Seorang Yogin jika ingin mencapai kebebasan harus menerapkan ajaran Astangga Yoga, yaitu

Perenungan.

“Praúànta-manasam hy enaý yoginaý sukham uttamam,

upaiti úanta-rajasaý

brahma-bhùtam akalmaûam”

Terjemahan:

Karena kebahagiaan tertinggi datang pada yogin yang pikirannya tenang, yang nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih bersatu dengan Tuhan [Bhagavadgita. VI.27].

Manusia yang lahir dan hidup di dunia ini memiliki tujuan, yang disebut dengan istilah tujuan hidup manusia. Manusia tidak sekedar dilahirkan dan setelah lahir dibiarkan begitu saja. Manusia dilahirkan, dipelihara, dibesarkan, dan dididik dalam lingkungan yang berbeda-beda. Pengalaman yang didapat dari pengaruh lingkungan sekitar manusia hidup dapat mengembangkan sikap mental dan cita-citanya. Sifat-sifat pribadi manusia, kemampuan dan kecenderungan, agama yang dianutnya, kebiasaan, ideologi dan politik bangsa, memberikan pengaruh besar terhadap tingkah laku manusia dalam mewujudkan tujuan hidupnya.

Tujuan hidup manusia di dalam Agama Hindu disebut “Purusartha”. “Purusha” berarti manusia, utama, dan “artha” berarti tujuan. Purusartha berarti tujuan hidup manusia yang utama. Kitab suci Veda menjelaskan sebagai berikut :

“Ùrddhvabàhurviraumyeûa na ca kacciûchrnoti me, dharmàdarthaûca kàmaûca sa kimartham na sevyate”.

Nihan mata kami mangke, manawai, manguwuh,

mapitutur, ling mami, ikang artha, kàma,

malamaken dharma juga ngulaha,

haywa palangpang lawan dharma mangkana ling mami,

ndatan juga angrëngo ri haturnyan ewëh sang makolah dharmasadhàna,

apa kunang hetunya.

Terjemahan:

Itulah sebabnya hamba, melambai-lambai; berseru-seru memberi ingat; kata hamba: “dalam mencari artha dan kama itu hendaklah selalu dilandasi oleh dharma; jangan sekali-kali bertindak bertentangan dengan dharma” demikian kata hamba; namun demikian, tidak ada yang memperhatikannya; oleh karena katanya, adalah sukar berbuat atau bertindak bersandarkan dharma, apa gerangan sebabnya? [Sarasamuçcaya,11]

“Yatnah kàmàrthamokûaóam

 krtopi hi vipadyate,

dharmmàya punararambhah

sañkalpopi na niûphalah”.

Ikang kayatnan ri kagawayaning kama,

artha, mwang moksa, dadi ika tan paphala,

kunang ikang kayatnan ring dharmasàdhana,

niyata maphala ika, yadyapin angena-ngenan juga,

maphala atika.

Terjemahan:

Usaha tekun pada kerja mencari kama, artha dan moksa, dapat terjadi ada kalanya tidak berhasil; akan tetapi usaha tekun pada pelaksanaan dharma, tak tersangsikan lagi, pasti berhasil sekalipun baru hanya dalam angan-angan, [Sarasamuçcaya,15].

Berdasarkan uraian tersebut diatas tentang tujuan hidup manusia, dapat dinyatakan bahwa ada 4 [empat]. Empat tujuan hidup manusia yang utama disebut “catur purusartha”. Catur purusartha terdiri dari; dharma, artha, kama, dan Moksa.

Bagaimana dengan tujuan Agama “Hindu”? Manusia adalah makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia bertanggung-jawab pada dirinya  sendiri,  sedangkan  sebagai  makhluk sosial manusia selalu berkeinginan untuk berinteraksi dengan sesamanya. Keinginan manusia berakar pada pikirannya. Dengan pikirannya manusia memiliki beraneka macam keinginan, seperti; ingin makan, minum, berteman, berkumpul, beragama dan yang lainnya. Mengapa kita berkeinginan untuk memeluk Agama Hindu? Apa tujuan Agama Hindu? Tujuan agama Hindu dirumuskan dalam satu kalimat singkat yaitu “Moksartham jagadhita yasca iti dharma” artinya “Dharma itu untuk mewujudkan Moksa [kebahagiaan] dan jagadhita [kebaikan/kesejahteraan dunia] masyarakat.

Untuk mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, umat sedharma dapat mencapainya dengan melaksanakan catur marga. Catur marga adalah empat cara atau jalan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Catur marga/yoga terdiri dari; karma marga/yoga, bhakti marga/yoga, jnana marga/yoga, dan raja marga/yoga.

Pengikut Raja Marga/Yoga berkewajiban untuk mengimplementasikan Astangga Yoga guna mewujudkan tujuannya. Mereka dapat menghubungkan diri dengan kekuatan rohaninya melalui Astanga Yoga. Astangga Yoga adalah delapan tahapan yoga untuk mencapai Moksa. Astangga yoga diajarkan oleh Maha Rsi Patanjali dalam bukunya yang disebut dengan Yoga Sutra Patañjali. Adapun bagian-bagian dari ajaran astangga yoga yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1]. Yama.

Yama yaitu suatu bentuk larangan atau pengendalian diri yang harus dilakukan oleh seorang dari segi jasmani, misalnya, dilarang membunuh [ahimsa], dilarang berbohong [satya], pantang mengingini  sesuatu  yang bukan miliknya [asteya], pantang melakukan hubungan seksual [brahmacari] dan tidak menerima pemberian dari orang lain [aparigraha].

“Yaccintayati yadyàti ratin badhnàti yatra ca,

tathà càpnotyayatnena prànino na hinasti yah.

Kunëng phalanya nihan,

 ikang wwang tan pamàtimàtin haneng ràt,

senangënangënya, sapinaranya, sakahyunya,

yatika sulabha katëmu denya,

tanulihnya kasakitan.

Terjemahan:

Pahalanya, orang yang tidak membunuh [menyakiti] selagi ada di dunia ini, maka segala sesuatu yang dicita-citakannya, segala yang ditujunya, segala sesuatu yang dikehendaki atau diingini olehnya, dengan mudah tercapai olehnya tanpa sesuatu penderitaan, [Sarasamuçcaya,142].

“Ànrcamsyaý kûmà satyamahinsà dama àrjavam,

pritih prasàdo màdhuryam màrdavaý ca yamà daça”.

Nyang brata ikang inaranan yama, pratyekanya nihan,

sapuluh kwehnya, ànresangsya, kûamà, satya, ahingsà,

dama, àrjawa, priti, prasàda, màdhurya, màrdawa,

nahan pratyekanya sapuluh, ànresangsya,

si harimbawa, tan swàrtha kewala; ksamà,

si kelan ring panastis; satya, si tan mrsàwàda;

ahingsà, manukhe sarwa bhàwa; dama, si upacama wruh mituturi manahnya; àrjawa, si dugà-dugabener;

 priti, si gong karuna; prasàda, beningning manah;

màduhurya, manisning wulat lawan wuwus;

màrdawa, pösning manah.

Terjemahan:

Inilah brata yang disebut yama, perinciannya demikian; ànresangsya, ksamà, satya, ahingsà, dama, àrjawa, priti, prasàda, màdhurya, màrdawa, sepuluh banyaknya; ànresangsya yaitu harimbawa, tidak mementingkan diri sendiri saja; ksamà, tahan akan panas dan dingin; satya, yaitu tidak berkata bohong [berdusta]; ahingsà, berbuat selamat atau bahagianya sekalian mahluk; dama, sabar serta dapat menasehati dirinya sendiri; àrjawa, adalah tulus hati berterus terang; priti, yaitu sangat welas asih; prasàda, adalah kejernihan hati; màdhurya, yaitu manisnya pandangan [muka manis] dan manisnya perkataan [perkataan yang lemah lembut]; màrdawa, adalah kelembutan hati, [Sarasamuçcaya, 259].

2]. Nyama.

Nyama yaitu bentuk pengendalian diri yang lebih bersifat rohani, misalnya Sauca [tetap suci lahir batin], Santosa [selalu puas dengan apa yang datang], Swadhyaya [mempelajari kitab-kitab keagamaan] dan Iswara pranidhana [selalu bakti kepada Tuhan].

“Dànamijyà tapo dhyànam

swàdhyàyopasthaningrahah,

vratopavasamaunam ca ananam ca niyama daûa”.

Nyang brata sapuluh kwehnya,

ikang niyama ngaranya, pratyekanya,

dàna, ijya, tapà, dhyana, swàdhyàya,

upasthanigraha, brata, upawàsa, mauna, snàna, nahan ta awakning niyama, dàna weweh, annadànàdi; ijyà,

Devapujà, pitrpujàdi, tapa kàyasangcosana,

kasatan ikang ûarira, bhucarya, jalatyagàdi,

dhyana, ikang siwaûmarana, swàdhyàya,

wedàbhyasa, upasthanigraha, kahrtaning upastha,

brata annawarjàdi, mauna wàcangyama,

kahrtaning ujar, haywàkeceng kuneng, snàna,

 trisangdhyàsewana, madyusa ring kàlaning sandhya.

Terjemahan:

Inilah brata sepuluh banyaknya yang disebut niyama, perinciannya; dàna, ijya, tapà, dhyana, swàdhyàya, upasthanigraha, brata, upawàsa, mauna, snàna, itulah yang merupakan niyama, dàna, pemberian makanan- minuman dan lain-lain; ijya, pujaan kepada Deva, kepada leluhur dan lain-lain sejenis itu; tapà, pengekangan nafsu jasmaniah, badan yang seluruhnya kurus kering, layu, berbaring di atas tanah, di atas air dan    di atas alas-alas lain sejenis itu; dhyana, tepekur merenungkan Çiwa; swàdhyàya, yakin mempelajari Veda; upasthanigraha, pengekangan upastha, singkatnya pengendalian nafsu seksual; brata/upawàsa, pengekangan nafsu terhadap makanan dan minuman; mauna/mona, itu wacanyama berarti menahan, tidak mengucapkan kata-kata yaitu tidak berkata-kata sama sekali tidak bersuara; snàna, trisandhyasewana, mengikuti trisandhya, mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan petang hari, [Sarasamuçcaya, 260].

3].  Asana;

Asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin [silasana, padmasana, bajrasana, dan sukhasana].

4]. Pranayama;

Pranayama, yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu puraka [menarik nafas], kumbhaka [menahan nafas] dan recaka [mengeluarkan nafas].

5]. Pratyahara;

Pratyahara, yaitu mengontrol dan mengendalikan indria dari ikatan objeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.

6]. Dharana;

Dharana, yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.

7]. Dhyana;

Dhyna, yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu objek. Dhyana dapat dilakukan terhadap Ista Devata.

8]. Samadhi;

Samaddhi, yaitu penyatuan atman [sang diri sejati dengan Brahman]. Bila seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan dapat menerima getaran-getaran suci  dan wahyu Tuhan.

Dalam kitab Bhagavadgita dinyatakan sebagai berikut:

“Yogi yuñjita satatam àtmànaý rahasi sthitaá,

 ekàki yata-citàtmà niràúir aparigrahaá”.

Terjemahan:

Seorang yogi harus tetap memusatkan pikirannya [kepada Atman yang Maha besar] tinggal dalam kesunyian dan tersendiri, menguasai     dirinya     sendiri,     bebas    dari angan-angan dan keinginan untuk memiliki [Bhagavadgita, VI.10].

Selanjutnya dijelaskan bahwa ketenangan hanya ada pada mereka yang melakukan yoga. Empat jalan yang ditempuh untuk pencapaian moksa itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh- sungguh. Setiap orang akan memiliki kecenderungan memilih jalan-jalan tersebut, maka itu setiap orang memiliki jalan mencapai moksanya bervariasi. Moksa sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji yang hampa, melainkan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan. Kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan instuisi yang dalam. Moksa merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya, demikianlah dijelaskan oleh kitab suci. Oleh sebab itu mari kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran Astangga Yoga dengan tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan dalam hal tersebut.

Moksa adalah terlepasnya Atman dari belenggu maya [bebas dari pengaruh karma dan punarbhawa] dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang  Maha Esa. Dalam hubungan dengan penyatuan dengan Tuhan, renungkanlah dan amalkanlah sloka berikut:

“Bhaktyà tvananyanyà úakya, ahaý evam-vidho: ‘rjuna, jñatuý draûþum cha tattvena praveûþuý cha paraýtapa”.

Terjemahan:

Akan tetapi dengan berbakti tunggal padaku,  O  Arjuna,  Aku  dapat  dikenal, sungguh dapat dilihat dan dimasuki ke dalam, O penakluk musuh [Bhagawadgita XI. 54].

Demikianlah ajaran kitab Astangga Yoga yang ditulis oleh Maharsi Patañjali, mengajarkan umat manusia agar mengupayakan dirinya masing-masing untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Siapapun juga akan dapat mencapai kesadaran tertinggi ini, apabila yang bersangkutan mau dan mampu melaksanakannya secara sungguh-sungguh.

Tantangan dan Hambatan Dalam Mencapai Moksa Sesuai Dengan Zamannya “Globalisasi”

Perenungan.

“Asakta-buddhiá sarvatra jitàtmà vigata-spåhaá, naiûkarmya-siddhiý paramàý sannyàsenàdhigacchati”.

Terjemahan:

“Orang yang kecerdasannya tidak terikat dimana saja, telah menguasai dirinya dan melepaskan keinginannya, dengan penyangkalan ia mencapai tingkat tertinggi dari kebebasan akan kegiatan kerja, [Bhagavagità, XVIII.49].

Membangun kehidupan spiritual dalam perilaku sehari-hari sering mengalami kendala, tantangan dan hambatan. Berbagai macam pertanyaan bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama generasi muda. Apakah untuk melakukan kegiatan spiritual kita harus meniadakan aktivitas keseharian “karma” bekerja sebagai wujud swadharma hidup ini? Benarkah bahwa aktifitas spiritual manusia itu akan berhasil dengan baik bila dilaksanakan setelah masa-masa tua [masa persiapan pensiun], mengingat saat itu seseorang telah memiliki waktu panjang serta berkurangnya tanggung-jawab dan kewajiban hidupnya? Bukankah sebaiknya penataan keseimbangan hidup manusia [rohani dan jasmani] dibangun sejak awal seirama dengan pembelajaran hidup ini? Kesenjangan hidup [rohani dan jasmani] mengantarkan terhambatnya pencapaian keseimbangan hidup seseorang.

Bagaimana tantangan untuk mencapai kebahagiaan hidup ini “Moksa” dapat teratasi dengan baik?

  1. Menjauhkan diri dari keterikatan materialistis.

Mengumpulkan harta-benda [material] untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berkecukupan dalam kehidupan ini merupakan hal yang baik, namun apabila kekayaan yang kita kumpulkan membuat orang lain menjadi menderita adalah tindakan yang kurang terpuji. Menjadikan  diri sebagai insan yang koruptor, pemeras, membuat masyarakat miskin dan menderita adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan tujuan hidup “Moksa”. Sikap dan tindakan seseorang yang suka berlebihan mengumpulkan materi mengantarkan yang bersangkutan susah mewujudkan kebahagian yang dicita-citakannya.

  1. Mengutamakan aktivitas yang bernuansakan spiritual.

Menjadi  orang  yang  kreatif,  rajin,  tekun,  dan cekatan  yang  bernafaskan  keagamaan  dan kemanusiaan dapat mengantarkan yang bersangkutan mampu mewujudkan kebahagiaan hidupnya. Namun apabila sebaliknya, seperti rajin, tekun, pekerja keras hanya untuk memenuhi ambisi semata, lupa dengan kewajiban hidup beragama tentu berakibat tidak baik, dan sekaligus dapat mengantarkan yang bersangkutan  menjadi  insan  yang   menderita.

Oleh karena itu bila kita memutuskan diri menjadi orang-orang rajin mendapatkan harta-benda jangan  pernah  lupa  untuk  rajin  mendekatkan diri kepada Sang Pencipta guna memohon keteduhan dalam hidup ini. Datanglah ke Pura [tempat suci] untuk melakukan aktivitas keagamaan dengan tulus. Walaupun disibukkan dengan kegiatan duniawi akan tetapi jangan pernah lupa mengimbanginya dengan kegiatan spiritual.

  1. Jauhkan dan hindarkanlah diri dari tindakan tidak

Tindakan manusia terpuji adalah menjauhkan diri dari kebodohan [Punggung], iri hati [Irsya], dan marah [Krodha] serta sifat-sifat negatif yang lainnya seperti ‘mabuk, berjudi, bermain wanita, dan bertindak anarkis’ karena dapat mengantarkan seseorang menjadi insan yang nista.

Manusia sepatutnya selalu berusaha untuk menjadi insan yang terpuji, sebab pada dasarnya setiap kelahiran manusia adalah baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberikannya berbagai macam predikat kepada manusia, seperti; manusia adalah makhluk: [individu, berpikir, religius, sosial, berbudaya] dan yang lainnya, [Wigama dkk, 1995:204].

Semestinya kita patut bersyukur dilahirkan hidup menjadi manusia, karena hanya yang menjadi manusia saja yang dapat berbuat baik atau melebur perbuatan yang buruk menjadi baik. Kitab suci Veda menjelaskan sebagai berikut;

“Mànusah sarvabhùteûu varttate vai ûubhàúubhe,

aúubheûu samaviûþam úubhesvevàvakàrayet.

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wënang gumawayaken ikang subhasubhakarma, kuneng panëntasakëna ring úubhakarma juga ikangaúubhakarma phalaning dadi wwang”.

Terjemahan:

Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya [phalanya] menjadi manusia, [Sarasamuçcaya, 2].

“Iyam hi yonih prathamà yonih pràpya jagatipate,

àtmànam ûakyate tràtum karmabhih úubhalakûaóaih.

Apan iking dadi  wwang, uttama  juga ya, nimittaning mangkana,  wënang  ya tumulung awaknya sangkeng sangsàra, makasàdhanang úubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”.

Terjemahan:

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara [lahir dan mati berulang-ulang] dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia, [Sarasamuçcaya, 4].

Sebagai akibat dari kemampuan untuk memilih yang dimiliki oleh manusia, mengakibatkan manusia dapat meningkatkan kehidupannya dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dan akhirnya sampai manusia dinyatakan memiliki kedudukan yang paling tinggi [istimewa] dari semua makhluk yang ada. Meskipun demikian bukan berarti pula manusia akan terlepas sama sekali dari perbuatan-perbuatannya yang kurang baik.

Secara kodrati kelahiran manusia dilengkapi dengan: sifat tri guna yakni tiga sifat utama [sattwam; ketenangan, rajas; dinamis, dan tamas; lamban]. Ketiga sifat utama ini hendaknya terjaga keseimbangannya untuk tidak menjadi memicu tumbuh dan berkembangnya sad ripu yaitu enam musuh utama yang ada pada setiap manusia, yang terdiri dari: kāma; nafsu, lobha; tamak, krodha; kemarahan, mada; kemabukan, moha; kebingungan, matsarya; iri-hati.

“Yo durlabhataram pràpya mànusyam lobhato narah, dharmàvamantà kàmàtma bhavet sakalavañcitah”.

Hana pwa tumënung dadi wwang, wimukha ring dharmasadhana, jënëk ring arthakàma arah, lobhambëknya, ya ika kabañcana ngaranya.

Terjemahan:

Bila ada orang berkesempatan menjadi orang [manusia], ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia mengejar harta dan kepuasan nafsu dan berhati tamak; orang itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar [Sarasamuçcaya, 9].

Dalam hidup dan kehidupan ini manusia dihadapkan pada banyak faktor kemungkinan untuk menjadi kurang baik. Kemungkinan yang dimaksud seperti; kebodohan, kemiskinan, dan kemelaratan yang disebabkan oleh karena. kelelahan, lingkungan yang kurang bersahabat, dan juga karena keinginan yang tidak terkendali. Semuanya itu mengantarkan manusia dapat diliputi oleh kegelapan [awidya/timira] dan kebingungan.

Disebutkan ada 7 [tujuh] macam sifat manusia secara kodrati dapat mengantarkan hidup manusia menjadi awidya, gelap, suram, timira yang dikenal dengan istilah “sapta timira”. Yang disebut sapta timira antara lain; surupa; ketampanan/kecantikan, dana; kekayaan, guna; kepandaian, kulina; kebangsawanan, yowana; keremajaan, sura; minuman keras, dan kasuran; kemenangan. Ketujuh unsur/sifat alami itulah yang mengantarkan manusia menjadi awidya atau gelap sebagai akibat dari kebodohannya.

“Ajñànaprabhavam hidaý yadduhkhamupalabhyate, lobhàdeva tad ajñànam ajñàna lobha eva ca.

Apan ikang sujhaduhkha kabhukti, punggung sangkanika, ikang punggung, kalobhan sangkanika, ikang kalobhan, punggung sangkanika     matangnyan

punggung sangkaning sangsàra.

Terjemahan:

Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan; kebodohan ditimbulkan oleh lobha, sedang lobha [keinginan hati] itu kebodohan asalnya; oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu [Sarasamuçcaya, 400].

Tujuh macam sifat awidya atau kegelapan yang ada pada manusia apabila tidak dapat dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai-macam tindakan kejam. Disebutkan manusia memiliki enam peluang untuk bertindak kejam apabila keberadaan sapta timira tidak terkendalikan. Enam tindakan kejam itu disebut dengan istilah sad atatayi, yang terdiri dari: agnidā; membakar, wisada; meracun, atharwa; mensihir, çastraghna; mengamuk, dharatikrama; memperkosa, rajapisuna; memfitnah.

Menjadi pekerja aktif dengan jabatan sebagai atasan kurang memungkinkan untuk melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan oleh berbagai macam aktivitas kantor. Perilaku seseorang kadang menyimpang dari dharma akibat tugas yang diberikan oleh majikan untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan atasan [pihak manajemen]. Biasanya pada saat menjabat semestinya seseorang dapat memanfaatkan kesempatan untuk menegakkan dharma. Setiap keputusan yang diambil oleh seorang atasan seharusnya menguntungkan masyarakat banyak.

Terkadang banyak orang yang kurang sabar  dalam  mengumpulkan  harta dari pekerjaan yang ditekuninya, seperti dengan mengambil jalan pintas melakukan korupsi, kolusi, nepotisme [KKN]. Berdasarkan dharma, dalam mengumpulkan harta tidak harus dengan korupsi. Tidak sedikit orang menjadi kaya tanpa korupsi, karena mereka berusaha dengan profesional   dan hasil usahanya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak seperti dengan mendirikan yayasan untuk orang yang tidak mampu [fakir miskin] atau mendirikan sekolah yang dapat menunjang pendidikan demi masa depan anak-anak bangsa ini.

Sikap dan perilaku yang diwujudkan oleh seseorang seperti tersebut di atas [mendirikan yayasan fakir miskin] berarti yang bersangkutan telah mampu membangun spiritualnya dan sekaligus dapat mengendalikan sifat-sifat awidya yang dimilikinya. Agar manusia tidak terjerumus ke penderitaan sebagai akibat dari kebodohan, dan kegelapannya di tengah-tengah arus globalisasi yang serba terbuka maka ia berkewajiban untuk meningkatkan kecerdasan intelektual dan religiusnya. Umat sedharma hendaknya selalu dapat meningkatkan diri untuk belajar, menumbuh kembangkan kebijaksanaannya, memohon tuntunan-Nya untuk berlatih berpikir jernih, berketetapan hati, dan selalu bersikap baik “dharma” serta sikap positif yang lainnya. Dengan demikian umat sedharma akan selalu tenang, sabar, dan penuh kedamaian dalam mewujudkan tujuan hidup dan tujuan agamanya.

Untuk mencapai moksa seseorang dapat memilih salah satu diantara Catur Marga Yoga. Apakah melalui Jnana Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Bakti Marga Yoga dan Raja Marga Yoga, diharapkan dapat disesuaikan dengan kemampuan serta bidang yang digeluti saat ini. Pada saat perang Berata  Yuda sudah berakhir, dimana kemenangan berada dipihak Pandawa, semua musuh-musuhnya sudah kalah perang tinggal Pendawa yang hidup. Yudistira sebagai pemimpin Pandawa memutuskan pergi kehutan untuk mengasingkan diri dengan maksud mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan mengikuti ajaran Raja Marga Yoga sebagai salah satu bagian dari Catur Marga Yoga. Arjuna sebagai orang yang bijaksana yang mempunyai visi   dan misi jauh kedepan menganjurkan kepada Prabu Yudistira agar kembali untuk memimpin kerajaan. Untuk mencapai moksa tidak harus pergi ke hutan bersemadi atau beryoga, di dalam kerajaan pun dengan berbuat baik dan menegakkan kebenaran “dharma” moksa dapat dicapai.

“Kamarthau lipsamànastu dharmmamevàditaûcaret,

na hi dharmmàdapetyarthah kàmo vapi kadàcana”

Yan paramarthanya, yan arthakàma sàdhyan, dharma juga lëkasakëna rumuhun, niyata katëmwaning arthakàma mëne tan paramàrtha wi katemwaning arthakàma deninganasar sakeng dharma.

Terjemahan:

Pada hakikatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu; tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti; tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma [Sarasamuçcaya, 12].

            Keterikatan adalah moha, kebebasan adalah moksa. Selama kita masih awidya dan terikat oleh hal-hal duniawi maka, moksa sangat sulit untuk tercapai. Kesulitan untuk melepaskan keterikatan itu, dapat diatasi dengan latihan- latihan secara rutin. Untuk mengendalikan Sad Ripu tidak mudah, karena membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk selalu melakukan introspeksi terhadap diri kita sendiri, dan evaluasi diri sejauh mana telah dilakukan latihan-latihan kearah pengendalian diri yang dimaksud. Melaksanakan ajaran Catur Marga Yoga memang membutuhkan mental yang  tangguh, tidak mudah menyerah, dan harus mengetahui kemampuan yang dimiliki. Seseorang sebaiknya harus mengetahui bakat yang dikaruniakan oleh Hyang Widhi Wasa kepadanya, sehingga dalam melaksanakannya sesedikit mungkin mendapat halangan atau kendala. Dengan demikian dalam waktu yang relatif singkat kita sudah dapat melakukannya mendekati sempurna walaupun belum mencapai moksa tetapi sudah dirasakan hasilnya.

Moksa merupakan sraddha yang ke lima dari Panca Sraddha sebagai dasar keyakinan bagi umat Hindu. Percaya dengan adanya moksa berarti meyakini bahwa kebahagiaan itu ada, terjadi, dan dapat dicapai oleh setiap umat Hindu. Moksa merupakan tujuan hidup tertinggi dari umat Hindu.  Kebahagiaan yang sejati ini baru akan dapat tercapai oleh seseorang bila ia telah dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan. Penyatuan Jiwa dengan Tuhan itu baru akan didapat bila ia telah melepaskan semua bentuk ikatan keduniawian pada dirinya. Keterikatan yang melekat pada diri kita itulah yang dinamakan maya atau kepalsuan. Maya dalam Agama Hindu juga dinamakan sakti, prakrti, kekuatan dan pradhana. Maya selalu mengalami perubahan yang pada hakikatnya tidak ada. Keberadaannya semata-mata disebabkan oleh adanya hubungan indria dengan objek duniawi ini. Keterikatan akan kekuatan maya atau kepalsuan duniawi merupakan hambatan bagi umat sedharma untuk mewujudkan ‘moksa’.

D. Upaya-Upaya dalam Mengatasi Hambatan dan Tantangan Untuk Mencapai Moksa Menurut Zamannya“Globalisasi”

Perenungan.

“yataá pravåttir bhùtànaý yena sarvam idaý tatam, sva-karmaóà tam abhyarcya siddhiý vindati mànavaá.

Terjemahan:

Dia dari siapa datangnya semua insani oleh siapa semuanya ini diliputi; dengan memuja-Nya dengan kewajibannya sendiri, manusia mencapai kesempurnaan [Bhagavagità, XVIII.46].

Setiap orang yang menyatakan diri sebagai umat Hindu berkewajiban untuk mengamalkan ajaran agamanya. Kewajiban mengamalkan ajaran agama seperti  ini  telah  dilaksanakan  secara  turun-temurun  sejak  nenek  moyang

ada. Kebiasaan nenek moyang diwarisi oleh generasi ke generasi berikutnya. Kebenaran dari keyakinannya beragama seperti itu dipandang memberikan manfaat positif bagi keselamatan dan kelangsungan hidupnya.

Lima dasar keyakinan umat Hindu disebut dengan istilah Panca Sraddha. Dalam uraian ini akan membahas tentang sraddha yang ke lima, yaitu percaya dengan adanya moksa. Apakah moksa itu? Upaya apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi tantangan dan hambatan dalam mewujudkan moksa?

Moksa adalah bersatunya atman dengan Brahman, tercapainya keadaan sat cit ananda, terwujudnya kebahagiaan yang abadi, suka tanpa wali dukha. Moksa adalah mukti atau kelepasan. Kondisi seperti inilah yang disebut dengan nama moksa. Moksa adalah tujuan yang tertinggi bagi umat beragama Hindu. Umat Hindu meyakini bahwa moksa merupakan sraddha yang utama setelah Brahman. Umat Hindu yakin bahwa “moksa” bukan saja hanya dapat dicapai setelah meninggal dunia [dunia akhirat], namun demikian dalam kehidupan sekarang pun [semasih hidup] dapat dicapai, yang disebut dengan nama “jiwam mukti”.

Dengan mempedomani diri dan mengamalkan ajaran cinta kasih serta ketidak terikatan akan ilusi dunia ini secara berkesinambungan seseorang dapat mencapai moksa. Kata moksa mudah diucapkan namun sulit diwujudkan dalam kehidupan ini. Betapapun sulitnya sesuatu itu pasti dapat wujudkan, bila diupayakan dengan niat suci, tekun, disiplin, sungguh-sungguh dan berlandaskan kitab suci. Renungkanlah mantram berikut ini;

“Oý āyur vrddhir yaúo våddhir, våddhir prajña sukha úriyaý, dharma Santāna våddhih syāt, santu te sapta-våddhayah.”

“Oý yāvan merau sthito devah, yāvad ganggā mahitale. Candrārkau gagane yāvat, tāvad vā vijayi bhavet.

“Oý dirghāyur astu tathāstu, “Oý avighnam astu tathāstu, “Oý úubham astu tathāstu, “Oý sukhaý bhavatu, “Oý pùróam bhavatu, “Oý úreyo bhavatu, sapta våddhir astu tad astu astu svāhā.

Terjemahan:

Ya Tuhan, semoga bertambah dalam usia, bertambah dalam kemasyuran, bertambah dalam kepandaian, kegembiraan, dan kebahagiaan, bertambah dalam dharma dan keturunan, tujuh pertambahan semoga menjadi bagianmu Ya Tuhan,

Selama Tuhan bersemayam di Gunung Mahameru, selama Sungai Gangga berada di dataran bumi, selama Matahari dan Bulan berada di langit, selama itu semoga seseorang mendapat kejayaan.

Ya Tuhan, semoga panjang umur, semoga demikian, Ya Tuhan, semoga tiada rintangan, semoga demikian, Ya Tuhan, semoga baik, semoga demikian. Ya Tuhan, semoga bahagia, Ya Tuhan, semoga sempurna, Ya Tuhan, semoga rahayu, Semoga tujuh pertambahan terwujud [Sùrya sevana C.Hooykaas, 2002.146].

Untuk dapat mencapai moksa, seseorang harus memahami, mempedomani, dan mematuhi persyaratan-persyaratan dalam aktifitas hidupnya, sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma-norma ajaran Agama Hindu. Adapun tanda-tanda atau ciri-ciri seseorang yang telah mencapai “moksa” atau mencapai jiwatman mukti adalah;

  1. Selalu dalam keadaan tenang secara lahir maupun
  2. Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun
  3. Tidak terikat dengan
  4. Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain [masyarakat banyak].

Untuk mencapai moksa, juga disebutkan mempu

mempunyai tingkatan-tingkatan yang tergantung dari karma [perbuatannya] seseorang selama hidupnya, apakah sudah sesuai dengan norma-norma ajaran Agama Hindu. Tingkatan-tingkatan moksa yang dicapai oleh seseorang dapat dikategorikan sebagai berikut;

  1. Moksa; apabila seorang sudah mampu mencapai kebebasan rohani dengan meninggalkan badan kasar [jasad].
  2. Adi Moksa; apabila seorang sudah mencapai kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan jasad tetapi meninggalkan bekas-bekas misalnya abu, dan atau
  3. Parama Moksa; apabila orang yang bersangkutan telah mencapi kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan badan kasar [jasad] serta tidak

“Buddhilàbhàddhi puruûah sarvaý tarati kilbisam, vipàpo labhate sattvam sattvasthah samprasidati.

Apan ika sang tëlas tumenung kaprajnàn, hilang kalangkaning jñànanira, niûkalangka pwa jñànànira, katëmu tang sattwaguóa denira, sattwa kewale, tan karakëtan, rajah tamah, sattwa ngaraning satah bhàwah, si uttamajnànà, citta sat swabhawa, tar kakenantrsnàdi, katëmu pwang sattwaguóa denira, prasannàtmaka ta sira, tan karaket ring ûarira, luput ring karmaphala.

Terjemahan:

Karena orang yang telah mendapat kearifan budi, lenyap segala noda pikirannya; tanpa noda [suci bersih] budi pikiranya, maka sifat “sattwa” diperolehnya; sifat sattwa saja tidak dicampuri [dilekati] sifat “rajah-tamah”; sattwa artinya sifat baik, yaitu budi pikiran utama, pikiran berpembawaan baik, tidak dihinggapi trsna [kehausan hati] dan sejenisnya; jika telah didapat olehnya sifat sattwa, maka ia berjiwa suci bersih, tidak terikat pada badan kasar, bebas dari karmaphala [buah perbuatan], [Sarasamuçcaya, 507].

“úraddhàvàn anasùyaú ca úåóuyàd api yo naraá,

so ‘pi muktaá úubhàmlokàn pràpnuyàt puóya-karmaóàm. Terjemahan:

Orang yang mempunyai keyakinan dan tidak mencela, orang seperti itu walaupun sekedar hanya mendengar, ia juga terbebas, mencapai dunia kebahagiaan manusia yang berbuat kebajikan [Bhagawadgita XVIII.71].

Adapun upaya-upaya yang patut dilakukan dalam mengatasi hambatan dan tantangan untuk mencapai moksa sampai dengan sekarang ini adalah:

Memuja kebesaran dan kesucian Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta prabhawanya adalah merupakan kewajiban bagi setiap umat beragama “Hindu”. Semakin dekat kita dengan-Nya, maka semakin merasa tenteram damai hidup kita ini. Ada banyak jalan atau cara yang dapat kita lalui untuk mewujudkan semuanya itu, diantaranya melalui sembahyang sesuai dengan waktunya, melaksanakan upawasa, merenungkan keberadaan Hyang Widhi beserta prabhawa-Nya.

Mendalami berbagai cabang ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangannya adalah merupakan kewajiban setiap insan yang dilahirkan    sebagai    manusia.    Kemajuan    Ilmu    pengetahuan   dan teknologi yang berkembang sampai saat ini dapat dijadikan media oleh manusia yang dilahirkan dengan kesempurnaan yang terbatas, untuk menyelesaikan berbagai macam tantangan dan hambatan yang sedang dan akan dihadapinya guna mewujudkan cita-cita hidupnya. Oleh karenanya manusia hendaknya dengan senang hati, penuh semangat, tekun dan penuh kesabaran mempersiapkan waktunya untuk belajar sepanjang hayat, sebab tidak ada kata terlambat untuk belajar kebaikan.

  1. Melaksanakan/mewujudkan Dharma.

Dalam ajaran Catur Parusàrtha dijelaskan bahwa tujuan  umat  sedharma beragama Hindu adalah terpenuhinya kama, artha dan moksa berdasarkan dharma. Bagaimana dharma, dapat ditegakkan? Setiap tindakan wajib berdasarkan kebenaran, tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Bagawad Gita menjelaskan bahwa dharma dan kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa di mana ada dharma, di sana ada kebajikan dan kesucian, di mana kewajiban dan kebenaran dipatuhi di sana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma juga, maka kehidupan hendaknya selalu ditempuh dengan cara yang suci dan terhormat.

Di saat ini, banyak orang seakan bersikap mengabaikan kebenaran. Orang sudah mulai menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan nya. Ini menandakan krisis moral sudah meraja lela di mana mana, kebenaran dan keadilan semakin langka. Orang-orang sudah mulai meninggalkan budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya dharma tidak pernah berubah, dharma tetap ada sejak zaman dahulu, sekarang dan yang akan datang. Dharma ada sepanjang zaman tetapi mempunyai karateristik menyesuaikan setiap zaman. Melakukan latihan kerohanian [spiritual] untuk Kerta Yuga yang baik adalah dengan melakukan latihan Meditasi. Pada zaman Treta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban. Untuk zaman Dwapara latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk zaman Kali Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang- ngulangi menyebut nama Tuhan.

  1. Mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa

Proses mendekatkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa, umat sedharma dapat melakukan dengan cara; Darana [menetapkan cipta], Dhyana   [memusatkan   cipta],   dan   Semadi   [mengheningkan cipta].

Dengan melakukan latihan rohani seperti ini secara sungguh-sungguh dan bekesinambungan, batin yang bersangkutan, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat-sifat Tuhan yang selalu ada dalam dirinya. Apabila sifat-sifat Tuhan sudah menyatu dengan pemujanya maka ia sudah dekat dengan-Nya, dengan demikian semua permohonan nya dapat dikabulkan [terlindung dan selamatan].

  1. Menumbuhkembangkan kesucian [Jiwa dan raga]

Untuk memperoleh pengetahuan suci dari Sang Hyang Widhi Wasa, umat sedharma hendaknya selalu berdoa memohon

Wasa, umat sedharma hendaknya selalu berdoa memohon tuntunan-Nya. Buku Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan menjelaskan : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya, artinya; Tuntunlah kami dari yang palsu ke  yang  sejati,  tuntunlah  kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan [Titib, 1996 : 701].

Sebaiknya setiap akan melakukan kegiatan didahului dengan memohon tuntunan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, agar kita selalu dalam keadaan selamat dan terlindungi. Tujuannya adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Paramàtman. Semuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan dharma “Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah” tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan umat berdasarkan dharma.

  1. Mempedomani dan melaksanakan Catur Marga

Moksa [hidup bahagia] dapat diwujudkan atau ditempuh dengan beberapa cara sesuai dengan bakat dan bidang yang ditekuni oleh umat sedharma. Disebutkan ada empat cara yang patut dipedomani dan dilaksanakan untuk mewujudkan hidup bahagia yang disebut dengan Catur Marga/ Yoga, yang terdiri dari:

Bhakti marga/yoga adalah jalan atau cara untuk mencapai moksa, kebebasan, bersatunya atman dan Brahman dengan melaksanakan sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Bhakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamrih dan tanpa keinginan duniawi apapun juga

Cara atau jalan untuk mencapai moksa [bersatunya Atman dengan Brahman], dengan selalu berbuat baik [tidak mengharapkan balasan], hasil yang diperoleh diabdikan untuk kepentingan bersama [amerih sukaning wonglen] disebut Karma Marga Yoga..

Jnana Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan Paramatman [Tuhan] berdasarkan atas pengetahuan [kebijaksanaan filsafat] terutama pengetahuan kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi [maya].

Raja marga yoga adalah cara atau jalan untuk mencapai moksa dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadi. Mengendalikan diri, untuk mengatasi gejolak sadripu yang bersemayam dalam diri kita dengan melakukan latihan tapa, brata, yoga, dan semadi dapat mengantarkan seseorang menumbuhkan dan mengembangkan kesabaran untuk mencapai ketenangan dalam hidupnya. Ketenangan adalah jalan utama bersatunya atman dengan Brahman.

  1. Contoh-Contoh Orang yang Dipandang Mampu Mencapai Moksa

Perenungan.

Aham àtmà guðàkeúa sarva-bhùtàúya-sthitaá,

aham àdiú cha madhyaý ca

bhùtànàm anta eva cha

Terjemahan:

Aku adalah Sang Diri yang ada dalam hati semua makhluk, wahai Gudakesa, Aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua makhluk [Bhagawadgita X.20].

Tuhan “Brahman” telah menciptakan semua yang ada ini. Pada semua ciptaan- Nya beliau bersemayam untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Pada saatnya nanti semua yang diciptakan ini kembali kepada-Nya.

Tujuan hidup umat Hindu ialah dapat mewujudkan catur purusartha, kebahagiaan lahir dan batin [moksartham jagadhita]. Kebahagiaan batin yang tertinggi ialah bersatunya atman dengan Brahman yang disebut moksa. Moksa atau mukti atau nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian, dan belenggu maya/penderitaan hidup keduniawian. Bersatunya atman dengan Brahman adalah tujuan terakhir atau tertinggi bagi umat Hindu. Tujuan tertinggi umat Hindu ini dapat dicapai dengan menghayati dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar, melaksanakan sembahyang batin dengan menetapkan cipta [dharana], memusatkan cipta [dhyana] dan mengheningkan cipta [semadhi]. Mokûa adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu melampaui atau lepas bebas dari segala sesuatu yang ada di dunia. Manusia tidak lagi terikat oleh keindahan dunia. Pandangan ini sejalan dengan kisah yang dialami banyak tokoh dalam cerita rama-sitha.

Tokoh Rama, yang digambarkan sebagai seorang yang bijaksana dan tidak lagi terikat dengan hal-hal duniawi. Ketika rama dijemput adiknya dan hendak dijadikan seorang raja namun rama menolaknya. Tokoh Anoman yang digambarkan selalu taat dan setia menjalankan kewajibannya [dharma] sebagai duta Rama ketika diutus mencari kabar tentang Devi sitha yang diculik Rahwana.

Masing-masing pribadi dari umat Hindu yang telah mencapai jiwa mukti dalam hidupnya tidak lagi terikat pada gelombang kehidupan di dunia ini. Baginya bekerja adalah sebagai pemujaan kepada Tuhan dan semua hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Mereka memiliki pandangan yang sama terhadap keberhasilan dan kegagalan, terhadap suka dan duka, memiliki sifat cinta kasih terhadap semua yang ada di dunia ini. Dalam hubungan ini baca dan hayatilah sloka berikut:

Man-manà bhava mad-bhakto mad-yàji màý namoskuru, màm evai ûyasi yuktvai vam àtmànaý matparàyaóaá.

Terjemahan:

Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, sembahlah Aku sujudlah pada-Ku. Setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan, engkau akan datang padaku [Bhagawadgita IX. 34].

Seseorang yang telah mencapai jiwa mukti segala perbuatannya dipandang telah berubah menjadi Yoga dan dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi orang yang telah mencapai moksa atau kebahagiaan hidup ini, yang bersangkutan selalu berfikir, berbicara dan berbuat senafas Brahman. Orang suci yang telah mencapai kesadaran dirinya yang sejati adalah mereka yang telah mencapai jiwa mukti. Ia telah mempersembahkan setiap pikiran, ucapan dan perbuatannya kepada Tuhan, dan dengan demikian segala perbuatannya akan menjadi ibadah.

Namun bagi masyarakat kebanyakan “biasa” yang belum mencapai kesadaran jiwa mukti, maka semua yang dikerjakannya merupakan sesuatu yang masih terikat dengan hasilnya. Mereka menganggap, semua fikiran, ucapan dan pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya diharapkan memberikan fasilitas yang diinginkan. Mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada ini diliputi dan dikuasai oleh kebutuhan. Seseorang yang demikian sesungguhnya adalah orang yang masih dipenuhi oleh sifat-sifat egoisme. Pekerjaan yang dilandasi oleh rasa egoisme dapat mendatangkan malapetaka dan penderitaan.

Sehubungan dengan hal itu baca, renungkan dan amalkanlah dalam hidup ini baik-baik sloka berikut:

Måityuá sarva-haraú càham udbhavaú ca bhavisyatàm, kirtiá úrir vàk cha nàrióàm småitir medhaa dhåtiá kûamà.

Terjemahan:

Aku ini kematian yang meliputi segala ciptaan, dan Aku ini asal mula yang akan ada nanti, dan dari sifat-sifat wanita, Aku adalah kemasyhuran, kemakmuran, ucapan, ingatan, kecerdasan, ketetapan dan kesabaran [Bhagawadgita X.34].

Dalam hubungan ini hendaklah mereka yang telah mencapai jiwa mukti dapat menuntun mereka-mereka yang belum mencapainya, sehingga hidupnya lebih berarti dan bermanfaat, serta secara pelan tetapi pasti akan menuju pada kesempurnaan.

yad-yad vibhùtimat sattvaý úrimad ùrjitam eva và,

tat-tad evàvagaccha tvam

mama tejo-‘ýsa-úaýbhavam.

Terjemahan:

Apapun yang memiliki kemuliaan, kemakmuran dan kekuasaan; ketahuilah bahwa semuanya itu, ini berasal dari sepercik kecemerlangan-Ku, [Bhagawadgita X.41].

Was this article helpful?

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề