Seorang murid muhammad abduh yang melanjutkan penulisan tafsir al manar adalah …

Al-Manar [tempat cahaya] adalah majalah Islam berbahasa Arab yang merupakan hasil karya 3 orang tokoh Islam yaitu: Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rashid Ridha dan Muhammad Abduh dari tahun 1898- 1935. Majalah Al-Manar terbit pertama kali tanggal 22 Syawal 1315 Hijriah atau 17  Maret 1898 Masehi. Majalah ini terbit dilatarbelakangi oleh keinginan Ridho menerbitkan sebuah surat kabar membahas masalah sosial, budaya  dan agama.

Majalah Al-Manar yang berbasis di kota Kairo, Mesir pada mulanya terbit mingguan, tetapi kemudian berubah menjadi bulanan. Majalah Al-Manar terbit tidak berbeda jauh dari misi Al-Urwah Al-Wutsqa, meski tafsir Al-Manar pada mulanya adalah kumpulan kuliah tafsir dari Abduh di Al-Azhar. Tafsir Al-Manar dianggap karya Muhammad Abduh yang mampu memberikan pemikiran modern dan mendorong umat Islam menjadi umat yang mau berfikir lebih maju.

Sejarah Awal Terbitnya Majalah Al-Manar

Awal mula terbitnya majalah Al-Manar terinspirasi dari surat kabar Al-Urwah Al-Wusqo yang diterbitkan  oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh saat mereka bertemu di kota Paris. Muhammad Abduh pergi ke Paris setelah mendapat undangan dari Jamaluddin Al-Afghani untuk bergabung dengan gurunya itu di Perancis. Ia diundang ke Perancis saat Ia berada di Libanon setelah diusir pemerintah tahun 1882 dengan tuduhan terlibat dalam aksi pemberontakan Urabi Pasha.

Di Paris, guru dan murid tersebut membentuk sebuah organisasi Al-Urwah Al-Wusqo yang bertujuan menyadarkan dan mempersatukan negara-negara Islam dan kemudian  menerbitkan majalah dengan nama yang sama.Statement-statement pembaharuan yang dimuat dalam majalah tersebut antara lain berisi tentang ide kesatuan umat Islam, mengembalikan Islam kepada masa kejayaannya.Selanjutnya menemukan kembali harkat yang milik umat Islam telah  hilang dan memerdekakan kembali dunia Islam dari segala macam bentuk penjajahan asing.

Dari surat kabar ini pula Rasyid Ridha mengenal dua tokoh pembaharu tersebut. Pengaruh majalah Al-Urwatul Al-Wusqa demikian besar memberi inspirasi jurnal Al-Manar untuk terbit dan  menjadi penerus dari Majalah Al-Urwatul Al-Wusqa dalam menyebarkan ide-ide pembaharuan dan menjaga keutuhan umat Islam meliputi: pembaharuan dalam bidang agama Islam, ekonomi hingga bidang sosial. Tujuan jurnal Al-Manar pun tidak jauh dari tujuan majalah Al-Urwatul  Al-Wusqa yaitu: pembaharuan dalam Islam bidang ekonomi, agama dan bidang sosial. Gagasan yang dipublikasikan tersebut begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan bergabung dan berguru pada kedua tokoh ini.

Jamaluddin Al-Afghani meninggal dunia membuat keinginan Rashid berjumpa belum tercapai. Ketika Jamaluddin Al-Afghani ketika meninggal tahun 1897 Masehi membuatnya sedih. Jamaluddin Al-Afghani dipandangnya sebagai gurunya selama ini. Kepergian Al-Afghani sedikit terobati, karena Ia melihat ide-ide Jamaluddin itu ada pada Muhammad Abduh. Ia kemudian pergi ke Mesir dan tanggal 3 Juni 1898 M. Tibalah Ia di Iskandariyah untuk selanjutnya ke Mesir bertemu dengan Muhammad Abduh.

Saat itulah kesempatan Rashid Ridha menyampaikan niatnya menjadi muridnya. Muhammad Abduh begitu antusias menyambutnya berbincang tentang pembaharuan di Al-Azhar. Dari perbincangan antara keduanya terlihat adanya pandangan, pemikiran yang sama tentang masalah pembaharuan. Saat pembuangan Muhammad Abduh di Beirut akhir tahun 1882  sempat bertemu dan bertukar pikiran dengan Muhammad Abduh. Pertemuan  dengan Muhammad  Abduh begitu berkesan di hati Rashid Ridha, menumbuhkan semangat melepaskan umat Islam dari belenggu kebodohan.

Sejumlah cara dilakukan Rashid Ridha menerapkan ide pembaharuan yang diperolehnya salah satu di Lebanon, namun upaya ini ditentang dan tekanan politik dari kerajaan Turki Usmani. Pihak kerajaan Turki Usmani secara terang-terangan tidak bisa menerima ide-ide pembaharuan yang ditawarkannya. Semakin besar pertentangan dan hambatan diperoleh, akhirnya tahun 1898 pindah Rashid Ridha pergi ke Mesir mengikuti  dan tinggal bersama Abduh. Ia menjadi pengikut dan murid yang paling setia kepada Muhammad Abduh.

Dialog dan tukar pikiran dengan Muhammad Abduh semakin intensif hingga suatu hari Rashid Ridha mengusulkan pada sang guru untuk menerbitkan sebuah majalah yang dinamakan majalah Al-Manar. Majalah tersebut nantinya menyebarkan ide atau gagasan mereka dan melanjutkan misi Al-Urwah-Wusqa. Misi majalah Al-Urwah-Wusqa mulai dari menyebarkan ide pembaharuan bidang agama, sosial dan ekonomi. Selanjutnya memajukan umat Islam, menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang hingga membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar.

Terbitnya majalah Al-Manar sekaligus pelanjut majalah Al-Urwatul Al-Wusqa yang telah terbit sebelumnya di Paris. Penerbitan Al-Manar menurut Rashid Ridha adalah berpangkal pada kesadaran atas kelemahan umat Islam sendiri. Ia Berusaha memperbaiki dengan jalan pembaharuan pendidikan serta mengembangkan pikiran-pikiran yang benar. Hal ini dilakukan dalam rangka membasmi kebodohan dan pikiran-pikiran yang rusak telah merajalela seperti: faham taklid, bid’ah dan perbuatan lainnya.

Tafsir Al-Manar

Setahun setelah Al-Manar terbit. Ia mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan Al-Quran dengan tafsiran yang relevan tuntutan zaman. Rashid Ridha melihat perlu diadakan tafsir modern dari Al-Quran  yaitu: tafsir yang sesuai ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya supaya menulis tafsir modern. Awalnya Muhammad Abduh tidak menanggapi usulan dari Rashid Ridha, karena Muhammad Abduh diketahui  belum pernah secara khusus menulis sebuah kitab tafsir Al-Quran.

Meskipun begitu, Rashid Ridha tertarik pada metode tafsir Al-Quran yang diajarkan gurunya, terus menerus didesak Muhammad Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah tafsir Al-Quran di Al-Azhar. Saat itu, Muhammad Abduh aktif mengajar tafsir Al-Quran di Al-Azhar dimulai tahun 1899. Rashid Ridho sebagai muridnya dengan tekun mengikuti materi kuliah yang diajarkan gurunya Muhammad Abduh selama di Universitas Al-Azhar. Ia juga selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam kuliah tafsir  yang diberikan Muhammad Abduh.

Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar dari Muhammad Abduh tersebut disusun secara berseri dalam bentuk karangan teratur. Kumpulan catatan tersebut diserahkan pada gurunya yang selanjutnya diperiksa, disertai umpan balik dan persetujuan dari Muhammad Abduh. Setelah mendapatkan persetujuan lalu diterbitkan dalam jurnal Islam berbentuk Majalah Al-Manar.

Pada perkembangannya,  ternyata tidak cukup terbit  berkala pada majalah, tetapi telah terbit 34 kali. Kumpulan artikel mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar itulah kemudian dialihkan menjadi sebuah kitab tafsir Al-Quran Al-Hakim. Lantaran sebelumnya sempat terbit beberapa seri, maka disebut pula Kitab Tafsir Al-Manar.

Tafsir tersebut menjadi salah satu rujukan umat Islam dalam memandang modernitas dalam pandangan Islam. Namun dalam perkembangannya tidak semua pengajaran tafsir dilakukan Muhammad Abduh. Ketika itu, hanya sampai pada surah An-Nisa ayat 125, jilid ketiga dari keseluruhan Tafsir Al-Manar yang sebenarnya bernama Tafsir Al-Quran Al-Hakim atau dikenal tafsir  Al-Manar. Muhammad Abduh telah meninggal dunia tahun 1905 menjadi penyebab tidak selesainya kajian penafsiran seluruh isi Al-Quran.

Rashid Ridha berusaha melanjutkan kajian tafsir sampai selesai. Tafsir Al-Quran tidak selesai di masa Rashid Ridha hanya sampai surah Yusuf ayat 101. Tafsir yang terdiri beberapa jilid ini pun tidak lengkap  30 juz. Rashid Ridha baru menyelesaikan sepertiga bagian dari juz 13, karena ajal telah terlebih dulu menjemputnya.

Penafsiran surat Yusuf dilanjutkan oleh Bahjat Al-Balthar yang selanjutnya diterbitkan tetap memakai Rashid Ridha. Isi kitab tafsir Al-Manar bisa disebut sebagai hasil kolaborasi antara Rasyid Ridha dengan gurunya, Muhammad Abduh. Atau dengan kata lain, beberapa perbedaan pandangan di antara keduanya tetap tampak di dalamnya.

Beda Muhammad Abduh Rashid Ridha dalam Penafsiran Ayat Al-Quran 

Rashid Ridha dalam menulis tafsirnya banyak menukil dari gurunya, Muhammad Abduh.Tidak ada perbedaan antara keduanya dalam masalah sumber, manhaj, tujuan kecuali terhadap beberapa hal langka dan sedikit. Manhaj dalam tafsirnya adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, ayat dan hadis shahih dari Rasulullah sesuai metode salafnya, menggunakan bahasa Arab ditambah nalar terbebas taqlid terhadap para mufassir. Menurut sebagian muridnya, Ia tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir, kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat. Khawatir ada pengaruh ucapan para mufassir terhadap dirinya.

Sementara itu, metode tafsirnya yang dilakukan Rashid Ridha adalah: menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, mubhamad hingga secara kontemporerisasi. Selain itu, Ia juga menafsirkan ayat-ayat menurut logikanya. Metode lewat cara tersebut memiliki kelebihan yaitu: tafsirnya mampu merombak kehidupan manusia yang masih banyak mengikuti taqlid. Kelebihan lain dari metode tersebut yaitu: mengajak manusia lebih maju dalam peradapan dan membantu menyebarkan ajaran Islam dari segi pemahaman dakwah dan amal.

Metode yang disebut Al-Manhaj Al-Adabi Al-Ijtimai merupakan penafsiran yang bercorak pada kesastraan, budaya dan masyarakat. Fokus pada ketelitian redaksi ayat menjadi ciri khasnya serta disusun dalam bahasa sastrawi. Adapun Muhammad Abduh lebih komunikatif dalam narasinya dengan cara mencari solusi bagi masalah-masalah membelenggu umat. Atau dengan kata lain Ia mengajak pembacanya hidup berdasar Al-Quran atau lebih tepatnya mengedepankan akal rasional.

Ketetapan rasio [Tahkim Al-Uqul] dan metode rasional [ Al-Manhaj Al-Aqli] yang dipakai Muhammaf Abduh melihat ayat-ayat Al-Quran sebagai harus diterima secara akal rasional. Muhammad Abduh melihat Al-Quran sebagai suatu kesatuan yang mengandung ajaran-ajaran bersifat universal dan bebas dari konteks ruang dan waktu. Selain itu, Ia menggunakan ijtimai yaitu memandang ayat Al-Quran sebagai sumber akidah dan hukum.

Meskipun Rashid Ridha dalam penafsiran mengikuti metode gurunya Muhammad Abduh,ada pula perbedaan tafsiran di antara keduanya mengenai sejumlah ayat Al-Quran. Salah satu ayat yang membahas balasan atas orang-orang beriman yaitu ayat ke-25 dari surah Al-Baqarah.

Dalam perspektif Muhammad Abduh, balasan lebih berupa aspek rohani. Sementara itu, bagi Rashid Ridha, balasan yang sama lebih menekankan pada aspek jasmani. Dalam hal ini terlihat perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Beberapa sumber menyebut terjadi perbedaan sejumlah tafsiran lantaran Rashid Ridha masih berpegang pada mazhab Salaf yaitu: Imam Hanbali. Ia menolak takwil untuk ayat-ayat literal. Muhammad Abduh tidak berpegang pada salah satu mazhab tertentu. Ia menggunakan pemikiran bebas sehingga tidak terikat dalam suatu mazhab.

Dari metode digunakan seperti yang dijelaskan di atas menunjukan Kitab Tafsir Al-Manar mengandung pembaharuan dan sesuai perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran Al-Quran dengan kehidupan masyarakat. Selain itu, membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.

Tafsir Al-Manar disebut sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat shahih.Tidak hanya itu tafsir Al-Manar disebut juga memiliki pandangan yang tegas, menjelaskan hikmah syariah dan Sunatullah, menjelaskan fungsi Al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề