Pada shalat subuh, duduk setelah sujud kedua pada rakaat kedua disebut

Duduk iftirasy dilakukan pada tasyahud awwal dan duduk antara dua sujud, sementara duduk tawarruk di tasyahud akhir

Dalam salat, terdapat duduk tawarruk dan iftirasy. Keduanya adalah cara duduk yang disyariatkan, namun memiliki perbedaan waktu dalam pelaksanaannya.

Dalam segala gerakan salat ada rukun dan syarat yang mengikat dan harus dilakukan kecuali memiliki dalil tertentu sesuai syar’i yang melonggarkan pelaksanaannya.

Sebab, Jurnal Istek mencatat, esensi ibadah salat bukan hanya pelaksanaannya, tetapi dilihat dari mulai prosesnya seperti dari mulai berwudhu sampai bagaimana pengaruh dari pelaksanaannya.

Baca Juga: Shalat Tahajud, Tata Cara, dan Keutamaannya, Masya Allah!

Apa Itu Duduk Tawarruk dan Iftirasy dalam Salat?

Foto: Bbc.co.uk

Terdapat dua posisi duduk dalam salat, yakni duduk tawarruk dan iftirasy. Posisi duduk iftirosy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri, kemudian menduduki kaki kiri.

Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan [di bawah kaki kanan], dan duduknya di atas tanah atau lantai.

Sebagaimana sering dilakukan, duduk iftirasy adalah duduk seperti pada tasyahud awwal dan duduk antara dua sujud.

Duduk tawarruk adalah saat pantat menempel ke lantai. Dalilnya berdasarkan hadits dari Abu Humaid As-Sa’idiy:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ، أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرْنَا صَلاَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ: أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ القِبْلَةَ، فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ اليُسْرَى، وَنَصَبَ اليُمْنَى، وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ اليُسْرَى، وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ»

Artinya: “Dari Muhammad bin ‘Amru bin ‘Atha’, bahwasanya dia duduk bersama beberapa orang sahabat Nabi SAW. Mereka bercerita tentang salatnya beliau. Maka Abu Hamid As Sa’idi berkata, ‘Aku adalah orang yang paling hafal dengan salatnya Rasulullah SAW.

Aku melihat beliau, jika bertakbir beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, jika rukuk maka beliau menempatkan kedua [telapak] tangannya pada keuda lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya.

Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri lurus hingga seluruh tulung punggungnya kembali pada tempatnya. Dan jika sujud maka beliau meletakkan tangannya dengan tidak menempelkan lengannya ke tanah atau badannya, dan beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat.

Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya [di bawah kaki kananya] dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada pantatnya.” [HR Bukhori]

Baca Juga: Shalat Fajar: Tata Cara, Niat, dan Keutamaannya

Pendapat Ulama Tentang Duduk Tawarruk dan Iftirasy

Foto: Ummah.com

Dalam masalah duduk tasyahud terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Beberapa pendapat tersebut ntara lain.

1. Pendapat Imam Malik

Menurut Imam Malik dan pengikutnya, posisi duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk. Hal ini sama antara pria dan wanita.

Imam Malik mengatakan, ini berdasarkan hadits yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA saat berkata:

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِىَ الْيُسْرَى

Artinya: “Sesungguhnya sunnah ketika salat [saat duduk] adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan [kaki] kirimu.”

Dalil ini menyebutkan bahwa posisi duduk untuk tawarruk, baik saat berada di pertengahan salat maupun di akhir salat.

2. Pendapat Imam Abu Hanifah

Menurut Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, posisi untuk duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy.

Imam Abu Hanifah berdalil tentang duduknya iftirosy baik pada tasyahud awwal dan akhir dengan hadits dari ‘Aisyah RA saat berkata:

وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

Artinya: “Rasulullah SAW mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”

Ini menyebutkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di saat duduk ketika salat, baik di waktu tasyahud maupun duduk yang lainnya, dan baik di raka’at terakhir atau di pertengahan.

3. Pendapat Imam Asy-Syafi’i

Beliau membedakan antara duduk tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah yaitu duduk iftirosy.

untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk tawarruk. Jadi menurut pendapat ini, duduk tasyahud akhir baik yang salatnya sekali atau dua kali tasyahud adalah duduk tawarruk.

Duduk tawarruk terdapat pada setiap raka’at terakhir yang diakhiri salam, karena di dalamnya terdapat do’a, bisa jadi lebih lama duduknya. Cara duduk seperti ini yang dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia.

4. Pendapat Imam Ahmad dan Ishaq

Keduanya menyatakan, jika tasyahudnya dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di raka’at terakhir. Namun jika tasyahudnya sekali, maka duduknya di raka’at terakhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat dari Imam Asy Syafi’I ini memiliki persamaan dengan Imam Ahmad, yakni menggabungkan seluruh riwayat yang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk tawaruk dan iftirosy.

Sedangkan perbedaanya adalah dalam menyikapi duduk akhir antara, salat yang memiliki satu tasyahud dengan salat yang memiliki dua tasyahud.

Baca Juga: Bolehkah Shalat Tahajud 2 Rakaat Dilakukan? Cek Dalilnya di Sini!

Kelonggaran Posisi Duduk dalam Salat

Foto: Aiseminary.org

Tidak semua posisi tersebut mampu dilakukan oleh semua orang. Bisa jadi karena sudah tua atau memiliki penyakit tertentu yang menyebabkan seseorang tidak bisa melakukannya.

Oleh karena itu, bisa jadi akan ada pertanyaan seperti bolehkah duduk Iftirasy jika tidak mampu dalam posisi tawarruk?

Sebenarnya, saat seseorang tidak mampu duduk tawarruk, atau melakukan gerakan lain dalam salat, maka hal tersebut akan mendapatkan keringanan jika alasannya syar’i. Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

[fattaqullāha mastaṭa'tum…]

Artinya: “Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian”. [QS At-Thaghabun: 16]

Hal ini juga mendapatkan penjelasan dari Rasulullah SAW yang berkata kepada ‘Imron bin Hushain saat dia sakit:

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا , فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Artinya: “Salatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, jika tidak mampu, maka dengan miring.” [HR Bukhori, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad]

Itulah penjelasan mengenai duduk tawarruk dan iftirasy yang harus diketahui oleh umat Islam.

  • //worldquran.com/
  • //rumaysho.com/1259-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html
  • //klikmu.co/ini-tata-cara-duduk-iftirasy-dan-tawarruk-sesui-tuntunan-rasulullah/
  • //bimbinganislam.com/tidak-mampu-duduk-tawarruk-bolehkah-iftirasy/
  • //journal.uinsgd.ac.id/index.php/istek/article/view/188

Pertanyaan :

Assalamualaikum wr wb.

Barakallahufikum. Afwan ustad, Ana mau menanyakan tentang duduk tasyahud untuk shalat wajib atau sunnah yang berjumlah dua rakaat. Karena di beberapa jamaah Islam di Indonesia ana memperhatikan ada ikhwan yang ketika shalat 2 rakaat sunnah atau shalat shubuh duduk tasyahudnya iftirasy.

Pertanyaan ana :

1. Mungkin ini adalah perbedaan pendapat antar mahzab, mohon dalil dalil nya ustad?

2. Apakah kita boleh melakukannya dengan campur,misalnya...sesekali kita pakai duduk iftirasy dan di shalat lain kita pakai tawarruk?

3. Mohon beri kesimpulan untuk jumhur ulama berbendapat yang lebih kuat yang mana ustad untuk duduk tasyahud sholat 2 rakaat ini.

Jazakumullah khairan

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Khilafiyah Ulama

Benar sekali apa yang Antum katakan bahwa sebenarnya ini hanya sekedar perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab yang empat.  Khususnya dalam hal ini mazhab Hanbali, dimana untuk shalat yang hanya terdiri dari satu tasyahhud, duduknya bukan tawaruk melainkan iftirasy.

Biar tidak lupa, duduk iftirasy itu adalah posisi duduk yang biasanya kita lakukan ketika kita duduk tahiyat awal atau duduk di antara dua sujud. Sedangkan duduk tawaruk itu adalah duduk sebagaimana umumnya duduk tahiyat akhir, yang posisi tubuhnya agak sedikit miring.

2. Bolehkah Dicampur?

Jawabannya antara boleh dan tidak boleh. Boleh hukumnya dicampur tetap dengan beberapa syarat. Di antaranya adalah :

a. Punya Sandaran Ilmu Ke Masing-masig Mazhab

Apabila seseorang sudah belajar kedua mazhab yang berbeda dengan segala kelengkapan dalil-dalil dan rincian kajian ilmunya, maka pada dasarnya dia bisa membandingkan dengan tepat tanpa keliru antara keduanya. Kalau dia memandang bahwa keduanya itu sama-sama benar dan posisinya seimbang, maka boleh-boleh saja sesekali pakai mazhab ini dan sesekali pakai mazhab itu. Toh keduanya sama-sama dikuasainya dengan valid dan benar.

Sebaliknya, orang awam yang sama baru saja belajar lewat hanya satu pintu mazhab, misalnya hanya mengaji lewat mazhab Asy-syafi'iyah semata. Sedangkan untuk mazhab Hanbali dia sama sekali awam dan tidak punya ilmu yang cukup, maka hukumnya tidak boleh baginya pindah-pindah mazhab seenaknya.

Sebagai contoh sederhana, untuk bisa naik ke puncak Merapi beberapa rute pendakian yang berbeda. Bila seseorang hanya tahu satu rute dan tidak tahu rute-rute lainnya, sebaiknya dia tidak usah bergaya mengambil rute yang tidak diketahuinya. Sebab akibatnya fatal dan bisa tersesat di jalan.

Lain halnya buat seorang pakar pendaki gunung yang sudah ratusan kali mendaki lewat beberapa rute berbeda. Baginya semua rute itu sudah dihafalnya luar kepala. Itu pun dia tetap tidak boleh lengah dan sombong.

b. Sebaiknya Pindah Dari dan Ke Mazhab Yang Sama Kuat

Pindah pilihan dari pendapat mazhab yang satu ke mazhab yag lain itu minimal harus seimbang. Jangan sampai kita tinggalkan satu pendapat dari suatu mazhab yang amat kuat untuk mendapatkan pendapat dari mazhab yang lebih lemah dalilnya.

Apalagi meninggalkan apa yang sudah disepakati oleh empat mazhab berpindah ke pendapat yang sama sekali tidak direkomendir oleh mazhab manapun, tentu ini konyol.

c. Ada Kepentingan Yang Mendesak

Bolehnya pindah-pindah ini juga kalau memang ada keperluannya. Misalnya karena tidak memungkinkan untuk pakai satu mazhab saja, sementara ada mazhab lain yang bisa memberi solusi. Seperti masalah batalnya wudhu' di tengah kerumunan jamaah haji di depan Ka'bah.

3. Rincian Pendapat Dari Empat Mazhab Terkait Duduk Tahiyat Akhir

Duduk tasyahhud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulama dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiyah.

a. Mazhab Al-Hanafiyah

Menurut Al-Hanafiyah, posisi duduk tasyahhud akhir sama dengan posisi duduk antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy.

Al-Kasani [w. 587 H] ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Badai'u Ash-Shanai' sebagai berikut :

أَمَّا كَيْفِيَّتُهَا فَالسُّنَّةُ أَنْ يَفْتَرِشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَتَيْنِ جَمِيعًا وَيَقْعُدُ عَلَيْهَا وَيَنْصِبُ الْيُمْنَى نَصْبًا

Adapun cara duduknya menurut sunnah adalah dengan mengiftirasykan kaki kiri kedua posisi duduk dan duduk di atasnya dan melempangkan kaki kanan.[1]

Ibnul Humam [w. 861 H] yang juga ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Fathul Qadir sebagai berikut :

وَجَلَسَ فِي الْأَخِيرَةِ كَمَا جَلَسَ فِي الْأُولَى] لِمَا رَوَيْنَا مِنْ حَدِيثِ وَائِلٍ وَعَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، وَلِأَنَّهَا أَشَقُّ عَلَى الْبَدَنِ، فَكَانَ أَوْلَى مِنْ التَّوَرُّكِ الَّذِي يَمِيلُ إلَيْهِ مَالِكٌ

Dan posisi duduk [tahiyat] akhir seperti posisi duduk pada [tahiyat] awal, sebagaimana kami riwayatkan dari hadits Wail dan Aisyah. Dan posisi itu lebih enak buat badan, lebih utama dari duduk tawaruk yang menjadi pilihan Imam Malik.[2]

Dasar atas fatwa ini adalah hadits berikut :

عَنْ وَائِل بنِ حجر  قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ الله  فَلَمَّا جَلَسَ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اليُسرَى وَوَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى

Dari Wail Ibnu Hajar,"Aku datang ke Madinah untuk melihat shalat Rasulullah SAW. Ketika beliau duduk [tasyahhud], beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan menashabkan kakinya yang kanan". [HR. Tirimizy]

b. Mazhab Al-Malikiyah

Adapun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir menyunnahkan untuk duduk tawaruk baik pada tasyahhud awal maupun untuk tasyahhud akhir. Dalilnya adalah hadits Nabi :

Dari Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah SAW duduk di tengah shalat dan akhirnya dengan duduk tawaruk.

c. Mazhab Asy-Syafi’iyah

Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahhud akhir adalah duduk tawaruk. Posisinya hampir sama dengan istirasy, namun posisi kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di atas lipatan kaki kiri seperti pada iftirasy.

Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa untuk duduk tasyahhud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawaruk ini.

Namun keduanya berbeda pendapat ketika bicara tentang duduk tasyahhud akhir untuk shalat yang dua rakaat dan tidak ada tasyahhud awalnya, seperti shalat shubuh, shalat Jum’at, shalat witir satu raka’at, shalat Dhuha, shalat Idul Fithri dan Idul Adha serta umumnya shalat-shalat Sunnah yang lainnya. Pertanyaannya : apakah duduknya tawaruk atau iftirasy?

Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa duduk pada saat tasyahud akhir baik yang memiliki dua raka’at maupun yang hanya memiliki satu tasyahud maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Humaid As Sa’idi, beliau berkata:

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ  رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

.

“Aku adalah orang yang paling hafal shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diantara kalian. Aku melihat beliau apabila bertakbir maka beliau mensejajarkan kedua tangannya dengan kedua pundaknya, apabila beliau ruku’ maka beliau meletakkan kedua tangannya diatas kedua lututnya kemudian beliau meluruskan punggungnya, apabila beliau bangun dari ruku’ maka beliau berdiri tegak hingga tulang punggungnya kembali ketempat asalnya, apabila beliau sujud maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan juga tidak melekatkannya [pada lambungnya] serta beliau menghadapkan jari-jari kaki beliau kearah kiblat, apabila beliau duduk pada raka’at kedua maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya [duduk iftirasy], dan apabila beliau duduk pada raka’at terakhir maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya serta beliau duduk diatas tempat duduknya –bukan diatas kaki kirinya- [duduk tawarruk]. [HR. Al Bukhari].

Imam Nawawi rahimahullah berkata, ‘Imam Syafi’i dan para sahabat kami berkata:

“Hadits Abu Humaid jelas membedakan antara dua duduk tasyahud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang muthlaq, maka wajib dibawakan sesuai dengan hadits ini [hadits Abu Humaid]. Barangsiapa yang meriwayatkan duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud akhir, dan barangsiapa yang meriwayatkan duduk iftirasy, maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud awal, dan harus diadakan penggabungan [al-jam’u] antara hadits-hadits yang shahih, terlebih hadits Abu Humaid As Sa’idi ini telah disetujui oleh sepuluh orang pembesar para sahabat radhiyallahuanhum.[3]

Hadits Abu Humaid ini juga datang dengan lafazh-lafazh lain yang semakin memperkuat pendapat madzhab Syafi’i ini, diantaranya:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيْهَا التَّسْلِيْمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ.

“Hingga tatkala sampai sujud terakhir yang ada salamnya, maka Nabi SAW mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawarruk diatas sisi kiri beliau SAW.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].

Diantaranya juga:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةَ الصَّلَاةِ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا وَأَخَّرَ رِجْلَهُ وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ

“Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup shalat, maka beliau mengangkat kepalanya dari dua sujud tersebut dan beliau mengeluarkan kakinya serta duduk tawarruk diatas kakinya.” [HR. Ibnu Hibban].

Diantaranya juga:

إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيْهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Apabila sampai kepada raka’at terakhir yang menutup shalat, maka beliau SAW mengeluarkan kaki kirinya dan beliau SAW duduk tawarruk diatas sisinya kemudian beliau salam.” [HR. An Nasa’i]

d. Madzhab Al-Hanabilah

Madzhab Hanbali berpendapat bahwa untuk shalat yang hanya memiliki satu tasyahud maka duduknya adalah duduk iftirasy. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, ‘Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada shalat yang memiliki dua tasyahud, yaitu pada tasyahud yang kedua.[4]

Mereka berdalil dari beberapa hadits, diantaranya hadits ‘Aisyah radhiyallahuanha :

وَكَانَ يَقُوْلُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Adalah beliau SAW mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya [duduk iftirasy]. [HR. Muslim].

Selain itu juga ada hadits Abdullah bin Az Zubair radhiyallahuanhuma :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اِفْتَرَشَ الْيُسْرَى وَ نَصَبَ الْيُمْنَى

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri dan menegakkan yang kanan [duduk iftirasy].” [HR. Ibnu Hibban].

Dan ada juga hadits Wail bin Hujr radhiyallahuanhu :

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  حِيْنَ جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ اِفْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah SAW ketika duduk dalam shalat beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya [duduk iftirasy].” [HR. Ibnu Khuzaimah].

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Al-Kasani, Badai'u Ash-Shanai', jilid 1 hal. 211

[2] Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 1 hal. 316

[3] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 413

[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 2 hal. 227

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề