Bagaimana kedudukan manusia dalam kajian filsafat ilmu jelaskan

Article Information

Author[s] : Nuryamin Nuryamin,

Issue : Vol 10, No 1 [2017] : Vol. 10 No. 1, Januari-Juni 2017

Manusia memiliki daya-daya untuk melaksanakan fungsinya, baik sebagai ‘abdi [mu’abbid], khalifah fi al-ardh, maupun immarah fi al-ardh. Sebagai Mu’abbid, manusia dituntut tidak hanya semata-mata dalam konteks ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya, tetapi juga segala sesuatu aktivitas yang bernilai baik dalam kehidupannya yang dilakukan dengan tujuan pendekatan diri pada penciptanya, Tuhan. Baik sebagai mu’abbid, maupun sebagai khalifah dituntut untuk merefleksikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya dan menjadikan sifat-sifat itu aktual dalam berbagai tindakannya. Pengupayaan sifat-sifat Tuhan ini merupakan suatu keniscayaan dalam pembentukan humanitas manusia muslim sebagai potret dan lambang kebaikan dan kebajikan yang mesti selalu ditiru dan diupayakan agar nantinya menjadi sikap diri menuju aktualisasi diri. Ia bertugas untuk menata dunia sedemikian rupa sehingga dapat menjadikan manusia hidup sejahtera, damai, sentosa dan bahagia.Kata kunci: aktualisasi; Mu’abbid; kedudukan; potensi.

View Original Download PDF

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pengertian Filsafat Manusia

Filsafat adalah metode pemikiran yang membahas tentang sifat dasar dan hakikat kebenaran yang ada di dunia ini. Filsafat manusia adalah bagian filsafat yang membahas apa arti manusia sendiri secara mendetil.

Antropologi filsafat atau yang lebih dikenal dengan filsafat manusia adalah bagian integral dari sistem filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia [misalnya psikologi dan antropologi] adalah gejala manusia. Pada dasarnya ilmu ini bertujuan untuk menyelidiki, menginterpretasi, dan memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia.

Secara umum dapat dikatakan, filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk atau gejala apapun tentang manusia, sejauh yang dipikirkan, dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia. Metode penelitiannya pun lebih spesifik, misalnya melalui sintesis dan refleksi. Sintesis dan dan refleksi bisa dilakukan sejauh gejalanya bisa dipikirkan. Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh lebih luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris, maka pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di dalam filsafat manusia, pada akhirnya, jauh lebih ekstensif [menyeluruh] dan intensif [mendalam] daripada informasi atau teori yang didapatkan oleh ilmu-ilmu tentang manusia.

Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. [Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999]

Kedudukan filsafat manusia dalam kehidupan manusia

a.Memberikan pengertian dan kesadaran kepada manusia akan arti pengetahuan tentang kenyataan yang diberikan oleh filfafat.

b.Berdasarkan atas dasar hasil-hasil kenyataan itu, maka filsafat memberikan pedoman hidup kepada manusia. Pedoman itu mengenai sesuatu yang terdapat di sekitar manusia sendiri, seperti kedudukan dalam hubungannyadengan yang lain. Kita juga mengetahui bahwa alat-alat kewajiban manusia meliputi akal, rasa, dan kehendak. Dengan akal filsafat memberikan pedoman hidup untuk berpikir guna memperoleh pengetahuan. Dengan rasa dan kehendak, maka filsafat memberikan pedoman tentang kesusilaan mengenai baik dan buruk. [//www.academia.edu/4703552/Filsafat_Manusia ]

Hubungan filsafat manusia dengan disiplin ilmu lain tentang manusia

Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, berdaya upaya untuk menemukan hukum-hukum perbuatan manusia, sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara inderawi atau bisa dijadikan objek intropeksi. Masing-masing cabang ilmu pengetahuan itu hanya mempelajari satu segi saja dari tindak tanduk manusia atau dari bentuk fisiknya. Adapun filsafat mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang lebih mendalam dari manusia. [//TIADAKATAMENYERAHPENGERTIANFILSAFATMANUSIA.htm ]

a.Psikologi membahas objek materiyakni manusia. Ilmu ini hanya membahas manusia dari segi psikis yang dapat diperoleh dari melihat perilaku manusia, menjelaskan gejala-gejala jiwa dan mental, bagaimana pengalaman manusia dapat mempengaruhi kehidupan selanjutnya dan menjelaskan perkembangan manusia dari masa prenatal hingga menjelang kematian.

b.Sosiologi juga membahas objek materiyakni manusia. Namun, ilmu ini membatasi diri untuk mencoba menjawab perilaku manusia dari ruang lingkup sosialnya, menjelaskan status sosial, pranata sosial, dan menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri.

c.Antropologi juga membahas objek materi yakni manusia. Namun, ilmu ini membatasi pada pola kebudayaan dan peradaban yang telah diciptakan manusia atau ditinggalkan manusia, menjelaskan hasil-hasil kebudayaan, suku, etnis, dan ras suatu masyarakat yang bersifat lokal.

I.             PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal,[1] dikatakan demikian karena persoalaan tersebut tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang historis kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang bersifat dependen. Persoalaan lain menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi juga sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, menstrandensikan kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi problema yang menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan bahwa manusia tidak dapat hidup secara “soliter” melainkan harus “solider” , hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain. Belum lagi manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan  tanggung jawab yang sangat berat yaitu  “Abdul Allah “ [hamba Allah] satu sisi dan sekaligus sebagai “Kholifah fil Ardli” [wakil Allah di muka bumi].

Berdasarkan uraian yang telah pemakalah kemukakan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:

  1. 1.         Bagaimana pandangan Islam tentang konsep manusia ?
  2. 2.         Apa peran penciptaan manusia menurut Alqur’an ?
  3. 3.         Apa tugas dan tanggung jawab manusia di Bumi ?
  4. 4.         Apa kedudukan manusia dalam alam semesta ini ?
  5. 5.         Bagaimana peluang pendidikan kedepan menurut Islam ?
II.          MANUSIA PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN

Sejarah filsafat bermula di pesisir samudera Mediterania [2] bagian timur, pada abad ke-6 SM. Sejak semula, filsafat ditandai dengan rencana ummat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan Tuhan. Itulah sebabnya, sehingga Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup dari seorang atau masyarakat bangsa. Oleh karena filsafat menjadi kerangka acuan dalam menentukan pola kehidupan warga suatu masyarakat bangsa tersebut. Dengan demikian filsafat sebagai pandangan hidup menyangkut pula tentang hubungannya dengan manusia. Tepatnya adalah pandangan filsafat tentang manusia dalam kaitan dengan kepentingan pendidikan, sebab upaya yang paling efektif untuk mewariskan nilai-nilai yang termuat dalam pandangan hidup dimaksud adalah melalui pendidikan.

Merujuk pada hal itu, maka sebelum membahas bagaimana konsep filsafat  pendidikan tentang manusia itu sendiri, tentunya perlu terlebih dahulu kita ketahui bagaimana pandangan Islam tentang konsep manusia itu. Hal ini setidaknya akan membantu pengenalan sosok manusia yang sebenarnya  dalam konsep filsafat pendidikan yakni yang berkaitan dengan manusia sebagai subyek sekaligus merupakan obyek dari pendidikan.

A.    Manusia Dalam Pandangan Islam

    1. Konsep Manusia dan Perannya Menurut Alqur’an

Bentuk dan pola peran seseorang, secara garis besar dapat kita lihat dari kedudukan yang ditempatinya. Sedangkan untuk mengetahui hal itu, kita perlu tahu akan penamaan yang disandangnya. Begitu pula tentang peran manusia dapat dirujuk antara lain melalui berbagai sebutan yang diberikan pada manusia.

Dalam Alqur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al- Basyr, al- Insan, an- Nas, dan konsep Bani Adam yang hal ini sebagai penolakan terhadap teori Darwin tentang evolusi bahwa manusia  adalah keturunan dari kera. Adapun pemahaman tentang peran manusia erat kaitannya dengan sebutan yang disandangnya.

Manusia dalam konsep al- Basyr, dipandang dari pendekatannya biologis. Sebagai mahluk biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material,[3] yaitu berupa tubuh kasar [ragawi].

Berdasarkan konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasaan. Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi [QS. 16 : 69] untuk hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan [QS. 2 : 187] untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya [QS. 17: 23-25].

Al- Insan terbentuk dari akar kata Nasiya [                            ], Nisyu [                     ] yang berati lupa, dari kata Insu [                  ] artinya senang, jinak,harmonis, dan ada juga dari akar kata Naus [             ] yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun negatifdan merugikan.[4]

Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” [QS. 49 : 13]. Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.[5]

Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an [Muhammad Fuad Abd al- Baqi :1989]. Menurut a- Gharib al- Ishfahany, bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan.[6] Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo,[7] bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi , 7000 thn yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” [somekind of humanoid] jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan :

Al Ankabuut – Ayat 19

29:19. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan [manusia] dari permulaannya , kemudian mengulanginya [kembali] . Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat , karena [pengulangan] kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi , sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang tidak percaya .

Dan banyak ayat-ayat al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang concept pemikiran ini . Seperti misalnya : Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi . Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah SWT kepada mereka . Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum   AdamASdiciptakan..
Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa : “Manusia [anak-cucuAdam AS ] diciptakan dalam kesempurnaan-nya” . Dalam Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God].. Serta banyak kalimat pada Taurat [Perjanjian Lama] yang membedakan antara “anak manusia” dan “anak Allah” , “adanya manusia-manusia yang besar pada saat itu” , bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan adanya ancaman / gangguan diluar, dsb.

Apapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci , ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun . Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan manusia masa kini [The missing-linktheorema].

Dalam konsep ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :

  • Jelaslah disini bahwa Adam AS bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunan monyet” , seperti dikatakan Darwin.

B.     Manusia dan Psikologinya

Keberadaan manusia dalam dunia ini dilengkapi dengan dua keadaan yakni terdiri dari jasad dan ruh ;artinya, makhluk yang jasadiah serta ruhaniahnya sekaligus. Manusia bukanlah makhluk ruh murni dan bukan jasad murni melainkan manusia merupakan makhluk secara misterius terdiri dari kedua elemen ini juga yang disebut dengan entitas ketiga yaitu “jati dirinya sendiri”.[8] Realitas  yang mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang kemudian dikenal dengan manusia bukanlah perubahan jasadnya melainkan keruhaniannya.

Al- Ghazali dalam memandang jiwa itu tidak terlepas dari empat kata yaitu : hati [qalb], roh [ruh], jiwa [nafs], dan akal [a’ql ].[9]

Kata nafs dating dalam berbagai bentuk baik mufrad atau jama’. Ia menunjukkan manusia sebagai makhluk hidup yang asalnya satu. Dalam al-Qur’an kata Nafs ini menunjukkan pada diri [self] sebagai keseluruhan yang lebih menyatakan motivasi dan aktifitas hidup manusia.[10]

Menurut Hasan Langgulung kata Qalb yang terdapat al-Qur’an kebanyakan berkisar pada arti perasaan [emosi] dan intelektual pada manusia.[11] Oleh sebab ia merupakan dasar bagi fitrah yang sehat berbagai perasaan baik mengenai cinta atau benci, dan tempat petunjuk, iman, kemauan, sekaligus sebagai kontrol terhadap segala aktifitas manusia.

Ruh biasanya menunjukkan aspek suatu hakekat [realitas] yang abstrak yang mempunyai unsur illahi dan berhungan dengan manusia secara khusus.[12]

Kata Aql menurut Hasan Langgulung muncul dala al-Qur’an tidak ada yang menunjukkan abstrak [masdar] sama sekali melainkan kata kerja dengan berbagai bentuknya. Karenanya Aql ini lebih menunjukkan pada aspek pemikiran pada manusia. Seperti QS. Albaqarah : 75, dan 44, al- Anfal : 22, serta al- Mulk : 10.[13]

Dalam hal ini Al-Attas berpendapat bahwa setiap sebutan ini memiliki dua makna, yang satu merujuk pada aspek-aspek jasadiah ataupun kebinatangan dan satunya merujuk pada aspek keruhaniah. Dengan demikian ketika aspek itu bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ia [yaitu, ruh manusia] disebut “intelek” ketika mengatur tubuh, ia disebut “jiwa” , ketika sedang mengalami pencerahan intuisi, ia disebut “hati” dan ketika kembali ke dunianya yang abstrak, ia disebut “ruh” pada hakekatnya.ia selalu aktif memanifestasikan dirinya dalam keadaan apapun.[14]

C.    Manusia dan Proses Pendidikan

Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia [humanisasi],[15] tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala [head] kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati [heart] dan ketiga, adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan [hand] selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s.[16] Berangkat dari arti penting pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.[17] Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah rajat hidup bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai [berilmu]. Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga tidaklah sekali jadi. Ada proses penciptaan [khalq], proses penyempurnaan [taswiyyah], dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu [taqdir], dan juga di berikannya petunjuk [hidayah].[18] Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan yang tearah, teratur serta berkesinambungan  yang semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia [insan kamil] yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.
  1. D. Manusia Menurut Filsafat Pendidikan

Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkupyang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi.[19] Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta [kosmos]. Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya [ontology]. Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh [philosophy of mind]. Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara berjenjang dan bertahap [proses] melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan [epistimologi], oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi [aksiologi], sehingga dalam pandangan FPI, manusia merupakan makhluk alternatif [dapat memilih], tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif [bebas] tetapi sekaligus terikat [tidak bebas nilai].

  1. E. Peluang Pendidikan Menurut Islam

Sistem pendidikan Islam di Indonesia ini memiliki peluang yang sangat besar dalam menghadapi masalah-masalah yang selama ini membuat resahnya para pelajar Muslim. peluang tersebut dapat dilihat dari beberapa segi:

Pertama, sistem pendidikan Islam di Indonesia tidak menghadapi dominasi sistem pendidikan nasional, karena ajaran Islam secara filosofis tidak pernah bertentangan dengan pandandan hidup bangsa.

Kedua,Pancasila sebagai asas tungal, secara filosofis merupakan bagian dari filsafat Islam.

Ketiga, dalam keadaan yang jauh setabil, baik fisik, hukum, keamanan, dan ekonomi adalah suatu kesempatan yang amat tepat bagi kelompok mayoritas untuk mengisinya.

Keempat, semakin berkembangnya gerakan pembaruan pemikir Islam. Contohnya adalah lahirnya ICMI kendati secara politis masih dirisaukan tapi dapat di jadikan sebagai sarana baru untuk memperkokoh wacana yang berkembang dalam kalangan muslim.

Dengan demikian, dilihat dari segi ajaran maupun sosiologi pendidikan, sistem pendidikan yang ada didalam negara Indonesia ini mampu menjadi subsistem pendidikan Nasional, sebagaimana yang dicita-citakan, akan tetapi perlu disadari bahwa pendidikan tidak berdiri sendiri, tanpa upaya bidang-bidang lain yang secara sistemik harus bergerak secara harmonis menuju tujuan yang sama yaitu cita-cita nasional, maka kearifan dan keahlian dalam bekerja sama dengan berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu.

Maka tidak heranlah kalau dalam hal ini orang non muslim banyak yang mendapat kemajuan karena ia mau mengaplikasikan ajaran atau aturan dengan benar, maka yang perlu dilakukan kalangan muslim ialah adanya jiwa besar, pandangan yang luas, dan sikap yang rasional serta terbuka dalam berbagai hal untuk mau menerima kritik dan saran demi kemajuannya.[20]

III.       KEDUDUKAN MANUSIA DALAM ALAM SEMESTA

A.    Manusia Sebagai Abdul Allah

Pada pembahasan terdahulu telah banyak disinggung mengenai manusia di sebut abd Allah. Dalam konteks konsep abd Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu allah SWT.

B.     Manusia Sebagai Kholifah Allah

Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipa dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi [QS. 2 :30]. Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian :[21]

    1. orang yangdberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
    2. khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.

Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehungan dengan makna khalifah yakni unsure intern [mengarah pada hubungan horizontal] yang berkaitan dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern [kaitannya dengan hubungan vertical] yaitu penugasan  Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatmnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut meang sangat berat. Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa akan kedudukan manusia selaku makhluk ciptaanNya yang paling mulia.

IV.       KESIMPULAN

Manusia menurut Islam adalah mahluk ciptaan Allah [QS. 98: 2][22] dengan kedudukan yang melebihi mahluk ciptaan Allah lainnya [QS. 95 : 4][23]. Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan [QS.15 :29][24]. Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah SWT [QS. 51: 56][25]. Mengacu pada ketentuan ini, maka dalam pandangan Islam, meminjam bahasa Jalaludin, manusia pada hakekatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient” [cetak biru] dalam lakon hidupnya,[26] yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul Allah” sekaligus mempunyai tugas sebagai mandataris Allah.

V.          PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kritik serta saran dari audient sangat kami harapkan, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua Amiin.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia [Kajian Filsafat Ilmu], Cet. I, Yogyakarta, LESFI, 2002.

Arifin, H.M Prof. M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI, Remaja Rosdakarya, PT Bumi Aksara, Jakarta ,2000.

Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Yogyakarta, Jendela, Cet. I, 2002.

Christyono Sunaryo, //www.macsonic.org

Hasan Langgulung, Prof. Dr Asas-Asas Pendidikan Islam, PT Al-Husna Zikra, Jakarta, Cet.I, 2000.

Jalaludin, Prof. Dr. H, Teologi Pendidikan,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000.

Majid Fahry , Sejarah Filsafat Islam [Sebuah Peta Kronologis], Cet. I, Mizan, , Bandung, 2001.

Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman [pilihan Artike lbasis]. Sinhunata [ed], Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001.

Quraisy Shihab, Dr. M., Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, Bandung, Mizan, Cet. XXV, 2003.

Syed M. Naquib Al- Attas, filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, [terj.Wan Mohd Nor Wan Daud], Mizan, Bandung, Cet. I, 2003.

[1] Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia [Kajian Filsafat Ilmu], Cet. I, Yogyakarta, LESFI, 2002, hal. 9.

[2] Samudera Mediterania [Mediterrania Sea] adalah rute perdagangan terbesar  di dunia sejak zaman dahulu. Hampir semua peradaban dunia, termasuk Mesir, Yunani, Phoenicia [Suriah, lebanon, dan palestinasekarang], dan Roma, berkembang di tepiannya. Kata latin dari mediterraean berarti di tengah-tengah tanah. Dan samudra Meditarinia memang dikelilingi oleh Eropa di bagian utara, Asia di timur laut, dan afrika di bagian selatan. Lihat : Majid Fahry , Sejarah Filsafat Islam [Sebuah Peta Kronologis], Cet. I, Mizan, 2001, Bandung, hal. 1.

[3] Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2001, hal 19.

[4] Jalaludin, Op., Cit., hal., 21

[5] Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Yogyakarta, Jendela, Cet. I, 2002, hal. 69.

[6] Jalaludin, ibid, hal. 25.

[7] Christyono Sunaryo, //www.macsonic.org

[8] Syed M. Naquib Al- Attas, filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, [terj.Wan Mohd Nor Wan Daud], Mizan, Bandung, Cet. I, 2003, hal. 94.

[9] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, PT Al-Husna Zikra, Jakarta, Cet.I, 2000, hal. 302.

[10] Ibid.

[11] Ibid,hal 303.

[12] ibid

[13] ibid, hal. 304.

[14] Syed M. Naquib Al- Attas, Op., Cit.,hal. 94.

[15] Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman [pilihan Artike lbasis]. Sinhunata [ed], Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 hal. 16.

[16] Prof. H.M. Arifin, M. Ed., Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI, Remaja Rosdakarya, 2000, PT Bumi Aksara, Jakarta, hal. 57.

[17] Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000,  hal. 29.

[18] Sucikanlah nama tuhanmu yang maha tinggi,yang menciptakan, dan menyempurnakan[penciptaannya, dan kadar masing-masing dan memberi petunjuk [ Q. S. A;l- A’laa : 1-3].

[19] Prof. H.M. Arifin, M. Ed., Op. Cit, hal. 6.

[20] Prof. Dr. M.Ed. memberdayakan sistem pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 41.

[21] Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, Bandung, Mizan, Cet. XXV, 2003, hal. 158.

[22] Qs. 98 :2

[23] Q.S. 95 : 4

[24] Qs. 15 : 29

[25] QS. 51 : 56

[26].Jalaludin , Op., Cit, hal. 18.

3 Komentar


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề