Mengapa homoseksual dianggap sebagai perilaku menyimpang

Sejak tahun 1987, homoseksual sudah tidak dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan atau kelainan mental. Namun, hingga saat ini, masih banyak yang menganggap bahwa homoseksual sebagai perilaku seks menyimpang. Hal ini membuat kaum homoseksual sering mengalami diskriminasi.

Homoseksual adalah istilah untuk mendeskripsikan identitas seksual seseorang yang tertarik secara personal, emosional, atau seksual kepada orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya.

Seorang homoseksual berjenis kelamin laki-laki dikenal dengan istilah gay, sedangkan yang berjenis kelamin perempuan disebut dengan lesbian.

Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Homoseksual

Meski sudah tidak dianggap sebagai gangguan kejiwaan, masih banyak orang yang menganggap homoseksual sebagai perilaku menyimpang. Hingga saat ini, faktor penyebab seseorang menjadi homoseksual pun masih menjadi pertanyaan besar yang belum jelas jawabannya.

Namun, beberapa penelitian sejauh ini menyebutkan ada beberapa hal yang diduga berpengaruh dalam menentukan seseorang menjadi homoseksual, yaitu:

1. Variasi bentuk otak

Menurut riset, ada sedikit perbedaan secara biologis maupun anatomis di antara individu homoseksual dengan heteroseksual. Perbedaan tersebut terdapat pada struktur dan bentuk otak.

Riset yang melibatkan prosedur MRI otak tersebut menyebutkan bahwa bagian anterior cingulate cortex dan temporal otak sebelah kiri pada kebanyakan homoseksual sedikit lebih tebal daripada individu heteroseksual.

Data tersebut menunjukkan bahwa variasi bentuk otak diduga berpengaruh dalam menentukan gender seseorang menjadi homoseksual. Namun, temuan ini belum bisa menjadi jawaban pasti mengapa seseorang bisa menjadi homoseksual.

2. Faktor genetik

Faktor genetik juga dipercaya bisa menjadi salah satu penyebab seorang individu menjadi homoseksual. Ada teori yang menyebutkan bahwa seorang wanita homoseksual mungkin mengalami kelebihan hormon androgen saat ia masih dalam kandungan.

Ada pula yang menyebutkan bahwa sifat genetik tertentu berperan dalam menentukan sifat, perilaku, dan preferensi seksual seseorang, termasuk membuat seseorang menjadi homoseksual.

Sayangnya, teori tersebut belum bisa dijadikan alasan pasti mengapa seseorang bisa menjadi homoseksual. Hingga saat ini, para peneliti juga masih mengkaji peran faktor genetik dalam menentukan orientasi seksual seseorang.

3. Trauma masa kecil

Ada penelitian yang menyebutkan bahwa trauma psikologis pada masa anak-anak dapat berpengaruh terhadap orientasi seksual seseorang, termasuk homoseksual. Riset tersebut menyebutkan bahwa orang yang memiliki orientasi seks penyuka sesama jenis pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecilnya.

Meski begitu, cukup banyak juga orang yang tetap menjadi heteroseksual walaupun pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecil.

Homoseksual Tidak Disebabkan Gangguan Mental

American Psychiatric Association [APA] dan World Health Organization [WHO] menyatakan bahwa homoseksual bukanlah sebuah kondisi akibat gangguan mental.

Hal yang sama juga dinyatakan dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi III [PPDGJ III] yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman ini menyebutkan bahwa orientasi seksual homoseksual atau biseksual bukanlah suatu gangguan jiwa.

Meski demikian, masih banyak kaum homoseksual yang mendapatkan perlakuan negatif, stigma, dan diskriminasi, sehingga tidak sedikit orang homoseksual lebih memilih untuk menyembunyikan orientasi seksualnya.

Jika Anda memiliki orientasi seksual yang berbeda, termasuk homoseksual, atau merasa penasaran apa yang menyebabkan Anda memiliki orientasi seksual tersebut, cobalah berkonsultasi dengan psikolog agar Anda dapat memahaminya lebih dalam.

Melalui sesi konseling dengan psikolog, Anda juga bisa lebih mengenal diri sendiri dan mendapatkan tips untuk menerima orientasi seksual yang Anda miliki dengan lebih terbuka.

Lihat Foto

Thinkstock

Ilustrasi LGBT.

JAKARTA, KOMPAS.com - RUU Ketahanan Keluarga mendefinisikan homoseksual dan lesbian [LGBT] sebagai penyimpangan seksual.

Hal itu tertuang dalam penjelasan Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur tentang krisis keluarga.

Pasal 85 berbicara tentang penanganan krisis keluarga karena penyimpangan seksual. Dalam penjelasannya, penyimpangan seksual yang dimaksud meliputi:

a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.

Baca juga: Kementerian PPPA Nilai Orangtua Perlu Perhatikan Tontonan Anak Terkait Dampak LGBT b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya. c. Homosex [pria dengan pria] dan lesbian [wanita dengan wanita] merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama. d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.

Selanjutnya, dalam pasal 86-87, pelaku penyimpangan seksual wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.

Dalam Pasal 88-89, diatur tentang lembaga rehabilitasi yang menangani krisis keluarga dan ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor.

Baca juga: Draf RUU Ketahanan Keluarga, Penyimpangan Seksual Wajib Dilaporkan

Anggota DPR Fraksi Gerindra Sodik Mujahid yang merupakan salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga pun menjelaskan mengapa homoseksual dan lesbian [LGBT] diatur sebagai penyimpangan seksual.

"Ini yang menjadi diskusi kita. Apakah homoseksual privat atau tidak? Ketika masif, mengganggu bangsa tidak? Mengganggu umat manusia tidak? Inilah yg kita ajak melihat secara lebih obyektif. Dengan pendekatan normatif apakah bertentangan dengan budaya pancasila?" kata Sodik, Selasa [18/2/2020]. Sodik menilai, perilaku LGBT bukan lagi urusan privat. Selain itu, Sodik memandang perilaku tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. "Mohon maaf saya kira Pancasila berbeda mana ukuran-ukuran privacy dan bangsa. Mungkin di negara barat dianggap urusan pribadi, tetapi ketika masuk Pancasila tidak pribadi lagi," ucap dia. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

JAKARTA, SELASA - Homoseksualitas tidak lagi dikategorikan sebagai gangguan jiwa atau penyimpangan seksual. Bahkan istilah homoseksualitas sebagai orientasi seksual menyimpang itu tidak tepat dan menyesatkan karena memberi dampak negatif seperti stigmatisasi, pengucilan oleh masyarakat yang kurang mendapat informasi yang benar.

Demikian disampaikan psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Lukas Mangindaan, SpKJ dalam seminar nasional "Seksualitas yang ditabukan: Tantangan Keberagaman" di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, hari ini, Selasa [11/11].

Dikatakan Lukas, penghapusan paham homoseksualitas sebagai gangguan jiwa adalah keputusan dari Organisasi Kesehatan Sedunia [WHO] pada 17 Mei 1990 dan sudah dicantumkan Depkes RI dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 [PPDGJ II] dan PPDGJ III [1993].

"Jadi sudah terbukti bahwa orientasi homoseksual tidak memenuhi kriteria gangguan jiwa atau mental," ujarnya.

Ia menjelaskan, homoseksualitas, biseksualitas maupun heteroseksualitas kini dikategorikan sebagai bagian dari identitas diri seseorang. "Identitas diri itu tak lain adalah ciri-ciri khas dari seseorang seperti nama, umur, jenis kelamin termasuk orientasi seksual [heteroseksual, biseksual, homoseksual]. Sedangkan identitas diri perlu dibedakan dengan perilaku, karena identitas diri bersifat netral dan perlu diterima sebagaimana adanya, tetapi perilaku dapat bersifat positif, negatif, netral, dan lain-lain. Jadi jangan dicampurbaurkan identitas diri dengan perilaku," ujarnya.

Lukas menekankan perlunya melihat pelbagai jenis identitas diri sebagai bagian dari keberagaman manusia dan bersikap pluralistik tanpa sikap apriori. "Upaya untuk berempati yakni kemampuan untuk mengerti, menghayati dan menempatkan diri di tempat mereka yang terpinggirkan perlu dikembangkan. Sikap homofobia yang menyisihkan, melecehkan, diskriminasi dan mendapat perlakuan kekerasan pada kaum LGBT [Lesbian, Gay, Biseksual, Transjender] harus dihilangkan. Ini yang perlu disosialisasikan pada masyarakat," jelasnya.

Sedangkan menurut Pendiri dan Pembina Yayasan Gaya Nusantara Dede Oetomo, tidak semua agama dan sistem kepercayaan mengharamkan homoseksualitas dan transgenderisme. "Tafsir ulang atas ajaran yang mengharamkan homoseksualitas dan transjenderisme sudah dilakukan beberapa agama yang sangat menentang hal itu, supaya tak menghasilkan pandangan yang memusuhi homoseksualitas dan transjenderisme," katanya.

Peran negara untuk melindungi hak-hak kaum LGBT, dikatakan Dede, perlu dikembangkan untuk menuju ke kehidupan bersama yang lebih baik.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề