Berapa lama pasien covid bisa sembuh total

Indonesia mencatat lebih dua juta orang telah sembuh dari COVID. Sementara, total mereka yang dilaporkan tertular virus corona di Indonesia sudah mencapai lebih dari 2,7 juta orang, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, Kamis kemarin.

Pertanyaannya, bagaimana cara kita tahu jika benar-benar sudah sembuh dan tidak akan menularkan orang lain?

Dokter RA Adaninggar, SpPD, spesialis penyakit dalam di Surabaya, sering mendapat pertanyaan seperti ini di akun Instagramnya, @drningz.

Dokter Ning, panggilan akrabnya, mencoba menjawabnya, yang bisa langsung di-klik sesuai pertanyaan Anda:

dr Ning membantu menjawab definisi kesembuhan dari COVID-19 di tengah banyaknya orang yang melakukan isolasi mandiri.[Supplied]

Dokter Ning mengatakan definisi "sembuh" berarti sudah melewati masa penularan dan gejala klinis sudah hilang.

Kedua syarat ini harus dipenuhi bersamaan, tidak boleh hanya salah satu.

Tapi tentunya ada perbedaan dalam menentuan kesembuhan di antara mereka yang bergejala ringan dan sedang atau yang berat.

Menurut WHO dan Kemenkes, masa penularan virus corona adalah 10 hari.

Kesembuhan pasien COVID-19 ditentukan berdasarkan dua hal.[Antara: Arif Firmansyah]

Untuk pasien gejala ringan, isolasi mandiri dilakukan selama 10 hari, ditambah waktu isolasi tambahan sampai gejala hilang.

Tapi, tidak sampai di situ.

"Nanti setelah gejalanya hilang, harus ditambah lagi minimal tiga hari dia bebas gejala, terutama demam dan batuk, baru dibilang sembuh," katanya.

Pasien juga akan menerima surat keterangan dari dokter atau puskesmas yang sejak awal memonitor, yang menyatakan mereka sudah menjalani isolasi dan sudah sembuh.

"Jadi tidak pakai swab PCR," kata dr Ning.

Bagaimana kalau gejala sudah membaik tapi isolasinya belum sampai 10 hari?

"Itu belum tentu sembuh, dia masih menular," kata dr Ning.

"Ada orang tidak paham kadang-kadang, mereka tes PCR satu kali negatif saja sebelum 10 hari, meski pun ada batuk-batuk, untuk keluar. Itu juga salah."

Penentuan kesembuhan pasien dari COVID-19 bergantung pada tingkat keparahan gejalanya.[Antara: Risyal Hidayat]

Sementara bagi mereka yang bergejala sedang atau berat biasanya membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Dokter yang akan menentukan sudah atau belum sembuhnya pasien dengan melihat gejala klinisnya.

"Apakah ada perbaikan kondisi secara umum, misalnya napsu makannya seperti apa, ditambah pemeriksaan penunjang," kata dr Ning.

Pemeriksaan tersebut antara lain foto ronsen, pemeriksaan lab, dan terkadang pemeriksaan PCR evaluasi.

"Karena secara teori, pada orang bergejala sedang dan berat, masa menularnya lebih panjang, dan berapa lamanya tidak bisa dipastikan, tergantung kondisi orang," katanya.

Jawabannya saat ini tidak, karena berdasarkan temuan WHO, dalam sampel tes PCR positif pada seseorang yang sudah sembilan hari bergejala, hampir tidak ada virus yang bisa dikultur.

Proses kultur virus merupakan teknik laboratorium yang mengetes kemampuan menular virus.

"Ternyata [walau hasil tes] positif, tidak ada virus yang hidup. Dia positif ya positif saja, tapi setelah dikultur ya tidak hidup [virusnya]," kata dr Ning.

"Jadi hasil positif menunjukkan materi genetik yang ada, tapi enggak bisa membedakan materi genetiknya, apakah berasal dari virus yang masih utuh dan aktif, atau virusnya sudah rusak."

Sejak Mei 2020, persyaratan dua tes PCR sudah tidak lagi dibutuhkan untuk yang bergejala ringan, karena terbatasnya peralatan laboratorium dan petugas di daerah penularan tinggi.

Dokter Ning mengatakan persyaratan tes PCR dapat diberlakukan bila negara memang punya kapasitas untuk melakukannya.

"Negara maju yang tes PCR nya masih banyak, boleh melakukan evaluasi PCR untuk menentukan seseorang boleh keluar [dari isolasi] atau belum," katanya.

"Di Indonesia kita mengadopsi [aturan] Kemenkes, tidak perlu pakai PCR tapi harus ada penilaian dokter, makanya harus ada surat."

Untuk dinyatakan sembuh, pasien COVID-19 gejala ringan harus melewati masa isolasi 10 hari ditambah minimal tiga hari bebas gejala.[Antara: Didik Suhartono]

Menurut dr Ning, ini tidak hanya terjadi ketika terkena COVID-19.

"Pemulihan [dari] penyakit apa saja pasti kan butuh waktu," katanya.

Misalnya, setelah sakit tifus atau demam berdarah, badan seseorang baru bisa kembali fit setelah dua atau tiga minggu kemudian.

Beberapa penyakit bahkan butuh satu sampai dua bulan.

Ini karena "tentara" tubuh kita habis berperang dengan penyakit itu sendiri, menurut dr Ning.

"Jadi dalam kondisi virusnya sudah tidak ada, rasa lelah dari 'tentara' itu kan masih ada, jadi butuh pemulihan juga," katanya.

Dalam konteks COVID-19, kondisi ini dikenal sebagai 'long COVID'. Dalam infeksi lain, bahasa awamnya adalah masa pemulihan.

Beberapa gejalanya adalah kelelahan, napas pendek, 'brain fog' atau kesulitan konsentrasi, dan rasa cemas berlebih.

"Hipotesanya, akan bisa membaik," kata dr Ning.

"Cuma membaiknya berapa lama, apa yang harus dilakukan, itu tidak ada jawabannya sekarang."

Kebanyakan penyintas mengalami 'long COVID' hingga 12 minggu, namun beberapa bisa sampai sembilan bulan.

"Long COVID ini memang masih misteri," kata dr Ning.

"Semuanya masih tanda tanya dan belum detil."

Namun, sebuah penelitian di Inggris yang belum diterbitkan dalam jurnal, menemukan bahwa vaksin dapat mengurangi gejala long COVID pada penyintas.

"Makanya kalau di luar negeri justru orang-orang long COVID mengejar vaksinasi, karena banyak yang mengalami perbaikan setelah divaksin," ujarnya.

"Tapi ini sifatnya masih laporan kasus, belum di-research betul-betul."

Menurut beberapa laporan kasus, vaksinasi dapat menghilangkan gejala long COVID pada penyintas.[AP: Achmad Ibrahim]

Jawaban dr Ning singkat, padat, dan jelas.

"Sangat mungkin," jawabnya.

"Selama virus di sekitar masih banyak, ya bisa tertular lagi."

Dokter Ning tidak melarang orang yang baru divaksinasi untuk mengecek kadar antibodi mereka.

Namun, menurutnya, kegiatan ini "tidak mengubah apa-apa".

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat [FDA] mengatakan hasil tes antibodi SARS-CoV-2 tidak seharusnya dijadikan patokan untuk mengevaluasi tingkat kekebalan imun seseorang terhadap COVID-19, terutama setelah menerima vaksin.

Ini karena penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan.

Menurut dr Ning, ketika divaksinasi, kekebalan yang diharapkan muncul tidak hanya antibodi, melainkan juga kekebalan sel.

Penyintas COVID-19 masih dapat tertular virus walau sudah dinyatakan sembuh.[Antara: M Risyal Hidayat]

Walau tidak kalah pentingnya, kekebalan sel tidak dapat diukur, berbeda dengan antibodi.

Namun, belum ada kepastian mengenai berapa batas antibodi yang dapat dibilang protektif untuk COVID, kata dr Ning.

"Apakah kalau semakin tinggi terlindungi? Belum tentu juga," katanya.

"Sepuluh itu juga sudah protektif. Cuma sepuluh itu sudah protektif untuk Hepatitis B, dan proteksinya bisa 10 sampai 15 tahun."

Jadi, tes antibodi tidak seharusnya membuat seseorang menyimpulkan apakah mereka sudah cukup terlindungi.

"Siapa tahu nanti kalau sudah diteliti ternyata [untuk COVID] kita cuma butuh titer yang 10 saja. Yang 200, 300, 10 ya sama-sama terlindungi."

Jangan lupa juga baca penjelasan soal kenapa sudah divaksinasi masih bisa tertular, benarkah obat yang banyak disebutkan di grup WhatsApp bisa menyembuhkan COVID, dan bahayanya menyebarkan informasi COVID bagi keselamatan keluarga.

Jakarta -

Seiring lonjakan kasus COVID-19, meningkat juga jumlah pasien COVID-19 yang harus menjalani isolasi mandiri [isoman]. Beberapa pertanyaan yang paling sering muncul, berapa lama isolasi harus dijalankan? Bagaimana jika sudah mencapai batas hari isoman, tetapi kondisi fisik tak kunjung benar-benar fit 100 persen?

Pakar penyakit menular Amerika Serikat, dr Faheem Younus menjelaskan, wajar jika pasien COVID-19 membutuhkan waktu yang tak singkat untuk benar-benar pulih. Sebab, COVID-19 memang bukan seperti flu biasanya yang idealnya, sembuh sendiri dalam waktu cukup seminggu.

"Ini bukan flu. Ini [COVID-19] tidak akan membaik 100 persen dalam waktu 1 atau 2 minggu. Yang terjadi adalah, jika Anda mengalami kasus COVID-19 yang buruk, Anda akan mencapai poin pemulihan ini [80 persen] dalam seminggu pertama," kata dr Faheem dalam diskusi daring Humanity First Indonesia, Sabtu [17/7/2021].

"Sisa 20 persennya, Anda akan membutuhkan waktu, tapi Anda akan berlanjut memulih. Dalam 2 minggu 80 persen membaik, dan sisa 20 persennya bisa membutuhkan waktu 6 sampai 8 minggu," lanjutnya.

Menurutnya, wajar jika pasien membutuhkan waktu lebih dari 1-2 minggu untuk benar-benar fit kembali. Ia mengingatkan, selama pasien tidak mengalami perburukan kondisi, itu artinya pasien tengah berproses dalam pemulihan.

Ia menambahkan, pasien COVID-19 diperbolehkan melakukan pengobatan yang biasa dilakukan pada demam umumnya. Seperti mengonsumsi ibuprofen, menggunakan nasal spray, uap air hangat, atau air garam.

Namun yang tak kalah penting, yakni penanganan tepat agar semasa pemulihan, virus tak menular pada orang lain. Mengingat, virus Corona umumnya ada pada tubuh pasien selama 10 hari.

"Perbanyak tidur, makan bergizi, pastikan Anda melindungi keluarga dan isolasi diri Anda sebanyak mungkin," beber dr Faheem.

"Setelah 10 hari, tidak ada lagi virus hidup dalam tubuh orang yang sehat. Jadi setelah 10 hari, Anda akan baik-baik saja. Tapi sekali lagi, jika Anda tidak merasa 100 persen membaik setelah 2 minggu, tidak perlu khawatir, itu benar-benar normal. Beri waktu saja," pungkasnya.

Simak Video "Kasus Harian Covid-19 Jepang Tembus 100.000"



[vyp/up]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề