Jelaskan mengapa Indonesia menjadi salah satu negara yang sering mengalami gempa bumi

07/07/2020, 21:18 WIB

Penulis Nana Triana | Editor Mikhael Gewati

Apa kita menyadari pada Selasa [7/7/2020], Indonesia diguncang gempa bumi di beberapa tempat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika [BMKG] mencatat telah terjadi empat kali gempa bumi tektonik di beberapa wilayah di Indonesia salah satunya, yakni Jepara.

Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara, Setyoajie Prayogie, mengungkapkan gempa bumi yang terjadi di Jepara Jawa Timur, mempunyai karakteristik gempa dalam atau biasa disebut deep focus earthquake.

"Sehingga hampir seluruh daerah, kabupaten dan kota di Pulau Jawa merasakan intensitas getarannya," kata Aji mengutip Kompas.com.

Asal tahu saja, gempa bumi termasuk salah satu bencana alam yang sampai saat ini tidak dapat diprediksi kapan dan di mana akan terjadinya.

Lalu kenapa sih negara Indonesia kerap kali dilanda bencana gempa bumi, serta apa faktor penyebabnya?

Untuk menjawab itu, tim Indonesiaterhubung.id telah merangkum dari berbagai sumber, beberapa faktor penyebab gempa bumi yang kerap terjadi di Indonesia.

Letak Geografis

Indonesia terletak diantara tiga lempeng utama di dunia, yaitu Australia, Eurasia dan Pasifik. Kondisi ini menyebabkan Indonesia sering terjadi gempa bumi tektonik ataupun gempa bumi vulkanik. Gempa bumi bisa terjadi akibat tumbukan antar lempeng utama.

Gempa yang terjadi di Indonesia bervariasi, dari skala kecil hingga berskala besar. Bahkan sebagian besar wilayah nusantara sangat rawan terjadinya gempa bumi, seperti Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi, laut Maluku, utara Papua dan beberapa daerah lainnya.

Pergerakan Lempeng

Selain letak geografi, salah satu penyebab sering terjadinya gempa di Indonesia karena adanya pergerakan lempeng bumi.

Pergerakan lempeng bumi menghasilkan tekanan yang berujung terjadinya gempa. Besar kecilnya gempa tergantung pada besar tekanan yang terjadi karena pergerakan lempeng ini.

Berada di tengah cincin api

Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi cincin api Pasifik. Kondisi geografis ini menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan letusan gunung berapi, gempa dan tsunami.

Cincin api pasifik atau lingkaran api pasifik alias ring of fire adalah daerah yang sering terjadi gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan api pasifik.

Tercatat sebanyak 127 gunung berapi aktif terjalin melingkari Nusantara. Dari jumlah itu, 30 di antaranya ada di Pulau Jawa. Itu artinya sekitar 120 juta orang kini hidup dalam bayang-bayang letusan gunung berapi.

Dengan jumlah yang sebanyak itu, maka aktivitas vulkanik yang berpotensi menimbulkan gempa akan semakin banyak. Gunung api di Indonesia yang paling aktif adalah Gunung Kelud dan Gunung Merapi.

Asosiasi Internasional Vulkanologi dan Kimia Interior Bumi juga menetapkan Gunung Merapi sebagai gunung api dekade ini. Ini karena aktivitas vulkanisnya yang sangat tinggi sejak 1995.

Bagaimana, sudah pahamkan sekarang alasan negeri kita sering dilanda gempa bumi?

Keterangan gambar,

Patahan aktif di utara Bali, Lombok, NTB, NTT dan Sumbawa adalah satu dari ratusan yang ada di Indonesia.

Gempa yang mengguncang Lombok membuat masyarakat kembali bertanya-tanya seberapa besar potensi bencana alam ini terjadi di Indonesia?

Apalagi jika melihat ke belakang, utamanya mengaca pada kejadian gempa yang menyebabkan tsunami di Aceh pada tahun 2004 ataupun di Padang pada tahun 2009.

Para ahli mengatakan, apabila dilihat secara geologi, baik dari lempengan dan patahan yang ada, gempa memang sudah pasti akan terjadi di Indonesia.

"Wilayah Indonesia itu sangat berpotensi terjadi gempa bumi karena posisinya yang berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik.

"Dari tumbukan ini terimplikasi adanya sekitar enam tumbukan lempeng aktif yang berpotensi memicu terjadinya gempa kuat," kata Dr Daryono kepala bidang informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG].

"Wilayah Indonesia juga sangat kaya dengan sebaran patahan aktif atau sesar aktif. Ada lebih dari 200 yang sudah terpetakan dengan baik dan masih banyak yang belum terpetakan sehingga tidak heran jika wilayah Indonesia itu dalam sehari itu lebih dari 10 gempa yang terjadi," Daryono menambahkan.

Sejumlah patahan aktif tersebut adalah patahan besar Sumatra yang membelah Aceh sampai Lampung, sesar aktif di Jawa, Lembang, Jogjakarta, di utara Bali, Lombok, NTB, NTT, Sumbawa, di Sulawesi, Sorong, Memberamo, disamping di Kalimantan.

Posisi Indonesia dikenal berada di Cincin Api Pasifik [Ring of Fire] yaitu daerah 'tapal kuda' sepanjang 40.000 km yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini.

"Mungkin kalau kita melihat ke dunia, itu kelihatan bahwa Indonesia itu sangat merah dibandingkan dengan yang lain. Jepang, misalnya merah juga, Filipina saya pikir merah juga. California itu merah juga karena disitu ada zona San Andreas Fault yang besar dan bergerak sangat cepat," kata Danny Hilman Natawidjaja, peneliti utama bagian geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI].

Perbandingan Indonesia dengan bagian lain dunia dilakukan dengan menggunakan global seismic hazard atau bahaya seismik global, Danny menjelaskan.

"Zonasi seismic hazard itu sudah, yang dia representasikan adalah potensi guncangan gempanya, yang direpresentasikan dengan nilai percepatan gravitasi, G, makin tinggi yah makin banyak guncangannya.

"Nilai G lebih dari 5 menjadi merah. Nilai 3 dengan 5, kuning. Yang ada di bawahnya hijau biru dan sebagainya. Itu kelihatan bahwa Indonesia itu sangat merah dibandingkan dengan yang lain," Danny menambahkan.

Keterangan gambar,

Gempa Aceh berkekuatan 6,5 pada skala Richter yang mengguncang tiga kabupaten pada 7 Desember 2016.

Gempa di Lombok yang terjadi hari Minggu [05/08] telah menyebabkan banyak korban meninggal disamping ribuan orang harus mengungsi. Sementara gempa Aceh 2004 yang berkekuatan 9,3 pada skala Richter, menyebabkan 180 ribu orang meninggal dengan kerugian Rp45 triliun.

Jadi apakah kerugian, termasuk kerugian material seperti rumah, jalan, jembatan dsb, akan terus terjadi mengingat tingginya potensi terjadinya gempa di Indonesia?

"Masyarakat kita akan terus menjadi korban setiap terjadinya gempa karena kita juga tidak melihat langkah-langkah konkrit yang benar-benar, semacam juklak bagaimana membangun bangunan tahan gempa itu diedukasikan secara masif sehingga masyarakat kita benar-benar memahami dan kemudian mindset itu berubah," kata Dr Daryono.

Sementara kepadatan penduduk dan bangunan di Jawa dan Sumatra dibandingkan di bagian timur, menyebabkan lebih besar kemungkinan risiko korban dan kerusakan.

"Kalau kita lihat dari potensi hazard-nya, bahayanya, Indonesia timur itu dua kali lipat potensinya dibandingkan dengan wilayah barat, tetapi yang nama risiko itu kan juga mempertimbangkan keberadaan populasi dan infrasturktur. Untuk saat ini infrastruktur dan populasi kebanyakan di Jawa dan Sumatra, daerah Papua dan Maluku kan masih sedikit," kata ahli geologi LIPI, Danny Hilman.

Sumber gambar, AFP/ADEK BERRY

Keterangan gambar,

Apakah masyarakat sudah diberikan informasi yang cukup tentang gempa?

Mengingat besarnya potensi dan risiko gempa di Indonesia dan telah panjang catatan sejarahnya, bukankah langkah pencegahan seharusnya sudah diambil?

Pemerintah mengatakan berbagai cara untuk mengantisipasi bencana alam ini telah dilakukan, termasuk dengan menggunakan teknologi tinggi.

"Sistem monitoring gempa bumi, sistem processing dan diseminasi penyebaran itu sudah sangat bagus, menggunakan teknologi yang. Dalam waktu kurang dari tiga menit itu sudah bisa mendapatkan informasi parameter gempa. Waktu gempa, kekuatan, kedalaman dan lokasinya. Kita juga bisa mengeluarkan peringatan dini tsunami dengan cepat," kata Daryono dari BMKG kepada Nuraki Aziz yang melaporkan untuk BBC Indonesia.

Tahun 2017, Indonesia telah merevisi peta seismic hazard dimana seluruh wilayah sudah dizonasi dan dikuantifikasi terkait seberapa besar potensi guncangan seismiknya.

"Berdasarkan peta itu seorang ahli sipil bisa mendisain struktur tahan gempa yang cocok untuk seluruh wilayah di Indonesia. Kalau semua orang, semua bangunan mengikuti, mematuhi peraturan yang ada, saya pikir nggak ada masalah kapan ada gempa terjadi karena yang paling berbahaya waktu gempa itu bukan gempanya tetapi bangunan yang roboh," kata Danny Hilman Natawidjaja dari LIPI.

Jadi mengapa masyarakat tetap menjadi korban setiap terjadi gempa, dengan adanya berbagai hal seperti teknologi tinggi dan kesiapan zonasi?

"Masih jauh urusan awareness, urusan pemahaman. Mereka belum siap. Kenapa mereka belum siap? Mereka tidak tahu informasinya. Sangat sedikit masyarakat dari kami yang tahu. Tahu tentang itu wilayah gempa atau tahu disitu ada ancaman gempa, itu sangat sedikit.

"Mereka juga tidak tahu bagaimana cara untuk menanggulangi kalau itu terjadi," kata Hening Parlan dari Lembaga Lingkungan Hidup dan Bencana, Aisyiyah yang telah mengamati topik keberdayaan masyarakat dalam mengatasi bencana alam, seperti gempa selama 20 tahun.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề