Umat Allah yang hidup dengan hukum kasih disebut sebagai Israel yang baru hal tersebut terdapat di

Kita patut bersyukur bahwa pada hari ini Yesus memberikan kepada pengikut-Nya dan seluruh umat manusia hukum atau perintah utama dan pertama, yakni hukum kasih. "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, sebagai hukum utama dan pertama. Bahkan pada kedua hukum ini dinyatakan tergantung hukum Taurat dan kitab Para Nabi. 

Kalau kita refleksikan secara mendalam, betapa sempurnanya hukum yang diberikan oleh Yesus kepada manusia. Dalam hukum ini tergambar relasi yang penuh, secara vertikal dan horizontal. Relasi vertikal adalah hubungan kasih antara manusia dengan Allah yang terwujud dalam totalitas hati, jiwa, akal budi yang dengan kata lain dengan seluruh jiwa dan raga. Artinya tak ada sisa unsur personalitas manusia yang terlibat dalam mengasihi Tuhan Allah. 

Relasi horizontal adalah relasi kasih manusia dengan sesamanya seperti diri sendiri, juga mensyaratkan keterlibatan semua unsur personalitas. Manusia bahkan harus rela menyamakan kasih kepada sesama dengan kasih kepada diri sendiri, satu sikap dan tindakan yang dalam praksis tidak selalu mudah. 

Dalam kehidupan sehari-hari, “hukum kasih” menjadi sesuatu yang sangat mudah diucapkan namun tidak begitu mudah dilaksanakan. Butuh kesadaran dan komitmen yang tinggi untuk melibatkan seluruh jiwa raga. Namun, kita bersyukur bahwa Yesus sebagai Sang Pemberi Hukum ini telah mengajarkan sekaligus memberi teladan secara sempurna melalui hidup, sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya sebagai perwujudan kasih tanpa batas itu. 

Yesus telah mewujudkan kasih yang sempurna melalui sengsara/salib, yakni kasih kepada Bapa-Nya dan kasih kepada manusia dalam totalitas. Salib/sengsara Yesus Kristus menjadi pola hubungan kasih secara vertikal dan horizontal. 

Hukum kasih merupakan penyederhanaan yang sempurna dari hukum Taurat dan kitab Para Nabi. Tujuannya agar umat manusia mudah memahami, menghayati dan mengamalkannya. Namun, dalam hidup sehari-hari tidak semudah dan sesederhana yang kita bayangkan. Sering seseorang jatuh dalam godaan ekstrem berat sebelah. Kasih yang total kepada Allah sering tidak diimbangi kasih kepada sesama atau sering lupa akan kasih kepada sesama. Atau terlalu mengasihi sesama, sampai lupa atau mengabaikan kasih terhadap diri sendiri yang merupakan syarat untuk dapat mengasihi sesama. 

Nonsense, seseorang dengan seluruh kepribadiannya dapat mengasihi Tuhan yang tidak nampak, jika ia tidak terlebih dahulu mengasihi sesamanya yang nampak. Dan bagaimana mungkin seseorang dapat mengatakan bahwa ia sangat mengasihi sesamanya tanpa terlebih dahulu mengasihi dirinya sendiri. 

Yesus dengan sangat indah memformulasikan secara ringkas hukum Taurat dan kitab para Nabi dalam keseimbangannya. Maka, menjaga keseimbangan dan totalitas kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama seperti diri sendiri menjadi tugas semua umat yang beriman kepada Sang Pemberi Hukum itu tidak hanya pada level pemahaman [kognitif] tetapi meningkat dan mendalam pada level penghayatan [internalisasi, afektif] dan pengamalan [psikomotoris, praksis]. Tuhan memberkati.

Yohanes Bosco Otto [Ditjen Bimas Katolik]

[sumber: kemenag.go.id]

Hukum Kasih atau Hukum yang terutama adalah dua hukum terutama dari Taurat yang diajarkan oleh Yesus Kristus yang tercatat dalam Matius 22:37-40 dan Markus 12:29-31, serta sebagai jawaban dari pertanyaan yang diberikan Yesus yang tercatat dalam Lukas 10:27. Hukum pertama mencakup hubungan dengan Tuhan Allah, sedangkan hukum kedua berhubungan dengan etika timbal balik. Hukum pertama dikutip dari Ulangan 6:5 dan hukum kedua dari Imamat 19:18.

Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
— Matius 22:34-40
Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?" Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini."
— Markus 12:28-31
Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?" Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."
— Lukas 10:25-28
"Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu."
— Ulangan 6:5
"Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN."
— Imamat 19:18

 

Perumpamaan orang Samaria yang merefleksikan Hukum Kasih.

Hukum kedua yang berbunyi: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri," juga dikenal sebagai rumusan dari etika timbal balik yang juga disebut Aturan Emas [sejak 1300 SM].[1] Lebih lanjut, Yesus juga menjelaskan tentang siapakah sesama manusia dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati.

  • Shema
  • Bagian Alkitab yang berkaitan: Matius 22, Markus 12, Lukas 10, Ulangan 6, dan Imamat 19.

Hukum Kasih

Kehidupan Yesus

Didahului oleh:
Pertanyaan orang Saduki tentang kebangkitan
Injil Matius
pasal 22
Minggu Sengsara
Diteruskan oleh:
Hubungan antara Yesus dan Daud
Injil Markus
pasal 12
Minggu Sengsara
Didahului oleh:
Ucapan syukur dan bahagia
Injil Lukas
pasal 10
Diteruskan oleh:
Perumpamaan orang Samaria yang murah hati
  1. ^ Plaut, The Torah — A Modern Commentary; Union of American Hebrew Congregations, New York 1981; pp.892.

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_Kasih&oldid=19489152"

30 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti Akan terjadi SDGDKDULKDULWHUDNKLUGHPLNLDQODK¿UPDQOODKEDKZDNX akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki- laki dan perempuan akan bernubuat, dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi. Juga ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu dan mereka akan bernubuat. Kis. 2:17-18 Apa yang disaksikan oleh orang banyak itu tidak lain adalah bukti bahwa Yesus yang disalibkan dan yang telah bangkit dan naik ke surga itu, sungguh-sungguh berkuasa. “Jadi apa yang harus kami lakukan?” tanya orang banyak itu.Para murid yang tadinya sangat ketakutan dan selalu bersembunyi, kini berubah menjadi orang-orang yang sangat berani dan penuh rasa percaya diri. Mereka dengan tegas memberikan kesaksian tentang pengalaman mereka bersama Kristus yang telah bangkit itu. Melalui kesaksian mereka yang sangat meyakinkan itu sehingga orang banyak tergerak dan bertanya lebih jauh, “Jadi apa yang harus kami lakukan?” Petrus menjawab, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus” ay. 38. Hari itu juga banyak orang yang meminta agar mereka dibaptiskan. Jumlah mereka sekitar tiga ribu orang. Itulah gereja perdana. Apa yang menarik dari bagian kisah ini? Ternyata gereja tidak pertama-tama dibentuk oleh gedungnya. Bahkan orang- orang Kristen perdana justru berkumpul setiap hari di Bait Allah Kis 2:46, bukan karena mereka tidak punya tempat ibadah, melainkan karena mereka memandang diri mereka sebagai bagian dari umat Yahudi. Di sini kita dapat melihat bahwa gereja, seperti yang dikatakan dalam kata-kata nyanyian pembukaan kita, terutama sekali adalah orangnya. Di negara barat ada gereja-gereja yang kini kosong karena orang-orang Kristen di sana meninggalkan iman mereka atau tidak mau lagi pergi ke gereja. Dapatkah gedung-gedung gereja itu disebut sebagai “gereja”? Sudah tentu tidak Gereja tanpa orangnya bukanlah gereja.

C. Makna Gereja

Kata “gereja” dalam bahasa Indonesia berasal dari sebuah kata dalam bahasa Portugis yaitu igreja baca: igreza. Kata igreja dalam bahasa Portugis ini dekat sekali dengan kata iglesia dalam bahasa Spanyol yang mempunyai arti yang sama, yaitu “gereja”. Kata iglesia ini dapat ditelusuri kembali ke kata aslinya dalam bahasa Yunani yaitu ekklesia. Kata ekklesia berasal dari dua kata, yaitu ek dan klesia. Kata ek berarti “keluar”, sementara kata klesia berasal dari kata kerja kaleo yang berarti “memanggil”. Dengan demikian, kata ekklesia mengandung arti “dipanggil keluar”. Artinya, anggota- anggota gereja adalah orang-orang yang dipanggil untuk keluar dari lingkungannya, dari sanak keluarganya, dari kaum kerabatnya, untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas baru yang bernama gereja. Orang-orang ini termasuk kita semua 31 dipanggil keluar untuk menjalankan tugas kita untuk memberitakan kasih Allah yang dinyatakan melalui Yesus Kristus. Kasih itu harus disampaikan dengan perkataan dan perbuatan kita.

D. Umat Allah yang Baru

Bagaimana hubungan gereja dengan umat Israel? Atau lebih tepatnya lagi, bagaimana kaitan antara agama Yahudi dengan agama Kristen? Apakah keduanya berbeda ataukah sama? Dalam Yeremia 31:31-33 dikatakan 31 Sesungguhn \DDNDQGDWDQJZDNWXQ\DGHPLNLDQODK¿UPDQ78+1NXDNDQ mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, 32 bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka... 33 ... Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Nabi Yeremia menubuatkan bahwa Allah akan mengadakan suatu perjanjian yang baru dengan kaum Israel dan Yehuda, yaitu umat Allah. Perjanjian ini tidak dibuat dalam loh batu, melainkan yang dituliskan di hati mereka. Artinya, perjanjian Allah yang lama akan diperbarui dengan sebuah perjanjian yang baru. Mengapa Allah ingin mengadakan perjanjian yang baru dengan umat-Nya? Pada masa Perjanjian Lama kita menemukan banyak sekali kasus pelanggaran perjanjian oleh umat Israel. Berulang kali bangsa itu menolak dan berpaling dari Allah. Akibatnya mereka juga berulang kali mengalami penghukuman. Ul. 9:18; 31:29; Hak. 6:1; 10:6, dan lain-lain.. Apa sebabnya? Tampaknya umat Israel hanya mengetahui hukum Allah apabila mereka membacanya atau mendengar hukum itu dibacakan atau disampaikan kepada mereka. Marilah kita kembali mengingat akan panggilan Tuhan Allah kepada Abram – yang belakangan berganti nama menjadi Abraham Kej. 12:1-3. Abram dipanggil Tuhan untuk meninggalkan seluruh sanak keluarganya, bahkan juga kota kelahirannya, untuk hidup di sebuah negeri yang baru di kemudian hari dinyatakan kepadanya oleh Tuhan. Dari keturunannyalah kemudian terbentuk bangsa Israel, umat Allah, yang diharapkan untuk menjadi saluran berkat-Nya kepada seluruh dunia. Orang-orang Kristen perdana memahami dirinya sebagai umat Israel yang baru. Sama seperti Abraham yang dipanggil keluar untuk diutus menjadi berkat bagi dunia, begitu pula kita orang Kristen dipanggil keluar untuk kemudian menyatakan kasih Allah yang telah Ia wujudkan melalui Yesus Kristus. Kasih itulah yang harus kita sampaikan dengan perkataan dan perbuatan kita. Namun demikian, seperti yang kita lihat di dalam Perjanjian Baru, hukum Taurat seringkali malah dijadikan sebagai senjata untuk menghakimi orang lain. Pada masa Perjanjian Baru, ketika Tuhan Yesus melayani orang banyak, banyak ahli Taurat yang mengecamnya karena Tuhan Yesus dianggap melanggar aturan-aturan Taurat dengan menyembuhkan orang pada hari Sabat mis. Mrk. 3:1-6, bdk. Mat. 12:1-8; dan lain- lain.. Taurat yang seharusnya digunakan untuk menjadi penuntun menuju kehidupan 32 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti yang lebih baik, malah lebih sering menghadirkan masalah dalam kehidupan bersama karena digunakan secara keliru. Karena itulah, melalui Nabi Yeremia, Tuhan Allah mengatakan bahwa Ia akan menaruhkan Taurat-Nya di batin mereka dan menuliskan hukum-Nya di hati mereka. Dengan demikian, umat Allah akan selalu mengingat hukum-hukum-Nya. Dengan menaruh hukum Taurat di dalam hati, umat Allah pun akan memberlakukan hukum itu dengan hati, bukan sekadar mengikuti aturan-aturan hukum dengan membabi buta bdk. 2 Kor. 3:6. Allah membentuk gereja sebagai umat Allah yang baru. Umat Allah yang hidup dengan hukum yang baru, yaitu hukum kasih. Karena itu pula, gereja seringkali disebut sebagai ”Israel yang baru”. Dalam 1 Petrus 2:9-10 dikatakan: 9 Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan- perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari NHJHODSDQNHSDGDWHUDQJ1\D\DQJDMDLE 10 kamu, yang dahulu bukan umat OODK WHWDSL \DQJ VHNDUDQJ WHODK PHQMDGL XPDW1\D \DQJ GDKXOX WLGDN dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan. Gereja perdana terbentuk sebagai koreksi atas umat Israel yang menjadikan Taurat sebagai hukum yang membelenggu diri dan sebagai alat untuk menghakimi orang lain. Bagaimana orang sekarang menggunakan hukum-hukum agama untuk membelenggu diri sendiri dan menghakimi orang lain? Tanyakan kepada siswa pernahkah mereka menghakimi seseorang yang tidak pergi ke gereja pada suatu hari Minggu? Dalam buku siswa ada percakapan di bawah ini: Tina : ”Didi, kok kamu nggak ke gereja sih tadi pagi? Itu dosa lho” Santo : ”Rudi, kamu nggak boleh mendengarkan musik sejenis itu. Itu dosa, tahu” 0DUQL ´1DQDSDNDLDQNDPXWXKQJJDNVRSDQ\D,WXGRVD´ Sering sekali orang menilai dan menghakimi orang lain dengan cara-cara yang dilakukan oleh Tina, Santo dan Marni. Apa yang mereka katakan mungkin ada positifnya. Pergi ke gereja dan beribadah dengan saudara-saudara seiman sangat diharapkan dari setiap orang Kristen bdk. Ibr. 10:25. Musik-musik tertentu mungkin mengandung lirik yang negatif, yang menganjurkan perbuatan-perbuatan yang buruk bahkan jahat dan merusak masyarakat. Pakaian tertentu mungkin lebih tepat dikenakan di kolam renang dan bukan di tempat-tempat umum lainnya. Mintalah para siswa membahas pertanyaan-pertanyaan ini dengan teman sebangku mereka. Tanyakan, bagaimana perasaan mereka bila teman mereka suka menghakimi mereka. Kita semua tentu mempunyai kewajiban menegur seseorang yang kita lihat tidak berperilaku yang baik atau yang tidak menunjukkan identitasnya sebagai seorang Kristen – apabila ia memang seorang Kristen. Namun menghakimi orang lain dan 33 menyebutnya berdosa karena hal-hal yang sebetulnya kelihatan sebagai masalah yang remeh tampaknya sudah terlalu jauh. Banyak orang yang tidak senang ditegur dengan cara seperti itu, dan akibatnya malah mereka akan justru melakukan apa yang orang lain tidak sukai. Selain itu, sikap yang demikian seolah-olah menunjukkan bahwa dialah yang paling benar dan suci. Kepada orang-orang seperti ini sebaiknya kita menegur mereka dengan hati-hati dan lemah lembut. Dalam Efesus 4:15 dikatakan, ”tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Dalam Alkitab bahasa Inggris dikatakan, “Instead, speaking the truth in love, we will grow to become in every respect the mature body of him who is the head, that is, Christ.” NIV Ayat ini mengajarkan agar kita tetap berpegang teguh kepada kebenaran, namun mengungkapkan teguran-teguran kita dengan kasih. Pada saat yang sama kita pun harus berhati-hati supaya kita tidak menjadi seperti orang-orang Farisi yang dapat melihat selumbar di mata orang lain, namun gagal melihat balok di matanya sendiri Mat. 7:3.

E. Pergumulan Gereja

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề