Pasal yang mengatur Presiden dan Wakil Presiden

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
SEKRETARIAT JENDERAL

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945


 Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri­kemanusiaan dan peri­keadilan.

 Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

 Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

 Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang­-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta -

Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden [Wapres] Republik Indonesia diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Dasar [UUD] 1945. Tercatat, ada perubahan masa jabatan sebelum dan setelah amandemen.

Dalam perjalanannya, aturan masa jabatan Presiden dan Wapres mengalami beberapa perubahan. Pada aturan awal, masa jabatan dibatasi selama 5 tahun pada setiap periode dan dapat dipilih kembali.

Pada tahun 1963, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara [MPRS] mengeluarkan ketetapan Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Seumur Hidup. Ini menjadi aturan dalam sejarah kepemimpinan masa Orde Lama.

Dalam ketetapan tersebut, tertulis bahwa pribadi Bung Karno memenuhi syarat-syarat sebagai presiden baik ditinjau dari segi revolusi, konstitusi 1945, maupun agama Islam. MPRS menilai, Bung Karno merupakan perwujudan perpaduan pimpinan revolusi dan pimpinan negara. Selain itu, Bung Karno disebut sebagai pemersatu dari seluruh kekuatan rakyat revolusioner.

Setelah masa Orde Lama berakhir, aturan masa jabatan Presiden dan Wapres kembali pada amanat pasal 7 UUD 1945. Namun, pasal tersebut tidak membatasi berapa lama presiden bisa menjabat. Presiden bisa menjabat lebih dari dua periode.

Berikut bunyi pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen dikutip dari situs resmi DPR RI:

"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."

Pasal tersebut menjadi salah satu penyebab kekuasaan Soeharto langgeng sampai 32 tahun. Begitu masuk masa Reformasi, terjadi perombakan beberapa aturan.

Pada tahun 1999, MPR melakukan perubahan terhadap pasal 7 UUD 1945. Sejak masa Reformasi hingga saat ini, pemerintah telah melakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945.

Berikut bunyi pasal 7 UUD 1945 setelah mengalami amandemen:

Perubahan Pertama

Pasal 7 UUD 1945

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Perubahan ketiga

Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 7B

[1] Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

[2] Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

[3] Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

[4] Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

[5] Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

[6] Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

[7] Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pasal 7C

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Simak Video "Survei SMRC: 78% Rakyat Indonesia Tak Setuju Amandemen UUD 1945"



[erd/erd]

tirto.id - Bunyi Pasal 7 Undang-Undang Dasar [UUD 1945] mengatur tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden [Wapres] Republik Indonesia. Ada sedikit perubahan serta tambahan isi pasal ini dalam UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.

Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI sudah diatur sejak zaman Orde Lama masa pemerintahan Presiden RI pertama, Ir. Sukarno, kendati terdapat beberapa penyesuaian dalam perjalanannya.

Pasal 7 UUD 1945 versi awal telah merumuskan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI adalah 5 tahun. Namun, sempat dikeluarkan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden seumur hidup.

Ketetapan tersebut disahkan dalam Sidang Umum Kedua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara [MPRS] pada 15-22 Mei 1963 di Bandung.

Baca juga:

  • Sejarah Demokrasi Parlementer: Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan
  • Sejarah Sistem Presidensial: Arti, Ciri-ciri, Kelebihan, Kekurangan
  • Wacana Presiden 3 Periode: Bagaimana Aturan & Syarat Jadi Capres?

Masa Orde Baru

Setelah era Orde Lama berakhir dan berganti dengan rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto selaku Presiden RI ke-2, aturan mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI kembali ke Pasal 7 UUD 1945.

Hanya saja, meskipun masa jabatan telah dibatasi selama 5 tahun di setiap periodenya menurut Pasal 7 UUD 1945, namun belum diatur mengenai batasan periode seseorang bisa menjabat sebagai Presiden.

Hal inilah yang membuat Soeharto dapat mempertahankan kekuasaan sebagai Presiden RI hingga 32 tahun, sebelum akhirnya lengser akibat gelombang Reformasi 1998.

Baca juga:

  • Pasal 25A UUD 1945 Setelah Amandemen Tentang Wilayah RI
  • Isi Pasal 34 UUD 1945 Sebelum & Setelah Amandemen
  • Bunyi Isi Pasal 26 UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen

Masa Orde Reformasi

Setelah Indonesia memasuki Orde Reformasi, amandemen UUD 1945 baru dilakukan yakni sebanyak empat kali oleh MPR, termasuk untuk Pasal 7 yang mengatur tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Amandemen Pasal 7 UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999. Hasilnya adalah adanya sedikit perubahan untuk Pasal 7 dan

beberapa tambahan yang meliputi Pasal 7A, 7B, dan 7C.

Setelah amandemen tersebut, jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa dipegang selama 2 [dua] periode berturut-turut oleh seorang presiden yang sama.

Baca juga:

  • Pasal 31 Sebelum & Sesudah Amandemen UUD 1945
  • Perubahan Pasal 23 UUD 1945 Sebelum & Sesudah Amandemen
  • Isi Pasal 24 Sebelum & Setelah Amandemen UUD 1945

Berikut ini isi Pasal 7 UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen, seperti dikutip dari situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia [DPR-R]:

Sebelum Amandemen

Pasal 7

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Baca juga:

  • Sejarah Sumpah Pemuda dan Komitmen Bangsa Indonesia
  • Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Diawali BPUPKI
  • Amandemen UUD 1945 Dilakukan 4 Kali, Sejarah, & Perubahan Pasal

Setelah Amandemen

Pasal 7

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*]

Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***]

Baca juga:

  • Bunyi Isi Pancasila, Makna, Lambang, & Butir Pengamalan Sila 1-5
  • Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke & Montesquieu
  • Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945

Pasal 7B

[1] Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***]

[2] Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***]

[3] Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***]

[4] Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***]

Baca juga:

  • Kedudukan & Peran Pemerintah Pusat dalam Otonomi Daerah
  • Biografi Ir Sukarno: Kisah Tragis dan Kesepian di Akhir Hidupnya
  • Pengamalan Pancasila Sila ke-5 di Lingkungan Rumah Keluarga

[5] Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***]

[6] Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***]

[7] Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***]

Pasal 7C

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. ***]

____________

*] Perubahan Pertama

***] Perubahan Ketiga

Baca juga:

  • Sejarah Kemunduran Peradaban Islam: Faktor dan Penyebabnya
  • Biografi Pangeran Diponegoro: Jejak Hidup hingga Akhir Hayatnya
  • Sejarah Kerajaan Buleleng: Pendiri, Letak, Raja, & Peninggalan

Baca juga artikel terkait ISI PASAL 7 UUD 1945 atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
[tirto.id - ica/isw]


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề