Apa yang dimaksud dengan land reform serta bagaimana implementasinya di negara Indonesia?

1Land reform dan komunis, hingga saat ini, masih menjadi hal yang saling terkait dan menjadi efektif bagi kaum tertentu untuk menghadang kelancaran program tersebut. Di Indonesia, partai komunis besar, Partai Komunis Indonesia [PKI] berhasil mendorong negara Indonesia di era pasca- kemerdekaan Indonesia. Namun kondisi sosial-politik rakyat Indonesia pada saat itu membuat program ini pun gagal dijalankan hingga selesai. Tujuan-tujuan besar untuk memberikan dasar-dasar penghidupan ekonomi dengan program Land reform, yaitu mengubah struktur penguasaan tanah yang lebih adil, mendapatkan perlawanan langsung, salah satunya, dari para elit masyarakat yang memanfaatkan kekuasaan formal di dalam masyarakat. PKI kemudian menjadi kata-kata ajaib bagi sejumlah aparat Negara, dari tingkat lokal hingga nasional, maupun mereka yang memiliki penguasaan tanah skala luas [tuan tanah] untuk menghambat proses tersebut.

2Tulisan ini akan memperlihatkan bagaimana sebuah masyarakat petani yang membutuhkan lahan, dihambat oleh faktor-faktor ingin bertahannya sekelompok kecil orang untuk tetap menguasai lahan di wilayahnya. Desa Ilir/Soge kini terletak di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Desa Soge sebelum tahun 1983 adalah bagian dari Desa Ilir, karena itu dalam tulisan ini akan disebut dengan Desa Ilir/Soge. Sebagian besar dari mereka adalah kaum tani dan berupaya mengusahakan bidang tanah sejak era penjajahan Jepang hingga saat ini. Kasus sengketa lahan yang menimpa masyarakat di Desa Soge ini kemudian dikenal dengan Kasus Soge.

3Walaupun sudah menjadi program Negara, program Land reform dengan diterbitkannya UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria, strategi untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan tetap dihambat oleh aparat Negara itu sendiri. Pertentangan cara pandang kedua kelompok di dalam Kasus Soge mewarnai bagaimana terjadinya ada pertentangan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Di satu pihak menginginkan kaum tani di desa menjadi motor ekonomi atas tanah-tanah yang mereka kuasai melalui program Land reform 1960, di pihak lain, menghendaki pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada pengelolaan tanah skala luas, termasuk oleh tuan tanah, dan menempatkan petani sebagai pekerja di atasnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Pertentangan ini terus-menerus terjadi dan semakin menguat ketika peristiwa 65 di Indonesia, yang menuduh keterlibatan PKI. Sejak saat itu, PKI menjadi kata-kata yang efektif dipergunakan bagi mereka yang menentang program pemerintah, yang sejak era Orde Baru sudah tidak lagi menjalankan program Land reform.

Program Land reform di Indonesia: Gambaran Umum

4Program land reform di Indonesia sangat erat kaitannya dengan pidato presiden Soekarno tahun 1959 pada peringatan ulang tahun RI, tanggal 17 Agustus 1959. Pidato itu kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik – USDEK, yaitu sebuah strategi pembangunan bangsa memasuki era penemuan jalan revolusi Indonesia. Manifesto Politik ini berisi tentang penghapusan feodalisme dengan cara menghilangkan tuan tanah, membebaskan petani dari penghisapan dan menciptakan masyarakat demokrasi di Indonesia. Penjabarannya tercantum dalam USDEK, yaitu dengan kembali kepada UUD 1945 [seiring dengan terbitnya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959, tentang Kembali ke Undang-undang Dasar 1945], membangun demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan menciptakan keamanan di negeri Indonesia [Parlindungan 1987: 10]. Presiden Soekarno menegaskan tiga fokus pembangunan bangsa, yaitu pembangunan untuk pemenuhan sandang-pangan, sistem keamanan nasional dan perjuangan anti-imperialisme. Inilah yang disebut dengan era menemukan kembali jalan revolusi [“rediscovery of our revolution”, Soekarno 1959]3.

Gambar 1. Peta Desa Soge, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat [Digambar oleh Ade Ikhsan].

5Dalam bidang agraria, hal ini kemudian diteruskan dengan langkah yang lebih maju dengan membuat perundang-undangan yang disesuaikan dengan Manifesto Politik 1959 tersebut. Pada intinya mensyaratkan bahwa hukum agraria di Indonesia adalah hukum adat, pro-kepentingan nasional, bangsa dan persatuan bangsa, untuk menuju sosialisme Indonesia yang tidak melupakan hukum agama di dalamnya. Keseluruhannya kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan induk tentang pengaturan agraria pada tahun 1960, yaitu UU Pokok-pokok Agraria No. 5 tahun 1960 [UUPA 1960].

6Politik kebijakan agraria ini menjadi satu pilar untuk menuju sosialisme Indonesia. Seiring dengan ditetapkannya tiga pilar pembangunan tersebut dalam ketetapan MPRS II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1966. Jika Pancasila adalah dasar-dasar untuk kehidupan bernegara, maka sosialisme Indonesia adalah turunan operasional dasar-dasar tersebut [Parlindungan 1987: 54-55], sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1960 [Departemen Penerangan RI, t. t.].

7Sosialisme Indonesia ini sejalan dengan program Land reform yang kemudian sudah dituangkan dalam UUPA. Program ini menjadi pijakan untuk mencapai tujuan penghilangan tuan tanah dan penghisapan terhadap petani kecil, sekaligus juga untuk menolak hadirnya imperialisme. Pada pidato Presiden RI tahun 1960, juga dinyatakan dalam UUPA 1960, diungkapkan sebagai peraturan untuk perombakan hak tanah dan penggunaan tanah, karena Land reform merupakan bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia. Tujuan utamanya adalah memperkuat dan memperluas pemilikan tanah seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani [Departemen Penerangan RI t. t.; Rahardjo dan WK 2001: 194-197].

8Sebagai produk yang populis, program Land reform seringkali menjadi kambing hitam produk paham komunis. Padahal, Land reform yang dicanangkan di Indonesia masih mengakui hak kepemilikan pribadi dengan batasan-batasan tertentu menuju sosialisme Indonesia. Seruan Presiden Soekarno pada saat itu bahwa “tanah bukanlah bagi mereka yang duduk ongkang-ongkang dan menjadi gemuk dan makmur karena menghisap dari keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanahnya” [Pidato Presiden Soekarno, pada peringatan ulang tahun RI tahun 1960]. Perbedaan paradigma berpikirlah yang menyebabkan muncul tuduhan tersebut, yaitu perbedaan pendekatan berpikir yang kapitalistik dan sosialis, yang kemudian paham sosialis dipersamakan dengan kelompok-kelompok komunis. Hal ini tidak sepenuhnya tepat, karena Soekarno pun sudah menjabarkan bahwa banyak negara-negara non komunis juga menjalankan land reform di negaranya.

9Partai Komunis Indonesia [PKI], sebagai satu-satunya Partai beraliran komunis, menjadi penerima tuduhan di atas. Kendatipun PKI sejalan dengan pikiran-pikiran untuk menjalankan Land reform yang dikomandoi oleh Soekarno [Van Der Kroef 1965: 147-148], namun segala “peristiwa”, khususnya peristiwa 1965, yang terkait dengan pelaksanaannya, PKI dianggap sebagai dalang utamanya4. Hal ini terkait juga dengan aksi-aksi percepatan dijalankannya Land reform yang dilakukan oleh massa BTI di berbagai tempat, yang dikenal dengan peristiwa aksi sepihak [Tornquist 1984: 196].

10Hingga tahun 1960-an, PKI lebih fokus kepada pengorganisasian massa buruh [McVey 2008: 163]. Dalam laporan umum Kongres ke-VI PKI ditegaskan bahwa pembangunan partai, khususnya dalam pembentukan front nasional, tidak akan mungkin terjadi jika belum bisa mengorganisir dan memimpin massa kaum tani, yang pada akhirnya akan memperkuat ideologi partai [Aidit, Asmu, Mao & Lenin 1960: 3-4]. Mengapa? Karena kaum tani merupakan massa mayoritas di negeri ini dan menjadi subjek utama pengelola sumberdaya agraria, yaitu tanah. Bersama-sama dengan kelas pekerja, massa tani terorganisir akan menjadi modal partai untuk membangun front persatuan nasional untuk kekuatan revolusi [Aidit D. 1959: 6-8]. Dengan demikian, PKI merupakan partai politik yang garis politiknya tidak memisahkan strateginya dengan kalangan kaum tani5. Karenanya, PKI sangat terkait dengan BTI, organisasi massa kaum tani terbesar yang ada pada saat itu.

11Pada Konferensi Nasional Tani Indonesia tahun 1947, dua tahun sesudah dibentuk6, mereka masih belum menunjukkan pergerakan massa tani yang luas7 [Asmu 1960: 33], namun pergerakannya terus dilanjutkan dengan pola kritik-otokritik8. PKI misalnya, yang mengandalkan kekuatan massa tani untuk membangun ideologinya, mengkritik tentang seruan yang dipergunakan BTI sejak awal pembentukannya, yaitu “Hak Negara atas Semua Tanah”9, dinilai sebagai penghambat perluasan pengorganisasian massa tani pada saat itu [Aidit D. 1960]. Menurut Aidit, bagi petani revolusi agraria adalah jika kepemilikan pribadi terwujud, dengan cara mendistribusikan tanah-tanah yang dikuasai oleh tuan tanah dan imperialisme asing, karena itu semboyan perlu dipertimbangkan ulang, karena maknanya akan mengarah pada penguasaan oleh Negara bukan oleh petani secara individual [Aidit D. 1960: 22].

Gambar 2 - Rencana Revolusi Agraria PKI/BTI. Sumber: diolah dari Aidit [1960: 22]

12Selanjutnya, semangat revolusi agraria yang anti-feodalisme menjadi pegangan bersama PKI dan BTI pada saat itu. Mereka mengembangkan pendekatan agar tanah-tanah yang dikuasai oleh tuan tanah dibagi kepada petani kecil yang hendak menggarap tanah. Mereka juga bekerjasama dengan negara supaya ia menguasai sepenuhnya tanah-tanah perkebunan dan kehutanan untuk pembangunan ekonomi nasional, serta ia bisa melindungi penguasaan tanah-tanah skala kecil oleh rakyat [Aidit D. 1960: 22; Asmu 1960: 37; Reid 1996: 237; Mortimer 1969: 195]. Tujuan akhirnya adalah sosialisme Indonesia melalui perjuangan rakyat, khususnya kaum tani. Kerja kolaborasi BTI dan PKI ini memuncak ketika BTI menghadapi kebuntuan dalam pengorganisasian untuk mengusir tuan tanah di pedesaan, lalu PKI menyerukan program Land reform pada tahun 1960-an [McVey 2008: 172].

13Baik PKI dan BTI memiliki kendala internal dalam menjalankan cita-cita bersamanya untuk revolusi agraria di Indonesia10. Beberapa faktor yang menghambat adalah kader-kader yang harus terus belajar memahami masalah di pedesaan, mereka juga “enggan” bekerja di desa dan beberapa kader juga menjadi bagian dari masalah itu sendiri, yaitu termasuk dalam kelompok tuan tanah [Aidit D. 1960: 25-28; Asmu 1960: 32-35].

14Survei keanggotaan PKI menunjukkan bahwa anggota PKI sebagian besar [72%] adalah borjuis kecil [termasuk petani sedang], sisanya kaum proletar11. Maka, bagi PKI maupun BTI, isu tanah adalah utama dan menjadi dasar penguatan ideologi organisasi masing-masing untuk cita-cita menuju sosialisme Indonesia dengan jalan revolusi agraria.

15UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria [UUPA] merupakan tonggak Negara untuk menjalankan Land reform di Indonesia. Sejumlah persiapan dilakukan khususnya sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7, 10 dan 17. Ketiga pasal tersebut secara berturut-turut mengenai pembatasan kepemilikan lahan, kepemilikan secara absentee dan memberikan kewenangan kepada Negara untuk membagikan tanah-tanah tersebut kepada yang membutuhkan dan hendak mengelolanya. Ketiganya harus selesai dilaksanakan pada rentang waktu hingga tahun 1964.

16Untuk memperkuat legalitas prosesnya, juga diterbitkan kebijakan tentang penetapan batas maksimum dan minimum penguasaan tanah. UU no. 56/PRP/1960 menegaskan batas-batas penguasaan tanah pertanian oleh keluarga [bukan yang dikuasai oleh badan hukum12] dengan melihat faktor geografis dan kondisi demografis [tidak padat dan padat] wilayah-wilayah di seluruh Indonesia13. Penguasaan tanah pertanian yang dimaksud merupakan penguasaan tanah oleh satu keluarga, apakah tanah tersebut tanah milik keluarganya atau milik orang lain atau campuran keduanya14, termasuk mempertimbangkan kondisi tanahnya, apakah tanah basah [sawah] atau tanah kering [kebun] atau keduanya. Lebih terperinci lagi di masing-masing kabupaten [pada saat itu disebut daerah Swatantra II], diidentifikasi daerah mana saja yang masuk dalam kategori ‘tidak padat’ dan ‘padat’ serta berapa luas maksimumnya tercantum di dalam Keputusan Menteri Agraria No. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian. Tabel 1 di bawah meringkaskan kedua kebijakan tersebut.

Tabel 1. Batas Maksimum Penguasaan Tanah Pertanian oleh Keluarga [ha]. Sumber: diolah dari UU 56/PRP/1960 dan Keputusan Menteri Agraria No. 978/Ka/1970, [Utrecht 1969]

Kepadatan Penduduk

Tanah Sawah

Tanah Kering

1 – 50 jiwa/km2

15

20

51-250 jiwa/km2

10

12

251-400 jiwa/km2

7,5

9

Lebih dari 400/km2

5

6

17Selain batas maksimum, pemerintah juga mengatur tentang batas minimum penguasaan lahan oleh keluarga petani. UU No. 56/PRP/1960 ini kemudian menegaskan agar setiap keluarga petani memiliki lahan minimum 2 hektar15 untuk kegiatan pertaniannya.

18Program Land reform kemudian, salah satunya, mengandalkan setiap penduduk yang memiliki tanah melebihi batas maksimum berdasarkan peraturan di atas. Secara operasional, mereka yang memiliki tanah kelebihan wajib melapor ke pemerintahan setempat di tingkat kabupaten/kota16, untuk kemudian diselesaikan proses penyerahan tanah di luar batas penguasaannya oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang setempat17. Selain itu, pemerintah juga berwenang untuk mengambil alih tanah-tanah yang pemiliknya tinggal di luar daerah, yang intinya bahwa setiap pemilik tanah wajib mengusahakan tanahnya sendiri18 atau larangan absenteeism [tanah guntai]19. Sumber tanah lain untuk program redistribusi tanah kepada petani ini adalah tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada Negara, sebagaimana diuraikan dalam UUPA20, dan tanah-tanah lain yang sudah dinyatakan oleh Menteri Agraria21. Tanah-tanah inilah yang kemudian disebut tanah objek Land reform yang hendak didistribusikan kepada seluruh rakyat Indonesia agar menguasai tanah untuk sumber penghidupannya.

19Proses distribusi kemudian diatur oleh seperangkat aturan agar menjamin pembagian yang merata dan berkeadilan. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Pada pasal 8, peraturan ini ditegaskan 9 kriteria penerima tanah objek Land reform, yaitu penggarap, buruh tani, pekerja yang sedang menggarap tanah tersebut, penggarap yang belum mencapai 3 tahun menggarap tanah yang bersangkutan, penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik, penggarap tanah-tanah yang oleh Negara diberi peruntukan lain22, penggarap yang tanahnya kurang dari 0,5 ha, pemilik tanah yang luasnya kurang dari 0,5 ha dan petani/buruh tani lainnya. Keseluruhan proses identifikasi tanah objek Land reform dan daftar penerima yang sesuai dengan target di dalam perundang-undangan disiapkan oleh Panitia Land reform yang ada di setiap kabupaten/kota yang diatur oleh keputusan presiden23.

20Bagi mereka yang termasuk dalam daftar penerima tanah objek Land reform akan menerima hak kepemilikan atas bidang tanah dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Di dalam PP No. 224/1961 diatur bahwa mereka akan menerima legalitas atas tanah tersebut dalam jangka waktu 15 tahun, setelah membayar cicilan untuk pembelian tanah tersebut. Dan selama jangka waktu tersebut tidak diperkenankan untuk mengalihkan penguasaannya tanpa seijin pejabat yang berwenang, dan yang terpenting adalah mereka harus mengusahakan bidang tanah tersebut sendiri24.

21Proses redistribusi pun dimulai pada awal tahun 1962. Setelah seluruh persiapan dilakukan selama setahun, seluruh panitia Land reform yang ditunjuk menjalankan fungsi berikutnya untuk membagikan tanah-tanah pertanian kepada yang berhak. Prosesnya dibagi dalam dua tahap, yaitu pertama untuk daerah-daerah di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara, dan tahap berikutnya pulau-pulau lain di Indonesia, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi [Utrecht 1969: 76; Huizer 1980: 121]. Secara keseluruhan, pelaksanaan Land reform berlangsung sejak tahun 1960 hingga 1969, sejak mulai persiapan hingga redistribusi tanah kepada subjek penerimanya [Tabel 2]. Jangka waktu ini melebihi batas waktu yang dicanangkan pemerintah pada saat ditetapkannya pada tahun 1960.

Tabel 2 - Pelaksanaan Program Land reform 1960. Sumber: Huizer [1980: 121] dan Utrecht [1969: 77-78]

No.

Tahun

Implementasi

1.

1960-1961

Persiapan dan identifikasi objek dan subjek Land reform

2.

1961-1962

Persiapan redistribusi tanah

3.

1962-1964

Pelaksanaan Tahap I redistribusi tanah [Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara]

4.

1965-1969

[post 65]

Pelaksanaan Tahap II redistribusi tanah [Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, serta wilayah lain di Indonesia]

22Selain waktu pelaksanaan yang melebihi dari yang direncanakan, target-target tanah-tanah yang hendak didistribusikan juga tidak sesuai target. Catatan yang diuraikan oleh Huitzer [1980: 121] menggambarkan bahwa kurang lebih 50% saja dari tanah-tanah yang teridentifikasi sebagai tanah kelebihan batas maksimum yang terdistribusi, dan kurang dari 40% tanah absentee yang berhasil didistribusikan pada pelaksanaan tahap I [Tabel 3].

Tabel 3 - Hasil Pelaksanaan Land reform 1960-1969. Sumber: Dirjen Agraria-Departemen Dalam Negeri [1970], dikutip dari Huitzer [1980: 121]

Tahap I: Jawa, Bali, Madura dan Nusa Tenggara

Tanah Yang Tersedia [ha]

Jumlah Pemilik Tanah

Tanah yang Diredistribusi-kan [ha]

Jumlah Penerima Tanah

Tanah Kelebihan Maksimum

112.524

8.967

65.132

10.477

Tanah Absentee

22.084

18.421

8.610

29.324

Tanah Swapraja

73.566

-

73.566

79.856

Tanah Negara

147.344

-

147.344

383.301

Jumlah

355.518

27.388

294.652

502.958

Tahap II: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Lainnya

Tanah Yang Tersedia [ha]

Jumlah Pemilik Tanah

Tanah yang Diredistribusi-kan [ha]

Jumlah Penerima Tanah

Tanah Kelebihan Maksimum

49.014

77

34.548

25.981

Tanah Absentee

8.132

-

8.026

9.239

Tanah Swapraja

57.712

-

37.850

53.244

Tanah Negara

473.538

-

307.774

185.561

Jumlah

588.396

77

388.198

274.025

Dinamika Politik Land reform di Soge - Indramayu

23Keberadaan PKI di Indonesia mencerminkan gambaran mikro di Desa Soge/Ilir, di mana partai ini didukung oleh mayoritas warga desa, apakah mereka menjadi anggota, maupun termasuk dalam organisasi pendukungnya [BTI, Gerwani], atau organisasi yang sejalan dengan garis strategi PKI [Murba]25. Upaya-upaya mengubah struktur ketimpangan penguasaan lahan dilakukan oleh partai ini selain karena kaum tani di desa membutuhkan tanah untuk sumber ekonominya, secara tidak langsung juga menjadi satu pemikiran bersama untuk bisa menguasai sumber daya agraria di desanya. Walaupun demikian, sejarah perlawanan mereka, termasuk dari kalangan warga yang berseberangan pemikirannya tentang pengembangan potensi agraria di desa oleh massa tani sudah terbangun, minimal, sejak masa pendudukan Jepang di kabupaten ini.

24Ketika memulai pembukaan lahan di wilayah Soge antara tahun 1942-194426, warga diminta pemerintah Jepang untuk membuka lahan, dan pengaturannya oleh kuwu [kepala desa] yang menjabat saat itu27. Setelah tentara Jepang meninggalkan Indonesia, memasuki masa kemerdekaan, warga Soge melanjutkan penggarapan lahan yang sudah mereka kelola tersebut. Kehidupan semakin baik, karena sepeninggalan tentara Jepang, maka setiap hasil panennya menjadi sumber ekonomi mereka dan keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan karena ada perkembangan jumlah penduduk, mereka pun memperluas lahan garapannya di sekitar tanah-tanah yang sudah mereka garap dan kelola. Seluruh proses pembukaan lahan oleh warga, diatur dengan baik oleh kuwu yang menjabat saat itu.

25Memasuki tahun 1950-an, urusan pembukaan lahan baru oleh warga mulai menjadi masalah. Kuwu yang menjabat pada tahun 1950-an di Desa Soge, walaupun tetap mendukung pembukaan lahan oleh warga seperti pejabat-pejabat sebelumnya, namun ia disebut melakukan pengambilalihan lahan28. Alih-alih mengatur setiap warga untuk membuka lahan yang masih berbentuk hutan dan juga mendukung warga untuk mengelolanya, namun setelah lahan sudah cukup produktif dan memiliki nilai jual, tanah tersebut ditawarkan kepada warga desa lain.

26Penuturan Dalim dan Dasem [60 tahun]29, kuwu mengerahkan sekitar 20 – 30 warga untuk membuka lahan di blok tertentu. Pada saat itu, kondisi lahan masih berupa hutan tegalan dan dibersihkan oleh warga untuk dijadikan areal sawah. Ketika lahan sudah siap untuk digarap, warga pun menggarap selama 1-4 musim panen dan setiap kali panen warga diharuskan membayar pajak yang diserahkan kepada kuwu berupa hasil panen padi sebanyak ½ kwintal padi [50 kg]. Setelah itu, warga diminta kembali melakukan pembukaan lahan di lokasi lain untuk membuka lahan di blok lain yang arealnya masih berupa hutan tegalan. Begitu seterusnya dengan proses yang sama, setelah membuka lahan, kemudian menggarap dengan menyerahkan padi kepada kuwu dan akhirnya dipindahkan lagi ke lokasi lain. Dalim mengalami pemindahan lokasi hingga tiga kali hingga masa akan dijalankannya program Land reform tahun 1961/1962. Dalim masih ingat ketika itu, pertama dia membuka lahan dan menggarapnya di blok Panireman selama tiga kali musim panen, kedua di blok Cibiuk selama empat kali musim panen, dan ketiga di blok Langen Malang. Di blok terakhir, karena sudah memasuki masa program Land reform, Dalim menjadi salah satu subjek penerima di dalam program redistribusi tanah tahun 1960. Warga Desa Soge menyebutnya mendapatkan Surat Prioritas. Kejadian ini juga dialami oleh Dasem pertama kali membuka lahan bersama suaminya yang bernama Rustam di blok Panireman selama sekali musim panen, kedua di blok Kundang selama sekali musim panen dan ketiga di blok Cibiuk sampai dengan mendapatkan Surat Prioritas.30

27Selama rentang waktu itu, warga tidak bisa menolak pengaturan kuwu dan mengakibatkan dimulainya pergolakan warga atas tindakan kuwu. Warga merasa ditipu oleh pemimpinnya sendiri karena kemudian tanah-tanah tersebut dijual kepada siapa saja [baik warga desa lainnya maupun pejabat pemerintahan setempat] yang menghendaki kepemilikan tanah dan sanggup membayar harga tanah yang ditawarkan. Mereka menganggap kuwu sebagai panutan warga yang patut dituruti, dan termasuk tokoh terkemuka secara tradisional [Huizer 1980: 75], karena itu mereka sangat sulit melakukan perlawanan langsung pada saat itu. Padahal mereka yang melakukan pembukaan lahan dan membuat tanah tersebut siap untuk diusahakan dan diambil hasilnya.

28Pola ini terus berlanjut hingga menjelang tahun 1960-an menjelang dijalankannya program Land reform oleh negara. Selain itu, warga juga mulai mendapat dukungan untuk melakukan perlawanan karena di antara mereka juga secara resmi ditetapkan menjadi panitia Land reform tingkat desa hingga tingkat kabupaten. Namun, kecenderungan konsentrasi lahan sudah terjadi dan penguasaan tanah oleh warga lain yang tidak tinggal di sekitar tanah [absentee] tersebut pun mulai ada, karena proses-proses panjang dan cukup masif yang dilakukan oleh kuwu. Di pihak lain, sejumlah warga mulai menjadi penggarap tanah di atas tanah orang lain atau menjadi buruh di atas tanah yang dikuasai oleh tuan tanah pada saat itu.

29Memasuki era dijalankannya program Land reform, 1960-1965, keadaan mulai berbalik, karena dukungan sejumlah warga yang menjadi anggota PKI. Pembentukan panitia Land reform, dari tingkat desa hingga kabupaten, dikuasai oleh anggota dan pendukung PKI yang ada di sana. Menurut Durahman, yang menjadi panitia Land reform di Ilir ini antara lain seorang anggota Murba, seorang pengurus Koperasi PKI, yang mengurus di blok Karang Baru, seorang anggota Partai Nasional Indonesia, yang mengurus di blok Pulau Gosong, dan seorang Ketua Pemuda Rakyat Desa Ilir31. Dapat dipastikan, dengan komposisi kepanitiaan seperti itu, maka program Land reform, khususnya di Desa Soge, akan berjalan lancar.

30Secara keseluruhan Panitia Land reform tingkat desa mengidentifikasi tanah-tanah [objek] dan calon penerima tanah [subjek] dalam program Land reform 1960. Di Desa Soge/Ilir luas tanah yang menjadi objek Land reform adalah 283,37 ha, sementara jumlah subjek penerimanya adalah 622 orang. Hal ini dituangkan dalam SK Kepala Inspeksi Agraria Provinsi Jawa Barat No. LR. 323/D/VIII/65/1966 [tanggal 13 September 1966], selanjutnya disebut SK KINAG 1966. Di dalam surat keputusan tersebut juga dijelaskan bahwa bidang-bidang tanah tersebut sebelumnya berstatus tanah Negara, dan dibagikan ke masing-masing subjek penerima seluas ½ bau atau setara dengan 3.500 m2.32 Area objek tanah Land reform di Desa Soge/Ilir ini merupakan tanah-tanah yang dibuka oleh warga33, baik pada masa penjajahan Jepang, maupun masa kuwunya mengerahkan warga untuk membuka lahan hutan di sekitarnya. Sebagian dari tanah-tanah tersebut masih digarap oleh warga, khususnya tanah-tanah yang mereka buka saat masa pemerintahan Jepang, sebagian lagi sudah berpindah tangan karena diambil alih penguasaanya oleh kuwu pasca-pengelolaan lahan dan tanah sudah cukup produktif.

31Tanah tersebut diredistribusikan kepada masyarakat setempat [Desa Ilir] terutama masyarakat yang tidak mempunyai tanah. Pada waktu itu masyarakat Ilir/Soge ini banyak menggarap sawah tapi tidak punya hak memiliki dan posisinya hanya sebagai penggarap atau penyewa, baik sewa dari desa atau dari tuan tanah. Baru pada tahun 1962 setelah diberlakukannya UUPA 1960 masyarakat Desa Ilir mendapat kejelasan mengenai status kepemilikan tanah dengan mendapatkan kepastian menjadi subjek penerima dalam program Land reform, dan warga setempat menyebutnya Surat Prioritas34, sebelum SK KINAG 1966 terbit.

32Tanah yang diredistribusi kepada 622 orang tersebut akan menjadi hak milik jika mereka sudah melewati semua ketentuan yang tercantum dalam SK KINAG 1966. Hak kepemilikan akan didapatkan setelah 15 tahun, yaitu jangka waktu setiap penerima hak untuk melunasi cicilan pembelian atas lahan tersebut. Pada saat menerima SK KINAG, mereka sudah dibebankan cicilan pertama yang terdiri dari biaya cicilan pertama [Rp. 6.600] dan biaya administrasi [Rp. 396]35. Selain itu, mereka juga harus mendaftarkan tanahnya ke kantor pertanahan setempat sesuai dengan ketentuan yang ada di PP No. 10/1961, wajib mengusahakan sendiri tanah yang diterimanya, menunjukkan performa usaha pertanian di atas tanah tersebut, serta wajib menjadi anggota Koperasi Pertanian Daerah, dan yang terpenting, selama belum melunasi cicilan dan belum mendapatkan hak kepemilikan, mereka tidak diperkenankan memindah-tangankan tanahnya kepada pihak lain [Kepala Kantor Pertanahan Kab. Indramayu, 1966].

33Walaupun demikian, perlawanan dari kelompok-kelompok yang tidak bersepakat dengan program ini tetap ada. Kuwunya dan camat Kandanghaur, misalnya, disebut berupaya untuk mengganggu jalannya program redistribusi tanah kepada warga. Pasca-proses redistribusi tanah, mereka dengan kekuasaannya sebagai aparat pemerintahan lokal, memanggil sejumlah warga dan menginstruksikan kepada mereka untuk tidak memulai menggarap tanahnya dan meminta Surat Prioritas yang mereka dapatkan untuk dipinjam terlebih dahulu. Mereka juga menjanjikan kepada warga akan mengembalikan surat tersebut dengan bukti kepemilikan yang baru [surat cap Singa36]. Kasil, salah seorang warga yang juga dipanggil, menuturkan bahwa surat-surat tersebut akan dipergunakan sebagai jaminan untuk biaya pembangunan sekolah di desa37. Namun, warga menolak permintaan tersebut setelah mereka berkonsultasi dengan Panitia Land reform.

34Atas tindakan kuwu dan camat tersebut, panitia Land reform mengadukan kepada pihak kepolisian setempat hingga ke pejabat di tingkat pusat. Setelah tidak membuahkan hasil ketika melapor ke Pihak Kepolisian di Cirebon, keduanya kemudian mendapatkan teguran dari pejabat Kantor Agraria di Jakarta via telegram. Menurut Durahman, isi teguran kurang lebih “… bahwa barang siapa yang mengganggu kepada kelancaran program pembagian tanah ini akan dijerat oleh hukum yang berlaku.” Sejak itu upaya mereka berhenti dan rakyat bisa memulai kembali menggarap lahannya38. Kondisi ini terus berjalan hingga peristiwa tahun 1965 yang hingga saat ini arus utama informasi penyebab-penyebabnya mengarah pada keterlibatan PKI.

35Pasca-peristiwa 1965 tersebut, kelompok-kelompok yang anti-program Land reform kembali melakukan aksinya untuk tidak membiarkan warga menguasai tanah. Salah satunya adalah melakukan pengambilan secara paksa Surat Prioritas yang sudah dibagikan kepada warga selama program Land reform berlangsung. Pengambilan secara sepihak ini tidak hanya ditujukan bagi warga yang memang menjadi anggota PKI, melainkan seluruh warga yang mendukung dan bahkan mereka sama sekali yang bukan pendukung dan bukan simpatisan PKI. Penuturan salah seorang warga yang turut dipanggil, Madrawi, camat Kandanghaur mengatakan “tahu enggak kamu bahwa rakyat Ilir ini ada 130 orang yang termasuk PKI”, artinya dari sejumlah yang dipanggil, masih banyak lagi yang akan mengalami hal yang sama dengan Madrawi dan semua yang dipanggil saat itu yang jumlahnya hanya sekitar 20-30 orang39.

36Sejumlah orang yang dipanggil ke kantor kepala desa tersebut sebagian tidak langsung dipulangkan. Banyak dari mereka yang harus “menginap” di balai desa karena mereka bertahan tidak mau menyerahkan Surat Prioritasnya yang artinya harus menyerahkan tanah yang didapatkan dari program Land reform. Bagi mereka yang tidak mau menyerahkan, umumnya mereka beranggapan bahwa Surat Prioritas hanya sebagai formalitas dari Negara, karena mereka sesungguhnya bukan mendapatkan tanah dengan cuma-cuma dari Negara, melainkan mereka melakukan upaya pembukaan lahan dan menggarapnya sejak masa penjajahan Jepang. Sebagian lagi bertahan karena mereka memang ingin menguasai lahan untuk sumber penghidupannya. Sementara mereka yang tidak ditahan, adalah mereka yang merasa takut untuk berhadapan dengan masalah hukum atau tindakan kekerasan lainnya yang mungkin terjadi, sehingga mereka memilih untuk menyerahkan Surat Prioritasnya dengan sangat terpaksa. Walaupun mereka kemudian tidak punya rencana lain untuk melanjutkan hidupnya dan keluarganya tanpa tanah tersebut.

37Salah seorang warga menyaksikan bahwa banyak warga yang ditahan di kantor Balai Desa pada saat itu. Suti, istri dari salah seorang yang ditahan selama tiga hari di balai desa, menuturkan bahwa suaminya ditahan selama tiga hari, dan pada waktu ia melihat suaminya di balai desa, banyak orang yang ditahan bersama-sama dengannya40. Selain mereka yang tidak mau menyerahkan Surat Prioritas-nya, yang ditahan juga disebabkan karena mereka dianggap selalu melakukan pembangkangan kepada aparat pemerintahan setempat, sejak masa tahun 1950-an. Durahman dan Bodin mengalami penahanan karena selalu bertindak berlawanan dengan aparat desa. Durahman adalah anggota Pemuda Rakyat di Desa Ilir, sementara Bodin adalah orang yang selalu kritis terhadap keputusan aparat desa, terutama pada masa kuwunya melakukan aksinya pada tahun 1950-an.41

38Selanjutnya, sejumlah warga dipenjara dengan tuduhan terkait dengan peristiwa 65. Seperti halnya terjadi di banyak peristiwa di daerah lain di Indonesia, pemenjaraan dan penangkapan selalu menggunakan tuduhan sebagai anggota PKI atau istilahnya di-PKI-kan. Di Desa Ilir/Soge, sebagian dari mereka memang anggota PKI/BTI. Sebagian lainnya dituduh menjadi pendukung PKI. Yang lainnya adalah mereka yang dianggap membangkang terhadap aparat pemerintahan setempat, khususnya yang sejak tahun 1950-an sempat melakukan pembangkangan ketika kuwunya melancarkan pembukaan lahan di wilayah Soge untuk kepentingan ekonomi pribadi, atau sama sekali orang yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal tersebut. Mereka ditahan selama dua hingga enam tahun.42

39Rangkaian peristiwa di atas, yang merentang sejak era tahun 1950-an hingga tahun 1965 telah memperlihatkan dinamika politik di Desa Ilir/Soge yang terkait dengan penguasaan lahan dan program Land reform. Tekanan demi tekanan dialami oleh warga Desa Ilir/Soge sudah dialami di masa pemerintahan Orde Lama pasca-kemerdekaan dalam hal penguasaan lahan. Setelah diberikan keleluasaan dengan beranjaknya tentara Jepang, mereka harus berhadapan dengan kekuatan penguasa elit lokal untuk menguasai tanah pertanian. Lalu, setelah mendapatkan kekuatan politik yang juga program Negara, yaitu program Land reform 1960, tidak lama kemudian mereka harus berhadapan dengan masalah pemenjaraan dan pengambilan kembali tanah-tanah yang sudah diredistribusi oleh Negara yang dilakukan oleh aparat Negara sendiri [kuwu]. Tidak hanya itu, dengan tanpa pandang bulu, peristiwa 1965 menjadi alat aparat setempat yang juga tuan tanah untuk menguasai kembali tanah-tanah yang menjadi objek Land reform.

Pengambilan Tanah Sesudah Peristiwa ‘65 di Soge

40Rejim berganti, dari Orde Lama ke Orde Baru di tahun 1968, tetapi masalah penguasaan tanah oleh petani, khususnya di Ilir/Soge, masih belum selesai. Dari keseluruhan SK yang diterbitkan kepada 622 orang pada tahun 1966, hanya 58%-nya saja yang masih digarap sendiri, sisanya sudah tidak dikuasai lagi [Bachriadi & Lucas t. t.]. Hal ini diperparah dengan praktek-praktek pengambil-alihan tanah yang terus berlangsung di rejim yang baru. Aktor-aktor kekuasaan lokal masih terus bermain di arena ekonomi penguasaan tanah dan melakukan transaksi jual-beli kepada pihak-pihak lain yang mampu membelinya.

41Proses perampasan tanah-tanah petani kembali terjadi di dekade tahun 1970-1980-an. Prosesnya sangat terkait dengan peminjaman sejumlah SK KINAG 1966. Kuwunya kembali melakukan hal yang sama dengan alasan akan dipergunakan untuk keperluan pembiayaan pembangunan irigasi, dan seperti yang terjadi dahulu, SK ini dijanjikan akan dikembalikan dalam jangka waktu 3-5 tahun. Sejak tahun 1978, warga tidak bisa lagi menggarap lahannya [LBH – Bandung 1995]. Selain itu, warga juga dihadapkan dengan adanya informasi yang disebarkan oleh beberapa aparat desa bahwa bidang tanah di sekitar tanah redistribusi tahun 1966 tersebut akan diambil-alih oleh pemerintah daerah setempat. Untuk kedua alasan ini, aparat desa dan pemerintahan setempat tetap menggunakan stigma PKI untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu sekelompok orang yang dimotori oleh aparat desa.

42Hingga tahun 1991, warga mengupayakan agar SK tanahnya bisa dikembalikan untuk memperkuat alasan mereka bisa kembali menggarap tanahnya. Catatan LBH Bandung ketika warga melaporkan kasusnya untuk diadvokasi [LBH – Bandung 1995], ketika diminta langsung ke kuwunya, ia mengelak. Begitu juga ketika mereka meminta bantuan Pemda dan Kantor Pertanahan setempat, tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1991, warga meminta bantuan kuasa hukum, atau “pokrol bambu” [Bachriadi & Lucas], untuk menangani kasusnya dan berharap bisa berhasil. Namun, upaya terakhir warga ini pun tidak berhasil, karena hingga saat ini, warga hanya dapat melihat tanahnya dikelola oleh pihak lain.

43Peristiwa hasutan bahwa tanahnya akan disita dan diambil-alih oleh pemerintah daerah setempat terjadi sekitar tahun 1970 s/d 1980-an. Hasutan ini dimaksudkan supaya tanah segera dijual ke pihak lain maka warga tidak akan mendapatkan ganti rugi sepeser pun. Tidak lama setelah itu, maka spekulan tanah berdatangan ke desa untuk membeli tanah dari warga. Tentunya mereka menawarkan harga yang sangat murah, yaitu antara Rp. 400 s/d Rp. 500 per meter persegi43. Sebagaimana yang dituturkan oleh Sarpan Tandeg, yang membuka dan menggarap lahan di Desa Soge pada tahun 1970 atas izin dari kuwu 44. Ijin tersebut didapatkan setelah membayar Rp. 1.200 per meter persegi kepada kuwu45. Proses perampasan yang lain dilakukan dengan cara penggunaan surat legalitas tanah oleh pihak-pihak yang dimintai tolong oleh warga untuk upaya pengembalian tanah mereka. Pada tahun 1992, karena warga tidak memiliki sama sekali salinan SK KINAG 1966, mereka meminta salinan SK tersebut kepada Kantor Pertanahan setempat. Kantor Pertanahan Kabupaten Indramayu kemudian mengeluarkan 400 salinan SK bagi warga yang mendapatkan hak atas tanah di Desa Soge. Namun, sejumlah SK tersebut tidak pernah sampai ke tangan warga, melainkan dititipkan kepada seseorang yang bermaksud membantu proses penyelesaian tanah Soge ini. Ia tidak menyampaikan salinan SK tersebut kepada warga karena ia hendak meneruskan proses advokasinya, sehingga membutuhkan SK-SK tersebut. Namun, hingga warga melaporkan kasusnya kepada LBH-Bandung [LBH – Bandung, 1995], SK-SK tersebut tidak pernah mereka terima. Penuturan warga kepada tim advokasi LBH-Bandung, mereka melihat bahwa tanah-tanah yang sedang diperjuangkan sudah berpindah penguasaannya.

44Rangkaian peristiwa di atas membuat kondisi penguasaan lahan berpindah ke sekelompok kecil orang. Penggunaan stigma PKI cukup efektif untuk membuat warga yang masih memegang SK KINAG 1966 melepaskan tanahnya, baik secara langsung diminta SK KINAG-nya maupun dengan cara transaksi jual-beli di antara warga dengan koordinasi kuwu. Berdasarkan hasil penelitian BPN tahun 1991 tentang kasus tanah Soge ini, setidaknya dari 30 akta kepemilikan tanah46 yang asalnya adalah tanah-tanah yang SK-nya dikumpulkan oleh kuwu [rata-rata seluas 0,35 ha], yang artinya milik 30 orang penerima SK [dan sekitar 15 orang penerima SK lainnya yang tidak teridentifikasi di dalam penelitian BPN], sudah berpindah kepemilikan yang hanya dimiliki oleh 4 orang yang total luas lahannya mencapai 16 ha atau rata-rata mereka memiliki lahan seluas 4 ha [Kantor Pertanahan Kab. Indramayu, 1991]. Proses pemindahannya hingga ke pemilik akhir pada saat penelitian dilakukan, rata-rata sudah berpindah antara 1-2 kali, dengan pengesahan notaris dan disebutkan bahwa asal tanah sebelumnya adalah tanah adat. Padahal, tanah-tanah tersebut adalah tanah yang sama dengan SK KINAG yang didapatkan warga tahun 1966, dan di dalam SK tersebut disebutkan bahwa asal tanah tersebut adalah Tanah Negara [GG].

Politik Counter-reform atas Program Land reform di Desa Ilir/Soge

45Di setiap wilayah, program Land reform ini telah mengusik kehidupan sebagian orang, terutama yang tanah-tanahnya menjadi objek program ini, yaitu para tuan tanah dan elit-elit desa [Tornquist 1984: 197]. Di kasus Soge ini pun terjadi, para tuan tanah terkena peraturan harus melaporkan bidang-bidang tanahnya dan berdasarkan peraturan yang berlaku, harus diserahkan sebagian karena luasnya melebihi batas maksimum. Tentunya tidak mudah bagi mereka yang sudah berusaha mengumpulkan aset-aset tanah lalu secara sukarela harus menyerahkan tanahnya walaupun sudah menjadi program Negara. Demikian juga yang terjadi di Desa Ilir/Soge di dalam kasus ini. Kepemilikan dan penguasaan tanah bagi kelompok elit ekonomi lokal adalah simbol status kehidupannya di tengah-tengah warga, sama halnya dengan status mereka sebagai tokoh terkemuka lainnya, seperti tokoh agama, aparat pemerintahan, penguasa ekonomi wilayah dan sebagainya. Walaupun, di kasus ini tergambar bahwa perolehan lahan-lahan oleh tuan tanah lokal tersebut bermasalah, karena rakyat di Desa Ilir/Soge dikerahkan untuk mempersiapkan lahan dan proses jual-beli dilakukan oleh aparat pemerintahan yang berkuasa. Dalam konteks pengalaman Land reform di berbagai tempat [Huizer 1980], kelompok-kelompok ini adalah kelompok penentang utama program keadilan dalam penguasaan sumber-sumber agraria.

46Tahun 1960, program Land reform adalah program resmi Negara RI, yang dilawan oleh aparat Negara sendiri di tingkat lokal. Pola pengerahan massa rakyat yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap warga Desa Ilir/Soge, menjadi pola yang diterapkan juga di masa kemerdekaan Indonesia. Pola ini dilakukan oleh aparat desa setempat dan berakhir sementara pada masa pelaksanaan Land reform tahun 1960-1964. Kemudian berlanjut kembali pada masa pasca-peristiwa 65 dan era Orde Baru. Program Land reform sendiri bagi aktor-aktor elit desa serta para “pokrol bambu” telah memberikan amunisi baru untuk terus menjalankan aksi penguasaan lahan untuk diperjualbelikan kepada pihak lain, para tuan tanah lokal. Hingga akhirnya tanah-tanah objek Land reform yang menjadi hak warga Desa Ilir/Soge tidak lagi dikuasai dan sudah dipindahtangankan berkali-kali dan sulit untuk dikembalikan, walaupun UUPA 1960 masih tetap berlaku hingga saat ini. Secara sistematis, rakyat di pedesaan, khususnya di Desa Soge, sudah diabaikan hak hidupnya dengan dihilangkannya sumber-sumber penghidupannya, yaitu tanah.

Land reform untuk Menghentikan Konsentrasi Lahan

47Kasus Desa Ilir/Soge ini juga menggambarkan hal-hal yang sudah dipelajari sebelumnya tentang faktor-faktor kegagalan pelaksanaan Land reform. Jika dilihat dari perjalanan waktu, aparatur pemerintahan setempat di Desa Ilir/Soge adalah aktor utama yang menghambat. Sejak era penjajahan Jepang hingga Orde Baru, peran kuwu adalah sentral dalam mengatur pola penguasaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Kuwu mendukung perintah tentara Jepang yang mengerahkan rakyat Ilir/Soge untuk membuka lahan dan mengelolanya serta menyerahkan hasil produksinya untuk kebutuhan pangan tentara Jepang. Di era kemerdekaan, era Orde Lama hingga program Land reform dijalankan dan di Orde Baru, kuwu sebagai aparat pemerintahan lokal sekaligus menjadi penghubung dengan tuan tanah lokal untuk proses jual-beli tanah dengan mengerahkan tenaga rakyat untuk membuka lahan dan mempersiapkan lahan hingga siap untuk diperjualbelikan [lihat Tabel 4].

48Jika hasil penelitian Kantor Pertanahan setempat tahun 1990-an, yang hanya melakukan kajian dalam rentang waktu pasca-program Land reform tahun 1960, menggambarkan penguasaan tanah para tuan tanah masing-masing minimal 4 ha, maka akan lebih besar jumlahnya jika dikaji sejak masa awal jabatannya kuwu di tahun 1950-an. Proses transaksi yang adil hanya dilakukan dengan kuwu, tetapi tidak dengan para penggarap sebelumnya yang sudah mengeluarkan biaya untuk membuka dan mempersiapkan lahan.

49Pasca-program Land reform, kuwu juga masih melancarkan aksinya memanfaatkan tanah-tanah yang sudah siap ‘diperjualbelikan’ kepada tuan tanah. Pada masa ini, aksinya mendapat alat yang cukup ampuh dengan memanfaatkan stigma-stigma yang berkembang di Indonesia bahwa Land reform adalah produk komunis atau PKI/BTI. Di tengah-tengah kondisi trauma rakyat Desa Ilir/Soge, ancaman dengan menggunakan stigma ini cukup efektif. Karena rakyat melihat sendiri banyak orang yang bahkan bukan anggota maupun pendukung PKI dikriminalisasi, dipenjarakan dan dianiaya. Maka rakyat tidak punya pilihan selain menyerah pada ancaman dan pemaksaan agar menyerahkan tanah yang sudah diterima dalam program Land reform 1960.

Tabel 4 - Matriks Pemetaan Aktor Counter-reform Pelaksanaan Land reform 1960 di Desa Ilir/Soge

Masa Pendudukan Jepang

Pasca- Kemerdekaan

[1942-1945]

[1945-1950]

1950-1960

Aktor

[Counter-reform]

[1] Tentara Jepang [sebagai penerima hasil produksi]

Kuwu: sebagai pengatur pembukaan lahan hutan dan penerima ‘upeti’ warga

[2] Kuwu: sebagai pengatur kegiatan warga

Pemilik Modal: membeli tanah-tanah yang ditawarkan kuwu.

Kegiatan Warga

- Membuka lahan hutan.

- Mengelola lahan dan berproduksi.

- Mengelola lahan yang sudah dibuka.

- Membuka area hutan untuk tanah pertanian baru dan mengelolanya sendiri.

- Membuka lahan hutan baru secara berkelompok dan dikelola hingga 1-4 kali musim panen.

- Mengelola lahan yang sudah dibuka sejak masa penjajahan Jepang.

Kewajiban Warga

- Menyerahkan hasil produksi kepada tentara Jepang.

- Membayar pajak ke desa.

- Kuwu: mengatur pajak.

- Menyerahkan hasil panen berupa 50 kg beras kepada kuwu [upeti].

Transfer Tanah

- Tetap dikelola warga sepeninggal tentara Jepang.

- Tetap dikelola sendiri atau diwariskan.

- Dikuasai oleh kuwu dan diperjualbelikan kepada pihak lain.

Masa Program Land reform

Pasca- 1965 dan Orde Baru

1960-1965

1970-1980

Aktor

[Counter-reform]

Kuwu dan Camat Kandanghaur: berusaha menghentikan kegiatan pertanian warga dengan cara meminta secara paksa Surat Prioritas warga; memenjarakan warga dan mem-PKI-kan warga.

Kuwu: meminjam SK KINAG warga dan memperjualbelikan tanah.

Kelompok Anti-Program LR: Program LR terhenti dengan peristiwa 1965.

Pokrol Bambu [pengacara local]: membantu kuwu memuluskan proses jual-beli tanah dengan menggunakan salinan SK KINAG.

Kegiatan Warga

- Mengelola tanah yang ada.

- Sebagai penerima tanah objek program LR

- Mengelola tanah yang masih dikuasai, termasuk tanah-tanah objek LR.

Kewajiban Warga

- Kewajiban sebagai penerima tanah objek LR

- Memenuhi kewajiban sebagai subjek penerima objek LR.

Transfer Tanah

- Dikuasai oleh warga untuk dikelola.

- Proses jual beli oleh kuwu dan Pokrol Bambu.

Efektivitas Stigma PKI

50PKI sebagai pengusung dan pendukung program Land reform 1960, hingga saat ini masih menjadi perdebatan tentang keterlibatannya dalam peristiwa 1965. Tetapi, di tingkat lokal, dengan pembangunan wacana yang baik sejak awal, maka stigma PKI untuk meredam pergolakan rakyat di daerah-daerah cukup efektif. Di Desa Ilir/Soge, dalam waktu yang sangat singkat pasca-peristiwa 1965, sejumlah orang dikriminalisasi dengan menggunakan stigma PKI. Terkait dengan aktor sentral yang sudah diuraikan di atas, kuwu pun menggunakan dengan baik momentum ini, untuk mengembalikan posisinya sebagai spekulan tanah.

51Bersama-sama dengan camat Kandanghaur, kuwu beraksi menggunakan stigma PKI untuk menakut-nakuti rakyat. Tujuannya agar penerima objek Land reform menyerahkan SK KINAG-nya. Camat Kandanghaur pada saat itu di depan warga yang dipanggil ke kantor Kepala Desa Ilir/Soge menyebutkan bahwa ada 130 orang PKI di desa ini, yang kesemuanya akan ditindak terkait dengan peristiwa 1965 yang dituduh didalangi oleh PKI. Provokasi tersebut membuat sebagian warga dengan terpaksa menyerahkan SK KINAG yang dimilikinya dan sebagian lagi bertahan.

52Menurut penuturan warga, banyak di antara 130 orang tersebut yang memang anggota PKI dan sebagian lagi anggota organisasi pendukung PKI [Gerwani, BTI dan Murba serta PNI], sisanya adalah bukan anggota maupun simpatisan. Bahkan, warga yang ditunjuk menjadi panitia Land reform yang tidak berafiliasi dengan partai apapun di-PKI-kan. Berikut uraian tentang pengelompokan warga yang dituduh sebagai anggota PKI berdasarkan pengalaman kriminalisasi yang mereka hadapi.

Tabel 5 - Pengelompokan Warga [yang teridentifikasi] yang di-PKI-kan Sumber: hasil wawancara dengan beberapa warga pada tahun 2000


No.

Afiliasi

Jumlah

Proses Kriminalisasi

1.

PKI/BTI

1 orang

Dipenjara di Indramayu

2.

Gerwani

1 orang

Dipenjara di Indramayu

3.

Murba

1 orang

Dipenjara di Pulau Buru

4.

Pemuda Rakyat

2 orang

Dipenjara di Indramayu

5.

Non Afiliasi

10 orang

1 orang

Dipenjara di Indramayu

Dipenjara di Pulau Buru

53Mereka yang tidak memiliki afiliasi dengan PKI/BTI dan organisasi pendukungnya lebih banyak jumlahnya yang mengalami penangkapan secara sepihak. Tercatat ada 11 orang dari hasil wawancara dengan 26 orang warga Desa Ilir/Soge penerima SK KINAG 1960 menyebutkan bahwa dipenjarakan, yang salah satunya dibawa ke Pulau Buru [Tabel 5]. Dua orang di antaranya teridentifikasi sebagai pembangkang kebijakan kuwu di tahun 1950-an. Data tersebut belum termasuk mereka yang dipanggil ke kantor kepala desa dan ditahan selama beberapa hari karena bertahan tidak mau menyerahkan SK KINAG, yang jumlahnya antara 20-30 orang setiap kali pemanggilan. Pada umumnya mereka ditahan selama kurang lebih 3 hari dan mendapatkan tindakan kekerasan agar mereka mau menyerahkan surat tanahnya. Hal ini menunjukkan bagaimana sangat efektifnya stigma ini sehingga sejumlah rakyat biasa pun terjerat dalam proses kriminalisasi dengan menggunakan stigma PKI.

54Dalam kasus ini, aparat desa kemudian hanya menjadi faktor sentral di dalam proses-proses penghilangan hak hidup warga. Perannya sangat didukung dengan kultur yang berkembang di masyarakat, bahwa tokoh pemerintahan adalah tokoh panutan dan sulit untuk dibantah, di sisi lain, mereka berupaya untuk tetap memperjuangkan hak hidupnya. Sementara, pihak-pihak lain, yaitu para tuan tanah lokal adalah pemicu tokoh sentral ini untuk terus melancarkan aksinya menyuplai lahan yang siap dikelola dengan menggunakan tenaga rakyatnya sendiri. Tujuan utamanya adalah kepentingan ekonomi dari proses jual-beli tanah dengan para tuan tanah lokal.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề