Pasal 164 HIR 284 RBG dan 1866 BW apa saja yang dijadikan alat bukti?

Hanya sekedar mengingatkan kita, apa saja jenis – jenis alat bukti yang menjadi serta diperlukan dalam perkara Perdata maupun perkata Pidana.

Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH  Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar dapat membandingkan antar alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:

  1. Alat Bukti Hukum Acara Perdata

Pasal 1866 Burgerlijk Wetboek :

  • Bukti tulisan
  • Bukti dengan Saksi-saksi
  • Persangkaan-persangkaan
  • Pengakuan
  • Sumpah
  1. Alat Bukti Hukum Acara Pidana

Alat bukti Hukum Acara Pidana dahulu diatur dalam Pasal 295 HIR, yang macamnya disebutkan sebagai berikut :

– Keterangan saksi;

– Surat-sunat;

– Pengakuan;

– Tanda-tanda [petunjuk].

Sedangkan dalam KUHAP, macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :

Alat bukti yang sah ialah :

– Keterangan saksi;

– Keterangan ahli;

– Surat;

– Petunjuk;

– Keterangan terdakwa.

Jadi, semoga postingan ini mengingatkan kita kembali dengan jenis alat – alat bukti pada perkara perdata maupun perkara pidana. Semoga bermanfaat J

Sumber : Pasal 1866 Burgerlijk Wetboek, Pasal 295 HIR dan Pasal 184 KUHAP

Prev Post

Kekuatan Visum Et Repertum Dalam Pembuktian

Next Post

Ketentuan Mengenai Hak Dan Kewajiban Peserta Didik

ALAT BUKTI ELEKTRONIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBUKTIAN PERDATA DI PENGADILAN

Muhammad Ubayyu Rikza,S.H.I
Hakim Pengadilan Agama Raha

Abstrak

Alat bukti adalah segala sesuatu yang dapat dipakai untuk membuktikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata ditentukan lima alat bukti yaitu bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Menurut hukum acara perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah. Hal ini berarti hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang saja. Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, benda-benda elektronik merupakan suatu yang umum dan telah menjadi kebutuhan. Benda-benda elektronik tersebut dijadikan sebagai alat komunikasi, perekam ataupun sebagai alat dokumentasi atas peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat seringkali menggunakan sesuatu yang dihasilkan oleh benda-benda elektronik tersebut sebagai bukti dalam persidangan. Perkembangan masyarakat dan teknologi tersebut direspon dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang didalamnya mengatur tentang bukti elektronik. Dengan adanya undang-undang tersebut, kedudukan alat bukti elektronik dalam hukum yang ada di Indonesia menjadi sah, juga kekuatan alat bukti elektronik dipersamakan dengan dokumen yang dibuat diatas kertas.

Kata kunci : Bukti elektronik, pembuktian perdata, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

Abstract

Article 1866 of the Civil Code, five pieces of evidence are determined, namely evidence of letters, witness evidence, allegations, confessions and oaths. According to civil procedure law, judges are bound by legal evidence. This means that judges may only make decisions based on the evidence specified in the law only. In the development of today's society, electronic objects are a common and a necessity. The electronic objects are used as a communication tool, recorder or as a documentation tool for events in everyday life, so that people often use something produced by electronic objects as well as evidence in court proceedings. The development of society and technology was responded by the birth of Law No. 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions, which regulates electronic evidence.

Keywords: Electronic evidence, civil evidence, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral dari proses pemeriksaan di pengadilan. Pembuktian menjadi sentral karena dalil-dalil para pihak diuji melalui tahap pembuktian guna menemukan hukum yang akan diterapkan [rechtoepasing] maupun yang ditemukan [rechtvinding] dalam suatu perkara tertentu.[1] Sementara tujuan pembuktian adalah untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak yang berpekara dipengadilan untuk dapat memberi kepastian dan keyakinan kepada hakim atas dalil yang disertai alat bukti yang diajukan dipengadilan, pada tahap ini hakim dapat mempertimbangkan putusan perkara yang dapat memberikan suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian hukum dan keadilan.[2]

Sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem tertutup dan terbatas dimana para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau bentuk alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukan secara tegas apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti.[3] Pembatasan kebebasan juga berlaku bagi hakim dimana hakim tidak bebas dan leluasa menerima apa aja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti. Apabila para pihak yang berpekara mengajukan alat bukti diluar ketentuan yang ada didalam undang-undang yang mengatur, hakim harus menolak dan mengesampingkan dalam penyelesaian perkara. Dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Rechts Reglement Buitengwesten [RBg] Pasal 284, pasal 164 Het Herziene Indonesisch Reglement [HIR] menerangkan lima alat bukti yang digunakan dalam perkara perdata yaitu alat bukti tertulis, alat bukti saksi, alat bukti berupa persangkaan-persangkaan, alat bukti berupa pengakuan, dan alat bukti sumpah.

Pada perkembanganya dikenal alat bukti elektronik yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE] yang memuat informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakannya sebagai alat bukti di persidangan.[4] Sementara dalam perkembangannya, sekarang dikenal adanya bukti elektronik yang dikaitkan dengan tanda tangan digital, pemeriksaan saksi dengan menggunakan teleconference, disamping bukti-bukti lain seperti rekaman radio kaset, vcd/dvd, foto, faximili, cctv, sms [short massage system], dll.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah kedudukan alat bukti elektronik dalam sistem pembuktian perdata di pengadilan? serta bagaimana implikasi bukti elektronik dalam sistem pembuktian di pengadilan?

  1. II.PEMBAHASAN
    1. A.Kedudukan alat bukti elektronik dalam sistem pembuktian di pengadilan

Selama ini alat bukti dalam proses persidangan perdata diatur secara limitatif atau bersifat terbatas. Namun seiring perkembangan teknologi dan tingkah laku kehidupan manusia, turut mempengaruhi aspek dalam lalu lintas hubungan keperdataan yang berlangsung hingga saat ini. Kehadiran Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE] sebagai bentuk penegasan diakuinya transaksi elektronik dalam lalu lintas hubungan keperdataan, serta dapat dipergunakannya transkrip elektronik sebagai bentuk alat bukti di pengadilan. Hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan hubungan keperdataan yang berlangsung saat ini. Kedudukan alat bukti elektronik dalam perkara perdata saat ini dipandang tidak lagi harus berpatokan terhadap jenis alat bukti yang secara limitatif telah ditentukan oleh aturan perundangan.

Ketentuan mengenai alat bukti elektronik secara sah sebagai alat bukti dalam hukum di Indonesia, diakui dalam Pasal 5 ayat [2] yang menyatakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat [1] merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai perluasan alat bukti di pengadilan, berdasarkan Pasal 5 ayat [2] dapat dikatakan sebagai alat bukti elektronik.

Pengertian Informasi Elektronik dalam ketentuan umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 disebutkan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange [EDI], surat elektronik [electronic mail], telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[5]

Dalam Pasal 1 ayat [4] Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016, dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik, yang dibuat, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti yang dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[6]

Karakteristik dokumen elektronik yang dapat dialihkan atau disimpan dalam beberapa bentuk, memungkinkan dokumen elektronik dalam praktik perkara di persidangan tidak ditemui dalam satu bentuk media yang baku, hal tersebut dapat dilakukan mengingat sifat dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat dialihkan ke dalam beberapa bentuk media yang lain.

Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elekronik [ITE] yang berbunyi dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat [4] yang mensyaratkan suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik, oleh Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE] yang menyatakan bahwa dokumen elektronik disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Hal ini, berarti bahwa kekuatan pembuktian dokumen elektronik dalam praktik perkara perdata dipersamakan dengan kekuatan alat bukti tulisan [surat].

Kedudukan salinan suatu dokumen elektronik menurut penjelasan umum Pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE] menyatakan prinsip penggandaan sistem elektronik mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan dengan salinannya, sehingga hal tersebut tidak relevan lagi untuk dibedakan.[7]

Kedudukan dokumen elektronik sesungguhnya merupakan perluasan dari alat bukti tulisan sebagaimana dikemukakan baik dalam Pasal 284 RBg/164 HIR maupun Pasal 1866 KUHPerdata. Terhadap kekuatan pembuktian dokumen tertulis dalam hukum pembuktian perdata sangat bergantung pada bentuk dan maksud dari dibuatnya dokumen tersebut. Informasi dan dokumen elektronik dapat disebut sebagai akta otentik apabila telah mendapatkan sertifikasi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan sebagai suatu kontrak elektronik yang sah. Sebaliknya, apabila sistem elektronik yang digunakan belum mendapat sertifikasi maka setiap informasi dan dokumen yang telah dibuat dianggap tidak sah.17

Kemudian alat bukti informasi atau dokumen elektronik dapat digunakan dalam persidangan sejauh alat bukti tersebut dapat diperoleh dan dibuktikan dalam persidangan. Alat bukti informasi atau dokumen elektronik masuk dalam jenis alat bukti petunjuk dan surat.

Sementara apabila melihat mengenai kedudukan bukti elektronik di negara Belanda, dokumen elektronik dapat disamakan dengan bukti tertulis dan mempunyai kekuatan pembuktian bebas yang dapat disamakan dengan akta dibawah tangan, namun apabila bukti elektronik tersebut diakui dapat disamakan dengan akta otentik yaitu mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat. Menurut Duch Electronic Signature Act [DESA] bukti elektronik harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:[8]

  1. Jika dokumen itu dapat dibaca [dimengerti] oleh para pihak;
  2. Jika kebenaran dari isi perjanjian tersebut dapat terjamin;
  3. Jika waktu atau saat perjanjian dapat ditentukan secara pasti;
  4. Jika identitas para pihak dapat ditentukan pasti.

Sementara menurut aturan yang ada di negara Singapura yaitu The evidence Regulation, dalam aturan tersebut mengenal Documentary evidence tidak hanya berlaku dalam bentuk tertulis saja, namun mengakomodir peta, grafik, gambar, foto, disk, tape, dan film.[9]

Dengan demikian, menurut Penulis penggunaan bukti email, file rekaman atau chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.

  1. B.Implikasi bukti elektronik dalam sistem pembuktian di pengadilan
    1. a]Tanda tangan elektronik

Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 53 ayat [2] Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.[10]

Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Tanda tangan elektronik yang sah adalah tanda tangan elektronik seseorang yang sudah mendapatkan sertifikasi elektronik dari Balai Sertifikasi Elektronik yang berada di bawah Badan Siber dan Sandi negara. Fungsi tanda tangan elektronik adalah sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas identitas penanda tangan dan keutuhan dan keautentikan Informasi Elektronik.[11]

Mengenai kekuatan pembuktian yang melekat terhadap sebuah tanda tangan elektronik, dapat dilihat dalm ketentuan Pasal 11 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE] yang berbunyi tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut;[12]

  1. Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan.
  2. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses hanya berada dalam kuasa penandatangan.
  3. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui.
  4. Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui.
  5. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya.
  6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.

Dengan demikian, menurut Penulis cara lain untuk memastikan authencicity tanda tangan elektronik dapat dilihat dari hash function dalam sistem tanda tangan elektronik, sehingga penerima data [recipient] dapat melakukan pembandingan hash value. Apabila has value nya sama dan sesuai maka data tersebut benar-benar outentik.

  1. b]Pemeriksaan saksi dengan teleconfrence

Menurut Pasal 140HIR/ 166 RBg yang menentukan bahwa saksi harus memberikan keterangannya secara lisan dan pribadi langsung di muka persidangan.[13] Pemeriksaan saksi dengan teleconfrence pada dasarnya sama dengan pemeriksaan saksi biasa yang dilakukan di ruang persidangan, dalam hal saksi memberikan keterangannya secara lisan dan pribadi langsung di muka persidangan. Perbedaanya terletak pada keberadaan saksi yang tidak secara fisik ada di ruang sidang pengadilan tempat perkara digelar, melainkan saksi berada di dunia maya yang secara virtual hadir di ruang sidang pemeriksaan perkara. Dengan demikian, Penulis berpendapat bahwa saksi melalui teleconfrence tidak bertentangan dengan hukum acara yang berlaku.

Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia masih berasal dari Hindia Belanda yaitu HIR/RBg dan BW buku IV. Namun seiring perkembangan masyarakat dan teknologi, lahirlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang didalamnya mengatur tentang bukti elektronik. Berlakunya Undang-Undang ITE, mengakomodir suatu alat bukti elektronik yaitu berupa Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dapat digunakan sebagai alat bukti di dalam persidangan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia, sepanjang memenuhi syarat formil dan materil.

Kedudukan alat bukti informasi atau dokumen elektronik dapat digunakan dalam persidangan sejauh alat bukti tersebut dapat di peroleh dan dibuktikan dalam persidangan. Alat bukti informasi atau dokumen elektronik masuk dalam jenis alat bukti petunjuk dan surat.

Implikasinya dengan adanya Undang-Undang ITE tersebut, membuat tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah serta pemeriksaan saksi menggunakan teleconfrence dapat dinyatakan sah, sebab pada dasarnya sama dengan pemeriksaan saksi biasa yang dilakukan di ruang persidangan.

Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016.

HIR/RBg.

Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 056/dja/hk.05/sk/i/2020 Tentang Pelaksanaan Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Agama secara Elektronik.

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum [Legal Theory] dan Teori Peradilan [Judicialprudence]:Termasuk Interpretasi Undang-undang [Legisprudence]. Edisi I, Cet.III; Jakarta : Kencana. 2009.

Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata. Jakarta : Prenada Medi. 2013.

Laela, Efa Fakhriah, Bukti Elektronik dalam System Pembuktian Perdata. Bandung : PT. Refika Aditama. 2017.

Soekanto S., Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Perss. 2014.

[1] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum [Legal Theory] dan Teori Peradilan [Judicialprudence] : Termasuk Interpretasi Undang-undang [Legisprudence]. Edisi I, Cet.III; Jakarta : Kencana, 2009. Hlm. 17.

[2] Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata. Jakarta : Prenada Media, 2013. Hlm. 20.

[3] Soekanto S., Pengantar Penelitian Hukum. UI Perss. Jakarta, 2014. Hlm. 38.

[4] Pasal 5 ayat [1] Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE].

[5] Pasal 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE].

[6] Pasal 1 ayat [4] Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008

[7] Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen elektronik dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup sistem elektronik informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab sistem elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya .

[8] Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam System Pembuktian Perdata. Bandung : PT. Refika Aditama. 2017. Hlm. 124-125.

[9] Efa Laela Fakhriah, Ibid., Hlm. 124.

[10] Keputusan Direktur jenderal badan peradilan agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 056/dja/hk.05/sk/i/2020 Tentang pelaksanaan administrasi perkara dan Persidangan di pengadilan agama secara elektronik. Hlm. 9.

[11] Ibid., Hlm. 12.

[12] Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[13] Pasal 140HIR/ 166 RBg.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề