Pelaksanaan hukum islam bagi pelaku zina dilaksanakan apabila

4 dari 5 halaman

© Ilustrasi Berdoa [Foto: Shutterstock.com]

Melaksanakan Hukum Allah

Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk [menjalankan] agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat.

Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menjelaskan, mengapa hukuman zina muhshan dirajam, karena ia yang telah menikah tapi masih berzina menunjukkan bahwa fitrahnya telah rusak dan menyimpang. Maka ia pantas dihukum dengan hukuman lebih keras.

Baik hukuman had berupa dera untuk pezina yang belum menikah maupun rajam untuk pezina yang telah menikah, penegakan hukuman had ini umumnya akan berbenturan dengan rasa belas kasihan. Karenanya hakim dilarang membatalkan hukuman had dengan alasan belas kasihan.

Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar mengatakan, “ Di dalam Surat An Nur ayat 2 ini dijelaskan, bahwa hukum itu mesti dilakukan dan tidak boleh dikendurkan karena merasa belas kasihan atau tenggang-menenggang. Malahan di dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut laki-laki yang berzina. Karena menghambat jangan sampai orang mengendurkan hukum karena yang akan dihukum itu adalah kaum lemah, perempuan patut dikasihani dan sebagainya.”

Menerapkan hukum Allah, termasuk pelaksanaan hukum hadd bagi pelaku zina ini, merupakan barometer keimanan. Hanya orang-orang beriman yang mau dan mampu menjalankannya.

Disaksikan Orang Beriman

Dan hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Ibnu Katsir menjelaskan, ketika hukuman had disaksikan sekumpulan orang beriman, maka pengaruhnya akan lebih besar bagi pelaku agar benar-benar jera.

Menurut Qatadah, agar hal itu menjadi pelajaran. Sedangkan menurut Nashr bin Alqamah, hal itu bukan untuk mempermalukan pelaku, tetapi agar orang-orang beriman yang menyaksikan itu mendoakan kepada Allah buat keduanya supaya taubatnya diterima Allah dan mendapat rahmat-Nya.

Sayyid Qutb menjelaskan, penegakan hukuman disaksikan sekumpulan orang beriman agar menjadi lebih efektif menjerakan dan mempengaruhi jiwa orang-orang yang telah melakukan perbuatan keji itu dan orang yang menyaksikan pelaksanaan hukumannya.

Thaa’ifah yang diartikan sekumpulan, maksudnya adalah empat orang atau lebih. Demikian pendapat Imam Syafi’i. Sedangkan menurut Rabi’ah, minimal lima orang. Dan menurut Hasan Al Basri, minimal sepuluh orang.

Jadi hukuman hadd itu tidak lain adalah untuk menjaga kehormatan manusia. Termasuk menjaga garis nasab dan keturunan agar jelas dan suci, tidak terkotori.

Zina merupakan sebuah dosa besar yang mana syariat islam sangat mewanti-wanti untuk meninggalkannya, bahkan mendekatinya pun tidak diperkenankan. Ada ancaman hukuman yang sangat besar bagi pelaku zina, yakni jika dia ghairu muhsan [belum pernah terikat akad nikah], hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diusir dari tempat asalnya, dan jika dia muhsan, maka hukumannya adalah dirajam hingga mati. Meski demikian, ternyata dalam pelaksanaan hukuman zina tersebut ada beberapa kesulitan dalam pelaksanaannya.

Syarat Pelaksanaan Hukuman Zina

Ada beberapa persayaratan yang mesti dipenuhi untuk terselenggaranya pelaksanaan hukuman zina. Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, dalam kitab Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i [Surabaya: Al-Fithrah, 2000], juz VIII, hal. 60 menyebutkan beberapa persyaratan tersebut yakni:

Pertama, taklif [terbebani hukum], yakni pelaku zina tersebut baligh dan berakal, sehingga jika pelaku zina masih kanak-kanak atau gila, maka ia tidak bisa dihadd.

Kedua, melakukan zina tidak dalam keadaan terpaksa.

Ketiga, tidak adanya syubhat dalam zina tersebut. Seperti misalkan seseorang mengaku menyetubuhi wanita yang tidak halal baginya dengan dalih bahwa ia melakukannya dalam kegelapan, menyangka bahwa itu adalah istrinya, namun nyatanya bukan.

Keempat, telah ditetapkannya zina, yakni dengan pengakuan maupun dengan persaksian.

Menarik untuk dibahas bahwa pada point keempat, zina hanya bisa terlaksana apabila adanya pengakuan dari si pezina atau adanya persaksian. Anehnya, bagi seseorang yang telah melakukan tindakan zina, malah dianjurkan agar tidak usah mengaku, dan sebaliknya seorang hakim yang menerima pengakuan zina, sebaiknya menyarankan agar si pengaku menarik kembali ucapannya. Hal ini bisa kita simak dalam sebuah hadits:

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: لما أتى ماعز بن مالك إلى النبي – صلى الله عليه وسلم – قال له: “لعلك قبلت أو غمزت أو نظرت”، قال: لا يا رسول الله.

Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata: “Ketika Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi SAW, Nabi berkata: “Barangkali engaku hanya berciuman, saling mengedipkan mata, dan saling berpandangan”. Ma’iz berkata: “Tidak, wahai Rasulullah”.

Dari redaksi diatas, tentu saja tidak mungkin Nabi berkata demikian apabila tidak ada tawaran dari Nabi agar si pelaku menarik kembali pengakuannya. Dan jika pengakuan tersebut ditarik kembali, maka pelaksanaan hadd zina tidak bisa diberlangsungkan.

Sementara untuk persaksian, hadd zina hanya bisa dilaksanakan apabila ada empat orang saksi yang kesemuanya lelaki, kesemuanya melihat secara langsung tanpa lewat perantara semisal cermin dan tak boleh terhalang semacam tirai, menyaksikan proses keluar masuknya alat kelamin lelaki ke dalam alat kelamin perempuan.

Jadi sekali lagi, harus empat lelaki, semuanya melihat secara langsung proses keluar masuknya. Pertanyaannya adalah, apakah itu mungkin?

Bumerang Laporan Persaksian Zina

Jika seseorang, mengaku telah menyaksikan sebuah perzinaan, sementara dia terlanjur menyampaikan persaksiannya, namun tidak mampu menghadirkan empat orang saksi sebagaimana ketentuan diatas, maka justru tuduhan akan berbalik kepada diri si pelapor karena dianggap telah melakukan qadf, yakni menuduh orang lain berbuat zina tanpa mampu menghadirkan saksi. Ia diancam hukuman 80 kali cambuk. Ini pernah terjadi pada sebuah negara yang memberlakukan syariat islam, dimana ketika ada seorang perempuan korban pemerkosaan yang lapor kepada polisi, ia malah dihukum cambuk 80 kali karena ia tak mampu menghadirkan saksi. Sudah jadi korban pemerkosaan, tambah dihukum cambuk pula?

Artinya dalam hal ini, sama sekali penulis tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menjadi pezina, dan sesudah itu tidak usah mengaku. Aman. Bukan, sama sekali bukan itu yang dikehendaki penulis.

Maksud penulis adalah bahwa ada sesuatu yang belum tuntas dalam persoalan hadd zina ini. Ketentuan tersebut ketika diberlakukan malah bisa-bisa menjadi hal yang memberatkan bagi si korban ketika perzinaan yang terjadi adalah dengan cara paksa [baca: pemerkosaan].

Sebaiknya hal ini menjadi PR kita bersama, agar bisa menjadikan fatwa fikih terserap dengan baik menjadi sebuah legislasi yang mengakomodir kepentingan semua pihak demi menciptakan kemaslahatan bersama. Jadi, jangan asal semangat mengusung legislasi hukum islam ke dalam hukum nasional, tetapi juga harus dibarengi dengan pertimbangan lainnya seperti hak kemanusiaan, sosial, dan kemasyarakatan.

09 July 2015, 00:00 WIB

micom | Humaniora

TAFSIR Al-Mishbah kali ini membahas Surah An-Nur ayat 1 hingga 10. Ayat-ayat ini menjelaskan tentang penetapan syariat Allah SWT, hukum-hukum zina, menuduh dan hukumannya, serta hukum li’an antara suami dan istri, dan disyariatkannya hal itu untuk memelihara kehormatan dan menjaga nasab. Ayat 1 menyebutkan, "[Inilah] suatu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan [menjalankan hukum-hukumnya], dan Kami turunkan di dalamnya tanda-tanda [kebesaran Allah] yang jelas, agar kamu ingat."Maksud ayat itu ialah Allah menurunkan pada manusia salah satu surat di Alquran yang diwajibkan untuk mereka menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam surat tersebut.Dilanjutkan pada ayat 2, "Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk [menjalankan] agama [hukum] Allah. Jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman." Ayat kedua tersebut menjelaskan hukuman yang harus diberikan kepada pezina, baik perempuan ataupun laki-laki. Ketika melaksanakan hukuman hendaknya disaksikan oleh orang-orang beriman agar menjadi peringatan bagi mereka. Pada ayat 3 disebutkan, pezina laki-laki tidak diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan yang baik. Begitu sebaliknya, pezina perempuan tidak diperbolehkan menikahi laki-laki dari golongan yang baik-baik. Ayat 4 dan 5 menjelaskan jika ada orang yang menuduh perempuan melakukan zina, tetapi tidak memiliki saksi setidaknya empat orang, tuduhan itu tidak dibenarkan. Dan, orang yang menuduh harus dihukum karena mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang fasik. Kecuali jika mereka bertobat kepada Allah SWT. Ayat 6 menyebutkan, "Dan, orang-orang yang menuduh istrinya [berzina], padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, kesaksian masing-masing itu ialah empat kali bersumpah dengan [nama] Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar." Pada ayat 7 dinyatakan, "Dan, [sumpah] yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta." Maksud ayat 6 dan 7 ialah orang yang menuduh berbuat zina dengan tidak mengajukan empat saksi haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa dia benar dalam tuduhannya itu. Lalu, dia bersumpah sekali lagi bahwa dia akan kena laknat Allah jika berdusta. Masalah ini dalam fikih dikenal dengan li’an. Ayat 8 menyebutkan, "Dan, istri itu terhindar dari hukuman apabila bersumpah empat kali atas [nama] Allah bahwa dia [suaminya] benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta." Ayat 9 menyatakan, "Dan, [sumpah] yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya [istri], jika dia [suaminya] itu termasuk orang yang berkata benar." Makna dari ayat 8 dan 9 ialah para istri yang dituduh berzina akan terhindar dari hukuman Allah bila bersumpah atas nama Allah sebanyak empat kali dan menyatakan suaminya berdusta. Sebaliknya, Allah murka jika suaminya menyampaikan kebenaran. Pada ayat 10 disebutkan, "Dan, sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, [niscaya kamu akan memenuhi kesulitan]. Dan sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Mahabijaksana."Atas rahmat dan karunia Allah SWT manusia ada dalam kemudahan. Jika tidak, manusia akan berada dalam kesulitan. [*/H-1]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề