam Peraturan Daerah ini, masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 [lima] tahun terhitung sejak saat terutang;
  2. Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan di bidang perpajakan daerah masih tetap berlaku paling lama 1 [satu] tahun, sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum ditetapkan peraturan pelaksanaan berdasarkan Peraturan Daerah ini.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề