Carilah dan tulis 2 kisah tokoh Muslim yang dapat diteladani dalam hal semangat menuntut ilmu

Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami para ulama saat menuntut ilmu.

Kamis , 23 Aug 2018, 15:40 WIB

Republika

Ulama sangat berperan dalam pembinaan umatnya [Ilustrasi]

Rep: Nashih Nasrullah Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam [kini Suriah]. Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi.

Periwayat 1.540 hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya.

Kisah yang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufradkarya Imam Bukhari itu, menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya.

Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka.

Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama.

Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf [zaman dulu] sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini.

Abu Ghaddah mengaku, menulis kitab itu bukan tanpa alasan. Semua berawal dari rasa penasaran dan rasa ingin tahunya tentang kiprah ulama dalam mencari ilmu. “Apa tujuan dan manfaat para ahli fikih membahas kasus-kasus yang dalam hitungan akal sehat—atau bahkan, menurut fakta sehari-hari dan kacamata agama—tak pernah dan tak mungkin terjadi?’’ ujarnya. Dalam istilah fikih, kerap disebut dengan fikih nawadir.

“Apa gunanya mereka [para ulama] bersusah payah?” tulis Abu Ghaddah. Dari rasa penasaran itulah, ia melakukan penelusuran. Ia dibuat takjub ketika membaca karya Jurji Zaidan yang berjudul Ajaib Al-Makhluqat, sebuah buku yang mengisahkan tentang keunikan dan peristiwa luar biasa dari makhluk yang hidup di alam semesta. Terlebih, dalam buku itu sang penulis menyertakan beberapa gambar untuk memperkuat informasi yang disajikan.

Satu pernyataan Abu Ghaddah pun terjawab. Ternyata, apa yang dibahas oleh para ulama di berbagai disiplin ilmu itu adalah salah satu dari fenomana yang ada di alam semesta. Abu Ghaddah merasa, betapa seorang ahli fikih pada zaman dulu mampu memprediksikan dan membahas kasus-kasus lalu menjelaskan hukumnya. Sebuah langkah besar yang tentu memerlukan kesungguhan dan ketelatenan.

Konkretnya, tema ini sengaja dipilih oleh Abu Ghaddah tatkala tempatnya mengajar memberikan amanat kepadanya untuk mem berikan pelajaran dan ceramah umum pada Fakultas Syariah di Universitas Ibnu Su’ud, Riyadh. Tema utama yang mesti dikupas dalam ceramahnya tersebut sepu tar kondisi saat para ulama dan cendekiawan Muslim masa dulu sewaktu mencari ilmu.

Abu Ghaddah mengelompokkan bentuk kesungguhan para ulama dalam dunia keilmuan ke dalam enam aspek yang berbeda. Pertama, ia mengelompokkan kisah-kisah ke tangguhan para ulama untuk melakukan “wi sata ilmu” atau rihlat fi thalab al ilm. Ke dua, ia menceritakan tentang keseriusan pa ra ulama dengan meninggalkan segala ben tuk kenikmatan, baik tidur di waktu siang dan malam hari, maupun rasa nikmat lainnya.

Ketiga, kesabaran dan penerimaan mereka terhadap kondisi perekonomian dan sulitnya hidup. Keempat, Abu Ghaddah menceritakan ketangguhan para ulama untuk menahan lapar dan dahaga selama menuntut ilmu. Kelima, para ulama yang kehabisan bekal dan ongkos saat menuntut ilmu dan perjuangan mereka dalam keterasingan. Keenam, mengisahkan tentang kesulitan yang dialami oleh para ulama tatkala buku mereka raib atau hilang, dicuri, serta terbakar.

Bersusah payah

Selain menceritakan kisah perjalanan Jabir Abdullah, dalam kitabnya, Abu Ghaddah juga mengutip cerita Ali bin al-Hasan bin Syaqiq yang mengisahkan perjuangannya saat menimba ilmu kepada gurunya bernama Abdullah bin al-Mubarok. Ali mengungkapkan, ia sering kali tak tidur di malam hari.

Pernah suatu ketika, sang guru mengajaknya ber- muzakarahketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuacanya sangat tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan.

Kegigihan lainnya ditunjukkan oleh Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, seorang sahabat Malik dan Laits. Tiap kali menemukan persoalan dan hendak mencari jawabannya dari Malik bin Anas, dia mendatangi Malik tiap waktu sahur tiba. Agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang Ibnu al-Qasim membawa bantal dan tidur di depan rumah Malik.

Bahkan, karena terlalu lelap tidur, Ibnu al-Qasim sering tidak mengetahui bahwa Malik telah keluar rumah menuju masjid. Suatu ketika, kejadian itu terulang sampai pembantu Malik menendangnya dan berkata, “Gurumu telah keluar meningalkan rumah, tidak seperti kamu yang tertidur.”

Seorang hakim terkemuka dari Mesir, Abdullah bin Lahiah, punya kisah tersendiri. Ia dikenal sebagai ahli hadis yang banyak mempunyai riwayat. Pada 169 H, ia tertimpa musibah. Buku-buku catatannya terbakar. Peristiwa ini cukup memukul Ibnu Lahiah. Betapa tidak, akibat kejadian itu, ingatan dan kekuatan hafalan hadisnya mulai berkurang. Sejak saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam keriwayatannya.

Sebagian pakar dan ahli hadis menyimpulkan, riwayat-riwayat yang diperoleh dari Ibnu Lahiah sebelum peristiwa terbakarnya buku-buku itu dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan riwayat yang diambil dari Ibnu Lahiah pascakebakaran tersebut. Merasa prihatin dengan kejadian itu. Al-Laits bin Sa'ad al-Mishri memberi uang sebesar 1.000 dinar [koin emas] kepada Ibnu Lahiah. Namun, bagi para ulama, uang tak dapat menggantikan buku yang berarti sahabat dan teman hidup bagi mereka.

  • ulama mencari ilmu
  • ilmu ulama

Imam Syafii awalnya belajar membaca, menulis, dan menghafal Alquran.

Rabu , 24 Jun 2020, 12:20 WIB

Egypt Today

Kisah Perjalanan Imam Syafii Menuntut Ilmu [1]. Pemakaman keluarga kerajaan Mesir Mohammad Ali Pasha atau Hosh al-Basha di Masjid Imam Syafii.

Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Syafi'i adalah pendiri mazhab Syafi'i yakni mazhab fikih dalam suni yang sangat banyak pengikutnya. Imam Syafi'i merupakan satu-satunya imam mazhab dari keturunan Quraisy yang nasabnya tersambung kepada Rasulullah SAW melalui 'Abdul Manaf.

Baca Juga

Ustadz Teuku Khairul Fazli dalam buku Ushul Fiqih Mazhab Syafi'i yang diterbitkan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan kisah singkat perjalanan Imam Syafi'i dalam menuntut ilmu. Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad bin Idris bin 'Abbas bin 'Usman bin Syaafi' bin Saaib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Haasyim bin 'Abdul Mutthalib bin 'Abdul Manaf. Beliau memulai perjalanan menuntut ilmunya dengan belajar membaca, menulis, dan menghafal Alquran.

Sehingga pada usia tujuh tahun, Imam Syafi'i telah menyelesaikan hafalan Alquran dengan lancar. Setelah menyelesaikan hafalan Alquran, beliau melanjutkan dengan menghafal berbagai macam syair-syair Arab dan kitab al-Muwattha' yang ditulis oleh Imam Malik.

"Aku menyelesaikan hafalan Alquran pada usia tujuh tahun dan menyelesaikan hafalan kitab al-Muwattha' pada usia 10 tahun," kata Imam Syafi'i.

Ketika berada di Makkah, beliau berguru kepada Sufian bin 'Uyainah, salah seorang ahli hadist di Makkah. Beliau juga seorang pembesar Tabi'u Tabi'in yang wafat pada 198 H. Imam Syafi'i mengatakan, kalau bukan karena Malik dan Sufian, maka akan hilanglah ilmu Hijaz.

Imam Syafi'i juga berguru kepada Muslim bin Khalid al-Zanji, salah seorang ahli fikih di Makkah. Beliau juga merupakan pembesar Tabi'u Tabi'in yang wafat pada 179 H.

Pada 163 H, Imam Syafi'i berangkat ke Madinah Munawwarah untuk berguru kepada Imam Malik. Beliau merupakan salah seorang ulama ahli hadist sekaligus pakar fikih di Madinah yang wafat pada 179 H. Pada saat itu Imam Syafi'i berumur 13 tahun. Imam Syafi'i tidak meninggalkan kota Madinah kecuali setelah wafatnya Imam Malik. Ketika berumur 15 tahun, beliau mendapat rekomendasi dari gurunya Muslim bin Khalid untuk memberikan fatwa dalam masalah agama.  

  • imam syafii
  • pendiri mazhab fikih
  • ulama islam
  • membaca alquran

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề