Mengapa kekuasaan kehakiman harus independen atau terlepas dari kekuasaan manapun *?

[Judges can not pass judgment on people better than god]
Oleh : Hj. St. Zubaidah, S.Ag.,S.H.,M.H. [Wakil Keyua PA Negara]

Kebebasan Hakim merupakan salah satu prinsip penting dalam konsep negara hukum diatur dalam keputusan simposium Universitas Indonesia tentang konsep negara hukum tahun 1966, disebutkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu ciri khas negara hukum. Dalam pasal 1 ayat [3] Perubahan ketiga UUD 1945 karena negara Indonesia adalah negara hukum menurut menurut Budiardjo, salah satu ciri-ciri adanya prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan dijamin secara konstitusional.

Lebih lanjut Seno Adji menyebutkan ada tiga ciri khusus konsepsi negara hukum yaitu:

  1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi di bidang politik, hokum, social, ekonomi, budayadan pendidikan.
  2. Legalitas dalam arti hukum dalam sejarah.
    Tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain

Dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka diwajibkan kepada hakim untuk selalu menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya [pasal 3 ayat [1] Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan kemandirian Hakim adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis. Kebebasan Hakim dalam pelaksanaan tugas peradilan Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan apapun, bahkan ketua hakim pengadilan yang lebih tinggi, tidak berhak untuk ikut campur dalam soal peradilan yang dilaksanakannya.

Pasal 39 ayat [4] UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan Mahkamah Agung merupakan pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan di bawahnya, tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Kebebasan Hakim merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan karena pada dasarnya tujuan dari kebebasan Hakim adalah mengadili dan memutus perkara dengan sebaik-baiknya,
memberikan keputusan yang berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran.

Dalam konferensi internasional commission of jurist di Bangkok pada tahun 1965, disebutkan ada 6 syarat sebagai dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah rule of Law yaitu:

  1. Perlindungan konstitusional.
  2. Peradilan atau badan-badan bebas dan tidak memihak.
  3. Pemilihan umum yang bebas.
  4. Kkebebasan menyatakan pendapat.
  5. Kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
  6. Pendidikan Kewarganegaraan.

Hakikat independensi kekuasaan kehakiman itu tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak terbatas atau tanpa batas kecuali kekuasaan Tuhan yang maha kuasa di dunia ini maupun di akhirat. Kekuasaan kehakiman yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu sehingga dalam konferensi internasional commision of jurist dikatakan bahwa "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner".

Kebebasan Hakim merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral, etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme dan imparsialitas. Terkadang independensi dan kebebasan Hakim tidak luput dari pengaruh-pengaruh direktif yang berasal dari antara lain lembaga internal dalam kekuasaan kehakiman itu sendiri sendiri, lembaga di luar lembaga peradilan baik eksekutif, legislatif maupun lembaga yang lain, dan pengaruh tekanan masyarakat baik nasional maupun internasional.

Konsep kebebasan peradilan tersebut diperoleh pemahaman bahwa kebebasan peradilan [independent judiciary] harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan [judisial accountability]. Konsep inilah yang melahirkan konsep pertanggungjawaban peradilan [judisial accountability] termasuk didalamnya integrity dan transparansi yang dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggung jawab hukum [legal responsibility] dan tanggung jawab kemasyarakatan [social responsibility].

Kebebasan tidak berdiri sendiri tetapi dikaitkan dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran aku akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada manusia, kepada bangsa dan negara, sehingga meskipun bebas, tetapi tidak sampai melanggar norma-norma hukum, dan juga hak dan tanggung jawab selaku warga negara.

Jika kita lihat makna kebebasan yang terkandung dalam Pancasila merupakan kebebasan yang diwarnai dan dijiwai oleh nilai-nilai dalam bangsa Indonesia yang telah berakar dalam kepribadian bangsa, kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial. Konsep kebebasan dalam Pancasila lebih mengutamakan kewajiban sosial daripada penuntutan hak pribadi, lebih mengutamakan memadukan pendapat dengan jalan musyawarah daripada menekankan pendapat sendiri terhadap pihak lain, dan mengutamakan nilai-nilai ketuhanan.

Kebebasan yang berdimensi Pancasila tersebut juga tercermin dalam tindakan Hakim dalam menemukan kebenaran materiil. Pondasi kebebasan tersebut termasuk termaktub dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum selanjutnya dalam pasal 24 undang-undang 1945 yang memuat prinsip jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kebebasan inilah yang akan menuntun Hakim dalam membuat keputusan secara mandiri tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun sesuai dengan keyakinan nuraninya yang mencerminkan kebenaran dan keadilan bagi masyarakat.

baca artikel selengkapnya

Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII [HTN FH UII] mengadakan Webinar bertema Dua Dekade Perkembangan dan Dinamika Kekuasaan Kehakiman. Bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI, webinar ini menghadirkan tiga narasumber.

Ketiganya yaitu Dr. Sri Hastuti Puspitasari, M.H dan Dr. Idul Rishan, LL.M selaku dosen Hukum Tata Negara FH UII serta Dr. Fajar Laksono Soeroso, M.H selaku Kepala Bagian Humas dan Kerjasama Dalam Negeri MK RI.

Webinar dibuka dengan keynote speech oleh Dr. Suhartoyo, MA, hakim MK RI. Ia menjelaskan tatanan perkembangan negara telah diatur sedemikian rupa untuk menciptakan praktik bernegara yang lebih sejalan dengan perkembangan zaman. Tatanan tersebut lebih menegaskan pada prinsip bernegara hukum dan lebih memberikan jaminan bagi terwujudnya nilai-nilai demokrasi dan konstitusi.

“Kekuasaan kehakiman harus independen dalam pengertian secara struktural lepas dari cabang-cabang kekuasaan lainnya dan secara fungsional dalam memeriksa mengadili dan memutus setiap hakim tidak dipengaruhi dicampuri oleh kekuasaan ekstra yudisial” pesan Suhartoyo.

Narasumber pertama, Idul Rishan mengupas topik intervensi negara melawan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. “Kekuasaan kehakiman tetap perlu diintervensi oleh negara. Jangan membayangkan bahwa dia [kekuasaan kehakiman] bisa berjalan sendiri. Intervensi negara pasti masuk ke dalam kekuasaan kehakiman”, ujarnya menyampaikan pendapat berbeda.

Ia juga banyak menyinggung istilah independensi, konsep kemerdekaan, ancaman atas kemerdekaan, dan tantangan selama dua dekade kekuasaan kehakiman.

Di akhir penyampaian, Idul Rishan memberikan beberapa catatan untuk menunjang performa peradilan yang independen. Beberapa masukan yang ia berikan diantaranya memerankan Komisi Yudisial sebagai ‘Buffer’ [penghubung antara kepentingan politik pemerintah dan kepentingan lembaga peradilan].

Selain itu, prinsip independensi dan akuntabilitas harus bisa berjalan dinamis. Jika performanya baik akuntabilitas dikecilkan dan jika performa buruk maka independensi dikecilkan serta independensi dikuatkan.

DPR dalam Mekanisme Seleksi Hakim Agung dan Konstitusi

Di sisi lain Sri Hastuti membahas topik reformasi dan peran DPR dalam pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi. “Pada dasarnya reformasi itu arahnya adalah untuk menciptakan sistem politik yang demokratis di Indonesia. Dalam menciptakan hal tersebut maka ada sejumlah langkah konsolidasi di demokrasi”, ungkapnya.

Ia mengkritisi keterlibatan DPR dalam seleksi hakim agung dan seleksi hakim konstitusi. Menurutnya, meski hal itu adalah hasil konsolidasi demokrasi, namun tidak tepat jika disebut check and balance antar lembaga. Kalaupun DPR akan terlibat maka harus ditinjau ulang agar kemudian tidak subyektif dan tidak mengganggu prinsip independensi.

Sementara itu, Fajar Laksono menjelaskan relasi MK dan pembentuk undang-undang, serta bagaimana peran MK dalam skema legislasi yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu model konfrontatif dan model kooperatif.

Model konfrontatif adalah model yang secara terbuka tidak setuju satu sama lain, menggunakan cara ‘main kasar konstitusional’ untuk membatasi atau melemahkan kewenangan dan legitimasi lembaga.

Sedangkan model kooperatif yaitu dimana dua institusi bekerja mengambil peran bersama melindungi dan meningkat demokrasi dan hak-hak dasar, serta mendorong pencapaian tujuan negara. Ia tertarik untuk mengadaptasi atau mengelaborasi kedua model ini ke dalam konteks ketata negaraan Indonesia. [MRA/ESP]

Oleh : Dr. Drs. H. Trubus Wahyudi, S.H., M.H.

Paradigma Urgensi Independensi Hakim dan Pengawasan masyarakat adalah suatu keharusan yang tidak bisa diabaikan demi terealisasinya tegaknya hukum dan  keadilan yang senantiasa didambakan oleh  masyarakat para pencari keadilan. Urgensi dimaksudkan keharusan yang mendesak. sedangkan  Independensi Hakim sebagai  substansi utama negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka, mandiri atau independen. lagi pula seorang hakim harus berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim.  Dengan begitu, dapat dipastikan tanpa terjaminnya independensi kekuasaan kehakiman maka sudah tentu akan runtuhlah fondasi suatu negara hukum. Ihwal Independensi Hakim  erat kaitannya dengan membicarakan pengadilan, karena pengadilan adalah benteng terakhir keadilan. Kalimat ini memiliki makna yang sangat dalam, sebab disatu sisi dapat berarti  bahwa pengadilanlah harapan terakhir masyarakat untuk memperoleh keadilan, kebenaran dan tegaknya hukum. Disisi lain juga bermakna bahwa pada dasarnya tidak semua persoalan atau sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan, karena dapat juga diselesaikan melalui lembaga Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa [Pasal 58 UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman].

Bagi suatu negara hukum, pengadilan merupakan satu lembaga yang mutlak keberadaannya., dan dengan adanya pengawasan  masyarakat adalah merupakan modal yang sangat penting  demi  tegaknya hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.  Sukar dibayangkan,  jika lembaga perailan ini tidak ada , apakah jadinya negara ini mungkin yang terjadi adalah negara hukum rimba, sebab hilangnya eksistensi pengadilan akan berarti gugurnya status negara hukum itu sendiri.

Oleh karena itu kalaupun masih ada sorotan masyarakat sebagai bentuk pengawasan masyarakat yang demikian tajam dan terkesan juga agak sinis terhadap dunia peradilan  dewasa ini, seharusnya  dipandang secara positif dan harus diterima sebagai modal  pemacu introspeksi, secara realita  bahwa kepedulian masyarakat terhadap lembaga peradilan  sangat respon dan meningkat. Masyarakat kini tidak lagi hanya pasrah terhadap realita yang sering kali  dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, adanya masyarakat mulai menggugat eksistensi dan fungsi lembaga peradilan adalah dengan satu harapan pengadilan dapat dijadikan tumpuan tegaknya hukum dan keadilan.

Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan hakim  adalah mandiri tidak mengusung kepentingan pihak tertentu ataupun tidak terpengaruh oleh siapapun. Dalam konteks lain, independensi juga merupakan hak pribadi  sebagai manusia, yang memiliki hak bebas dan merdeka tanpa ditekan oleh pihak lain. Tentunya dimasudkan independensi hakim  dalam  pelaksanaan tugas yudicialnya adalah mandiri tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun dalam menjatuhkan putusannya sesuai dengan keyakinan nuraninya. Namun disisi lain independensi disini bukan mutlak tanpa batas, akan tetapi ada batasan-batasannya, karena suatu lembaga ataupun organisasi tidak dapat  eksis tanpa adanya dukungan dari pihak lain.

Independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa :

  • Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
  • Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari  pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa  sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan.

Sampai saat ini terkadang masih juga ada satu pertanyaan yang belum dapat dijawab secara memuaskan adalah sampai sejauh mana independensi itu dimiliki oleh para hakim di pengadilan? Karena terkadang masih juga ada oknum hakim tertentu yang masih terpengaruh terhadap iming-iming pihak tertentu yang berakibat timbulnya opini negatif terhadap independensi hakim. Independensi atau kebebasan disini harus lebih dikonotasikan sebagai kebebasan dan kemandirian untuk menegakkan hukum dan keadilan yang hakiki, atau secara harfiah kebebasan berfikir dan bertindak yang menjadi landasan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan hukum, dan hati nuraninya tanpa merasa takut terhadap pihak  luar. Dalam kapasitas inilah seorang hakim memiliki kedudukan teramat mulia dan tanggung jawab yang tinggi.

Kualitas seorang hakim akan diukur tidak hanya oleh ketrampilan dan kemampuan menerapkan pasal-pasal hukum dan memutus perkara secara cepat, tetapi lebih jauh juga diukur dari keberaniannya memegang teguh asas independensi yang melekat di pundaknya. 

Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah -irah “ Demi Kedilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “ menunjukkan kewajiban hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horisontal kepada semua manusia, dan secara vertikal  dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kapasitas inilah seorang  hakim memiliki kedudukan teramat mulia.

Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan mematuhi garis-garis dan  batas-batas  tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim  untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya, karena itu pada prinsipnya independensi hakim tidaklah mutlak, akan tetapi secara normatif independensi hakim  dibatasi oleh Kode Etik  dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana diwajibkan  dalam Pasal 13B ayat [2] UU Nomor 49 Tahun 2009 jis  Pasal 12B ayat [2] UU Nomor 50 Tahun 2009 dan Pasal 13B ayat [2] UU Nomor 51 Tahun 2009, serta mentaati nilai-nilai dasar perilaku Religiusitas, yakni adanya kesadaran bahwa semua tindakan yang dilakukan selalu memiliki konskuensi untuk diberikan penghargaan atau hukiuman oleh Tuhan sehinbgga ketekunan dan ketaatan menjalankan ajaran agama dapat menjamin setiap yang di8lakukan menjadi lebih baik.

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sekarang ini, merupakan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam  Konggres IV luar Biasa IKAHI Tahun l966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam  Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 [sepuluh] prinsip Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain  The Bangalore Principles of Yudicial Conduct.

Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim melalui

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang Pedoman Perilaku Hakim  dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.

Begitu pula Komisi Yudisial RI telah melakukan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak melalui kegiatan Konsultasi

Publik yang diselenggarakan di 8 [delapan] kota yang pesertanya terdiri dari unsur hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, serta unsur masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan memenuhi  pasal 32A junto pasal 81B Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2006 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan pegangan bagi para Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun ekternal.

Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 [sepuluh] aturan perilaku sebagai berikut : [1] Berperilaku Adil, [2] Berperilaku Jujur, [3] Berperilaku Arif dan Bijaksana, [4] Bersikap Mandiri, [5] Berintegritas Tinggi, [6] Bertanggung Jawab, [7] Menjunjung Tinggi Harga Diri, [8] Berdisiplin Tinggi, [9] Berperilaku Rendah Hati, [10] Bersikap profesional. 

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagai pegangan bagi para hakim telah dituangkan dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial  Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009  Tanggal 8 April 2009. 02/SKB/P.KY/IV/2009   

Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini nerupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.  Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.

Dapat dijelaskan bahwa penegakan hukum  berkait erat dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya sudah  ada, yaitu  kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan. Kehadiran lembaga penegak hukum tambahan harus dipandang sebagai lembaga ad hoc sebagai penguatan lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Hukum berfungsi      sebagai            perlindungan   kepentingan     manusia. Agar        kepentingan   manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi deapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum [Rechtssicherheit], kemanfaatan [Zweck massigkeit], dan keadilan [Gerechtigkeit].

Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen saling bertaut yang merupakan “ conditio sine qua non” bagi yang lainnya. Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan, sedangkan keadilan adalah internal autentik  dan esensi roh hukum, sehingga  supremasi hukum  [supremasi of law] adalah supremasi keadilan [supremasi of justice], begitu pula sebaliknya  karena keduanya ada hal yang komunikatif.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan dan setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, fiat justitia et pereat mundus  [meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan].

Penegakan hukum sudah semestinya berintikan keadilan yang didambakan masyarakat. Hal demikian berbanding lurus dengan induk teori kontrak sosial ala Thomas Hobbes, Locke, dan JJ. Rousseau dan/atau Roscoe Pound yang secara  garis besar menyebutkan bahwa hukum adalah instrumen pengubah masyarakat, yang harus berjalan sebagai pengayom dan pelindung warga negara, karena sejatinya hukum diciptakan untuk memenuhi rasa keadilan manusia.

Dalam kondisi seperti itu, di mana sebenarnya letak strategis putusan hakim untuk menjadi penegak hukum yang mandiri sebagai amanat undang-undang tanpa diintimidasi kekuasaan apapun? Sementara disisi lain harus mampu memenuhi dahaga masyarakat terhadap keadilan., Oleh karena itu seorang hakim tidaklah hanya berfungsi sebagai” terompet undang-undang”, yang   menganggap pasal-pasal hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, namun lebih jauh hakim juga harus berani bertindak sebagai penemu hukum seperti diamanatkan oleh Undang-undang. Harus harus mampu mengeksplorasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk kemudian dikristalisasikan dalam bentuk putusan-putusannya berupa yurisprudensi.

Putusan hakim adalah “ Mahkota Hakim”,demikian adagium yang terkadang muncul di tengah-tengah masyarakat; karena dari putusan hakim  itu orang lain dapat  menilai kedalaman pengetahuan hukum hakim yang memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya. Pengetahuan hukum yang harus dikuasai hakim sesungguhnya harus multidisiplin yang melintasi hukum acara, hukum materiil, ilmu hukum, filsafat hukum, sosisologi hukum, kriminologi, psikologi hukum, ilmu komunikasi, hukum adat, metodologi hukum dan lain-lain.

Putusan hakim dapat dikategorikan suatu putusan hakim yang memadai apabila dalam pertimbangan hukum yang dituangkannya paling tidak  memuat beberapa formula pasal-pasal hukum, yakni formula pasal-pasal hukum formil [hukum acara], formula pasal-pasal hukum materiil  [pasal-pasal hukum terapan], dan dasardasar hukum dari yurisprudensi ataupun dasar-dasar hukum yang digali dari hukum yang tidak tertulis  [dasar-dasar Nash].

Dalam hal penegakan hukum dan keadilan ini, bila seorang hakim menangani suatu perkara, ada baiknya menyimak sebagian maksud Risalah Khalifah Umar bin  Khatthab dijelaskan bahwa “.......maka fahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang dihadapkan  kepadamu dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan perhatian  secara tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya [tidak dapat dijalankan]. Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu, sehingga  orang bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus asa dari keadilan “.

Oleh karena itu dalam hal penegakan hukum, haruslah mempunyai roh keadilan yang didambakan masyarakat,  sebagai inti dari pada hukum itu sendiri; lagi pula dalam penegakan hukum ini harus ada kompromi antara ketiga unsur, yaitu : kepastian, kemanfaatan dan keadilan, sehingga ketiga unsur tersebut  harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.

 Realita Pengawasan masyarakat terhadap dunia peradilan dewasa ini tidak bisa dielakkan, bahkan pengadilan harus memiliki prinsip transparansi. Dalam bidang tugas peradilan dewasa ini dikenal 2 [dua] pengawasan, yaitu pengawasan  Internal dan Pangawasan  Eksternal.

Pengawasan Intrernal adalah Pangawasan dari dalam lingkungan Mahkamah Agung RI sendiri yang mencakup 2 [dua] jenis yaitu : Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional.

Pengawasan Melekat adalah : Serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas  peradilan tersebut berjalan secara efektif dan efisien, sesuai dengan rencana  kegiatan dan  peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pengawasan Fungsional adalah : Pengawasan yang dilakukan oleh aparat Pengawasan  yang khusus ditunjuk untuk melaksanakan tugas tersebut dalam satuan kerja tersendiri yang  diperuntukkan untuk itu.

               Adapun yang termasuk dalam katagori Pengawasan Eksternal adalah Pengawasan diluar lingkungan Mahkamah Agung RI, antara lain : Komisi Yudisial , Ombudsmen, L S M - Dll.

Pengawasan masyarakat terhadap dunia peradilan dewasa ini  adalah termasuk dalam  katagori pengawasan eksternal.  Pengadilan memiliki prinsip transparan, dapat juga dimaksudkan bahwa proses persidangan di Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali proses persidangan perkara-perkara tertentu yang musti dilakukakan secara tertutup sebagaimana diatur dalan  Peraturan perundangan yang berlaku. 

Transparansi pengadilan sesungguhnya tidak hanya berarti bahwa masyarakat hanya boleh menyaksikan jalannya persidangan, akan tetapi sebenarnya pengawasan masyarakat itu merupakan proses bagi suatu negara hukum sama artinya dengan proses penerapan dan penemuan hukum.

Pengawasan masyarakat [social control]   terhadap dunia peradilan adalah wujud kepedulian publik terhadap lembaga peradilan sebagai garda terakhir para pencari keadilan, bahkan bila ada kritik konstruktif dari masyarakat musti insan yang berkecimpung dalam  dunia peradilan, tentunya  harus menyikapi dengan  lapang dada, guna bekal instrospeksi dan mawas diri demi perbaikan lembaga peradilan itu sendiri dan juga guna kwalitas produk-produk putusan  Pengadilan  yang senantiasa  menjadi dambaan dan tumpuan masyakarat para  pencari keadilan.

III. Simpulan. 

  1. Independensi Hakim adalah harus dipertahankan bagi setiap hakim dan harus berpegang pada Kode Etik serta Pedoman Perilaku Hakim dalam melaksanakan tugas yusticialnya, tidak mudah terpengaruh  adanya iming-iming dari pihak lain.
  2. Dalam penegakan hukum dan keadilan , hakim bukan hanya sekedar terompet undang-undang, akan tetapi hakim harus berani melakukan “ ijtihad hukum” terhadap penanganan perkara yang dihadapinya.
  3. Pengawasan kelembagaan dari Mahkamah Agung RI secara internal yang berupa pengawasan melekat dan  pengawasan fungsional  adalah berfungsi sebagai upaya preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas peradilan berjalan secara efektif, efisien, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
  4. Realita adanya pengawasan masyarakat sebagai pengawasan eksternal [sosial control] terhadap dunia peradilan, musti harus diterima bagi setiap praktisi yusticial sebagai pemacu  introspeksi diri  dan sebagai kritik konstruktif dalam wujud kepedulian publik, agar produk-produk putusan pengadilan dapat menyentuh rasa keadilan.
  5. Urgensi Independensi Hakim, Kode Etik & Pedoman Perilaku Hakim, peraturan perudangan yang berlaku, serta realitas pengawasan masyarakat sejatinya adalah sebagai pilar pokok penegakan hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat para pencari keadilan.

Daftar Bacaan  :

  1. Amran Suadi, H. Dr. Drs., S.H., M.Hum., M.M., Filsafat Hukum Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, Dan Etika., Prenada Media Goup, Jakaarta,  I, 2019.Jakarta.
  2. Bagir Manan, Prof., Dr., SH., MCL., Artikel Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasional , Varia Peradilan Tahun XXVIII No. 326 Januari 2013.
  3. Habiburrahman, Peradilan Agama Dan Problematikanya, Kajian Sekitar Beberapa Permasalahan Hukum Formil & Hukum Materiil, Jakarta, Cet..., 2011.
  4. Muhammad Salam Madzkur, Al Qadlo’ fi Al Islam [Peradilan Dalam Islam],alih bahasa Drs. Imron AM, PT. Bina Ilmu, Surabaya Cet..2, l982.
  5. Syarifuddin, H. Dr., SH., MH., [Kepala Badan Pengawasan] Mahkamah Agung RI, Sistem Pengawasan Mahkamah Agung R I, Mega Mendung, 10 April 2012.
  6. Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr., SH., dan A. Pitlo, Prof., Mr., Bab-bab  Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, Cet.. I, 1993.
  7. ....................., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia [Amandemen I s/d IV] dengan Penjelasannya, Lengkap Bagian-bagian yang diamandemen serta proses Dan Perubahannya, Pustaka Agung Harapan, Surabaya, Cet.., Th..., 
  8. ....................., Komisi Yudisial R I, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI , Kode Etikm dan Pedoman Perilaku Hakim,Jakarta, 2009.
  9. ......................., Hasil Rakernas Mahkamah Agung R I tahun 2009 di Palembang, tanggal 7 Oktober 2009.
  10. ......................, Buku Saku Reformasi Birokrasi dan Aturan Prilaku Pegawai Mahkamah Agung R I, Copyright : Pta Mataram@ 2012.
  11. Sutan Rajasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, [ Surabaya : Mitra Cendekia] Cet…    2003.
  12. https : farid-wajdi.com/detail post/meluruskan-makna-independensi-hakim, diakses tanggal 29 Juni 2019.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề