Seorang wali yang merupakan pendiri kerajaan demak adalah

tirto.id - Raden Patah merupakan pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Sultan Demak yang berkuasa pada 1475-1518 Masehi ini sejatinya adalah pangeran dari Kerajaan Majapahit, salah satu pendukung peradaban Hindu-Buddha terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia atau Nusantara.

Beberapa referensi menyebut bahwa Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi atau Brawijaya V [1468 -1478 M], sosok yang diyakini sebagai raja terakhir Majapahit. Ketika Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak bersama para Wali Songo, Majapahit sedang menjelang keruntuhannya yang akhirnya nanti benar-benar terjadi.

Raden Patah dan Kesultanan Demak adalah pemula kejayaan Islam di Jawa sekaligus mengakhiri kejayaan peradaban Hindu-Buddha yang sebelumnya pernah amat digdaya di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit.

Pangeran Majapahit yang Terbuang

Raden Patah berdarah campuran. Ibundanya, Siu Ban Ci, adalah putri Tan Go Wat alias Syekh Bentong, sosok ulama Cina yang menjadi salah satu perintis terbentuknya Wali Songo sebagai majelis syiar agama Islam di Jawa.

Babad Tanah Jawi mengisahkan, Siu Ban Ci dipersunting sebagai istri selir oleh Bhre Kertabhumi atau yang nantinya bertakhta di Majapahit dengan gelar Brawijaya V.

Perkawinan ini ternyata membuat istri Bhre Kertabhumi yang lain, yakni Ratu Dwarawati yang kelak menjadi permaisuri, cemburu.

Maka, Bhre Kertabhumi terpaksa menceraikan Siu Ban Ci dan mengirimnya ke Palembang yang kala itu masih termasuk wilayah kekuasaan Majapahit. Di bekas pusat Kerajaan Sriwijaya itulah Siu Ban Ci melahirkan Raden Patah pada 1455 M.

Baca juga:

  • Sejarah Hidup Jayanagara: Ironi Raja Majapahit yang Paling Dibenci
  • Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa
  • Sejarah Majapahit: Corak Agama Kerajaan, Toleransi, & Peninggalan

Nama lahir Raden Patah adalah Jin Bun yang menurut Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara [2005] berarti “orang kuat". Beberapa referensi lain menyebutnya dengan nama Senapati Jimbun, Panembahan Jimbun, juga Raden Hassan.

Usai melahirkan Jin Bun, Siu Ban Ci dipersunting oleh Adipati Palembang, Arya Damar atau Arya Dillah. Pernikahan ini dianugerahi anak laki-laki bernama Kin San alias Raden Kusen atau Raden Husein. Kin San, tulis M.O. Parlindungan dalam Tuanku Rao [2007], bermakna “gunung emas".

Berguru kepada Wali Songo

Setelah dewasa, Raden Hassan dan Husein menolak mewarisi kepemimpinan di Palembang demi merantau ke Jawa.

Sejumlah sumber menyebutkan, keduanya sempat berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon, Sunan Giri di Gresik, dan Sunan Ampel di Surabaya, untuk memperdalam ajaran Islam.

Dikutip dari Dukut Imam Widodo dan Henry Nurcahyo dalam Sidoardjo Tempo Doeloe [2013], ada dua versi peristiwa yang terjadi berikutnya.

Baca juga:

  • Sejarah Hidup Sunan Giri: Lahir, Nasab, & Ajaran Dakwah Wali Songo
  • Sejarah Masjid Sunan Ampel: Pendiri, Kota Lokasi, & Gaya Arsitektur
  • Sejarah dan Profil Sunan Ampel: Wali Pendakwah di Jalur Politik

Versi pertama menyebutkan, Hassan alias Raden Patah dan Husein alias Raden Kusen kembali ke Majapahit untuk menemui ayahnya yang telah bertakhta dengan gelar Brawijaya V.

Kepada Brawijaya V, Raden Patah meminta daerah otonom untuk ia kelola. Brawijaya V kemudian memberikan daerah di Demak Bintara kepada putranya itu. Daerah tersebut dinamakan Kadipaten Demak Bintara.

Sedangkan Husein alias Raden Kusen memilih tinggal di Majapahit untuk mengabdi dan diangkat sebagai adipati di daerah Terung [dekat Sidoarjo, Jawa Timur]. Raden Kusen kemudian dikenal dengan sebutan Adipati Terung.

Sementara versi kedua menyebutkan bahwa Demak Bintara bukanlah hadiah Brawijaya V kepada Raden Patah, melainkan wilayah yang dibuka oleh Raden Patah sendiri atas petunjuk Sunan Ampel.

Raden Patah konon enggan kembali ke Majapahit selama ayahnya belum mau memeluk agama Islam.

Baca juga:

  • Masjid Menara Kudus: Sejarah, Pendiri, & Ciri Khas Arsitektur
  • Sejarah Keruntuhan Kerajaan Demak: Penyebab dan Latar Belakang
  • Sejarah Masjid Gedhe Kauman: Simbol Akulturasi Kraton Yogyakarta

Mendirikan Kesultanan Demak

Raden Patah dengan dukungan Wali Songo akhirnya mendeklarasikan Demak -yang sebenarnya merupakan wilayah kekuasaan Majapahit- sebagai pemerintahan baru. Kesultanan Demak berdiri pada 1478, Raden Patah bertakhta dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah.

Di sisi lain, Majapahit sedang mengalami persoalan internal dengan munculnya pemberontakan yang dilakukan oleh Girindrawardhana, menantu Brawijaya V. Akhirnya, Girindrawardhana berhasil menduduki singgasana Kerajaan Majapahit dan bergelar Brawijaya VI.

Raden Patah, menurut catatan dari Cina, wafat pada 1518 dalam usia 63 tahun. Atas keputusan majelis Wali Songo, yang ditunjuk sebagai penerus takhta Kesultanan Demak adalah Pati Unus dengan gelar Sultan Alam Ali Akbar II.

Baca juga:

  • Sejarah Masjid Agung Demak: Pendiri, Ciri Arsitektur, & Keunikan
  • Sejarah Masjid Saka Tunggal Kebumen: Ciri Arsitektur & Filosofinya
  • Tahun Berapa Sejarah Kerajaan Majapahit Berdiri & Terletak di Mana?

Joko Darmawan dan Rita Wigira Astuti dalam Sandyakala: Kejayaan & Kemashyuran Kerajaan Nusantara [2018] menuliskan, terdapat dua versi terkait Pati Unus.

Ada yang menyebut Pati Unus adalah putra Raden Patah, namun sebagian menduga Pati Unus merupakan menantu Raden Patah.

Sempat terjadi peperangan antara Demak melawan Majapahit. Serbuan Demak pada 1517 di bawah pimpinan Pati Unus [1488-1521], membuat perekonomian Majapahit lumpuh.

Satu dekade berselang, tahun 1527, Majapahit benar-benar musnah. Serangan Kesultanan Demak yang kala itu dipimpin Sultan Trenggana [1521-1546], adik Pati Unus, memungkasi riwayat Majapahit.

Setelah itu, Kesultanan Demak mengambil-alih wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit yang masih tersisa sekaligus memantapkan diri sebagai kekuatan utama baru di Jawa.

Baca juga:

  • Sejarah Keruntuhan Kerajaan Majapahit & Prasasti Peninggalannya
  • Sejarah Sumedang Larang: Kerajaan Islam Sunda Pewaris Pajajaran
  • Sejarah Perang Banjar: Penyebab, Tokoh, & Aksi Pangeran Antasari

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2021 atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
[tirto.id - isw/agu]


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Masjid Kudus sebagai yang dibangun Sunan Kudus. Foto: unsplash.com/nizar_kauzar

Banyaknya masyarakat Indonesia yang beragama Islam tak lepas dari sejarah kehadiran Wali Songo, terutama di tanah Jawa. Salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa adalah Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan atau yang lebih dikenal dengan Sunan Kudus. Agar lebih mengenal sang pendiri masjid Kudus ini, berikut biografi Sunan Kudus sebagai seorang Wali Songo dan Panglima Kerajaan Demak.

Dikutip dari buku Wali Sanga - Menguak Tabir Kisah hingga Fakta Sejarah karya Masykut Arif [2016], Sunan Kudus lahir pada 9 September 140. Ia merupakan anak dari pasangan Sunan Ngudung atau Sayyid Utsman Haji dengan Syarifah Dewi Rahil.

Jika ditarik lebih jauh lagi, Sunan Kudus merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husain bin Ali. Lebih tepatnya pada jalur Ja’fat ash-Shidiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristrikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.

Meskipun ia terkenal dengan nama Kudus, namun ia bukan berasal dari tanah Jawa. Sunan Kudus berasal dan lahir di Al-Quds, Palestina. Kemudian, ia pergi ke Tanah Jawa bersama kakek, ayah, dan kerabatnya.

Perjalanan hidup Sunan Kudus sangat erat kaitannya dengan Sunan Ampel. Pasalnya ia merupakan salah satu santri dari Pesantren Ampeldenta.

Selain itu, guru Sunan Kudus lainnya adalah Kyai Telingsing, yakni seorang ulama asal Tiongkok yang menyebarkan agama Islam bersama Laksamana Cheng Ho.

Ilustrasi Sunan Kudus sebagai salah satu Wali Songo. Foto: unsplash.com/adayday

Sunan Kudus memiliki ayah yang menjabat sebagai Senopati atau Panglima Kerajaan Demak. Beliau gugur saat melawan Adipati Terung. Sang ayah juga melakukan perjalanan dakwah yang panjang untuk daerah Kudus dan sekitanya.

Setelah meninggal, Sunan Kudus dipilih untuk melanjutkan perjuangan sang ayah sebagai Panglima Kerajaan Demak.

Selain sebagai panglima, ia juga diangkat menjadi imam besar Masjid Agung Demak dan menjadi qadhi atau hakim di kerajaan tersebut.

Akibat perselisihan di internal Kerajaan Demak, Sunan Kudus kemudian pindah ke kawasan Tajug dan tidak aktif lagi dalam dunia politik serta fokus pada dakwah agama Islam.

Strategi dakwah yang ia usung adalah melalui pendekatan bidang seni dan budaya. Ia tidak langsung melarang masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme dan agama Hindu-Buddha yang masyarakat usung, melainkan merangkulnya pelan-pelan. Berkat metode tersebut, Sunan Kudus memperoleh simpati dari masyarakat.

Akibatnya, wilayah Tajug berganti nama menjadi Kudus yang duambil dari kata al-Quds tempat suci di Palestina dan tempat kelahiran Sunan Kudus.

Tak sampai disitu saja, Sunan Kudus juga mengembangkan dakwahnya melalui akulturasi atau pencampuran budaya agar agama Islam lebih diterima masyarakat setempat. Terbukti dengan dibangunnya Masjid Kudus yang memiliki arsitektus unik selayaknya candi.

Setelah beberapa tahun berdakwah di daerah Kudus, ia pun mengembara ke wilayah lain hingga tanah suci Makkah.

Setelah beberapa tahun mengabdi dan berdakwah di daerah Kudus, Sunan Kudus tutup usia dan dimakamkan di Masjid Kudus yang terletak di bagian belakang masjid. [MZM]

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề