Jika teman kita mengalami kegagalan sikap kita yang tepat adalah

Kemarin sore seorang teman mengirim pesan bertubi-tubi ke WA saya. Dia memberitahu saya bahwa dia sedang berada dalam kondisi emosi yang sulit. Pemicunya adalah kegagalannya dalam sebuah ujian seleksi yang baginya sangat penting dan menentukan hidupnya.

Dia merasa tidak pantas mendapatkan kegagalan itu, sebab dia merasa bahwa persiapan yang dia lakukan jauh lebih berbobot dibanding tingkat kesulitan ujian yang dia ikuti. Dia juga merasa tidak mengalami hambatan berarti selama mengikuti ujian itu. Dia lalu meminta izin untuk menelepon saya untuk menceritakan kondisinya secara lebih leluasa. Tanpa pikir panjang saya mengiyakan.

Ketika dia menceritakan kekecewaannya, saya berusaha untuk tidak memastikan apakah yang dia ceritakan benar adanya. Saya hanya mencoba menjadi pendengar yang baik saja, sebab pikir saya inilah sesuatu yang paling dia butuhkan saat itu. Terus terang saya bingung harus memberikan tanggapan apa.

Selain karena saya mengenalnya sebagai pribadi yang cemerlang di bidangnya, saya juga merasa tidak perlu berbuat konyol dengan memberikan tanggapan balik dalam pernyataan-pernyataan normatif dan klise. Ini tentu sangat tidak berguna buatnya. Selama hampir satu jam saya hanya menyediakan telinga saya untuk mendengarkannya saja.

Ketika giliran dia meminta tanggapan, saya bilang saya perlu waktu untuk memberikan tanggapan yang tepat. Dia pun menutup telepon dan menunggu janji saya, segera. Namun baru dini hari tadi saya bisa memberikan tanggapan. Saya berkirim pesan ke WA teman saya untuk mengecek email. Demikian isi tanggapan saya.

Pertama-tama saya memintanya untuk tidak menilai jerih payah persiapannya sebelum ujian, itu hanya akan membuatnya berpikir bahwa dunia sedang tidak adil kepadanya. Saya juga memintanya untuk tidak membayangkan bahwa ada hikmah di balik kegagalannya, sebab ini berpotensi akan menimbulkan kedukaan yang tertunda. Saya hanya memintanya untuk menerima perasaannya sejujur-jujurnya.

Bila itu menimbulkan sensasi sakit, rasakan itu sesakit-sakitnya. Intinya, “berikan perasaanmu untuk merasakan kekecewaan secara cukup dan pantas. Tidak perlu menghindar dan malu. Bila perlu bayangkan perasaan sakit itu sanggup melepuhkan permukaan kulitmu.”

Saya tidak menawarkan solusi apa-apa. Melengkapi tanggapan balik saya, saya hanya menyertakan review atas sejumlah studi saja. Saya merasa dia lebih cocok dengan cara saya ini, sebab saya tahu dia adalah pribadi dengan kapasitas intelektual yang cemerlang. Saya tahu dia tidak suka dinasehati, bahkan cenderung meremehkannya.

Saya lanjutkan tanggapan saya.

Ketika perasaan kita membayangkan kondisi yang lebih baik karena hari ini kita dalam kondisi sebaliknya, ia tidak selalu menjadi petunjuk bahwa kita benar-benar akan sesuai dengan kondisi yang kita bayangkan saat ia benar-benar terjadi.

Ambil contoh, mengapa kita memejamkan mata saat kita membayangkan suatu kejadian atau benda, dan menutup telinga ketika kita ingin mengingat sebuah lagu? Kita melakukan ini karena otak kita harus menggunakan korteks visual dan auditori untuk menampilkan imajinasi baik visual maupun auditori. Ketika bagian itu sudah sibuk dengan tugas utama mereka dalam kehidupan nyata hari ini, mereka tidak suka dengan pekerjaan membayangkan.

Kita tidak mudah membayangkan seekor kodok ketika kita sedang sibuk mengamati cicak kawin, karena aktivitas melihat ini telah mengaktifkan komponen-komponen dalam otak yang diperlukan oleh imajinasi. Dengan kata lain, ketika kita meminta otak kita menyaksikan benda nyata dan benda imajiner secara bersamaan, otak kita biasanya memberikan kesempatan pertama pada benda nyata, baru sisanya pada benda imajiner.

Otak menganggap bahwa tugas utamanya adalah melihat benda nyata. Sehingga keinginan kita untuk meminjam korteks visual guna membayangkan benda imajiner barang sebentar saja akan ditolak mentah-mentah. Andai otak kita tidak memiliki kebiasaan mendahulukan yang nyata ini [reality first policy], maka akan terjadi lebih banyak kecelakaan lalu lintas. Sebab kita akan menerabas lampu merah hanya karena kita kebetulan membayangkan lampu hijau. Ini sama dengan, misalnya, kita menolak ajakan teman kita untuk nonton bioskop minggu depan bahkan jika itu adalah film yang kita sukai setelah dia hari ini menghilangkan laptop kita.

Baca Juga  Sulitnya Mengabaikan Perbedaan Muhammadiyah-NU

Otak kita terlalu sibuk memikirkan hilangnya data-data penting sehingga menolak membayangkan keasyikan menonton film. Kejadian-kejadian masa mendatang mungkin meminta izin untuk mengakses daerah-daerah emosi pada otak kita, namun peristiwa-peristiwa masa sekarang hampir selalu menghalangi akses tersebut.

Jadi, sebagai teman saya hanya bisa menyarankan, “Nikmatilah kesedihanmu dulu hingga otakmu bosan memikirkannya.”

*] Penulis dan pemerhati isu-isu psikologi. Pengkaji ilmu keperilakuan.

Tidak semua orang mampu menyikapi kegagalan dengan sikap yang positif. Faktanya, beberapa orang justru akan menganggap dirinya sebagai produk gagal yang memalukan setelah mengalami satu kegagalan! Jika orang terdekat Anda mengalaminya, ada banyak cara yang bisa Anda lakukan untuk mengembalikan kepercayaan dirinya dan membantunya melanjutkan hidup. Cobalah mengingatkannya bahwa setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan. Itulah mengapa kegagalan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk mendefinisikan identitas seseorang. Bantu dia untuk mencari cara belajar yang lebih efisien demi meningkatkan kesuksesannya di masa yang akan datang. Selain itu, Anda juga bisa membantunya mencari lokasi belajar yang lebih kondusif, serta membagikan strategi belajar yang terbukti ampuh untuk Anda.

  1. 1

    Ingatkan dia bahwa semua orang pasti pernah gagal. Gagal dalam ujian akan berpengaruh lebih besar kepada mereka yang sebelumnya tidak pernah mengalami kegagalan. Oleh karena itu, cobalah mengingatkannya bahwa semua orang pasti pernah gagal, meski mereka tidak menceritakannya kepada siapa pun. Ingatkan pula bahwa dia hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kegagalan![1] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Anda bisa berkata, "Jangan khawatir, toh semua orang pernah gagal. Nggak cuma kamu yang gagal di kelas kita. Sejujurnya, semua orang pernah mengalaminya di masa yang berbeda-beda. Kamu pasti bisa melewatinya!"

  2. 2

    Biarkan dia meluapkan seluruh emosinya. Terkadang, manusia hanya perlu meluapkan seluruh emosi, kekecewaan, dan amarahnya sebelum bisa benar-benar melanjutkan hidup. Bersedialah mendengarkan seluruh keluh kesahnya tanpa memberikan terlalu banyak komentar, dan izinkan dia meluapkan seluruh emosi yang membebaninya setelah mengalami kegagalan tersebut.[2] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Mintalah dia menceritakan perasaannya kepada Anda, dan izinkan dia bercerita sampai benar-benar puas. Anda bisa berkata, “Jangan takut menceritakan perasaanmu, ya. Aku pasti akan mendengarkan kok, selama kamu butuhkan."

  3. 3

    Tegaskan kepadanya bahwa kegagalan yang dialaminya tidak mendefinisikan siapa dirinya. Banyak orang yang menganggap dirinya produk gagal setelah mengalami sebuah kegagalan. Jika tidak ingin teman Anda juga merasa demikian, cobalah menjelaskan bahwa kegagalannya hanya terjadi satu kali, untuk satu ujian, di satu mata pelajaran. Dengan demikian, kegagalan tersebut tidak lantas membuatnya menjadi produk gagal; bukan berarti dia juga akan selalu gagal di sepanjang semester![3] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Anda bisa berkata "Aku tahu kamu pasti sulit melupakan masalah ini. Tapi, gagal di satu ujian nggak serta-merta menjadikanmu manusia yang gagal. Anggap saja ini cuma kerikil kecil yang mewarnai perjalanan hidupmu."

  4. 4

    Berikan contoh yang positif. Sesaat setelah mengalami kegagalan, beberapa orang cenderung akan menganggap dirinya sebagai produk gagal yang tidak akan mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan baik. Jika ada orang yang Anda tahu pernah gagal dalam ujian [atau dalam situasi serupa], tetapi tetap menjadi orang yang sukses setelahnya, jangan ragu menceritakannya kepada teman Anda! Ingatkan dia bahwa hal-hal positif juga dapat menghampirinya sejauh dia mau tekun dan terus berusaha.[4] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Misalnya, cobalah berkata, “Kamu tahu John, kan? Dia kan dikenal sebagai alumnus paling sukses dari sekolah kita, tuh. Nah, sebenarnya dia juga pernah gagal di ujian yang sama denganmu, lho. Namun setelahnya, dia tetap bisa sukses, kan?"

  5. 5

    Mintalah dia beristirahat. Setelah mengalami kegagalan, beberapa orang merasa perlu langsung mencurahkan segenap waktunya untuk kembali belajar. Faktanya, beristirahat barang sebentar ampuh menjernihkan otaknya dan memperbaiki kesehatan mentalnya. Oleh karena itu, mintalah dia untuk beristirahat sejenak dan melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti berjalan-jalan sore atau bahkan menyibukkan dirinya di rumah.[5] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Cobalah berkata, “Mau jalan-jalan, nggak? Serius deh, otakmu bakal lebih jernih setelahnya. Perasaanmu juga pasti bakal lebih baik."

  6. 6

    Jangan menggoda atau mencemoohnya. Ingat, gagal dalam ujian dapat benar-benar menurunkan harga dirinya secara signifikan. Meski dia terlihat baik-baik saja, kemungkinan besar lubuk hati terdalamnya sedang menyimpan kekecewaan yang sangat besar. Jangan pernah menjadikan situasinya sebagai bahan lelucon, atau bahkan membandingkan nilainya dengan nilai Anda.[6] X Teliti sumber Kunjungi sumber

  1. 1

    Bantu dia mencari cara yang lebih efisien untuk belajar. Tanyakan durasi belajarnya selama ini, frekuensi mencatatnya di dalam kelas, dan ketidakpuasannya terkait sistem belajarnya saat ini. Setelah itu, mintalah dia mempelajari berbagai strategi belajar yang dirangkum dalam situs Princeton Review Help dan bantu dia memilih strategi yang belum pernah dicobanya. Percayalah, menggunakan strategi belajar yang baru ampuh memberikan hasil yang berbeda.[7] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Bagikan strategi belajar yang ampuh untuk Anda. Misalnya, jika selama ini Anda selalu belajar dengan bantuan kartu bergambar, cobalah mengajarkan strategi tersebut kepadanya dan mintalah dia mencobanya.

  2. 2

    Mintalah dia menentukan batasan waktu untuk berduka dan merasa kesal. Percayalah, manusia lebih mudah terobsesi terhadap kegagalan daripada kesuksesan. Untuk mencegahnya berduka terlalu lama, minta dia menentukan batasan waktu [misalnya, 24 jam] untuk mengeluarkan reaksi apa pun yang diinginkannya. Sampaikan bahwa setelah batas waktu tersebut berakhir, mereka harus kembali berfokus pada upaya untuk melanjutkan hidup dan tidak lagi merasa terbebani oleh kegagalan.[8] X Teliti sumber Kunjungi sumber

  3. 3

    Bantu dia untuk mencari ruang belajar yang baru. Tanyakan di mana lokasi belajarnya selama ini. Jika lokasi tersebut terlalu bising dan sarat akan gangguan, bantu dia untuk mencari ruang belajar yang baru. Misalnya, pilih satu sudut yang tenang di rumahnya dan bantu dia memindahkan meja dan kursi ke sana. Jika dia enggan belajar di rumah, bantu dia mencari kedai kopi yang nyaman, tenang, dan bebas gangguan untuk dijadikan lokasi belajar barunya.[9] X Teliti sumber Kunjungi sumber

  4. 4

    Mintalah dia mengikuti kursus atau pelajaran tambahan. Sejatinya, beberapa orang memang kesulitan belajar sendirian. Itulah mengapa mereka membutuhkan bantuan dari orang lain untuk memahami materi tertentu. Tegaskan kepadanya bahwa situasi tersebut sangatlah wajar. Dorong dia untuk mencari segala bantuan yang diperlukan, seperti mengikuti kursus di luar jam sekolah.[10] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Misalnya, dorong dia untuk mengikuti pelajaran tambahan yang disediakan oleh instansi pendidikannya, atau mengakses situs pembelajaran daring seperti Zenius.

  1. 1

    Dorong dia untuk segera menghubungi pengajarnya. Jika kegagalan yang dialaminya berpotensi membuatnya tidak lulus, pastikan dia segera menghubungi pengajarnya. Sebesar apa pun penyesalan atau ketakutan yang mendominasi pikirannya, jelaskan kepadanya bahwa berbicara kepada sosok yang mampu mengubah nasibnya secepat mungkin adalah hal terpenting yang harus dia lakukan saat ini.[11] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Misalnya, dia bisa berkata, “Selamat siang, Pak. Kalau Bapak ada waktu, saya ingin mendiskusikan nilai ujian terakhir saya. Sejujurnya, saya khawatir nilai yang buruk tersebut bisa membuat saya tidak lulus."

  2. 2

    Bantu dia mencari cara untuk menyampaikan keluhannya. Sekadar menghampiri pengajar dan berkata, “Bapak sudah membuat saya tidak bisa lulus" tidak akan membawa dampak positif apa pun untuk teman Anda. Oleh karena itu, cobalah mengajaknya bermain peran untuk melatih kata-katanya; tempatkan diri Anda pada posisi pengajar dan mintalah dia melatih kata-katanya di depan Anda.[12] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Misalnya, dia bisa berkata, “Saya benar-benar khawatir nilai ujian yang terakhir membuat saya tidak bisa lulus. Saya sudah mempelajari semua materi dan catatan pribadi menjelang ujian, itulah kenapa saya yakin bahwa materi yang keluar di dalam ujian tidak ada di catatan mana pun."
    • Atau, dia juga bisa berkata, “Saya merasa sudah memberikan jawaban yang lengkap pada bagian soal uraian. Bapak bisa lihat bahwa saya sudah menandai kalimat-kalimat yang menjawab pertanyaan Bapak. Apakah Bapak keberatan mendiskusikan jawaban tersebut dan nilai ujian saya?"

  3. 3

    Mintalah dia menjelaskan situasi negatif yang memengaruhi performanya kepada pengajarnya. Jika teman Anda mengalami migrain saat ujian atau menerima kabar buruk sesaat sebelum ujian, kemungkinan besar situasi-situasi tersebut akan memengaruhi performanya secara negatif. Oleh karena itu, dorong dia untuk turut menjelaskan akar masalahnya saat berdiskusi dengan pengajarnya.[13] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Misalnya, dia bisa berkata, “Waktu ujian, saya tidak menceritakannya kepada Bapak karena tidak ingin dianggap sedang mencari-cari alasan. Namun sejujurnya, saat itu saya benar-benar sedang sakit dan tidak bisa berkonsentrasi dengan baik."

  4. 4

    Dorong dia untuk meminta kesempatan kedua kepada pengajarnya. Beberapa pengajar memiliki kebijakan yang sangat kaku, terutama perihal perbaikan nilai. Namun, jika teman Anda mengalami masalah yang sangat serius, kemungkinan besar situasi tersebut akan memengaruhi kebijakan sang pengajar. Oleh karena itu, cobalah mendorongnya untuk melakukan ujian perbaikan atau mengerjakan tugas apa pun demi menambah nilai ujiannya.[14] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Misalnya, teman Anda bisa berkata, "Bolehkah saya melakukan ujian perbaikan?" atau "Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk menambah nilai ujian? Saya khawatir nilai ini akan memengaruhi kemungkinan kelulusan saya."

  5. 5

    Mintalah dia untuk tetap tenang. Saat dihadapkan pada situasi negatif yang berpotensi menggagalkan seluruh visi akademisnya, wajar jika dia merasa kesal atau terdorong untuk mengatakan hal-hal buruk kepada pengajarnya. Oleh karena itu, dorong dia untuk tetap bersikap tenang dan sopan selama pertemuan berlangsung.[15] X Teliti sumber Kunjungi sumber

    • Melatih percakapan yang akan berlangsung dari jauh-jauh hari juga ampuh membantunya mengontrol diri pada hari-H, lho! Cobalah menawarkan diri untuk berperan sebagai pengajarnya dan izinkan dia melepaskan seluruh kekesalannya kepada Anda.

  • Tunjukkan sikap suportif. Bersikap suportif, pengertian, peduli, dan ringan tangan adalah pendekatan terbaik yang layak Anda tempuh.
  • Bersabarlah. Jika Anda mampu bersikap pengertian dan menghargainya, lambat laun dia akan merespons bantuan dan dorongan Anda dengan sikap yang lebih positif.

  • Jangan marah-marah. Simpan kekecewaan Anda. Percayalah, menyuarakan apa yang Anda tuntut dari orang tersebut tidak akan membantunya. Sering kali, sikap tersebut justru akan mengikis kepercayaan diri orang lain dan memperburuk situasi yang ada.
  • Jangan terus-menerus mengeluh. Jangan pula bersikap superior, seakan-akan Anda jauh lebih hebat darinya. Percayalah, sikap seperti itu menunjukkan bahwa Anda sangat minim empati. Kemungkinan besar, sikap Anda tersebut justru akan membuatnya membenci Anda. Alhasil, dia justru akan semakin memberontak dan terdorong untuk menggagalkan segalanya hanya untuk membuat Anda kesal.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề