Terjadinya inflasi yang tinggi pada masa Demokrasi Terpimpin disebabkan oleh adanya kebijakan

Ilustrasi Inflasi. kemenkeu.co.id

TEMPO.CO, Jakarta - Perekonomian dan tingkat penjualan yang tidak stabil dalam sebuah negara rentan menjadi penyebab inflasi. Kondisi inflasi ini sangat dihindari oleh negara karena akan memicu terjadinya krisis ekonomi ringan hingga berat. Negara harus mampu mencegah inflasi karena bisa menimbulkan berbagai macam masalah.

Menurut Bank Indonesia, secara sederhana inflasi diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya. Dikutip dari berbagai sumber, berikut faktor penyebab inflasi dalam perekonomian:

1. Inflasi Tarikan Permintaan [Demand-Pull Inflation]

Inflasi ini dikenal juga dengan nama Philips Curve Inflation. Secara umum inflasi ini disebabkan karena penawaran dan permintaan terhadap barang atau jasa di dalam negeri untuk jangka panjang yang dibutuhkan masyarakat dengan jumlah besar. Inflasi ini umum terjadi di negara dengan pertumbuhan perekonomian pesat. Kesempatan kerja tinggi menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat tinggi.

2. Inflasi Dorongan Biaya [Cost-Push Inflation]

Inflasi ini diakibatkan karena adanya dorongan kenaikan biaya produksi dalam jangka waktu tertentu secara terus menerus. Secara umum, inflasi kenaikan biaya produksi disebabkan karena desakan biaya faktor produksi yang terus naik. Inflasi jenis ini biasa terjadi di negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sedang berkembang atau tumbuh pesat namun dengan angka pengangguran yang cukup rendah. Di negara ini seperti ini, supply tenaga kerja terbatas namun permintaan akan suatu barang produksi tinggi.

3. Bertambahnya Jumlah Uang Beredar [JUB]

Teori ini dikemukakan oleh kaum klasik yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara jumlah uang yang beredar dengan harga-harga. Jika jumlah barang tetap namun jumlah uang yang beredar lebih besar dua kali lipat maka harga barang pun menjadi lebih mahal dua kali lipat.

4. Inflasi Campuran [Mixed Inflation]

Inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan penawaran dan permintaan. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Ketika permintaan terhadap suatu barang atau jasa bertambah, kemudian mengakibatkan penyediaan barang dan faktor produksi menjadi turun. Sementara itu, pengganti atau substitusi untuk barang dan jasa tersebut terbatas atau tidak ada. Keadaan yang tidak seimbang ini akan menyebabkan harga barang dan jasa menjadi naik.

5. Inflasi Ekspektasi [Expected Inflation]

Inflasi ekspektasi terjadi sebagai akibat perilaku masyarakat yang berpendapat bahwa kondisi ekonomi di masa yang akan datang akan menjadi lebih baik lagi. Inflasi jenis ini tergolong sulit untuk dideteksi karena kejadiannya tidak terlalu signifikan.

6. Struktural Ekonomi yang Kaku

Produsen tidak bisa mencegah dengan cepat kenaikan permintaan yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk. Akhirnya permintaan sulit dipenuhi saat ada pertumbuhan jumlah penduduk.

7. Kekacauan Ekonomi dan Politik

Bila suatu negara dalam kondisi yang tidak aman, harga-harga barang di negara tersebut cenderung mahal. Hal ini juga pernah terjadi di Indonesia ketika ada kekacauan politik dan ekonomi pada tahun 1998. Pada masa tersebut, level inflasi di Indonesia mencapai 70 persen padahal level inflasi yang normal berkisar antara 3 hingga 4 persen.

8. Keputusan Perusahaan

Terkadang inflasi terjadi secara alami ketika pasokan menurun dan permintaan meningkat, tetapi di lain waktu inflasi diatur oleh perusahaan. Perusahaan yang membuat barang-barang populer sering menaikkan harga hanya karena konsumen bersedia membayar jumlah yang meningkat. Perusahaan juga menaikkan harga secara bebas ketika barang yang dijual adalah sesuatu yang dibutuhkan konsumen untuk keberadaan sehari-hari, seperti minyak dan gas.

9. Utang Nasional

Ketika utang suatu negara meningkat, pemerintah memiliki dua opsi: mereka dapat menaikkan pajak atau mencetak lebih banyak uang untuk melunasi hutang. Kenaikan pajak akan menyebabkan bisnis bereaksi dengan menaikkan harga untuk mengimbangi kenaikan tarif pajak perusahaan. Atau, jika pemerintah memilih opsi yang terakhir, mencetak lebih banyak uang akan mengarah langsung pada peningkatan jumlah uang beredar, yang pada gilirannya akan mengarah pada devaluasi mata uang dan kenaikan harga.

10. Luar Negeri

Inflasi juga dapat berasal dari sumber eksternal, misalnya kenaikan berkelanjutan dalam harga minyak mentah atau komoditas impor lainnya, bahan makanan dan minuman. Inflasi ini disebut imported inflation.

WINDA OKTAVIA

Baca: Bank Indonesia Perkirakan Inflasi 0.15 Persen Pada Mei 2021

Hiperinflasi Indonesia 1963-1965 adalah sebuah hiperinflasi yang terjadi di Indonesia pada akhir masa Orde Lama, tepatnya pada era Demokrasi Terpimpin. Dengan latar belakang ambisi proyek mercusuarnya, Presiden Indonesia Sukarno mencetak Rupiah hingga inflasi pada saat itu mencapai 600% sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan penyederhanaan nilai rupiah [Redenominasi] dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah.

Artikel utama: Sejarah Indonesia [1959–1965]

Selama masa kolonialisme Belanda, terdiri dari beberapa kekuatan politik yakni militer, nasionalis, Islamis, dan komunis. Namun, mereka mengkesampingkan perbedaan-perbedaan mereka untuk melawan satu musuh bersama yakni pemerintah Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, perpecahan kembali muncul. Melalui konsep Pancasila, Sukarno mencoba menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda ini di dalam sebuah bangsa yang baru.

Setelah Revolusi Nasional Indonesia, negara tersebut mengalami kesulitan untuk membangun pemerintahan dan kebangsaan melalui sistem parlementer karena berbagai kelompok saling bersaing merebut kekuatan politik dan ingin memaksakan pandangan mereka pada negara tersebut.

Ketika kondisi politik negara ditandai oleh ketidakjelasan dan ketidakstabilan yang besar, ini menjadi masalah berat yang menghambat pertumbuhan ekonomi karena sektor swasta ragu untuk berinvestasi. Sekalipun pada tahun-tahun awalnya setelah kemerdekaan Indonesia mengalami sedikit perkembangan ekonomi, perkembangan ini segera hilang karena ketidakstabilan situasi politik [terutama setelah pemberontakan-pemberontakan wilayah dan nasionalisasi aset-aset Belanda pada 1957-1958].

Pemerintahan Sukarno menerbitkan Rencana Delapan Tahun 1960 sebagai usaha untuk membuat negara ini memiliki swasembada makanan [terutama beras], pakaian dan kebutuhan-kebutuhan dasar dalam periode 3 tahun. Lima tahun setelah itu direncanakan menjadi periode pertumbuhan mandiri.

Pada tahun 1960an, ekonomi Indonesia dengan cepat hancur karena hutang dan inflasi, sementara ekspor menurun. Pendapatan devisa dari sektor perkebunan jatuh dari 442 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 1958 ke 330 juta dollar AS pada tahun 1966. Puncak inflasi berada di atas 100% [year-on-year] pada tahun 1962-1965 karena pemerintah dengan mudahnya mencetak uang untuk membayar hutang dan mendanai proyek-proyek megah [seperti pembangunan Monas]. Pendapatan per kapita Indonesia menurun secara signifikan [terutama pada tahun 1962-1963]. Sementara itu, bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti mengalir setelah Sukarno menolak bantuan dari AS dan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] karena masuknya Malaysia sebagai negara anggota PBB [Indonesia menentang pendirian Malaysia pada tahun 1963]. Sebaliknya, Sukarno menjalin hubungan lebih erat dengan Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara.

Namun, Rencana Delapan Tahun 1960 ditinggalkan pada tahun 1964 karena ekonomi yang menurun dan target-target yang tidak bisa tercapai. Faktanya, perekonomian jatuh bebas karena hiperinflasi, pengurangan sumber pajak, dan juga larinya dari aset keuangan menjadi aset real. Politik Konfrontasi yang mahal terhadap Malaysia juga menyerap porsi signifikan dari pengeluaran pemerintah.

Namun hiperinflasi tetap tidak dapat dihindari akibat pencetakaan uang yang terus menerus, sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah. Kebijakan ini memberikan pukulan besar bagi perbankan nasional, terutama yang telah menyetor modal tambahan karena tergerus drastis dalam sekejab. Dana simpanan para nasabah perbankan juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai uang ini ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap naik membumbung tinggi maka terjadilah hiperinflasi.

Campuran politik ciptaan Sukarno [menyatukan nasionalis, agama dan komunis; NASAKOM] terbukti menjadi sebuah bom waktu. Kekacauan total terjadi setelah kegagalan kudeta yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965. Perlahan, Jenderal Suharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada periode 1965-1967. Pada tahun 1967 Suharto secara resmi dilantik menjadi Presiden Indonesia].

Salah satu prioritas utama Suharto adalah meningkatkan kondisi perekonomian Indonesia. Dia mengandalkan sebuah tim ahli ekonomi yang belajar di AS untuk memulai periode rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Pada tahun 1966-1970, pemerintah berhasil mengontrol inflasi, membangun kembali hubungan-hubungan internasional sehingga bantuan asing yang sangat dibutuhkan bisa masuk ke Indonesia, memulai rehabilitasi infrastruktur, dan memperkenalkan peraturan baru yang menarik pihak asing untuk berinvestasi di Indonesia. Ini akan menandai era Orde Baru.

  • Krisis finansial Asia 1997
  • Sejarah Indonesia: Politik dan Ekonomi di Bawah Sukarno - Indonesia-Investments.com
  • Hiprinflasi di Indonesia tahun 1963 - Scribd.com
  • Pertemuan II Sejarah Ekonomi Indonesia - Academia.edu
  • Pemikiran dan permasalahan ekonomi di Indonesia dalam setengah abad terakhir Diarsipkan 2017-02-02 di Wayback Machine. -Google Books
  • Cerita Menkeu soal Pengalaman RI Hadapi Krisis - Liputan6.com

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hiperinflasi_Indonesia_1963-1965&oldid=19484571"

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề