Apa tujuan pengadilan ham brainly

TUJUAN utama dari disahkannya UU tentang Pengadilan HAM, ialah untuk mempertanggungjawabkan dan menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat dengan memenuhi rasa keadilan. Jika tujuan itu tercapai, akan hadir pemerintahan dan masyarakat yang menghormati HAM, demokratis, menolak kekerasan, dan menghargai tertib hukum, sekaligus akan mencegah keterulangan.

Namun, apa mau dikata. Pengadilan HAM kini telah dalam keadaan sekarat. Lima belas tahun lebih tidak ada lembaga negara yang menghidupkannya sungguh-sungguh. Mungkin, sebagian besar aparatur negara sudah melupakan bahwa ada UU tentang Pengadilan HAM.

Kondisi sekarat pengadilan HAM dalam 15 tahun ini masih bisa bernapas karena dihidupi oleh kerja Komnas HAM dan harapan korban. Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM menjadi perawat aliran darah ke jantung UU Pengadilan HAM itu. Tanpa kerja keras Komnas HAM, mungkin UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, yang kini genap berusia 21 tahun akan mati total, meskipun secara formal di atas kertas ia masih ada.

Jika disimak perjalanan UU Pengadilan HAM itu, bisa dikatakan belum berhasil menghadirkan keadilan sekaligus belum bisa menjadi sarana untuk memulihkan dan memenuhi hak-hak korban. Tentu, juga belum bisa menyembuhkan luka di tubuh bangsa ini.

Bahkan, tiga pengadilan HAM yang pernah dibentuk, antara 2000-2005 dan berjalan proses penuntutannya, hasilnya sungguh mengecewakan. Pengadilan HAM untuk Timor Timur, membebaskan semua orang yang diduga sebagai pelaku dan penanggung jawab. Vonis hanya dijatuhkan kepada orang sipil, yaitu Abilio Soares dan Eurico Guterres. Keduanya juga kemudian dibebaskan oleh MA melalui banding. Yang lebih mengecewakan lagi, Eurico Guterres dianugerahi bintang jasa oleh Presiden Jokowi.

Sementara itu, pengadilan HAM untuk peristiwa Tanjung Priok 1984 dan Peristiwa Abepura, Papua, 2000 tidak ada satu pun yang divonis bersalah. Akibatnya, kejahatan kemanusian dalam dua peristiwa itu dianggap seperti tidak ada pernah terjadi. Akibatnya korban dalam peristiwa-peristiwa itu menjadi terabaikan sampai dianggap tidak pernah ada.

Diabaikan

Nan lebih merisaukan lagi ialah diabaikannya hasil penyelidikan Komnas HAM atas 13 peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang berat lainnya. Dari 13 peristiwa itu, 3 peristiwa berada di Aceh, 2 peristiwa terkait dengan Daerah Operasi Militer [DOM], dan 1 peristiwa menjelang Darurat Militer 2002. Sebanyak 3 peristiwa di Papua, 2 peristiwa terjadi di awal reformasi, dan 1 peristiwa terjadi di era pemerintahan Jokowi, Desember 2014.

Sebanyak 1 peristiwa terjadi 1989 di Talang Sari, Lampung Timur, 3 peristiwa terjadi di Jakarta, persis di awal reformasi, yaitu peristiwa Penghilangan Orang, peristiwa Trisakti dan Semanggi, dan peristiwa Mei 1998. Sebanyak 1 peristiwa terjadi di Jawa Timur, dikenal dengan sebutan peristiwa dukun santet, serta 2 peristiwa berskala nasional, yaitu peristiwa 1965-1966 dan peristiwa Petrus 1982.

Jika diselisik lebih dalam tampak bahwa dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan secara geografi s menjalar, mulai Aceh sampai Papua, serta dalam waktu yang panjang dan berulang dari 1965 sampai 2014. UU Pengadilan HAM tidak mampu mencegah karena setelah 2000 perbuatan yang sama masih terjadi.

Menyadari begitu dalam dan luasnya dampak pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu, maka MPR mengeluarkan dua Ketetapan MPR untuk menyelesaikannya. Pertama, yaitu TAP MPR No XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang menugaskan kepada semua lembaga negara dan aparatur negara untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan norma-norma HAM dalam kehidupan bernegara. Kedua ialah TAP MPR No V/2000, yang menugaskan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Dua ketetapan MPR di awal reformasi itu, semangatnya ialah menuntaskan permasalahan-permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum 1998. Semangat itu pulalah yang mengubah sistem politik dan ketatanegaraan kita, agar lebih menghormati HAM dan bisa memenuhi hak-hak korban. Semangat itu yang menghadirkan UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Sekarang ke mana hilangnya semangat itu?

Pengadilan HAM yang sekarat sama dengan menggantung hak-hak korban. Impunitas terus berjalan. Pengabaian hak-hak korban sama dengan penyingkiran hak asasi manusia. Membawa para terduga penanggung jawab dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ke pengadilan sama dengan pemulihan dan pemenuhan sebagian hak-hak korban. Dalam 20 tahun ini, hal itu semua absen.

Tanggung jawab pemerintah

Korban pelanggaran HAM berhak untuk tahu mengapa ia menjadi korban [right to know], berhak mendapat keadilan [right to justice], dan hak atas pemulihan [right to reparation] berupa kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi. Untuk memenuhi semua hak-hak itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya. Pasal 28 [i] ayat 4 UUD 1945 menegaskan tanggung jawab pemerintah itu.

Membiarkan Pengadilan HAM tidak berjalan sama dengan mengabaikan UUD 1945. Maka dari itu, pada 2022 nanti ialah masa-masa menentukan bagi agenda HAM. Khususnya, pengadilan HAM untuk menegakkan hukum, keadilan, dan pemenuhan hak-hak korban, sekaligus ujian bagi komitmen pemerintahan Jokowi untuk HAM.

Tanpa jalannya pengadilan HAM, kondisi HAM di Indonesia secara substansi ialah stagnasi atau perilaku negara secara nyata tidak mengalami perubahan karena tidak ada perbuatan negara di masa lalu yang bisa dikoreksi dengan standar norma HAM. Meskipun Indonesia telah banyak meratifikasi norma-norma HAM internasional.

Langkah Jaksa Agung yang akan memulai penyidikan atas peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang berat berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, tentu ditunggu semua pihak. Sudah terlalu lama Jaksa Agung mengesampingkan hasil penyelidikan Komnas HAM itu.

Singkat kata, pengadilan HAM yang telah sekarat itu napasnya hanya bisa diselamatkan dengan pengumuman adanya Tim Penyidik oleh Jaksa Agung dan penuntutan di pengadilan, sekaligus adanya rekrutmen jaksa HAM untuk menjadi penuntut dan hakim HAM untuk menjadi majelis pemeriksa di Pengadilan HAM.

Tanpa itu, pengadilan HAM yang dinanti-nantikan banyak pihak, nasional dan internasional, benar-benar akan tamat riwayatnya, atau kita hanya akan memperpanjang sandiwara tentang Pengadilan HAM itu.

Sebelum benar-benar tamat, DPR bisa mengambil jalan baru, yaitu berinisiatif untuk mengubah UU Pengadilan HAM itu secara menyeluruh. Misalnya, dengan mengadopsi sepenuhnya Statuta Roma, yang menjadi basis hukum bagi pengadilan pidana internasional, untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama

TUGAS POKOK DAN FUNGSI PERADILAN AGAMA


Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :

  1. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi .
  2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya .
  3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama [umum, kepegawaian dan keuangan kecuali biaya perkara]
  4. Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
  5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat [2] Undang-Undang Nomor 3  Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama .
  6. Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/ tabungan, pensiunan dan sebagainya .
  7. Pelaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, pelaksanaan hisab rukyat, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya.


Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia [HAM] di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Undang-undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda denga pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc.

Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban, adanya pengadilan HAM akan mengupayakan adanya keadilan bagi mereka.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.

Pengadilan HAM di Indonesia adalah bahan materi yang disampaikan oleh Zainal Abidin pada Kursus Ham untuk Pengacara XI yang dilaksanak oleh Elsam pada tahun 2007.  pokok pembahasan dalam materi ini adalah Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM, Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-undang Pengadilan HAM, Kedudukan dan Tempat Kedudukan, Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM, Pengadilan HAM Adhoc.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề