Kenapa umat Islam setelah membayar zakat masih harus membayar pajak

Harakah.id – Ada beberapa perbedaan signifikan sehingga menyamakan antara membayar pajak penghasilan dan zakat merupakan kesimpulan yang kurang tepat.

Kita hidup di negara yang mewajibkan rakyatnya membayar pajak. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana kaitannya dengan zakat? Bisakah dua hal ini disamakan sehingga pajak dapat dikurangi bila sudah membayar zakat, begitu pula sebaliknya?

Sepintas memang ada beberapa persamaan mendasar antara zakat dan pajak. Misalnya terkait hukum keduanya yang sama-sama wajib. Pajak adalah kewajiban sebagai warga negara dan zakat kewajiban sebagai seorang Muslim. Dari sisi tujuan, keduanya juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membantu menyelesaikan problem ekonomi.

Namun meski demikian, pajak dan zakat tidak dapat disamakan begitu saja. Ada beberapa perbedaan signifikan sehingga menyamakan keduanya merupakan kesimpulan yang kurang tepat.

Pertama, dari pengertian dasar dari sisi bahasa sudah berbeda. Zakat berarti bersih, bertambah, dan berkembang. Sedangkan pajak berarti utang, pajak, dan upeti. Dasar hukumnya juga berbeda. Dasar hukum zakat dari Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan pajak dari undang-undang negara. Zakat hanya dikeluarkan kepada 8 golongan yang sudah ditentukan agama, sedangkan pajak untuk dana pembangunan dan anggaran rutin. 

Lantas bagaimana dengan pajak penghasilan dan zakat, apakah ketika kita telah membayar pajak penghasilan maka kita sudah tertebas dari kewajiban membayar zakat? Atau setidaknya mengurangi jumlah harta yang harus kita keluarkan sebagai zakat? Untuk negara kita Indonesia, jawabannya adalah tidak bisa.

Memang ada beberapa orang yang berupaya membuat hal ini menjadi bisa, memadukan antara pajak dan zakat. Artinya, ketika pajak sudah dibayar, maka kewajiban zakat sudah gugur.

Dalam undang-undang zakat dan pajak memang ada upaya mengkompromikan keduanya, namun ternyata tetap tidak bisa. Dapat kita lihat sebagai argumentasinya dalam undang-undang kewajiban pajak dan zakat, yaitu Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa zakat hanya diakui sebagai biaya sehingga hanya dapat dilihat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Jika demikian maka belum cukup efektif meningkatkan pajak dan zakat.

Berbeda dengan negara lain, coba kita tengok Malaysia. Di sana zakat terhitung secara resmi sebagai pengurang pajak. Indonesia memang sempat berkembang usulan dan aspirasi untuk mengamandemen Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999 dan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan diutarakan agar pembayaran zakat dapat mengurangi kewajiban pajak [tax deductable].

Namun ada juga kekhawatiran dari beberapa orang, bila zakat mengurangi pajak maka perolehan pajak akan berkurang. Kemudian, ternyata penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak. Khususnya PPh pasal 21, karena perbedaan tarif pajak yang 30 persen dengan tarif zakat yang relatif sangat rendah yaitu 2,5 persen dari penghasilan.

Kesimpulan akhirnya, yaitu tetap pajak penghasilan tidak dapat menggantikan kewajiban zakat begitu juga menguranginya.

Lihat Foto

KOMPAS/RIZA FATHONI

ILUSTRASI: Pembayaran zakat di Bank

Tanya: Apakah kalau sudah melaksanakan zakat, kita masih perlu bayar pajak? Zakat apa saja yang menghapuskan kewajiban kita untuk bayar pajak? [Dodo - Garut]

Jawab: Assalammualaikum. Pak Dodo, sampai saat ini, zakat belum bisa menghapuskan kewajiban membayar pajak tetapi hanya mengurangi penghasilan kena pajak. Berdasarkan peraturan yang ada, zakat yang bisa mengurangi pajak adalah zakat penghasilan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Pada aturan tersebut, zakat yang bisa menjadi pengurang pajak adalah zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam. Zakat tersebut harus dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah.

Aturan ini menyebutkan, zakat yang dibayarkan ke badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang tidak dibentuk dan disahkan oleh pemerintah, tidak bisa menjadi faktor pengurang penghasilan kena pajak. Dalam pelaporan SPT tahunan, bukti pembayaran zakat dapat disertakan dalam laporan sehingga penghasilan kena pajak dapat dikurangi dengan zakat yang sudah dikeluarkan. [Rumah Zakat]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Menilik sejarah pada zaman Nabi dan khalifah sesudahnya, zakat merupakan satu-satunya sistem perpajakan bagi umat Islam di luar kharaj yakni pajak atas tanah. Sekarang umat Islam berada pada abad 21 dengan situasi dan kondisi yang sangat berbeda dari masa lalu. Kita hidup di dunia modern dengan sistem perpajakan yang persentasenya lebih tinggi dari persentase zakat.

Dalam kaitan ini, pertanyaan yang sering muncul, apakah masih wajib zakat atas harta yang telah kena pajak, apakah boleh membayar pajak dengan niat zakat, dan sederet pertanyaan lainnya.

Setahu saya isu ini telah ada sejak lama dan dibahas dalam Seminar Nasional tentang Zakat dan Pajak yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia [MUI] pada tanggal 2 – 4 Maret 1990 di Jakarta. Menteri Agama waktu itu H. Munawir Sjadzali, MA mengingatkan tentang perlunya pemikiran yang dinamis mengenai pelaksanaan zakat. Bapak Munawir Sjadzali yang pada pertengahan dekade delapan puluhan menawarkan gagasan reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam mengatakan bahwa zakat tentu masih wajib hukumnya setelah ada pajak.

Dalam seminar itu ahli fiqih terkemuka Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML selaku Ketua Komisi Fatwa MUI menyampaikan paparan yang cukup komprehensif. Ibrahim Hosen merujuk pendapat mayoritas ulama bahwa zakat dan pajak di dalam Islam adalah wajib guna menghimpun dana yang diperlukan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Perbedaannya hanya dari segi penetapan hukumnya. Zakat penetapan hukumnya berdasar agama [syar’i] melalui ayat Al Quran dan Hadis Nabi, sedangkan pajak kewajibannya berdasar penetapan atau ijtihad ulil amri [pemerintah]. Pendapat mayoritas ulama menyatakan kedua-duanya wajib ditunaikan. Kewajiban yang satu tidak menggugurkan kewajiban yang lain.

Ketua Umum MUI waktu itu K.H. Hasan Basri menegaskan, “Zakat mempunyai kekhususan, yakni dari umat Islam, oleh umat Islam dan untuk umat Islam. Lain halnya dengan pajak. Pajak mempunyai ruang lingkup dan jangkauan yang lebih luas, baik sumber maupun pemanfaatannya. Pendapat sebagian besar ulama menyatakan bahwa zakat tidak bisa dipajakkan, begitu pula pajak tidak bisa dizakatkan.”

Bagaimana di negara lain? Dewan Penelitian Keislaman Universitas Al-Azhar Cairo Mesir memfatwakan bahwa pajak untuk kepentingan negara tidak dapat menggantikan pembayaran zakat yang wajib hukumnya dalam Islam. Pendapat senada dikeluarkan oleh Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia. Di Arab Saudi pembayaran pajak tidak bisa dijadikan sebagai pembayaran zakat. Pajak tidak boleh dipotong dari volume zakat yang wajib dibayar, tetapi dari total jumlah harta yang terkena kewajiban zakat.

Keberhasilan zakat dan pajak tergantung dari pengelolaannya, tetapi dari segi hukum dan implementasinya harus tetap dipisah. Menurut Ketua Umum BAZNAS Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, beberapa perbedaan pokok antara zakat dan pajak menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meski dalam beberapa hal terdapat persamaan. Perbedaan yang mendasar, antara lain: Pertama, dari segi nama, secara etimologis zakat berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat dan berkembang. Kedua, dari segi dasar hukum dan sifat kewajiban, zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Al Quran dan Hadis yang bersifat qath’i, sehingga bersifat mutlak atau absolut sepanjang masa. Kewajiban zakat tidak dapat dihapuskan oleh siapapun. Sedangkan pajak keberadaannya sangat tergantung dari kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang. Ketiga, dari sisi obyek dan persentase serta pemanfaatannya, zakat memiliki nishab [kadar minimal] dan persentase baku berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai Hadis Nabi. Sedangkan pungutan pajak tergantung pada jenis, sifat dan cirinya. Zakatharus digunakan untuk kepentingan mustahik yakni 8 asnaf, sedangkan pajak dapat digunakan untuk membiayai seluruh sektor kehidupan negara, sekalipun dianggap tidak berkaitan dengan ajaran agama.

Guru Besar IAIN [sekarang UIN] Sunan Ampel Surabaya Prof. KH Sjechul Hadi Permono semasa hidupnya pernah persamaan dan perbedaan antara pendayagunaan pajak dan pendayagunaan zakat. Semua bidang dan sektor pembangunan yang dibiayai dari dana zakat, kecuali: [1] untuk agama non-Islam, [2] untuk aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, [3] yang tidak mengandung taqarrub [kebajikan, kebaikan] menurut Islam, dan [4] yang berbau maksiat dan/atau syirik menurut pandangan ajaran Islam.

Sjechul Hadi Permono menyoroti perbedaan pendayagunaan zakat dan pajak pada empat pengecualian tersebut, tidak dapat dibiayai dari dana zakat [sekalipun dapat dibiayai dari dana pajak] karena bertentangan dengan arti ibadah zakat itu sendiri. Banyak bidang yang dapat dibiayai dari dana zakat, namun tidak dibiayai dari pajak, seperti muallaf, riqab dan gharim.

Yang pernah diusulkan oleh BAZNAS kepada Dirjen Pajak ialah “zakat sebagai kredit pajak”, artinya bukan hanya pengurang penghasilan bruto [penghasilan kena pajak]. Seandainya zakat berlaku sebagai pengurang pajak, hampir dapat dipastikan berdampak positif terhadap transparansi data wajib zakat dan wajib pajak.

Pemerintah telah melakukan langkah-langkah dan upaya mendorong pemberdayaan potensi zakat melalui penyempurnaan regulasi dan penguatan infrastruktur lembaga pengelola zakat yang memiliki kekuatan hukum formal. Oleh karena itu pengembangan sistem pelayanan zakat dan pajak yang efektif seyogyanya menjadi prioritas ke depan. Dalam kenyataan, banyak celah orang tidak membayar zakat kepada lembaga yang resmi, tetapi sulit menghindar dari kewajiban pajak karena sistem pajak yang sudah sedemikian canggih [sophisticated]. Saya kira tidak perlu ditunggu “revolusi” zakat karena ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad SAW lebih dari empat belas abad yang lalu adalah suatu ajaran yang sangat revolusioner.

Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS

//pusat.baznas.go.id/berita-artikel/zakat-dan-pajak-dapatkah-disatukan/ 

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề